Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

“Gangguan dalam Perkembangan Jiwa


Keagamaan”
Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata KuliahPsikologi
Agama
Dosen Pengampu:Ibu Uswatun Hasanah, M.Pd.I

Disusun Oleh Kelompok 11 Kelas PAI F


1. Mefrian Anwar (1601010154)
2. Novita Kurniasih (1701010156)

Jurusan PAI
Fakultas Tarbiyah dan Ilmu Keguruan
IAIN Metro
2019/2020

i
KATA PENGANTAR

Alhamdulillahirobbil’alamin, segala puji dan syukur seraya penyusun


panjatkan ke hadirat Illahi Robbi yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-
Nya sehinnga penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Gangguan
dalam Perkembangan Jiwa Keagamaan” ini tepat waktu.
Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata kuliah”Psikologi
Agama”. Sehubungan dengan tersusunnya makalah ini kami menyampaikan
terima kasih kepada Ibu Uswatun Hasanah, M.Pd selaku dosen pengampu mata
kuliah Psikologi Agama.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi kami dan pembaca. Kami menyadari
bahwa makalah ini masih terdapat kekurangan dan kelemahan. Namun penyusun
tetap mengharapkan kritik dan saran yang bersifat konstruktif sehingga bisa
menjadi acuan dalam penyusunan makalah selanjutnya.

Metro, 24 September 2019

Penulis

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..............................................................................................i

DAFTAR ISI ........................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1

A. Latar Belakang ............................................................................................. 1

B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 1

C. Tujuan .......................................................................................................... 2

BAB III PEMBAHASAN ....................................................................................... 3

A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jiwa Keagamaan Manusia .................. 3

B. Faktor Internal .............................................................................................. 5

C. Faktor Eksternal ........................................................................................... 9

D. Fanatisme dan Ketaatan ............................................................................. 11

BAB III PENUTUP .............................................................................................. 13

A. Kesimpulan ................................................................................................ 13

DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 14

iii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Agama adalah kepercayaan yang dimiliki oleh tiap individu sebagai hak dan
kewajibannya sebagai manusia. Adanya agama akan membuat pemeluknya
merasa damai, aman tentram, dan memiliki rasa percaya diri karena agama dapat
memberikan ketenangan tersendiri bagi para pemeluknya. Tidak jarang seseorang
merasakan kegelisahan dan selalu berhadapan dengan berbagai masalah
keagamaan ketika ingin menyesuaikan antara perundang-undangan agama dengan
sosial kemasyarakatan. Hal ini tentu menimbulkan suatu gangguan dalam
perkembangan jiwa seseorang yang memeluk agama sehingga pekembangan pola
pikirpun terhambat akibat jiwa seseorang yang bermasalah.
Di dalam bersikap dan berperilaku, haruslah senantiasa dijaga. Sikap dan
perilaku seseorang yang beragama mencerminkan tingkat ketaatan seseorang
tersebut terhadap agama yang di peluknya. Agama sangat penting bagi manusia
sebab agama mengatur sikap dan tingkah laku manusia sebagaimana dikatakan
oleh Abul A’la Al-Maududi ia mengakatakan manusia akan rusak jika hidup tanpa
agama. Namun dalam perkembangan keagamaan itu sendiri sering muncul
kendala dalam jiwa seseorang baik yang sangat taat maupun yang tidak taat
terhadap agamanya. Hal ini sering dijumpai oleh pemeluk agama kerena beberapa
gejala atau gangguan jiwa baik dari dalam maupun dari pengaruh luar oleh sebab
itu penulis akan memaparkan tentang gangguan dalam perkembangan jiwa
keagamaan.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas maka pembahasan makalah ini akan
difokuskan pada masalah-masalah sebagai berikut:
1. Faktor internal apa saja yang mempengaruhi perkembangan jiwa
keagamaan seseorang?
2. Faktor eksternal apa saja yang mempengaruhi perkembangan jiwa
keagamaan seseorang?

1
3. Apa itu fanatisme dan ketaatan?

C. Tujuan
Adapun tujuan dari pembahasan pada makalah ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui faktor internal apa saja yang mempengaruhi
perkembangan jiwa keagamaan seseorang?
2. Untuk mengetahui faktor eksternal apa saja yang mempengaruhi
perkembangan jiwa keagamaan seseorang?
3. Untuk mengetahui apa itu fanatisme dan ketaatan?

