menambahi, “tidak, tidak. Pagi. Aku suka sunrise. Matari bundar sempurna dan kuning kemerahan. Seperti pisang, ah, seperti apel, semangka.” Jadi kita ke gunung sore ini juga, mampir di rumah nenek, nenekku sendiri. Kita nonton wayang, wayang orang. “Kapan nikah?” tanya kakek. Kau cuma tersipu. Kakek tahu aku selalu mangkir buat ia pinta menggantikannya kelak. “Aku mau ke selatan, ke Jogja,” kataku waktu itu. Itu sepuluh Suro, empat tahun lalu. Kakek cuma sinis tersenyum atau diam merenung? Bapak pun dulu memilih minggat ke kota Magelang, mengawini gadis keturunan Cina pedagang, dan dari merekalah aku lahir. Aku besar di antara kakek dan bapak. Aku tahu antara keduanya masih timbul saling keseganan. “Jam sembilan lebih sekarang. Kita jadi naik?” kau menyentakku. “Ayoh.” Kulihat kakek tengah memberi instruksi pada beberapa anak wayang. Ia melirikku. Aku menyingkir pelan, menyandang ransel. Pendakian ini seperti masa remaja dulu, cuma bedanya kini ada kau. Terasa semua kawan pendakian masa remaja itu tak ada apa-apanya, meski kali ini banyak abu sepanjang jalan setapak, dan gerimis kecil-mengecil. Merapi batuk beberapa bulan lalu. “Terus menanjak, terus menanjak. Mau balapan?” kau berlari, berlari. “Curang,” sahutku mengejarmu. Kau di depan, aku di belakang. Tak banyak orang mendaki. Cuma lampu-lampu jauh di sebawah sana dan bintang gemintang jauh di atas sana. “Itu Magelang, Tidar tak kelihatan malam begini. Besok kalau terang, mau kuajak kau ke sana? Ketemu bapak ibuku?” Aku ngos-ngosan. Kau mengatur nafas. Jariku masih menunjuk kota itu. “Kota sejuk yang melenakan,” kataku. “Mengapa kau pilih Jogja tinimbang Salatiga atau Semarang, atau tidak lebih ke barat sana, Jakarta misalnya?“ tanyamu. “Barangkali karena Realino atau Malioboro. Mengapa kau tanyakan itu? Kalau saja aku tak ke Jogja, aku tak kan ketemu kau.” Aku cium kau sekelebat dan berlari mendaki. “Kau curang!” katamu menyusulku. Kita berkejaran. Aku di depan, kau di belakang. Atau aku di atas, kau di bawah? Kita tak jadi ke puncak, terjebak badai di Pasar Bubrah yang ditinggalkan para penjual. “Mungkin setelah Merapi tak lagi sering batuk-batuk, mereka baru akan kembali,” kau mereka-reka. Cepat-cepat kita dirikan tenda, kita susun api unggun, mengusir dingin, menghalau badai. Dan kita minum, dan kita makan. “Mengapa kau menatapiku begitu?” Aku cium kau lama kali ini. Bibirku dan bibirmu yang dingin beku serasa membikin kita jauh. Dan tenda kecil yang kita dirikan bergoyangan ditiup badai. “Peluk, peluk aku,” katamu. Kita bertukar capai dan dingin, sebelum terbit kehangatan, sampai seterusnya kita tertidur. Sunrise telah berlalu, kita dibangunkan suara-suara orang yang memantul-mantul yang baru turun dari puncak. Dan di Pasar Bubrah memang tak ada sunrise yang indah. Harusnya kita naik ke puncak. “Tak apa, lain kali kita pasti sampai puncak,” katamu, lebih seperti menghibur diri. Aku tak enak sama kau, sedang puncak berabu begitu teramat rentan, dan badai tadi malam sungguh menggigil tulang. “Lihat!” Dua orang, lelaki dan perempuan muda -yang naik gunung jarang terdapat orang tua- berlari, seperti menggelinding dari puncak menerabas tumpukan abu tebal di punggung puncak itu, dan teriak tawa mereka berderai, terdengar sampai sini. “Gila!” seruku. Dan kau ketawa-tawa, berseru-seru menyemangati. Juga orang-orang yang telah sampai bawah sini. Aku pandangi debu yang mengepul yang ditinggal pijakan-pijakan cepat dan terlalu berani itu. Lama sekali debu itu pudar. Juga tawamu terus berderai, berderai, dan masih berderai sepanjang jalan menurun. Kali ini aku berkeras di depan. “Supaya kau tak bablas ke