Anda di halaman 1dari 5

Selaksa Asa Dua Dermaga

Novita Kurniasih

“sipp...semua sudah siap” batinku sembari meletakkan satu lembar baju


terakhir yang aku masukkan ke dalam koper.

Aku merebahkan tubuhku di atas kasur. Mataku nanar memandang langit-


langit kamar. Sejurus kemudian mataku tertuju pada tumpukkan barang-barang di
pojok kamarku. Tas, koper serta lainnya teronggok disana, baju untuk kupakai esok
pun sudah rapi tergantung. “Ya... semua sudah siap” pikirku.

Dalam hati aku membayangkan perjalanan melelahkan apa yang akan aku
lalui esok. Sudah lama perjalanan ini direncanakan. Sudah berkali-kali kami
mengahadiri acara pembekalan untuk perjalanan ini. Aku memeluk erat bantalku.
Sebagai anak rumahan yang hobi rebahan maka perjalananku terbayang selama
beberapa saat aku tidak menemui kasur ataupun bantal hanya duduk di dalam bus.
“sampai jumpa seminggu lagi” kataku kepada entah siapa yang mendengarkan
suaraku.

Mentari masih mengintip di ujung langit timur. Aku terbangun saat


mendengar alarm di handponeku berbunyi. “Masih pagi” pikirku yang sembari
kutarik selimut kembali. Sedetik kemudian aku teringat bahwa hari ini aku
memiliki agenda untuk pergi jauh. Mataku terbelalak saat kuingat rentetan ritual
pagi sebelum dengan resmi menarik koper ke kampus. Segera aku memaksakan
tubuhku untuk bergerak sebelum waktu menderu menghabiskan pagiku.

Beberapa menit berlalu. Disela-sela kegiatanku pagi ini, mataku mencuri


pandang pada jam dinding hijau yang terpaku di atas dapur. Aku terus berusaha
untuk secepat mungkin menyelesaikan rentetan ritual pagi ini.

Aku kini telah siap mengenakan bajuku dan semua perlengkapannya.


Perjalanan ini akan membuatku bersua dengan pulau seberang setelah ebrtahun-
tahun aku tidak menyapanya. Perasaan senang sekaligus rindu mengetukku saat itu.
Diantara rasa senangku terbersit pilu. Aku akan berada di pulau kelahiranku dengan
ibu bapak yang tinggal di dalamnya. Beberapa hari aku akan berada seolah
menggunting jarak kami, tapi nyatanya di antara agendaku, tidak tertulis untuk
menemui sosok mereka. “Maafkan anakmu“ kata itu senantiasa terbersit saat
beberapa kali mereka menanyakan kesiapanku pada perjalanan ini.

Pukul delapan pagi rombongan bus merah melaju memulai perjalanannya.


Kupikir berangkat sepagi ini sesuai tajuk rencana yang dibuat adalah sebuah
ekspektasi luar biasa mengingat kami adalah bagian dari negara +62. Awalnya
akupun ingin untuk melambatkan diri agar tak menunggu terlalu lama diantara jeda
yang tak berkepastian. Akan tetapi bayangan reiko keterlambatan mengusikku
sehngga akupun berusaha tepat waktu.

Aku sedikit terhuyung saat angin laut yang berpadu dengan buaian ombak
menerpa kapal kami. Bukan pertama kali aku menyapa laut dan berdiri atas
tempaan besi ini. Aroma laut yang kurindukan. Bagiku apabila aku sudah di atas
kapal untuk ke Pulau seberang, separuh rinduku sudah hampir tercicil.

Dingin menusuk kulitku saat kakiku mulai menginjak tanah ini. Rupanya
sudah sampai di tanah Jawa. “tidak.. Jawa itu panas” batinku. Ya, ini memang
Jawa, tapi tempat yang kuinjak saat ini adalah salah satu daratan tinggi di pulau ini,
wajar bila dingin.

Dingin yang menggit kulitku ini diikuti oleh sakit di bagian perutku.
Dengan sakit ini sayang sekali aku tidak bisa menikmati sauasana di tempat
persinggahan ini. Perayaan bulanan yang senantiasa menyapaku kenapa hadir di
antara perjalanan panjangku. “Aku harus kuat” tekadku.