2
BAB II
PEMBAHASAN

A. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Jiwa Keagamaan Manusia


Agama menyangkut kehidupan batin manusia. Oleh karenanya agama dan
pengalaman agama seseorang lebih menggambarkan sisi-sisi batin dalam
kehidupan yang ada kaitannya dengan sesuatu uang sakral dan dunia ghaib. Dari
kesadaran dan pengalaman agama inilah maka muncul sikap keagamaan yang
ditampilkan oleh seseorang.
Sikap keagamaan merupakan suatu keadaan di dalam diri seseorang yang
mendorongnya untuk bertingkah laku sesuai dengan kadar ketaatannya terhadap
agama. Sikap keagamaan tersebut oleh karena adanya konsistensi antara
kepercayaan terhadap agama sebagai unsur kognitif, perasaan terhadaap agama
sebgai unsur afektif, dan perilaku terhadap agama sebagai unsur konatif. Jadi,
sikap keagamaan adalah integrasi secara kompleks anatar pengetahuan agama ,
perasaan agama, serta tinfak keagamaan dalam sdiri seseorang. Hal ini
menunjukkan bahwa sikap keagamaan menyangkut atau berhubungan erat dengan
gejala kejiwaan.
Beranjak dari kenyataan yang ada, maka sikap ekagamaan terebentuk oleh
dua faktor, yaitu faktor internal dan eksternal. Di dalam kajian psikologi agama
terdapat perbedaan pendapat, tetapi sebagian setuju bahwa terdapat potensi
beragama di dalam diri manusia. Manusia merupakan homo relijius atau mahluk
yang beragama. Namun, untuk menjadikan manusia memiliki sikap keagamaan,
maka potensi itu memerlukan bimbingan dan pengembangan dari lingkungannya.
Lingkungan juga yang mengenalkan seseornag akan nilai-nilai dan normaa-norma
agama yang harus dituruti dan dilakoni.
Teori mengungkapkan bahwa sumber jiwa keagamaan berasal dari faktor
internal dan eksternal manusia. Pendapat pertama menyatakan bahwa manusia
adalah homo relijius. Hal ini dikarenakan manusia sudah memiliki potensi untuk
beragama. Potensi tersebut bersumber dari dalam diri manusia/ faktor internal
manusia yang termuat dalam aspek kejiwaan manusia seperti naluri, akal,

3
perasaan, kehendak, dan sebagainya. Dari smeua pendapat tersebut, belum ada
alasan yang menguatkan faktor mana yang bertindak paling dominan.
Teori kedua meyatakan bahwa jiwa keagamaan manusia bersumber dari
faktor eksternal atau dari lingkungan luar. Manusia terdorong beragama karena
pengaruh faktor luar sepertirasa takut, rasa ketergantungan, ataupun rasa bersalah.
Faktor ini kemudian mendorong manusia menciptakan pemujaan dan dikenal
dengan nama agama.
Meskipun kedua teori tersebut seolah bertolak belakang, akan tetapi terdapat
sebuah fakta bahwa secara psikologis manusia sulit dipisahkan dari agama.
Pengaruh psikologis manusia sulit dipisahkan dari agama. Pengaruh psikologis ini
kemudian tercermin dalam sikap dan tingkah laku manusia dalam beragama baik
di dalam kehidupan pribadinya maupun kehidupan dirinya dengan masyarakat. Di
dlaam kehidupan nyata, manusia sebagai seornag manusia pengaruh psikologis itu
bekerja dengan membentuk keyakinan di dalam dirinya dan menampakkan pola
tingkah laku sebagai realisasi dari keyakinan yang dimilikinya.
Aspek kejiwaaan mengalami perkembangan sesuai dengan fase-fase
tertentu. Para ahli psikologi agama telah memebdakan tingkatan-tingkatan dalam
perkembangan kejiwaan manusia melalui ebrbagai pendekatan. Ernest Harms
mengemukakan pendapatnya dengan melalui pendekatan tingkatan usia, bahwa
terdapat tiga tingkatan usia perkembangan anak-anak menjelang dewasa.
Kemudian Sigmund Freudd melalui gejala-gejala ketidaksadaran, Edward
Sparanger menggunakan pendekatan berdasarkan padangan hidup yang dimiliki
seseorang, kemudian Stanley Hall menggunakan perkembangan tingkat budaya.
Sleian ilmuan-ilmuan tersebut, masih banyak lagi yang mengemukakakn teori-
teori lain yang belum dapat kami masukkan ke dalam tulisan ini.
Berbagai pendekatan yang dilakukan para ahli menyiratkan bahwa jika jiwa
keagamaan bukanlah aspek psikis bersifat instinktif, yaitu unsur bawaan yang siap
pakai. Jiwa keagamaan mengalami proses proses perkembangan sampaai dengan
tingkat kematangannya. Dengan begitu, jiwa kegamaan yang dimiliki seseorang
tidak luput dari berbagai gangguan yang dapat mempengaruhi masa
perkembangannya. Pengaruh-pengaruh tersebut dapat berumber dari dalam dirnya
maupun dari lingkungan luar dari dirinya sendiri.

