Anda di halaman 1dari 26

Nendra

Karya : Mohamad Nizar Rahmanto

S
eberkas cahaya berpendar terang di langit timur Alengka. Sinar
itu bergerak begitu cepat membelah gelap langit malam ini.
Belum genap rasa takjub ini tiba-tiba dentuman kencang
menggegerkan seisi kota. Di balik bukit Carmani, cahaya menyilaukan
muncul disusul kilatan bertubi-tubi disertai gemuruh kencang. Joglo ini
berderit-derit menahan goncangan. Kami bertiga-Sinta yang sedari tadi
menangis tersedu, Laksmana yang menatap nanar kesegala arah, dan
aku-segera keluar mencari perlindungan. Belum sempat kami melihat
situasi, tanah yang kami pijak seketika retak. Merekah bagai dibelah oleh
tangan-tangan raksasa. Dari dalam retakan itu terlihat nyala merah,
magma perut bumi yang menggeliat seakan mencari mangsa.

"Aksa, bagaimana?" Tanya Sinta sambil menatapku nanar

"Lari, kita harus pergi dari sini!" ucapku seraya menarik Sinta dan
Laksmana pergi

Retakan ini makin menjadi-jadi. Kami harus memutar otak,


memilah tanah mana yang bisa dipijak. Salah langkah, kami akan
berkahir dilumat magma panas di bawah sana. Namun situasi ini benar-
benar rumit. Setengah areal joglo ini telah hilang, jatuh ke dalam tanah.
Saat hendak melanjutkan langkah, tanah yang dipijak Sinta runtuh.

"Sinta! Jangan lepaskan tanganku!"

"Bertahan Sinta, aku dan Aksa akan menarikmu" timpal Laksmana.

"Baiklah, hitungan ketiga kita tarik Sinta. Satu..!! Dua...!! Ti.."

Dentuman keras menggetarkan seluruh daratan ini. Genggaman


Sinta tetiba lepas. Sinta akhirnya terjatuh kedalam tanah.

***
"Sinta....!!!!!!!!"

Mataku terbelalak. Kaus yang kupakai basah oleh keringat.


Kepalaku terasa pening. Perlahan ku amati situasi. Jam dinding berwarna
coklat kayu dengan gambar burung macau merah, sebuah lemari kayu
dua pintu, kasur kapuk, tumpukan novel dan buku di sisi kirinya.

Ada sesuatu yang mengganjal di punggungku. Ternyata ponselku.


Delapan puluh panggilan tidak terjawab dari Naja. Sial! Aku terlambat!
Pekikku dalam hati. Aku langsung meloncat menyambar handuk lalu
menghambur masuk ke kamar mandi.

Lima belas menit kemudian aku sudah melesat menuju Dau, tempat
Naja menungguku. Hari ini jalanan kota Malang begitu padat. Belum lagi
sinar matahari begitu terik. Sialnya aku sudah terlambat hampir satu
setengah Jam. Dan Naja sama sekali tak merespon panggilanku. Hari ini
aku berjanji untuk mengantar Naja menuju gunung Arjuno. Dia hendak
melakukan penelitian ke sana. Untungnya skill mengendaraiku cukup
baik. Jadi aku bisa menyisipkan motorku melewati jalur-jalur sempit agar
lebih cepat sampai.

Sepuluh menit kuhabiskan menembus padatnya jalanan kota


Malang. Dari jauh kulihat Naja duduk diatas motornya. Memasang
hoodie jaketnya sambil memainkan ponsel. Terlihat jelas peluh
membasahi kening Naja. Hal yang wajar untuk seseorang yang duduk
diatas jok motor dibawah terik matahari selama satu setengah jam lebih.
“Sungguh bodoh diriku ini!” pekikku dalam hati.

"Maaf Ja, aku ketiduran" ucapku sambil menepuk pundak Naja

Naja tak menggubris ucapanku. Ia membuka hoodie-nya,


mendongakkan wajah. Matanya tajam menatapku. Tak ada simpul
senyum. Pandangannya sayu namun sangat dalam. Seakan berbagai
kebencian berkumpul di dalam kedua bola matanya. Hanya menunggu
waktu sampai semua kebencian itu mendidih lalu meledak. Lalu ia
melihat jam tangan sport hitam miliknya.
"Kurang lima belas menit, genap dua jam kamu terlambat" ucapnya
sambil memasukkan tangannya ke saku jaket. "Untung aku bisa sabar"
tambahnya sambil memalingkan wajah.

"Maaf Ja. Aku begadang terlalu malam" jawabku rendah

"Yasudah ayo berangkat. Sebagai hukuman kamu yang nyetir"


timpal Naja

"Loh kan kita bawa motor sendiri-sendiri.."

"Pakai punyamu aja. Punyaku tak titipkan dulu. Ayo"

Setelah menitipkan motor Naja, kami berangkat menuju gunung


Arjuno. Sialnya kali ini Naja memilih jalur pendakian via Tambak Watu di
Purwosari. Yang notabene lebih jauh dari jalur pendakian Lawang. Sudah
dua kali aku ketiban sial. Buruknya nasibku hari ini.

"Kenapa nggak lewat jalur Lawang? Atau naik bus lah minimal ke
Purwosari?"

"Hemat duit" potong Naja singkat

***

Perjalanan menuju Purwosari terasa lengang. Kendaraan tak begitu


banyak melintas. Tak ada obrolan sama sekali antara aku dan Naja.
Mungkin ia masih marah dengan keterlambatanku. Beberapa kali kuajak
bicara, Naja hanya menjawab ketus dan pendek. Menunjukan bahwa ia
tak mau diajak bicara. Di sepanjang jalan, ada yang mengganggu
pikiranku. Mimpiku pagi ini, kenapa aku bisa bermimpi hal aneh seperti
itu? Apa sebenarnya maksud mimpi itu? Apa yang terjadi dengan tempat
itu? Dan wanita itu, Sinta. Siapa dia? Kenapa rasanya ada ikatan batin
antaraku dan dirinya?

"Woy Sa! Belok Sa! Kelewatan!" Ucap Naja sambil memukul-mukul


pundak dan kepalaku. Aku baru sadar. Ternyata aku kebablasan.
Harusnya aku berbelok empat gang sebelumnya. "Maaf Ja, gak sadar"
jawabku sambil menghentikan motor untuk putar balik.

"Ngelamun terus. Mikirin apa sih?" Tanya Naja kesal.

"Anu Ja kemaren aku..."

"Ah udah nanti aja. Ayo cepet!" Potong Naja.

