Pada suatu hari di tahun 2016 saya dan kakak saya diajak ibu saya untuk menghabiskan libur akhir tahun di Lombok lebih spesifiknya lagi yaitu di Pulau Gili Trawangan. Saya pun menghabiskan beberapa jam berpikir apakah saya ikut pergi ke Lombok dengan kakak saya atau tidak, Kakak saya merasa sangat senang karena bisa keluar kota sedangkan saya merasa malas untuk berpergian keluar kota di akhir tahun, namun akhirnya saya mengalah karena saya ingin mengganti suasana yang terasa suntuk di Jakarta. Saya dan kakak saya pun mulai mempersiapkan pakaian dan barang – barang yang akan kita bawa dan ternyata Paman dan Bibi kita pun ingin ikut juga pergi ke Lombok jadi kita persiapkan barang – barangnya bersama. Tibalah hari kita pergi ke Lombok, kita pergi kesana menggunakan pesawat dan saat tiba disana saya dan kakak saya pun akhirnya bertemu dengan orang tua kami. Setelah kita sampai dan bertemu orang tua kita, kita pun pergi menginap di rumah orang tua kami untuk beberapa hari. Akhirnya kita pun pergi ke Gili Trawangan untuk menginap selama 3 hari. Disana tempatnya tidak sesuai ekspetasi karena menurut saya Gili Trawangan sudah seperti peradaban zaman dahulu kala. Hal ini dikarenakan sedikitnya penggunaan teknologi seperti transportasi, dan bahkan yang paling sederhana seperti lampu jalanan pun tidak ada. Akhirnya kita pun sampai di hotel dan saya merasa senang karena kamarnya nyaman dan saya bisa bersantai – santai. Tanpa disadari hari pertama saya di Gili Trawangan pun sudah lewat dan sekarang sudah tanggal 31 Desember. Saya sedang berada di pantai bersama ibu saya dan kita sedang menikmati dorongan dari ombak Nusa Tenggara Timur. Malam ini saya sudah mempunyai rencana untuk merayakan tahun bersama keluarga seperti makan – makan. “Tidak ada hal buruk yang akan terjadi hari ini” itulah hal yang saya pikirkan disaat itu. Tiga jam pun telah lewat dan tidak ada hal buruk yang terjadi sampai suatu pesan pun dikirimkan ke ponsel ibu saya. “Nyet, Sasya hilang nyet” itulah pesan yang dikirimkan paman saya ke ibu saya. Hawa pun berubah 180 derajat bagaikan siang dan malam, ibu saya pun mulai tak bisa mengontrol nafasnya namun itu adalah hal yang wajar karena siapa yang tidak akan panik jika mendengar pesan bahwa anakmu menghilang di kerumunan? Lalu saya pun bertanya tentang apa yang terjadi dan ibu saya pun tiba memarahi saya karena ia sedang panik. Setelah itu terjadi ibu saya menyuruh bapak saya naik sepeda dan mencari kakak saya yang hilang di kerumunan, saya juga ingin mencari kakak saya sendiri namun, saya tidak memiliki ponsel sehingga akan memperburuk situasi jika saya hilang di kerumunan juga. Pada akhirnya saya pun pergi dengan ibu saya untuk mencari kakak saya menggunakan sepeda. Saya dan ibu saya pun mengintari seluruh pulau Gili Trawangan berkali – kali demi mencari kakak saya, dan pada akhirnya kita pun tidak menemui satu molekul pun jejak kakak saya. Saya merasa lapar dan meminta ibu saya untuk istirahat sejenak karena kita telah mengintari seluruh pulau Gili Trawangan berkali – kali. Ibu saya pun setuju dan kita pun pergi ke restoran terdekat, selama makan saya menyadari bahwa ibu saya sama sekali tidak menikmati makanan yang ia beli dan dia terlihat akan marah jika saya mengucakap satu kata pun, bagaikan singa yang sedang memainkan makanannya. Akhirnya setelah makan saya dan ibu saya pun mengintari Gili Trawangan lagi dan lagi, hingga matahari pun akhirnya terbenam. Kita pun kembali ke hotel dengan putus asa, karena sama sekali tidak menemukan jejak kakak saya. Lalu ada seseorang yang menelpon ibu saya, orang tersebut adalah ayah saya. “Aku dah nemu sasya nih” itulah yang ayah saya katakan pada ibu saya, ibu saya pun tiba menjadi senang dan saya pun disuruh ikut pergi menemui kakak saya. Saya dan ibu saya pun pergi ke lokasi yang ayah saya berikan namun ada sedikit masalah, ini adalah malam tahun baru dan tidak ada lampu jalanan di Gili Trawangan. Saya dan ibu saya pun tidak punya pilihan selain bersepada melawan arus kerumunan di jalanan yang gelap. Untuk mencegah agar kerumunannya tidak semakin ramai saat kita coba bersepeda kembali ke hotel, saya dan ibu saya bersepeda secepat mungkin ke lokasi yang ditujukan. Kita menggunakan senter ponsel kita untuk menerangi jalanan saat kita bersepeda agar tidak menabrak orang. Saya pun mengayuh sepeda secepat kilat, dan sayangnya saya hampir menabrak kuda yang sedang berjalan berlawanan arah dengan sepeda saya. Saya pun terpaksa rem mendadak dan ibu saya pun jatuh dari sepeda, “duh, dek gimana sih? Yang bener dong kalo naik sepeda,” ibu saya mengatakan itu setelah dia terjatuh dari sepeda. Ibu saya kakinya pun mulai berdarah namun ia menahan rasa sakitnya dan menyuruh saya untuk fokus pergi ke lokasi kakak saya. Kita pun terus mengayuh dan melawan arus kerumunan yang sedang berjalan ke pantai, dan pada akhirnya pun kita sampai di lokasi kakak saya. Ibu saya pun segera bergegas memeluk kakak saya dan setelah itu saya dan seluruh keluarga saya pun kembali ke hotel. Pada akhirnya di hotel ibu saya pun memarahi kakak saya, dan membanjiri kakak saya dengan semua teguran yang ia punya. Walaupun saya merasa senang kakak saya akhirnya dapat ditemukan, saya merasa sangat lelah karena saya telah mengintari Gili Trawangan puluhan kali demi mencari kakak saya. Mata saya pun bagaikan sedang mengangkat beban dengan bobot yang sangat berat dan pada akhirnya saya ketiduran di malam tahun baru karena kelelahan. Di hari ketiga saya sadar bahwa saya ketiduran di malam tahun baru dan rencana saya pun gagal, namun saya tetap senang karena berhasil menemukan kakak saya yang hilang. Saya pun menghabiskan hari terakhir menikmati pulau Gili Trawangan dan di sore hari akhirnya kita pulang ke rumah orang tua saya. Dan kita pun menginap di rumah orang tua saya selama seminggu, lalu pada akhirnya kita pun pulang ke Jakarta dengan berbagai kenangan baru yang kita buat di Pulau Gili Trawangan.