4
B. Faktor Internal
Seiring bertambahnya usia, manusia turut serta dalam perkembangan jiwa
keagamaannya. Perkembangan jiwa keagamaan seseorang yang satu dengan
lainnya berbeda. Meskipun demikian, perkembangan jiwa keagamaan memiliki
faktor-faktor yang dapat mendukung pekembangan jiwa keagamaan. Selain dari
faktor lingkungan, beberapa ahli meyatakan bahwa manusia memiliki faktor
internal yang dapat mempengaruhi perkembangan jiwa kegamaan mereka. berikut
ini beberapa faktor internal yang dimaksudkan:
1. Hereditas (Keturunan)
Johan Gregor Mendell merupakan seorang ilmuan yang meneliti mengenai
genetika tanaman. Ia mendapatkan fakta bahwa tumbuhan memiliki sifat
kebakaan dimana apa yang ia punyai akan ia turunkan kepada keturunannya.
Semenjak saat itu, banyak ilmuan lain yang berusaha mengkaji mengenai genetika
modern baik pada manusia maupun hewan.
Di dalam diri mahluk hidup terdapat unsur kimiawi yang membentuk
mahluk hidup. Manusia sebagai mahluk hidup juga memiliki DNA. Genotip yang
merupakan sifat dasar yang meskipun dipengaruhi lingkungan, namun tidak akan
jauh menyimpang. Fenotip merupakan karakteristik terlihat yang dimiliki setiap
orang misalnya warna kulit, warna mata, dan lainnya. adapun fakta dari temuan-
temuan yang dikemukakan para ahli adalah manusia memiliki sifat turunan yang
baka.
Jiwa keagamaan bukanlah sesuatu yang secara langsung diturunkan
sebagai faktor bawaan. Ia terbentuk dari kolaborasi berbagai unsur yang
mencakup kognitif, afektif, dan konatif. Sampai saat ini belum ada penelitian yang
dapat memberikan jawaban bahwa sifat-sifat kejiwaan orang tuanya menurun
kepada anaknya. Akan tetapi, di dalam Islam telah dikenalkan mengenai makanan
yang dikonsumsi seseorang dapat berpengaruh kepada sikapnya. Selain itu, Rasul
juga menganjurkan untuk memilih pasangan yang baik sehingga dapat
memberikan keturunan yang baik pula.
Sigmund freud berpendapat bahwa perbuatan tercela yang dilakukan
seseorang akan menimbulkan perasaan bersalah dalam diri pelaku. Selanjutnya
apabila pelanggran tersebut merupakan pelanggaran yang dilakukan terhadap

5
larangan agama akan menimbulkan rasa berdosa. Menururtnya, perasaan seperti
inilah yang ikut memengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seseorang sebagai
unsur hereditas. Hal ini dikarenakan dari berbagai kasus zina yang ada, sebagian
besar memiliki latar belakang keturunan dengan kasus serupa.1