Setelah tiga puluh menit, kami berdua tiba di pintu masuk


pendakian gunung Arjuna via Purwosari. Desa Tambak watu. Ini kali
pertamaku datang di sini. Di desa ini jalanan sudah menanjak cukup
terjal namun padat rumah penduduk di sisi kanan dan kiri. Aku bergegas
menyusul Naja yang terlebih dahulu pergi menuju pos perizinan. Naja
ternyata tak main-main. Kali ini ia sungguh ingin meneliti Gunung
Arjuno.

Pukul tiga sore, aku dan Naja memulai perjalanan menyusuri jalur
pendakian gunung Arjuno. Tujuan kami adalah tempat bernama Alas Lali
Jiwo. Kurang lebih besok pagi aku dan Naja baru bisa sampai di sana.
Selepas desa Tambak Watu kami menuju pos pertama yang bernama Goa
Ontobego. Jalan menuju Goa Ontobego masih luas dan cukup landai.
Jalur ini dipagari oleh pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Seakan
menjadi kanopi yang melindungi semua pendaki dari terik matahari.
Masih banyak penduduk lalu lalang di sekitar sini. Ternyata jalur ini tak
seburuk yang kubayangkan.

Tiba-tiba, Di tengah jalan, kepalaku terasa sangat pening, seperti


diikat kuat oleh sebuah kain. Mataku sampai tak bisa kubuka. Kedua
kakiku terasa lemas. Semua tenagaku tiba-tiba hilang. Aku jatuh
terduduk dibelakang Naja. Pening itu semakin terasa. Mencengkeram
erat kepalaku.

Sayup-sayup kudengar suara lirih. "Selamatkan Sinta. Saat adanu


beranjak dari takhtanya, pergi sejauh mungkin dari Alengka" Suara itu
hilang. Pandanganku juga. Semuanya berubah gelap.
***

"Sa! Bangun Sa!"

Di depanku, Naja-dengan wajah cemas, keringat nampak di kening


dan pelipisnya-membangunkanku. "Kenapa Sa? Sakit? Payah! Baru jalan
sedikit udah pingsan!" Ucap Naja sambil mengambilkan air mineral dari
carrier miliknya. "Nih minum dulu" menyodorkan botol air mineral itu
kepadaku. "Kamu kenapa Sa? Kuat nggak naik ke atas?"

"Nggak tau. Tadi kepalaku pusing. Kuat kok Ja. Pusingnya udah
hilang" jawabku sambil membenahi posisi dudukku.

"Beneran nih?"

"Iya. Udah ayo keburu gelap" ucapku meyakinkan Naja.

Kami melanjutkan perjalanan menuju Goa Ontobego. Matahari


mulai condong ke arah barat. Mengisyaratkan ia hedak kembali
bersembunyi. Makin sedikit penduduk yang terlihat lalu-lalang. Setengah
jam kemudian kami sampai di pos pertama Goa Ontobego. Di Benakku,
Goa Ontobogo ini dikelilingi pepohonan besar dengan mulut goa
dirambati lumut-lumut dan tumbuhan paku. Penuh kesan wingit nan
angker. Namun nyatanya Goa Ontobogo berada disebuah celah bebatuan
tak jauh dari pepohonan pinus. Rimbunan pohon pinus ini memberi kesan
dingin nan asri. Terkadang bau dupa semerbak tercium disekitar pos ini.
Karena memang banyak peziarah yang meletakkan dupa sebagai tanda
penghormatan. Di depan Goa Ontobogo terdapat sebuah pondok kayu
untuk persistirahatan peziarah ataupun pendaki. Di dekatnya ada sebuah
cungkup yang dibangun warga sekitar dengan patung Naga sebagai
simbolnya. Cungkup berarsitektur jawa itu berdiri megah dengan altar
berlantai keramik di sisi kirinya berukuran enam setengah meter.

Sebelum meneliti sektiar Goa Ontobogo, Naja menceritakan asal


mula tempat ini. "Jadi Sa, nama goa ini diambil dari salah satu tokoh
pewayangan kuno, Sang Hyang Antaboga alias Sang Nagasesa. Sang
Hyang Antaboga ini berwujud ular naga dan dipercaya sebagai penguasa
dasar bumi. Ia punya kemampuan menghidupkan orang mati yang
kematiannya belum digariskan. Karena ia punya pusaka sakti yakni air
suci Tirta Amerta" tegasnya sembari mengambil buku catatan lusuh
miliknya.

"Nama Antaboga berarti Kelokan Tanpa Batas. Kata An berarti


tidak, Anta berarti batas, dan Boga berarti kelokan. Jika disatukan
menjadi Kelokan Tanpa Batas, atau bisa difahami dengan naga yang
besarnya luar biasa" ucapnya lalu beranjak pergi mendekati Goa
Ontobogo.

Saat Naja meneliti, beberapa kali ku perhatikan patung Naga yang


ada di dalam cungkup. Entah kenapa setiap kali aku menatap patung itu,
seketika pening menyerang kepalaku. Dan setiap kualihkan pandangan,
pening itu hilang. Seperti seolah-olah patung itu menolak untuk kutatap.
Setiap pening itu datang, aku selalu ingat suara yang memberiku bisikan
di tengah jalan tadi. Siapa yang membisikkan hal itu? Apa mungkin Naja?

"Woy Sa! Ngelamun terus! Udah ayo lanjut" ucap Naja yang sudah
muncul di sampingku.

"Udah selesai tugasmu?"

"Udah, ayo cepet keburu gelap" ucapnya sambil berjalan


mendahuluiku.

***

Jalan menuju pos kedua ini cukup menguras tenaga. Walaupun


tanjakan belum terlalu curam, namun jalan yang sedikit basah serta
stabil menanjak naik memperberat langkah kami. Beberapa kali Naja
melihat kearahku-dengan wajahnya yang masam-untuk sekadar
memastikan bahwa aku tak tumbang lagi. Hawa dingin tetiba menusuk
kulit. Perlahan kabut tebal turun menyelimuti hutan ini. Seperti kapas
yang diterpa tiupan angin. Kabut ini berhasil menyempitkan jarak
pandang kami. Dan sukses mendinginkan suasana. Beruntung kemudian
kami tiba di pos kedua. Pos ini bernama Tampuono. Tempat ini lebih
ramai dari pos pertama. Banyak pondok dan warung disini. Kami tiba
disini menjelang petang.

