Anda di halaman 1dari 2

Kejadian Tahun Baru

XIC – 14 – Fadhil Daffa


Pada suatu hari di tahun 2016 saya dan kakak saya diajak ibu saya untuk
menghabiskan libur akhir tahun di Lombok lebih spesifiknya lagi yaitu di Pulau Gili
Trawangan. Saya pun menghabiskan beberapa jam berpikir apakah saya ikut pergi
ke Lombok dengan kakak saya atau tidak, Kakak saya merasa sangat senang
karena bisa keluar kota sedangkan saya merasa malas untuk berpergian keluar kota
di akhir tahun, namun akhirnya saya mengalah karena saya ingin mengganti
suasana yang terasa suntuk di Jakarta.
Saya dan kakak saya pun mulai mempersiapkan pakaian dan barang – barang yang
akan kita bawa dan ternyata Paman dan Bibi kita pun ingin ikut juga pergi ke
Lombok jadi kita persiapkan barang – barangnya bersama. Tibalah hari kita pergi ke
Lombok, kita pergi kesana menggunakan pesawat dan saat tiba disana saya dan
kakak saya pun akhirnya bertemu dengan orang tua kami.
Setelah kita sampai dan bertemu orang tua kita, kita pun pergi menginap di rumah
orang tua kami untuk beberapa hari. Akhirnya kita pun pergi ke Gili Trawangan untuk
menginap selama 3 hari. Disana tempatnya tidak sesuai ekspetasi karena menurut
saya Gili Trawangan sudah seperti peradaban zaman dahulu kala. Hal ini
dikarenakan sedikitnya penggunaan teknologi seperti transportasi, dan bahkan yang
paling sederhana seperti lampu jalanan pun tidak ada. Akhirnya kita pun sampai di
hotel dan saya merasa senang karena kamarnya nyaman dan saya bisa bersantai –
santai.
Tanpa disadari hari pertama saya di Gili Trawangan pun sudah lewat dan sekarang
sudah tanggal 31 Desember. Saya sedang berada di pantai bersama ibu saya dan
kita sedang menikmati dorongan dari ombak Nusa Tenggara Timur. Malam ini saya
sudah mempunyai rencana untuk merayakan tahun bersama keluarga seperti
makan – makan. “Tidak ada hal buruk yang akan terjadi hari ini” itulah hal yang saya
pikirkan disaat itu. Tiga jam pun telah lewat dan tidak ada hal buruk yang terjadi
sampai suatu pesan pun dikirimkan ke ponsel ibu saya. “Nyet, Sasya hilang nyet”
itulah pesan yang dikirimkan paman saya ke ibu saya. Hawa pun berubah 180
derajat bagaikan siang dan malam, ibu saya pun mulai tak bisa mengontrol nafasnya
namun itu adalah hal yang wajar karena siapa yang tidak akan panik jika mendengar
pesan bahwa anakmu menghilang di kerumunan?
Lalu saya pun bertanya tentang apa yang terjadi dan ibu saya pun tiba memarahi
saya karena ia sedang panik. Setelah itu terjadi ibu saya menyuruh bapak saya naik
sepeda dan mencari kakak saya yang hilang di kerumunan, saya juga ingin mencari
kakak saya sendiri namun, saya tidak memiliki ponsel sehingga akan memperburuk
situasi jika saya hilang di kerumunan juga. Pada akhirnya saya pun pergi dengan ibu
saya untuk mencari kakak saya menggunakan sepeda.
Saya dan ibu saya pun mengintari seluruh pulau Gili Trawangan berkali – kali demi
mencari kakak saya, dan pada akhirnya kita pun tidak menemui satu molekul pun
jejak kakak saya. Saya merasa lapar dan meminta ibu saya untuk istirahat sejenak
karena kita telah mengintari seluruh pulau Gili Trawangan berkali – kali. Ibu saya
pun setuju dan kita pun pergi ke restoran terdekat, selama makan saya menyadari
bahwa ibu saya sama sekali tidak menikmati makanan yang ia beli dan dia terlihat
akan marah jika saya mengucakap satu kata pun, bagaikan singa yang sedang
memainkan makanannya.
Akhirnya setelah makan saya dan ibu saya pun mengintari Gili Trawangan lagi dan
lagi, hingga matahari pun akhirnya terbenam. Kita pun kembali ke hotel dengan
putus asa, karena sama sekali tidak menemukan jejak kakak saya. Lalu ada
seseorang yang menelpon ibu saya, orang tersebut adalah ayah saya. “Aku dah
nemu sasya nih” itulah yang ayah saya katakan pada ibu saya, ibu saya pun tiba
menjadi senang dan saya pun disuruh ikut pergi menemui kakak saya. Saya dan ibu
saya pun pergi ke lokasi yang ayah saya berikan namun ada sedikit masalah, ini
adalah malam tahun baru dan tidak ada lampu jalanan di Gili Trawangan.
Saya dan ibu saya pun tidak punya pilihan selain bersepada melawan arus
kerumunan di jalanan yang gelap. Untuk mencegah agar kerumunannya tidak
semakin ramai saat kita coba bersepeda kembali ke hotel, saya dan ibu saya
bersepeda secepat mungkin ke lokasi yang ditujukan. Kita menggunakan senter
ponsel kita untuk menerangi jalanan saat kita bersepeda agar tidak menabrak orang.
Saya pun mengayuh sepeda secepat kilat, dan sayangnya saya hampir menabrak
kuda yang sedang berjalan berlawanan arah dengan sepeda saya. Saya pun
terpaksa rem mendadak dan ibu saya pun jatuh dari sepeda, “duh, dek gimana sih?
Yang bener dong kalo naik sepeda,” ibu saya mengatakan itu setelah dia terjatuh
dari sepeda. Ibu saya kakinya pun mulai berdarah namun ia menahan rasa sakitnya
dan menyuruh saya untuk fokus pergi ke lokasi kakak saya.
Kita pun terus mengayuh dan melawan arus kerumunan yang sedang berjalan ke
pantai, dan pada akhirnya pun kita sampai di lokasi kakak saya. Ibu saya pun segera
bergegas memeluk kakak saya dan setelah itu saya dan seluruh keluarga saya pun
kembali ke hotel.
Pada akhirnya di hotel ibu saya pun memarahi kakak saya, dan membanjiri kakak
saya dengan semua teguran yang ia punya. Walaupun saya merasa senang kakak
saya akhirnya dapat ditemukan, saya merasa sangat lelah karena saya telah
mengintari Gili Trawangan puluhan kali demi mencari kakak saya. Mata saya pun
bagaikan sedang mengangkat beban dengan bobot yang sangat berat dan pada
akhirnya saya ketiduran di malam tahun baru karena kelelahan.
Di hari ketiga saya sadar bahwa saya ketiduran di malam tahun baru dan rencana
saya pun gagal, namun saya tetap senang karena berhasil menemukan kakak saya
yang hilang. Saya pun menghabiskan hari terakhir menikmati pulau Gili Trawangan
dan di sore hari akhirnya kita pulang ke rumah orang tua saya. Dan kita pun
menginap di rumah orang tua saya selama seminggu, lalu pada akhirnya kita pun
pulang ke Jakarta dengan berbagai kenangan baru yang kita buat di Pulau Gili
Trawangan.

Anda mungkin juga menyukai