Bus kami berhenti pada sebuah kampung. Kubaca tulisan yang tertera di
tembok rumah salah satu wargannya, “Kampung Marketer”. Begitulah deretan
huruf yang tertata apik di atas tembok rumah warga. Sejak awal kami memang
sudah ketahui kalau salah satu tujuan kami adalah Kampung Marketer yang ada di
Purbalingga ini. Aku memang belum sempat untuk menggali informasi mengenai
tujuan-tujuan perjalananku. Aku tidak ada pandangan kalau kampung marketer
merupakan kampung biasa.

Acara pembuakan diisi dnegan ramah tamah dari tuan rumah serta beberapa
kata sambutan. Kemudian kami praktik langsung mengenai pembuatan iklan
menggunakan facebook add. Sayang sekali signal yang aku gunakan sebagai
jaringan selulerku tidak dapat berjalan maksimal, padahal sudah aku persiapkan.

Selama kunjungan kami ke kampung ini menururtku cukup berkesan, tak


sekedar “spesial” dengan soto yang kami makan. Salah satu pemuda desa ini telah
membuaktikan pengabdiannya kepada Ibu Pertiwi dengan cara mendedikasikasikan
dirinya untuk turut memberdayakan pemuda di desa tersebut. Rasa nyaman dengan
gaji besar tak lantas membuatnya nyaman tinggal di titik aman tersebut,
pengangguran dan sekian masalah mengenai desanya membuatnya bangkit dan
bertekad memajukan desanya.

Aku membayangkan apabila desaku juga diberdayakan seperti kampung ini


maka berapa banyak pemuda yang akan melek teknologi meniggalkan
pekerjaannya sebagai “kuli genteng” di desa atau perantau. Aku melihat langsung
bagaimana mereka bekerja sebagai profesional. “kampung yang dikelola dengan
baik yang melek teknologi” begitulah kesanku saat meninggalkan kampung itu.

Perjalanan kami lanjutkan. Namun perjalan kami kali ini sedikit menantang
karena diharuskan melewati jalanan meliuk menyintasi pegunungan. Aku sempat
mendengar dulu kata orang orang tuaku bahwa jalan tercepat untuk sampai dari
daerah Purbalingga menuju kotaku adalah dengan melewati hutan dan pegunungan.
Bus berjalan mengikuti jalanan yang meliuk dan naik turun. Perjalanan melewati
hutan dan pegunungan ini membuat beberapa kawanku tumbang.

Hari di luar sana sudah gelap. Senja telah berlalu lama meninggalkan kami
yang masih berada di atas roda empat ini. Beberapa waktu kemudian aku sudah
meluruskan punggungku di atas kasur empuk. Kami menginap di hotel untuk satu
malam ini. Ada sebuah acara mengenai pembekalan judul skripsi yang masih harus
kami ikuti di tengah kenyamanan dan kelelahan kami di hotel ini.

Dengan mata yang mungkin nyalanya tinggal beberapa watt saja


kupaksakan mendengar segala yang Pak Ali sampaikan. Ketua jurusan memang
hebat. Kulihat raut mukanya segar tanpa terlihat kelelahan padahal kutahu pasti
beliau sama lelahnya dengan kami. Beberapa suara menguap sudah terdengar,
beberapa lagi sudah memejamkan matanya sembari mempertahankan posisinya
untuk tetap duduk berkhidmat. Beliau mengetahui kondisi kami yang kelelahan
segera menyelesaikan materi kemudian mempersilakan kami untuk beristirahat.

“selamat pagi Jogja!” pekikku saat melihat semburat jingga di pojokan


langit timur melalui jendela kamarku. Seakan tidak percaya bahwa aku kini telah
ada di kota ini kembali. Kota impian yang kini hanya persinggahan.

“Kami sudah mencetak sederet prestasi...” kata kepala madrasah MTs N 6


Sleman saat menjelsakan mengenai sekolah tempatku kini duduk bersila. Sekolah
dengan nuansa hijau yang asri. Suasana yang nyaman untuk belajar serta didorong
oleh guru-guru yang berkualitas mendedikasikan diri membuat sekolah ini
mencetka beragam prestasi tak kalah dengan sekolah umum. Aku mendapatkan
beberapa ilmu mengenai pendidikan dan sekolah sembari duduk bersila.

Keraton Jogja dengan unsur Jawa yang kental serta ukiran yang sebagian
besar berwarna hijau dan emas masih sama seperti sepuluh tahun lalu saat terakhir
kali aku mengunjunginya. Tak banyak yang kulakukan disini, hanya melihat-lihat
kemegahan keraton sembariberswafoto. Pikirku inilah tempat tinggal raja yang
diseganioleh seluruh masyarakat Jojgja.