Seorang lelaki bertubuh tegap mendatangi kami. Wajahnya oriental


dengan kulit kuning langsat, matanya bulat lebar, rambut pendek
bertopi. "Salam kenal mas, Surya dari Mojokerto" ujarnya sambil
berjabat tangan denganku dan Naja. "Kalau mau istirahat, gabung di
pondokan kami aja, ayo saya antar" ajaknya sambil menunjukan jalan.
Karena kami hanya berdua, aku putuskan untuk bergabung dengan
rombongan Surya. Lagipula Naja juga tidak keberatan. Surya membawa
kami menuju pondok kayu bercat biru dibagian depannya. Pintu pondok
ini berderit saat dibuka. Di dalam pondok sudah ada tiga teman Surya.
Yoga, Toni, dan Iwan. Mereka berempat adalah teman kuliah yang sudah
sering mendaki puncak Arjuno. Di luar pondok ini ada bekas api unggun
dengan arang yang sedikit menyala, sepertinya belum lama api itu
padam. Pondok ini dikelilingi oleh pohon-pohon kecil berlumut. Dengan
tanah yang cukup luas.

"Sa, kita nginap sini saja. Besok kita lanjut ke Alas Lali Jiwo"

"Oke. Aku lihat-lihat dulu ya. Kamu ikut?

"Nggak, aku mau istirahat" ucap Naja sambil membuka Sleeping


Bag miliknya.

Setelah meletakkan barang-barang, aku keluar pondok untuk


melihat-lihat sekitar pos kedua. "Mas, pertama kali kesini?" Tanya Surya
yang tiba-tiba muncul di depan Pondok. "Iya mas, pertama kali lewat
Tambak Watu. Ini mau lihat-lihat pos dua". "Oh iya, ayo saya temani, biar
tidak tersesat" "Oke mas" aku mengikuti Surya yang berjalan mantap di
depanku. Ia seperti sudah hafal dengan tempat ini. Dengan sigap kedua
kakinya melangkah melewati jalur di pos ini.

Tempat pertama yang ditunjukkan Surya padaku adalah Petilasan


Eyang Abiyasa dengan jalan yang terbuat dari semen. Serta dikiri
kananya dibangun taman-taman yang rapi dan bersih. Surya bilang
bahwa nama Abiyasa diambil dari tokoh pewayangan berwujud begawan
yang sakti mandraguna. Petilasan ini terkesan hening dan tenang "Disini
sering dipakai ziarah dan semadi mas" tutur Surya sambil mengajakku ke
tempat kedua. Tak jauh dari petilasan Eyang Abiyasa, terdapat sebuah
sendang bernama Sendang Dewi Kunthi. "Katanya kalau minum air
sendang ini bisa memberikan keluhuran jiwa dan selalu ingat Hyang
Kuasa loh mas" ucapnya sambil menatap sendang itu. "Tapi saya nggak
pernah coba sih" timpalnya sambil tersenyum ringan. Figur Surya
bagaikan seorang kakak yang pandai mengayomi adik-adiknya. Tidak
mengejutkan jika ia punya banyak teman. Sikapnya yang ramah, terbuka,
mudah bergaul tentu sangat mendukungnya.

Tempat terakhir yang ditunjukan Surya adalah warung dengan


cukup banyak pengunjung di dalamnya. Tepat di depan warung yang
kami kunjungi terdapat Petilasan bernama Eyang Sekutrem. Petilasan ini
memiliki wujud yang cukup berbeda dengan Petilasan Eyang Abiyasa.
Petilasan ini dinaungi pepohonan besar yang membuatnya terkesan
wingit dan angker. Petilasan ini dibangun dari beton berukuran dua
setengah kali dua meter. Dengan lantai dan dinding berlapis marmer. Di
dalamnya terdapat sebuah arca dari batuan andesit setinggi 70
sentimeter. Aku meminta izin pada Surya untuk memasuki petilasan itu.
Kemudian Surya masuk kedalam warung untuk menungguku.

Entah apa yang membuatu masuk ke dalam petilasan ini. Namun


rasanya ada sesuatu yang menarik batinku untuk masuk ke dalamnya.
Lantai marmer berwarna putih tulang ini terasa dingin dan lembap. Di
depan arca , terdapat sebuah sesaji dan dupa yang sudah setengah
padam. Sepertinya tempat ini terakhir dikunjungi dua hari yang lalu,
ucapku dalam hati. Kemudian aku duduk di samping arca sambil sesekali
melihat ke arah warung. Aku perhatikan arca ini lamat-lamat. Lama
kelamaan, rasanya arca itu bergerak. Bergetar kekiri kanan. Diikuti
dengan lantai yang mulai bergerak perlahan, berputar seakan hidup.
Tiba-tiba kepalaku seperti dihujani pukulan bertubi-tubi.
Nyeri dan pening teramat sangat. Aku berusaha keluar dari
petilasan ini, namun rasanya tembok-tembok itu bergerak
menghalangiku.

Makin lama sakit dikepalaku makin tak tertahankan. Kedua kakiku


lemas tak berdaya. Rasanya lantai dan tembok petilasan ini bergerak
sangat cepat. Bergoyang, bergetar hebat seakan ingin melumatku hidup-
hidup. Di tengah pandanganku yang makin kabur, kuliat Surya keluar
dari dalam warung. Sakit kepala ini membuatku tak berdaya. Tiba-tiba
terdengar dentuman keras di belakangku. Bangunan ini hidup! Dia
bergerak! Dan dia akan memakanku! Pekikku dalam hati. Aku panggil
Surya sekencang mungkin. Berharap ia bisa mendengarku. Kemudian
rasanya tubuhku diremukkan perlahan lahan. Pandanganku gelap. Makin
tak bisa mendengarkan apapun. Tubuhku jatuh tersungkur di tengah
petilasan.

***

"Aksa... Tolong aku..!!!!!!"

"Sinta!!!" Teriakku sambil bangkit dari sleeping bag milikku.


Mataku membelalak. Keringat dingin membasahi seluruh tubuhku. Bukan
lantai dan tembok berlapis keramik, namun dinding dan atap kayu. Aku
sudah kembali ke Pondok.

"Ya Ampun Sa.. tumbang lagi?!" Tanya Naja sambil menatapku


cemas. "Gimana Sa? Kita balik aja ya. Daripada kamu kenapa-napa"

"Enggak Ja. Aku sudah baikan kok. Kita lanjut saja ya" ucapku
meyakinkan Naja.

"Yasudah tapi kamu jangan memaksakan diri, kalau tidak kuat kita
berhenti saja. Atau kita langsung pulang saja"

"Setuju"
"Oh iya Sa, ngomong-ngomong siapa Sinta? Sejak kamu pingsan
sampai di bawa kemari, kamu menyebut nama Sinta terus?" Ujarnya
sambil menatapku penuh curiga.

"Itu... aku tidak tahu. Oh iya, mana Surya?"

"Beli minum sebentar ke warung".

Benar saja, tak lama kemudian Surya kembali sambil membawa


segelas teh hangat. "Kamu tadi kedinginan mas, masuk ke petilasan tidak
pakai alas kaki soalnya. Lantainya kan dingin" sambil meletakkan teh
disamping Sleeping Bag milikku. "Istirahat saja ya mas. Biar besok bisa
kuat ke atas" ucapnya lalu meninggalkanku di dalam pondok.