2. Tingkat Usia
Penelitian menujukkan bahwa tingkat usia memperngaruhi perkembangan
agama pada anak-anak. Perkembangan tersebut dipengaruhi juga oleh
perkembngan dari segi kejiwaan seperti perkembangan berpikir.
Pada usia remaja, ia akan mengalami konflik kejiwaan yang akan
mempengaruhi terjadinya konversi agama yang dianutnya.
Konversi agama sendiri adalah isitlah yang menggambarkan proses
penerimaan ataupun perubahan sikap kegamaan yang terjadi pada diri seseorang.2
Konversi agama lebih kita kenal dengan pinah agama ataupun perubahan sikap
keagamaannya kepada agama yang dianutnya. Pindah masuk maupun keluar dari
agama misalkan saja dahulu ia beragama Katolik kemudian karena mendapat
hidayah ia berpindah agama menjadi Islam. Sikap kedua adalah perubahan sikap
seseorang yang penyebabkan ada masalah-masalah yang timbul di dlaam
agamanya, misalkan saja di dalam Islam mengenal perbedaan yang disebabkan
mahzab ataupun golongan.
Robert Thouless memandang konversi agama sebgai produk dari sugesti
seseorang. Akan tetapi jika ditelaah lebih dalam, hubungan perkembangan usia
dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang tidak dapat dihilangkan secara
serta merta. Apabila konversi cenderung dipengaruhi oleh sugesti, maka konversi
seharusnya terjadi kepada anak-anak yang lebih mudah menerima sugesti. Teori
Robert Thouless terbantahkan oleh fakata bahwa Shindarta Budha dan Martin
Luther mengalami masa konversi agama pada usia 40an, dan Al-Ghazali lebih tua
lagi.

1
Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku Keagamaan dengan
Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), 305.
2
Syaiful Hamali, “Dampak Konversi Agamaterhadap Sikap Dan Tingkah
Lakukeagamaan Individu,” Jurnal Al-Adyan 7, no. 2 (2012): 22.

6
Apabila kita mengabaikan mengenai teori-teori ada tidaknya hubungan
antara konversi dengan tingkat usia, hubungan mengenai tingkat usia dengan
perkembangan jiwa kegamaan tidak dapat kita abaikan begitu saja. Penelitian
psikologi banyak menujukkan adanya relasi antar keduanya, meskipun tingkat
usia bukanlah satu-satunya faktor penentu.3

3. Kepribadian
Kepribadian menururt ilmu psikologi terdiri dari dua unsur, hereditas dan
pengaruh lingkungan. Relasi antara hereditas dengan pengaruh lingkungan
membentuk kepribadian. Kedua unsur yang membtuk kepribadian memunculkan
konsep tipologi dan karakter. Tipologi menekankan kepada unsur bawaan,
karakter menekankan pada pengaruh lingkunga.
Psikolog berpendapat bahwa kepribadian unik yang dimiliki manusia satu
dnegan lainnya berbeda ditunjukkan oleh tipologi. Adapun kepribadian terbentuk
berdasarkan pengalaman dan lingkungannya. Perspektif tipologis menyatakan
bahwa kepribadian yang ada pada diri manusia tidak dapat diubah karena
terbentuk berdasrkan komposisi yang dimiliki tiap orang dalam tubuhnya. Hal ini
berlainan sisi jika dilihat dari kacamata karakterologis yang menyatakan bahwa
kepribadian manusia dapat diubah karena pengaruh lingkungan.
Pendekatan tipologis dan karakterisiologis memberikan arahan mengenai
unsur-unsur yang bersifat tetap dan unsur-unsur yang dapat berubah yang
kemudian dapat membentuk kepribadian manusia. Unsur bawaan merupakan
unsur yang bersifat tetap, karakter merupakan sesuatu yang dpaat diubah.
Unsur bawaan akan memberikan ciri khas pada tiap diri seseorang. Dalam
hal ini kepribadian merupakan identitas diri seseorang yang merupakan ciri-ciri
yang membedakannya dengan orang lain. Normalnya, tiap individu memiliki
perbedaan dalam hal kepribadian dan hal ini akan berdampak pada perkembangan
jiwa keagamaannya.4

3
Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku Keagamaan dengan
Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), 307–308.
4
Jalaluddin, Psikologi Agama: Memahami Perilaku Keagamaan dengan
Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2009), 308–310.