“Wisata belanja tidak akan membuatmu lelah” begitulah kata sebuah


pepatah kuno atau omongan zaman sekarang. Jika k e Jogja tak lengkap rasanya
tanpa ke Malioboro. Ikon wisata Jogja yang kondang hingga mancanegara. Kulihat
beberapa kwan hilir mudik membawa tentengan plastik berisi oleh-oleh dengan
wajah senyumnya. Aku? Aku cukup menikmati senyuman dan cerita mereka saja.
Sudah beberapa kali aku kemari, maka aku memutuskan untuk tidak terlena dalam
kegiranganku berbelaja.

Kampung Santan, itulah nama yang menggelitik menurutku. Kami


disambut dengan segelas cendol dawet yang membuat dahagaku lepas setelah
berjalan jauh membawa koper dan alat lainnya. rencanya kami akan menginap di
desa ini untuk semalam sebelum kami pulang sembari mempelajari bagaimana
kehidupan masyarakatnya yang maju akibat memanfaatkan tempurung kelapa.

Aku tinggal di rumah kepala dusun bersama dnegan sembilan orang


temanku. Pemilik rumah begitu ramah dan perhatian pada kami. Rasanya aku
seperti menginap di tempat saudara karena begitu baiknya mereka memperlakukan
kami.

Saat malam senja mulai berjalan menjauh dan gelap mulai meyergap, saat
itulah pesta kami mulai. Tarian adat, nyanyian daerah, bahkan pertunjukkan silat
kami bawakan sebagai tamu yang membawa budaya. Tak ketinggalan dari tuan
rumah pun menghadirkan keroncong, pertunjukkan ibu-ibu yang memainkan alat
penumbuk beras, serta berbagai pertunjukkan lainnya. Malam mulai merangkak
pekat, hampir separonya sudah kami habiskan untuk menonton panggung budaya.

Aku menghirup dalam-dalam udara pagi yang dinginnya merasuk ke


dalam pori terkecil seklaipun. Musim kemarau membuat hawa di kampung ini
begitu dingin. Raanya kami berada di kampung sendiri. Setelah kami berjibaku
dengan dinginnya udara, kami melanjutkan agenda. Beberapa orang mengajari
kami membuat cangkir dari bathok kelapa. Aku sering melihatnya berada di etalase
sebuah toko kerajinan ataupun digunakan di tempat makan, akan tetapi kini aku
melihatnya bahkan mesakan bagaimana membuatnya.

Saat matahari meninggi tak terlalu jauh melewati titik tengah bayangannya,
kami melanjutkan perjalanan pulang. Pulau Sumatera telah menunggu
kepulanganku. Oleh-oleh pengalaman dan ilmu yang kudapat merupakan salah
satu modal untuk melanjutkan perjalanan mimpi kehidupanku. Pada dua dermaga
aku mengokohkan diriku untuk membuat sejarah menggapai impianku melalui
jalan ilmu. Bahwa dua dermaga menjadi saksi selaksa asaku yang membumbung
tinggi berarak bersama awan dan meliuk bersama deburan Selat Sumatera.
Biodata Penulis

Novita Kurniasih, gadis yang lahir pada 30 November di Kota Kebumen,


Jawa Tengah. Sedari ia lahir sampai dengan SMA ia tinggal di kota tersebut. Ia
adalah putri bungsu dari Bapak Surman dan Ibu Hesti Margiana. Saat ini ia tinggal
di Desa Karang Rejo 23, Metro Selatan, Kota Metro. Novita, begitulah nama
panggilannya, ia merupakan mahasiswi di salah satu PTKIN di Pulau Sumatera,
IAIN Metro Lampung. Saat ini ia sedang menempuh semester V di Jurusan
Pendidikan Agama Islam. Menggambar, membaca, dan menulis merupakan
kegiatan yang ia sukai. Bersepeda adalah olahraga favoritnya. Selain itu, ia juga
suka menulis puisi serta membaca puisi. Beberapa tulisannya termuat dalam blog
pribadinya, selaksaasa.blogspot.com. adapun tulisan ilmiahnya berupa jurnal dapat
dilihat di website garuda.ristekdikti maupun moreref.kemenag.go.id. salah satu
impiannya adalah dapat mengenyam pendidikan di negeri empat musim.selain
menjadi anak yang berbakti dan membahagiakan orang tua, serta taat pada suami
dan menjadi ibu yang baik, menjadi seorang guru besar merupakan salah satu cita-
cita terbesarnya.

Anda mungkin juga menyukai