Malam harinya aku hanya tidur di dalam Sleeping Bag. Sedangkan


Naja, Surya dan Ketiga temannya berada di luar menyalakan Api
unggun. Rasa sakit sore ini masih terbayang-bayang olehku. Sebelum aku
terbangun, rasanya aku berpindah tempat. Aku tiba-tiba jatuh disebuah
bukit dengan pemandangan sebuah kota yang indah. Bangunan di kota
itu berdiri megah berlapis emas. Tepat di depan bukit itu, seorang wanita
menangis menghadap wajahku. Sinta. Ia adalah Sinta. Ia seakan meminta
pertolongan kepadaku. Tapi aku tak mengenalnya. Siapa Sinta ini. Dan
kenapa belakangan ini aku sering mengalami hal aneh tentang Sinta?

***

Kicau burung serta deru angin gunung ciptakan harmoni indah


yang mengiringi langkah kami. Rupanya api unggun tadi malam berisi
diskusi antara Naja dan Surya. Mereka sepakat untuk berangkat
bersama ke atas. Nantinya kami akan berpisah di Alas Lali Jiwo. Tapi aku
tahu, disamping itu ada alasan lain mengapa Naja meminta mas Surya
bergabung. Untuk mengawasiku. Jika sewaktu-waktu aku tumbang lagi.

Perjalanan lima belas menit membawa kami menuju pos ketiga


bernama Pos Eyang Sakri. Di tengah jalan, terdapat sebuah gubuk yang
terkunci rapat. Naja bilang bahwa Di dalamnya terdapat sebuah arca.
Yang pastinya itu arca Eyang Sakri. Mengingat kejadian yang
menimpaku kemarin, serta jarak yang sudah dekat, kami memutuskan
melanjutkan perjalanan menuju pos ke empat. Sinar matahari mulai
temaram saat langkah kami tiba di pos ke empat. Pos ini bernama pos
Eyang Semar. Keadaan di pos ini sama dengan pos kedua. Banyak
pondokan serta warung disini.

Namun kondisi pondokan di sini sedikit berbeda. Pondokan disini


dibuat semi permanen. Dengan alas dan dinding dari kayu, sedangkan
atap dari jerami. Tapi tetap cukup hangat untuk peziarah ataupun
pengunjung bermalam. Di ujung jalan, terdapat sebuah petilasan
berbentuk altar selebar empat kali enam meter, berlapis keramik
berwarna hitam. Diatas altar itu terdapat sebuah Arca berlapis kain
putih. Arca Eyang Semar. Yang menghadap ke arah timur, menyambut
datangnya mentari setiap pagi. Di sisi kiri-kanan nya terdapat payung
mutho emas, beberapa sajen dan dupa yang sudah hampir habis. Kami
memutuskan untuk bersitirahat sejenak. Naja melihat sekitaran pos
empat sambil sibuk menulis di buku catatannya. Aku duduk di tepian
altar memandang kearah langit.

"Aksa Ulun Hanandjaya" ucap Naja sambil duduk disampingku

"Eh Ja. Sudah selesai pengamatan?" jawabku kaget.

"Udah... Eh Sa, belakangan ini kamu kok berubah ya. Kamu sering
ngelamun, tiba-tiba pingsan, manggil-manggil orang nggak jelas juga.
Ada apa sih sa sebenernya? Lagi ada masalah?" Celoteh Naja penasaran.

Akhirnya aku beranikan diri untuk menceritakan semuanya pada


Naja. Adi Bagus Naja Naekonang. Aku mengenalnya sejak berkuliah di
kota Malang, tiga tahun lalu. Naja bukan seperti kebanyakan orang yang
kukenal. Dengan tubuh tinggi, wajah bersih dan keras, serta pandangan
mata yang tajam, kebanyakan orang akan menilai Naja sebagai orang
yang keras. Namun nyatanya Naja adalah orang yang peduli, dengan
caranya sendiri.
Setiap hal yang kualami, tak luput dari sepengetahuan Naja. Dia
sosok teman yang sangat bisa dipercaya. Kuceritakan semua hal yang
kualami belakangan ini. Mulai dari mimpi itu-mimpi tentang Sinta-yang
membuatku terlambat, sampai kejadian di pos kedua kemarin sore. Mata
Naja menatap penuh selidik, menyimak dengan saksama setiap kata yang
keluar dari mulutku.

"Hmm... Kalau dari ceritamu itu, si Sinta itu mirip tokoh


pewayangan di epos Ramayana. Istri Sri Rama, yang diperebutkan
dengan Dasamuka. Ngerti kan?"

"Ngerti Ja" siapa yang tak tau romansa Rama-Sinta yang


melegenda. Batinku

"Tapi apa hubunganya kamu dengan tokoh Sinta itu ya?" Wajah
Naja berubah sayu.

"Itu yang aku tidak tahu Ja. Dan tidak mau tahu" tegasku

"Yasudah, ayo kita lanjutkan, 3 pos lagi kita sampai Alas Lali Jiwo.
Semoga tidak terjadi apa-apa" ucap Naja seraya bangkit. "Oh iya, kalau
ada apa-apa, cerita!" ucapnya sambil berjalan pergi.

***

Selepas pos ke-empat, jalanan berubah menanjak dan curam.


Setengah jam kami berjalan, kami tiba di pelataran luas dengan punden
berundak tepat ditengah-tengah. Kami tiba disini, Pos ke lima,
Makutoromo. Walau cukup cepat, perjalanan tadi cukup melelahkan.
Namun semuanya terbayar kala melihat pos kelima ini. Kibaran bendera
warna hijau nampak menghiasi punden ini. Sesaji dan dupa pun berderet
mengelilingi punden yang nampak sangat keramat ini. Di tengah jalan,
Naja bercerita bahwa konon Dewa Wisnu-dewa dalam pewayangan-kerap
bersemadi di punden ini. Pos ini juga menjadi tempat paling ideal untuk
mendirikan tenda. Walaupun puncak masih jauh, dengan adanya sumber
air dan toilet bersih menjadikan pos kelima ini tempat paling ideal untuk
menginap. Selain itu juga ada padepokan kayu berukuran besar yang
mampu menampung puluhan orang. Dan akhirnya Naja serta Surya
memutuskan untuk bermalam di pos kelima ini.

Kali ini kami tidak menginap di dalam pondok, melainkan


membangun tenda sendiri. Sedangkan Surya dan rombongan memilih
tidur di dalam pondok. Setelah mendirikan tenda, kami memasak
perbekalan-mi instan, kopi, beras-yang sejak kemarin tak tersentuh sama
sekali. Walaupun masih pukul empat sore, udara di pos lima ini sudah
cukup untuk membuatku menggigil. Sejak kami meninggalkan pos kedua,
kabut tebal makin sering menunjukkan eksistensinya. Tak kenal waktu,
pagi siang ataupun sore.