7
Kepribadian manusia dibedakan menjadi dua, ekstrovert dan introvert.
Kepribadian ekstrovert adalah orang dengan kepribadian terbuka dimana ia mudah
mengungkapkan perasaaannya dan terbuka untuk menerima saran dan pendapat
orang lain. Dampaknya adalah berkurangnya perasaan-perasaan yang menganggu
jalan pikirannya baik dalam masalah kehidupan sosial maupun dalam masalah
kehidupan keagamaan. Menururt Zakiah Darajadjat, orang-orang dengan tipe
kepribadian semacam ini akan menunjukkan aktivitas agamanya ke luar yang
biasanya berhubungan dengan aktivitas sosial, menginginkan perbaikan-perbaikan
sosial, serta bermacam kegiatan pengabdian keagamaan lainnya. kepribadian
introvert atau disebut juga dengan kepribadian tertutup merupakan orang yang
memiliki kepribadian menyukai sendiri dan menyimpan peraaaanya. Mereka
tertutup terhadap perubahan. Mereka tertarik lebih tertarik tentang bagaimana
membina hubungan cintanya dengan Tuhan.5

4. Kondisi Kejiwaan
Kondisi kejiwaan dalam hal ini terkait dengan kepribadian. Sigmund Freudd
di dalam model psikodinamiknya mengemukakan gangguan kejiwaan ditimbukan
oleh adanya konflik yang tertekan di dalam alam ketidaksadaran manusia. Konflik
akan menjadi sumber dari kejiwaan yang abnormal. Selain itu, fungsi tubuh,
faktor genetik, penyakit, sistem syaraf juga mempengaruhi terhadap
perkembangan kejiwaan manusia. Melalui pendkeatan eksistensial juga
menambahkan bhawa dominasi pengalaman kekinian manusia turut
mempengaruhinya. Dapat disimpulkan bahwa sikap manusia ditentukan oleh
rangsangan lingkungan yang dihadapinya.
Terdapat suatu kondisi dimana terdapat suatu kondisi kejiwaan yang
permanen ada pada diri seseorang yang bersifat menyimpang. Tiap kondisi
kejiwaan yang dialami seseorang akan berdampak pada kondisi kjiwa
keagamaannya. Contohnya saja pada penderita schizoprenia dimana pandangan
terhadap agama dipengaruhi oleh halusinasi.

5
Syaiful Hamali, “Anomali Sikap Remaja dalam Beragama,” Jurnal Al-Adyan 9, no. 1
(2014): 10.

8
C. Faktor Eksternal
Manusia merupakan homo relijius yang menggambarkan bahwa manusia
memiliki potensi dasar yang apabila dikembangakan menjadikannya mahluk
beragama. Manusia dielngkapi potensi berupa sikap siap untuk menerima
pengaruh dari luar yang akan membentuknya menjadi manusia yang memiliki rasa
serta sikap keagamaan.
Pontensi yang dimiliki manusia ini disebut dengan fitrah. Fitrah manusia
cenderung untuk bertauhid. Sebagai sebuah potensi maka diperlukannya unsur-
unsur pendorong untuk menghidpukan potensi yang telah ada. Faktor eksternal
dinilai akan berpengaruh dalam pekembnagan jiwa keagamaan seseorang. Berikut
ini faktor eksternal apa saja yang dapat berpengaruh bagi perkembangan jiwa
keagamaan seseorang:
1. Lingkungan Keluarga
Keluarga merupakan lingkungan pertama bagi seorang manusia. Keluarga
menjadi tempat pertama bagi individu bersosialisasi. Menurt Sigmund Freud,
perkembangan jiwa keagamaan anak akan dipengaruhi oleh bagaimana ia
mencitrakan sosok ayahnya. Apabila ayah bersikap baik maka anak akan belaku
demikian pula, serta hal ini berlaku sebaliknya.
Peran Keluarga adalah: (1) merupakan lembaga pendidikan pertama dan
utama karena dalam keluargalah manusia dilahirkan, berkembang dan menjadi
dewasa. Pendidikan di dalam keluarga sangat mempengaruhi tumbuh dan
terbentuknya watak, budi pekerti dan kepribadian tiap-tiap manusia, (2) ibarat
sekolah pertama dimasuki anak sebagai pusat untuk menumbuh kembangkan
kebiasaan (tabiat), mencari pengetahuan dan pengalaman, (3) perantara untuk
membangun kesempurnaan akal anak dan kedua orang tuanya yang bertanggung
jawab untuk mengarahkan serta membangun dan mengembangkan kecerdasan
berpikir anak. Semua sikap, perilaku dan perbuatan kedua orang tua selalumenjadi
perhatian anak-anak.6

6
H.Moh.Solikodin Djaelani, “Peran Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga Dan Masyarakat,”
Jurnal Ilmiah WIDYA 1, no. 2 (2013): 103.