jurang,” kataku. Dan tak seperti biasanya, kau menurut. “Ke mana lagi?” tanyaku ketika sampai rumah nenek. “Ke selatan,” katamu. “Kembali?” tanyaku lagi. “Mungkin,” jawabmu. Sebentar saja kita istirahat. Kita lalu berkemas. “Buru-buru amat, emang nggak mau nginap?” tanya nenek. Di tangannya ada setumpuk buah-buahan dan kembang dan dupa. Kau menghampiri nenek, dan tersipu-sipu, beramah tamah mencari-cari alasan. Kau dan nenek nampak akrab begitu. Aku ingat ibu. Berapa lama tak ketemu? “Jangan lupa sering- sering ke sini, gus.” Nenek telah hafal padaku. Ia berlalu menuju kamar dalam. Aku lihat kau mengambil sesuatu dari yang ditenteng nenek ketika nenek menatap ke arahku tadi. Kau menahan bau keringat orang-orang yang berdesakan di angkudes sepanjang perjalanan nuju jalan besar. Aku menahan tawa. Waktu kecil dulu, kami, anak-anak kampung, mesti sampai bergelantungan di pintu dan atap jika berangkat dan pulang sekolah. “Anak muda sekarang, sukanya ugal-ugalan,” keluh seorang tua ketika seorang pelajar ngebut dengan motornya menyalip mobil kecil yang kami tumpangi. Kau melepas napas waktu kita turun di tepi jalan besar. Juga aku, kali ini sambil ketawa lepas. Kita lanjut naik bus. Ke Jogja, ya, ke selatan lagi. Dalam bus, kulihat kau ketiduran nyaman sekali. Dan bibirmu menyungging senyum, senyum kepuasan. Bukankah aku telah lunasi janjiku membawamu ke gunung? Meski tanpa sunrise yang kau ingini, setidaknya kau telah ketemu kakek nenekku. Ah, kau, mudah akrab dengan siapa saja, itu yang aku suka. Bersandar pada bangku begini -aku berdiri-, aku keluarkan sebuah buku, membaca, sambil sesekali menengok pada kaca jendela. Gedung-gedung dan sawah-sawah dan pepohon yang pada kenyataannya diam di tempatnya serasa ikutan bergerak, mundur. Dan bus ini, dengan aku berdiri di dalamnya, terus melaju. Manusia-manusia itu berjalan maju seperti bus ini, atau kelihatan mundur seperti gedung-gedung atau sawah-sawah atau pepohon yang pada diam ditinggalkan itu. Aku ingin sekali salah satu manusia itu melambai padaku. Cuma patung-patung andesit saja yang melambai kaku sepanjang jalan sebelum berakhir di sebuah jembatan dan tugu selamat jalan itu. Kulihat wajahku sendiri, tak begitu kentara, di kaca jendela. Lalu kutengok kau dalam tidurmu. “Teruslah begitu, sampai kita tiba nanti,” gumamku. Apakah kau sempat bermimpi? Dan aku teruskan membaca. “Ayoh kita photo-photo,” ajakmu sambil menyeret tanganku nuju patung manusia tak berwajah, kepalanya tertekuk. Kita dekatkan wajah ke kepala patung itu. “Keren, kan?” kau merajuk. Aku tak jawab. Dari stasiun Tugu di belakang, lewat pengeras suara, terdengar suara perempuan mengabarkan keberangkatan kereta. Dan jauh di belakang sana, Merapi, apakah sudah mulai kau lupakan? Kau mulai mengutak-atik smartphonemu. Dan kau, selalu tak mau dicampuri bila sudah berurusan dengan itu. Lalu sering dengan tiba-tiba aku akan dapati photo-photo dengan pose beragam lewat pesan bergambar, email, atau di fb. Biarlah, yang penting tak ada gambar tak senonoh yang pernah kau kirim. Aku teguk habis air mineral dan kubuang botolnya ke tong sampah. Dan Malioboro, kita menyisirnya. “Tak bosan-bosan, ya?” katamu sambil mengulum lollipop. Berapa lama kita di Jogja? Berapa kali kita menyambanginya? Melewatinya sebelum ke alun-alun? Dan alun-alun dan beringin kembar dan segala mitosnya, dan Keraton, Taman Sari, dan Kaliurang, dan kali Code, dan Galeria, Gramedia, dan kafe- kafe, TBY, dan Gembira Loka? Ah, ini klasik, klasik, pikirku sendiri. Tapi ini kita masih di tepian Malioboro, meninggalkan kilometer nol. “Apa kita akan bablas ke alun- alun?” tanyaku padamu. Kau henti dan membuang