Di sekitar kami juga banyak berdiri tenda-tenda milik pendaki lain.


Kebanyakan pendaki di pos lima ini memilih membangun tenda daripada
menghuni pondok. Mungkin karena pemandangan di sini menakjubkan.
Sehingga sayang untuk dilewatkan. Setelah makan kami bergantian
mandi dan bersih diri. Dan benar, sumber air dan toilet disini sangat
bersih dan nyaman. Tak heran para pendaki betah menginap disini.

Terbukti. Pos kelima ini menyimpan sejuta kenyamanan bagi setiap


mata yang ada. Saat gelap malam tiba, diatas pos lima ini, langit seakan
menunjukan paras cantiknya. Taburan gemintang bagaikan padi yang
disebar dipematang sawah. Indah bukan main. Rasanya enggan
memalingkan mata. Walaupun semerbak aroma dupa seringkali tercium,
tak sedikitpun memberi kesan mistis di sini.

"Sa, nanti kita bangun jam tiga ya. Biar bisa sampe Alas Lali Jiwo
tepat waktu. Sekarang ayo istirahat dulu" ucap Naja sambil menyetel
alarm di ponselnya.

Surya dan rombongan sudah lebih dahulu masuk ke dalam pondok.


Akhirnya keindahan malam itu ditutup dengan tidur nyenyak. Tak ada
lagi gangguan dari mimpi-mimpi aneh itu, dari Sinta. Tampaknya semua
sudah berakhir. Atau mungkin aku salah. Justru semua ini baru akan
dimulai.
***

Mataku mengerjap perlahan-lahan. Ponsel milik Naja berbunyi tiga


belas kali. Sangat Kencang. Kulihat di layar ponsel itu, pukul tiga pagi.
Dan hebatnya Naja sudah pergi. Tak lama, ia sudah kembali, dengan
wajah cukup segar, ada bekas air di sekitar pipi dan pelipisnya. Tanda ia
barusaja cuci muka. "Ayo Sa, kita siap-siap. Surya sudah nunggu"

Surya dan rombongan sudah menunggu di depan tenda kami.


Terlihat Toni-teman mas Surya-menguap lebar tanda tidur yang belum
cukup. Surya sendiri sudah berdiri mantap seakan tak gentar
menghadapi segala rintangan. Setelah berkemas, pukul empat pagi kami
berangkat melanjutkan perjalanan. Sekitar lima menit berjalan, kami
sudah memasuki kawasan pos ke enam, Candi Sepilar. Kami disambut
tiga buah arca berwajah menyeramkan. Tepat ditengahnya terdapat jalur
menanjak, dengan bebatuan yang tertata rapi. Di gelap pagi ini, ketiga
arca itu seakan bergerak. Entah mataku yang bermasalah atau memang
mereka bergerak. Kami melanjutkan perjalanan melewati ketiga arca itu.

Di kiri kanan tanjakan batu ini terdapat arca-arca yang disusun


secara zig-zag. Seakan menjadi pagar dari jalan yang kami lalui. Setiap
kali aku melewati satu arca, kepalaku terasa nyeri, namun tidak parah.
Dan setiap pening itu datang, diiringi oleh bisikan "Sinta sudah dekat"
total ada sembilan patung yang kulalui. Dan aku mendengar satu hal
yang sama "Sinta sudah dekat". Di ujung jalan ini, tampak Candi Sepilar
berdiri megah diatas awan

Ia tersusun dari batuan andesit dan cukup terawat. Aroma dupa


kembali menyeruak dimana-mana. Tiba-tiba aku terduduk, pandanganku
seketika mengabur, menyisakan gelap serta pening di pelipis. Dalam
gelap itu aku mendengar "Berjalanlah menuju pohon beranting tiga.
Disana kau akan menemukan Sinta" semakin kucoba membuka mata,
semakin pening itu menjadi-jadi.

"Sa! Aksa! Kamu gapapa sa?!" Tanya Naja


"Mas?! Kenapa mas?!" Tanya Surya cemas.

Seberkas sinar muncul di benakku. Rasa tenang dan nyaman


menyelimuti tubuhku. Seorang wanita cantik, rambutnya terurai dengan
mahkota di kepalanya, serta memakai pakaian warna merah, menatapku
dengan senyuman hangat. Kerlingan wajahnya benar-benar
menenangkan hatiku. "Bertahanlah Aksa, tak lama lagi, kita akan
bertemu" ucapnya lembut. Mataku terbuka, cahaya itu hilang. Kali ini,
tubuhku sama sekali tidak sakit. Surya dan Naja memandangku penuh
cemas. Kemudian Aku langsung bangkit "Ayo, kita lanjutkan!" Ucapku
penuh semangat. Naja dan Mas Surya menatap terheran-heran.

***

Kami tiba di pos ketujuh, Jawa Dwipa beriringan dengan sinar


mentari yang muncul di ufuk timur. Semburat cahaya jingga berpadu
dengan sisa-sisa kegelapan menjadikan perpaduan siluet nan indah.
Gagahnya puncak gunung Welirang di seberang sana menambah
keindahan saat itu. Kami memutuskan untuk terus berjalan agar sampai
tepat waktu di tujuan masing-masing.

Selepas pos tujuh, vegetasi mulai merapat dengan hutan pinus


yang rindang. Sinar mentari seakan tertahan dedaunan yang ada.
Membuat udara makin sejuk dan dingin. Tapi jalur yang ada makin
menjadi-jadi. Dari sini saja, puncak Arjuno sudah bisa kita lihat. Puncak
Ogal Agil. Puncak berbentuk runcing-dengan bermacam bebatuan
berbagai ukuran-yang berdiri kokoh berlandaskan awan-awan. Jalur ini
tidak main-main, tanah padat berkontur curam dengan deretan pohon
ponus menjulang tinggi membuat kami melangkah terengah-engah.
Beberapa kali kami berhenti untuk sekadar mengatur nafas. Di tempat
setinggi ini justru kami kesulitan bernafas. Beruntung pening tidak
menyerang. Jadi aku bisa fokus mengatur tenaga untuk melewati jalur
ini.

Untuk ke-sembilan kalinya kami berhenti. Tidak ada tanah landai


berumput apalagi jalur yang terbuat dari semen. Hanya tanah padat
dengan kontur curam. Surya dan Toni dan kedua temannya berada paling
depan. Mereka baru duduk setelah memastikan aku-yang sering
tumbang-sudah duduk dengan aman. Naja ada di belakangku. Naja
mengeluarkan botol air mineralnya untuk dibagikan kepada kami semua.