9
Islam sudah menyadari mengenai pengaruh kedua orang tua dalam
eprkembangan jiwa keagamaan anak. Orang tua memiliki beban dan tanggung
jawab untuk dapat memberikan hal-hal berbau agama. Misalnya saja, pada awal
kelahirannya sang anak diazankan, memberi nama yang baik, melakukan aqiqah,
dan lain sebagainya. Keluarga dipandang sebagai faktor terbesar yang
mempengaruhi perkembangan jiwa keagamaan seorang anak.
2. Lingkungan Institusional
Lingkungan institusional dapat berupa sekolah maupun organisasi. Sekolah
memberikan pengaruh dalam hal membantu anak mengembangkan kepribadian
yang dimilikinya. Singgih D. Gunarsa mengemukakan bahwa pengaruh dari
sekolah dibagi menjadi tiga kelompok, yaitu “kurikulum dan anak, hubungan
guru-muris, dan hubungan antar anak”. Ketiga kelompok tersebut berpengaruh
terhadap perkembangan jiwa keagamaan anak. Ketiga kelompok tersebut sudah
menyiratkan unsur-unsur yang menopang dalam pembentukakn kepribadian anak,
seperti disiplin, tekun, sabar, simpati, sosiabiliti, toleransi, keadilan, keteladanan,
dan kejujuran. perlakuan dan pembiasaan pembentukan sikap-sikap tersebut
merupakan dalah satu tugas dari didakannya pendidikan sekolah.
Kurikulum memiliki materi yang memuat materi yang dikolaborasikan
dengan pembentukan serta pembiasaan anak untuk bersikap baik, keteladanan
guru sebagai seorang pendidik, serta sikap dalam bergaul antar sesama teman.
Pembiasaan baik yang dilakukan adalah bagian dari uapaya pembentukan moral
yang ebrkaitan erat dengan perkembangan jiwa keagamaan seseorang.

3. Lingkungan Masyarakat
Masyarakat memiliki aturan dan norma sendiri-sendiri yang membentuk
suatu kehidupan beradab. Setiap bagian dalam masyarakat harus menaati dan
ebrusaha menyesuaikan tingkah laku mereka dengan aturan serta norma yang ada.
Apabila hal ini dilakukan oleh semua warganya maka diharapkan kehidupan
bermasyarakat tersebut akan damai. Lingkungan masyarakat yang memiliki tradisi
sendiri-sendiri akan memberikan pengaruh kepada jiwa keagamaan individu.
Misalnya saja seorang anak di dalam suatu masyarakat yang memiliki tradisi

10
keagamaan yang kuat akan berpengaruh baik kepada kondisi keagamaan anak
tersebut.

D. Fanatisme dan Ketaatan


Manusia memiliki potensi fitrah yang kemudian membuatnya diakui sebagai
mahluk yang beragama. Atas dasar potensi fitrah yang ada dalam dirinya,
menjadikan manusia terdorong untuk tunduk, mengabdi, kecenderungan lainnya
untuk dekat dengan Tuhannya. Erich Fromm menyatakan asimilasi dan sosialisasi
dapat membina karakter seseorang. Adapun tradisi keagamaan yang ada pada
lingkungannya merupakan salah satu bentuknya. Tradisi keagamaan yang ada
pada lingkungannya baik keluarga, sekolah, organisasi, maupun msayarakat
sekitarnya dapat menimbulkan dua sisi kegamaan pada seseorang, fanatisme dan
ketaatan.
Fanatisme berasal dari bahasa Latin “fanaticus” (ekstasi, antusiasme,
menggebugebu), “fanum” (tempat suci, kuil, tempat pemujaan), dan “fano”
(pengabdian).Berdasarkan terminologi, fanatisme dapatdiartikan sebagai
pengabdian pada tempat suci atau kuil secara antusias dan menggebu-gebu.Para
pakar psikologi kemudian merumuskan kembali definisi fanatisme, yaitu usaha
untuk mengejar atau mempertahankan sesuatu dengan cara-cara yang ekstrem dan
penuh hasrat, melebihi batas kewajaran. Fanatisme biasanya tidak rasional atau
keyakinan seseorang yang terlalu kuat dan kurang menggunakan akal budi
sehingga tidak menerima faham yang lain dan bertujuan untuk mengejar sesuatu.
Adanya fanatisme dapat menimbulkan perilaku agresi dan sekaligus memperkuat
keadaan individu yang mengalami deindividuasi untuk lebih tidak terkontrol
perilakunya.7
Tradisi keagamaan yang ada akan membuka gerbang untuk tiap individu
dengan lainnya bersosialisasi. Benda-benda teretentu kadang memiliki hubungan
dengan tradisi di suatu msayarakat terstentu yang mendukung tradisi
keagmaannya disebut dengan asimilasi. Hubungan-hubungan inilah yang menurut
Erich Fromm dapat mempengaruhi pembentukan karakter seseorang.