lollipop. Ingin kujilati bibirmu rasanya. Tapi ini siang hari dan banyak orang. Aku menanti jawabmu. “Sebentar, kita duduk-duduk sebentar,” katamu akhirnya. Kita duduk-duduk di bangku beton membelakangi benteng Vredeburg. Kantor Pos Besar di sana seperti menunggu sesiapa. Perempatan itu masih tertib mengatur pengendara. Dan agak jauh di sana, alun-alun tak nampak selapang yang sebenarnya. Kau mengeluarkan sesuatu dari ranselmu. “Surprise!!!” kau berseru, “Pisang!! Kucuri dari nenekmu. Aku mau mengambil kembang, tapi mawar dan melati terlalu klasik, dan dupa itu, aku tak suka baunya. Apelnya hijau, aku mau apel merah.” Kau mengupasnya, dan, “Mengapa pisang berbentuk pisang?” iseng kau berteka-teki. Aku tak jawab. Kau menyuapkannya padaku semuanya waktu kau dapati aroma dupa padanya. Aku harap kau tak menolak keris kecil yang diam-diam kutaruh di ranselmu. Itu pemberian kakek. Kau teguk air mineral. Aku turut minum, segar sekali. Kau teguk lebih banyak. “Kita ke pantai,” katamu yakin sekali. Aku pikir sebentar. “Baik, kita ke pantai.” Dan kita ke pantai. Dan kita snorkeling di laguna yang kudapat tahu dari seorang kawan. Pantai selatan ternyata tak melulu tentang gemuruh ombak besar atau semrawut sampah atau jejalan orang-orang –pendatang-. Di Gunung Kidul ada pantai dengan laguna, mungkin satu-satunya. “Apa di sana bermukim Nyi Roro Kidul seperti kata nenekmu yang pernah kau ceritakan padaku?” tanyamu menunjuk tengah laut. “Sekarang, kupikir, kau sendirilah dia itu,” Dan kuguyur kau dengan air laut. Kita terus menyelam mencumbu air garam dan ikan dan udang dan kerang, berenangan, berkejaran sampai lelah, sampai matari langsir ke barat, sampai senja tiba. Atau datang? Aku tak tahu pasti, apakah ini romantika atau apa. Apa melankolia? Dari gunung, terasa cepat sekali kita ke laut, ke tepinya saja sebenarnya. Apa kau tak benar merasai capai? Dan kita rebahan di pasir beralaskan kain yang kita beli di Malioboro. Sepi pantai ini ditinggal pengunjungnya. Kurasa hanya kita berdua saja sedari tadi di sini. Pantai di sebalik bukit situ lebih ramai dikunjungi, kata orang. Kita merenungi senja. “Sunset,” gumammu, lalu diam, menyerahkan semuanya pada sekeliling. Berapa lama? Tak ada yang bisa menghitung. Hanya gemuruh ombak yang tertahan karang, dan deru angin yang makin kencang sampai segalanya meremang. Meremang, ya, meremang. Matari benam sudah seluruhnya, ganti bulan yang muncul dari sebelah timur, yang kucari-cari ketika tahu tak banyak lampu dekat-dekat sini tapi masih ada cahaya yang membikin remang sekeliling beranjak lebih terang. “Purnama, bulan purnama,” gumamku. “Mana?” tanyamu. Dan kau beranjak berdiri menatap bulan itu, lalu pejam beberapa waktu seperti hendak menelan dan menyimpannya buatmu saja. “Perfect,” katamu jelas sekali. Pelan mulai kau tanggalkan pakaian yang tersisa, semuanya, dan berbalik, beranjak ke laguna menatap lurus ke tengah laut, ke selatan sana. Aku pandangi kau. Kau terus menembus laguna sampai tungkaimu terendam separuh. Kau umpama patung tembaga yang mencair hendak menyatu dengan air laut. Aku diserang haru, lalu berlari padamu. Kuhentikan kau. Kupeluk kau seutuh-utuhnya sampai kurasa kau dan aku sendiri tak ada, tapi pun bukan jadi merasai yang lain juga. Aku? Kau? Kita? Siapa? “Jadi besok kau tetap akan berangkat?” sambil masih kuatur napas. “Begitulah.” Jadi, kau memang tetap akan pergi ke lebih ke selatan sana. “Kenapa tak pulang ke barat, atau menetap di sini saja?” “Negeriku tengah bangkrut, kau tahu. Di sini? Bagaimanapun aku masih belum siap nikah dan apalagi punya anak.” Purnama meninggi. Angin terus kencang. Laut terus pasang.