Naja dan Surya melarang kami mengeluarkan botol minum pribadi,


dengan alasan hemat air. Memang benar, dengan situasi seperti ini, air
menjadi obat utama untuk bertahan. Naas di sini tak ada sumber air
seperti di pos ke lima sebelumnya.

Jalur yang kami lewati berubah landai dengan setapak menyusuri


pinggiran jurang. Disini suasana berubah panas. Tak ada lagi pohon
pinus menjulang, sehingga terik matahari seakan langsung menyentuh
kulit kami. Tempat ini dihiasi pohon cantigi dengan rerumputan liar. Di
depan kami, terdapat simpangan. Lajur kanan dengan petunjuk arah
Puncak Ogal Agil. Sedangkan lajur kiri dengan petunjuk arah Lawang.
Jalur menuju lawang ini sangat terjal , rindang dan mistis. Tepat di
bawah lajur ini, Alas Lali Jiwo telah menunggu. Di persimpangan ini,
kami dan rombongan Surya berpisah. Mereka mengambil lajur kanan
menuju puncak, sedangkan kami menuju Alas Lali Jiwo.

"Hat-hati ya Mas, semoga aman sampai balik ke basecamp" ucap


mas Surya sembari berjabat tangan denganku dan Naja.

"Terima kasih atas bantuannya Mas. Sampai jumpa lagi" jawab


Naja singkat. Aku hanya mengangguk takzim dengan senyum ringan.
Rombongan mas Surya berjalan pergi. Menyisakan ruang hampa diantara
kami dan gunung Arjuno.

***

"Sebentar lagi sampai Sa" ucap Naja sambil memilah-milah jalan

Jalur menuju Lawang ini sangat terjal. Jauh berbeda dengan jalur
TambakWatu. Disini, medan jalan seakan tak memberi ampun pada kaki
kami. Keringat mengucur deras walau hawa dingin menusuk tubuh.
Beberapa waktu berjalan, di depan kami tampak sebuah hutan dengan
pohon pinus menjulang. Rindang nan asri. Ini adalah Alas Lali Jiwo.
Tujuan utuma kami. Terutama Naja. Diwajahnya, seyum puas merekah,
matanya tampak bergairah, walau keringat membasahi seluruh
tubuhnya, Naja tampak sangat antusias memasuki Alas Lali Jiwo ini.
Berbeda denganku, sejak pertama kali kami berjalan di jalur ini, seakan
jiwaku ditarik untuk mendatanginya. Jalur ini, angin, serta pepohonannya
seakan ingin menyampaikan sebuah pesan kepadaku.

"Sa, tetep jalan dibelakangku ya, jangan berhenti. Kalau ada apa-
apa, panggil aku" tutur Naja sambil menatap ke Alas Lali Jiwo.

Akhirnya kami berdua memasuki Alas Lali Jiwo. Tujuan utama


perjalanan ini. Naja berjalan didepanku sambil membawa buku catatan
lusuhnya. Tempat ini tidak terlalu buruk. Walaupun kontur jalan yang
cukup terjal, namun masih bisa kami kuasai. Pepohonan disini juga
besar, memudahkan kami untuk mencari pegangan. Tepat didepan kami,
ada sebuah persimpangan. Ditengah-tengahnya terdapat sepohon pinus
berukuran cukup besar. Menjulang tinggi belasan meter. Dedaunannya
lebar. Mampu menghalau sinar matahari cukup baik. Pohon ini sedikit
berbeda dengan yang lainnya. Pohon ini menjulang tinggi, batangnya
lurus dengan hanya tiga cabang di tengah batang pohon. Ketiga cabang
itu menunjuk tiga arah. Arahku dan Naja, simpangan kanan, serta
simpangan kiri. Dengan sigap Naja mengajakku untuk mengambil lajur
kiri.

"Selamat datang Aksa" tiba-tiba muncul suara seorang laki-laki


berbicara kepadaku. Seketika aku terjatuh, kepalaku nyeri bukan main.
Mataku tak bisa dibuka. Segala sesuatu di sekitarku serasa bergerak,
meliuk-liuk seakan hendak menelanku. Samar-samar kudengar Naja
berteriak memanggilku. Jangankan untuk menjawab, untuk membuka
mulutpun aku tak sanggup. "Jangan kau lawan. Semua akan baik-baik
saja" suara lelaki itu muncul lagi. Kali ini nyeri maha dahsyat menyerang
seluruh tubuhku. Kulitku serasa terbakar, tulang-tulangku seakan
diputar ke segala arah. Namun kali ini mataku bisa kubuka. Lamat-lamat
kulihat sekeliling. Naja dengan wajah cemas berteriak menmanggilku.
Hutan ini, Alas Lali Jiwo bergerak hebat. Pepohonan ini hidup. Meliuk-
liuk. Dentuman keras memekikkan telinga. Diatas sana, langit terbelah,
gelap sekeita menyelimuti, seisi hutan berputar tak tentu arah. Tubuhku
melayang dihisap oleh retakan langit itu. Zap! Tubuhku menghilang.
Gelap. Aku mati.

***
“Bangun Aksa.. selamatkan aku..” sayup-sayup kudengar suara
wanita meminta pertolonganku. Suara itu, aku mengenalinya. Sinta.
Sinta meminta tolong kepadaku. Tapi aku tak bisa berbuat apapun. Aku
bahkan tak bisa merasakan diriku sendiri. Segala yang kurasakan hanya
gelap dan kosong. Sesaat kemudian, setitik cahaya jingga berpendar
remang. Kian waktu cahaya itu kian membesar. Ternyata cahaya jingga
itu berasal dari nyala api yang berkobar sangat besar. Api itu melumat
rumah-rumah penduduk. Orang-orang berteriak tunggang-langgang. Di
sekitar mereka, masusia setengah kera, sedang berpesta membawa obor
dan bebatuan. “Bangun Aksa.. Bangun..” suara wanita itu terdengar
kembali. Sesaat kemudian aku mulai bisa merasakan tubuhku kembali.
Mataku kukerjapkan perlahan-lahan sembari mencoba menggerakkan
kedua tanganku.

“Dia sudah Sadar!” ucap seorang laki-laki di depanku.

“Kau baik-baik saja Aksa? aksa?” tanya seorang laki-laki yang baru
saja memasuki ruangan ini. Lelaki ini sangat berwibawa. Wajahnya putih
bersih dengan tubuh tegap proporsional. Di punggungnya, terdapat anak
panah. Ia memakai banyak sekali perhiasan emas, serta mahkota besar di
kepalanya.