7
Muhammad Muslich dan Ni Wayan Sukmawati Puspita Dewi, “Hubungan antara
Fanatisme dengan Perilaku Konsumtif pada Supporter Lazio di Surabaya,” Jurnal Character 08,
no. 2 (2017): 2.

11
Karakter terebentuk oleh adanya pengaruh dari lingkungan yang membentuk
kepribadian, aspek emosional dipandnag sebagai pemegang kunci dan unsur yang
paling dominan. Fanatisme dan ketaatan merupakan produk dari aspek emosional
tersebut.8 Apabila unsur emosional yang tinggi mempengaruhi keyakinan
beragama yang berujung pada pembenaran spesifik yang dianut oleh kaum
fanatis. Sifat fanatisme ini akan merugikan dikarenakan ia akan menutup pintu-
pintu rasional serta emosionalnya dengan keyakinan penuh dan memandang yang
berbeda dengannya adalah orang yang tealah mengambil jalan yang salah. Adapun
ketaatan akan membuat arahan kepada seseorang untuk mengamalkan ajaran
agamanya.

8
Imam Hanafi, “Agama dalam Bayang-Bayang Fanatisme: Sebuah upaya Mengelola Konflik
Agama,” TOLERANSI: Media Komunikasi umat Beragama 10, no. 1 (2018): 56.

12
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari berbagai materi yang sudah kami paparkan, berikut ini kami dapat
menyimpulkan beberapa hal terkait materi ini:
1. Manusia memiliki faktor internal yang dapat mempengaruhi perkembangan
jiwa kegamaan mereka. berikut ini beberapa faktor internal yang
dimaksudkan: hereditas, tingkat usia, kepribadian, dan kondisi kejiwaan.
2. Faktor eksternal dinilai akan berpengaruh dalam pekembnagan jiwa
keagamaan seseorang. Berikut ini faktor eksternal apa saja yang dapat
berpengaruh bagi perkembangan jiwa keagamaan seseorang: lingkungan
keluarga, lingkungan institusional, dan lingkungan masyarakat.
3. Karakter terebentuk oleh adanya pengaruh dari lingkungan yang
membentuk kepribadian, aspek emosional dipandnag sebagai pemegang
kunci dan unsur yang paling dominan. Fanatisme dan ketaatan merupakan
produk dari aspek emosional tersebut

13
DAFTAR PUSTAKA

Djaelani, H.Moh.Solikodin. “Peran Pendidikan Agama Islam Dalam Keluarga


Dan Masyarakat.” Jurnal Ilmiah WIDYA 1, no. 2 (2013).

Hamali, Syaiful. “Anomali Sikap Remaja dalam Beragama.” Jurnal Al-Adyan 9,


no. 1 (2014).

Hanafi, Imam. “Agama dalam Bayang-Bayang Fanatisme: Sebuah upaya


Mengelola Konflik Agama.” TOLERANSI: Media Komunikasi umat
Beragama 10, no. 1 (2018).

Jalaluddin. Psikologi Agama: Memahami Perilaku Keagamaan dengan


Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi. Jakarta: PT Raja Grafindo
Persada, 2009.

Muhammad Muslich, dan Ni Wayan Sukmawati Puspita Dewi. “Hubungan antara


Fanatisme dengan Perilaku Konsumtif pada Supporter Lazio di Surabaya.”
Jurnal Character 08, no. 2 (2017).

Syaiful Hamali. “Dampak Konversi Agamaterhadap Sikap Dan Tingkah


Lakukeagamaan Individu.” Jurnal Al-Adyan 7, no. 2 (2012).

14

Anda mungkin juga menyukai