“Kalian siapa?” ucapku sambil berusaha menguatkan diri

“Jadi, kau masih belum sepenuhnya bangkit Aksa, aku Laksmana”


ucapnya sambil menjabat tanganku. “Penantian tiga ratus tahun,
terbayar sudah” ucapnya tungkas. “Bangkit? Tiga ratus tahun? Apa
maksudnya?” rasanya aneh sekali. Rasanya baru sesaat aku terjatuh
lemas di Alas Lali Jiwo. Dan sekarang aku terbangun di sebuah kamar
yang mewah. Ranjangku ditopang oleh kombinasi tali tampar dan kayu
jati. Dengan kasur berlapis tilam emas. Dinding ruangan ini terbuat dari
kayu dengan ukiran-ukiran indah disegala sisi. Di samping ranjangku,
lentera kaca dengan nyala api menerangi seisi ruangan. Dan di depanku
ada seorang lelaki berpakaian aneh yang mengaku sebagai Laksmana.

“Ayo Aksa, kuantar kau bersiap-siap. Kita kehabisan banyak waktu”

“Tunggu dulu, apa yang akan kau lakukan?”

“Cepat Aksa, Sinta dalam bahaya” kalimat itu cukup untuk


membungkam mulutku. Lantas Laksamana menarikku keluar dari
ruangan ini. Ia membawaku menuju sebuah kamar dengan berbagai
macam perhiasan disemua sudut. Kemudian Laksmana memerintahkan
beberapa orang untuk melucuti pakaianku untuk diganti dengan pakaian
yang baru. Sebuah mahkota, kalung-kalung emas, gelang, kerahbahu,
serta kain emas sebagai pengganti celana. Laksmana juga memberikan
sebuah busur dan anak panahnya. Setelah semua perhiasan ini terpakai.
Laksmana dan orang-orang di ruangan itu memberi hormat kepadaku.

“Dengan ini, Dunia akan kembali pada dharma” ucap Laksmana

“Apa yang terjadi? Apa maksud semua ini?!” tanyaku ketus. Sebal
rasanya semua orang aneh ini mempermainkanku tanpa alasan.

“Sebenarnya tak ada waktu untuk menjelaskannya. Tapi karena


kau belum sepenuhnya bangkit, kurasa ceritaku akan cukup membantu”
ucap Laksmana. “Saat ini, Alengka dalam bahaya. Kemarin Rahwana
telah gugur dalam pertempuran. Dan hari ini sebuah komet raksasa,
sedang meluncur tepat ke kota Alengka”

“Lalu apa hubungannya denganku?”

“Sayangnya, Sinta terjebak di tengah kota Alengka. Dan hanya kau


yang bisa menyelamatkan Sinta. Sama seperti sebelumnya. Semua yang
terjadi hari ini, kemarin, bahkan esok, sesungguhnya sudah kau ketahui
Aksa. kau lah yang menulis semua ini. Dan kau sendiri juga yang memilih
untuk lupa, melewati masa-masa sulit hanya untuk kembali kemari.
Menuju tugasmu yang sesungguhnya” wajah Laksamana menunjukkan
kesungguhan.

Tiba-tiba kepalaku terasa nyeri. Seakan di cengkeram kuat oleh


sebuah tangan. Aku terjatuh. Pandanganku kabur. “Jangan kau lawan
Aksa. Makin kau lawan, makin sulit bagimu untuk mengingat semuanya”
ucap Laksmana sambil memegang pundakku. Tapi nyeri itu benar-benar
tak tertahankan. Di dalam rasa sakit itu, potongan-potongan gambar
tetiba melintas. Gambar diriku merangkul seorang wanita, memandang
langit. Gambar diriku duduk di singgahsana. Gambar diriku menuliskan
sebuah kisah. Aku, wanita itu, Sinta. Aku, Aksa. sang penguasa Alengka.
Hembus angin seolah membelai telingaku. Seketika rasa sakit itu hilang.
Mataku terbelalak. Aku mulai mengingat semuanya.

“Jadi kau sudah bangun sepenuhnya, bagus. Ayo segera kita pergi”
ucap Laksmana sambil membantuku berdiri. Entah apa yang kurasakan.
Aku merasa semua ini sudah pernah kualami. Dengan sigap aku
mengikuti langkah Laksmana keluar dari ruangan ini.

Aku dan Laksmana berjalan cepat menyusuri lorong-lorong panjang


di bangunan ini. Sayup-sayup kudengar suara gaduh. Semakin kencang
saat kami makin mendekati pintu keluar. Benar saja, setibanya kami di
pintu keluar, dihadapan kami suasana kacau balau. Kota ini, Alengka
tampak porak poranda. Padahal jika dilihat dengan saksama, kota ini
begitu indah. Dibawah terpa sinar rembulan, kota ini seakan bercahaya.
Seluruh bangunan di kota ini berlapiskan emas murni. Dengan cermin
yang ditempatkan di sudut-sudut tempat untuk memantulkan cahaya
bulan, untuk lampu alami. Sungguh maju teknologi kota Alengka ini.
Namun pemandangan kali ini begitu berbeda. Kobaran api mengepung
kota Alengka. Asap hitam mengepul tinggi. Teriakan-teriakan
memekikkan telinga. Dentuman kencang mengisi suasana. Di tengah
kota itu, terlihat manusia setengah kera sedang bersorak sorai membawa
obor dan batu.
“Ayo Aksa, kita harus selamatkan Sinta. Tidak ada banyak waktu”
ucap Laksmana

“Bagaimana caraku sampai kesana?” tanyaku bingung.

“Aku tak bisa menjawabnya Aksa, dan aku tak bisa membantumu.
Pergilah menuju kota Alengka. Disana kau akan menemukan jawaban
atas dirimu sendiri” ucap Laksmana. Ia menatapku penuh keyakinan.
Lalu pergi bersama pasukannya. Menyisakanku dengan ruang hampa
berdiri menatap Alengka.

Menyelamatkan Sinta berarti menembus kobaran api serta


melewati gerombolan manusia kera itu. Hal yang mustahil bagiku.
Semua yang terjadi begitu cepat. Aku tak mau berada lebih lama disini.
aku ingin kembali ke Malang, bertemu dengan Naja, hidup sedia kala.
Tapi jika dengan menyelamatkan Sinta bisa membawaku kembali, maka
akan kulakukan.

***

Berbekal busur dan anak panah pemberian Laksmana aku berlari


menuju kota Alengka. Dari dekat, kobaran api-yang menghadang kota
Alengka-terasa begitu panas. Nyala api itu menjilat langit seakan haus
akan darah manusia. Walau bangunan di Alengka terbuat dari emas, api
itu dengan cepat melahap semuanya. Ku perhatikan keadaan sekitar,
berusaha mencari jalan untuk melewati kobaran api ini. Nihil. Di
hadapanku hanya kobaran api besar tanpa batas. Tak ada celah
sedikitpun untukku melangkah maju. Di tengah kebingungan ini, seekor
kera tiba-tiba muncul di belakangku. Lantas aku mencari persembunyian.
Sebatas perlindungan diri, agar aku tak mati konyol di tangan manusia
kera di negeri Alengka. Manusia kera itu berpostur tegap dengan otot-
ototnya yang menyembul besar di lengan, dada, dan pahanya. Bulu
manusia kera ini berwarna putih bersih, sebersih kain sutra terbaik dari
dataran tiongkok. Dengan sigap manusia kera ini melemparkan sebuah
tombak dengan tali terikat diujungnya ke arah menara di seberang
kobaran api ini. Begitu tombak itu menancap, ia mengikat tali itu di
sebuah pohon. Lantas menggunakannya untuk menyeberangi kobaran
api itu. Ide Cemerlang! Pikirku. Walau harus bergantung di atas kobaran
api, setidaknya itu satu-satunya jalan untuk melewatinya.

Ku ambil satu anak panah, kuikatkan pada sebuah tali, dan


kutembakkan ke arah menara yang sama dengan manusia kera itu.
Setelah berhasil, aku mulai bergantung melewati kobaran api itu. Peluh
mengucur deras dari tubuhku. Tepat di bawah kakiku, api menjilat-jilat
seakan menungguku jatuh, lalu dilumat habis hingga jadi abu. Saat
hendak tiba di ujung tali, pegangan tanganku lepas. Aku terjatuh menuju
kobaran api itu. Pasrah, aku hanya bisa berharap keajaiban terjadi. Saat
gelang di tangan kananku menyentuh sabukku. Lubang besar terbuka
tepat di bawah tubuhku. Lantas tubuhku terhisap. Gelap. Zap! Tubuhku
menghilang.

***

“Aksa, akhirnya kau tiba” kurasakan seseorang memelukku. Air


mata terasa membasahi pundakku. Kubuka mata, kulihat seorang wanita
memelukku. Menangis tersedu-sedu. “Sinta?” tanyaku ragu. “Terima
kasih Aksa, akhirnya doaku terkabul” ucapnya sambil melepas pelukan.
Wajahnya begitu lembut. Kedua matanya menatap dalam, penuh
kehangatan. Wajahnya tetap cantik walau berlapis peluh dan debu.
“Sinta, kenapa aku?” tanyaku lagi. “Memang sudah tugasmu Aksa. kau
datang ke Alengka untuk menjalankan tugas ini” ia menatap sekitar. “Tak
ada waktu lagi Aksa, ayo kita pergi” ajaknya. “Tapi bagaimana? Kita
terjebak disini” ucapku ragu. Kemudian aku ingat, saat tubuhku terjatuh
di atas kobaran api. Gelang itu pasti punya kekuatan untuk membawaku
dan Sinta keluar dari tempat ini. “Benar Aksa, gunakan gelang itu” ucap
Sinta meyakinkanku. Lalu aku menempelkan lengan kananku ke sabuk.
Seketika di hadapan kami, sebuah lubang terbuka. Lubang itu
menyerapku dan Sinta. Kami bergandengan tangan, terserap lubang ini.
Zap! Gelap. Tubuh kami berdua menghilang.

***
Tubuh kami berdua terbanting di atas lantai kayu. Kami tiba di
sebuah Joglo di atas bukit yang cukup jauh dari kota Alengka, bukti
Carmani. Di sini Laksmana rupanya telah menunggu kedatangan kami
berdua. “Semoga masih ada waktu. Ayo kita harus pergi” ucap Laksmana
membangunkan kami berdua. Aku menarik lengan Sinta, menahannya
pergi. “Sinta, jelaskan dulu semuanya padaku” ucapku pada Sinta. “Tak
ada waktu lagi Aksa, semuanya sudah terlambat”. “Setidaknya katakan
siapa aku sebenarnya!” bentakku pada Sinta. Lengang mengisi jeda
antaraku dan Sinta.

“Aksa, kau adalah titisan dewa Wisnu sang Penjaga Alam Semesta
serta Prabu Ramawijaya, suamiku. Setiap tiga ratus tahun, dalam wujud
Dewa Wisnu akan turun ke bumi untuk mendirikan kembali dharma yang
berbelok dari jalannya. Kau sendiri yang menuliskannya, di dalam lontar
kuno milikmu, akan turun di mana, dan menjadi siapa. Di tiga ratus
tahun yang lalu, kau berhasil menegakkan dharma dengan membunuh
Rahwana. Selepas itu kau kembali ke Swargaloka sebagai Dewa Wisnu.
Namun, setelah kepergianmu. Sebuah komet raksasa melesat menuju
Alengka. Dengan tujuan untuk menghancurkan Alengka, bahkan seisi
dunia. Karena itulah aku memohon pada langit untuk membalikkan
takdir. Yakni mendatangkanmu kembali ke Alengka untuk
menyelamatkannya” tutur Sinta dengan raut cemas di wajahnya.

“Tidak. itu tidak mungkin. Semua ini omong kosong” bantahku.

“Tidak Aksa.. kau hanya belum bangkit sepenuhnya. Karena itu


semua ini terasa tak nyata. Andai kau bangkit di saat yang tepat, tak
perlu bagimu mengalami semua ini” tutur Sinta sambil memegang
pundakku.

“Kita Terlambat!!” pekik Laksmana memecah suasana.

Benar ucapan Laksmana. Seberkas sinar berpendar terang di langit


timur Alengka. Sinar itu bergerak begitu cepat membelah gelap langit
malam ini.
Belum genap rasa takjub ini tiba-tiba dentuman kencang
menggegerkan seisi kota. Di balik bukit Carmani, cahaya menyilaukan
muncul disusul kilatan bertubi tubi disertai gemuruh kencang. Joglo ini
berderit-derit menahan goncangan. Kami bertiga-sinta yang sedari tadi
menangis tersedu, Laksmana yang menatap nanar kesegala arah, dan
aku-segera keluar dari Joglo ini. Belum sempat kami melihat situasi,
tanah yang kami pijak seketika retak. Merekah bagai dibelah oleh gergaji
maha dahsyat. Dari dalam retakan itu terlihat nyala merah, magma perut
bumi yang menggeliat seakan mencari mangsa. Sedetik aku mematung.
Berkas-berkas ingatan beterbangan di kepalaku. Aku ingat. Aku pernah
alami semua ini. Sinta, sinta akan jatuh jika kubiarkan. Aku harus
memikirkan cara lain.

“Aksa, apa yang harus kita lakukan?” Tanya Sinta menatapku


nanar.

“Kita akan meninggalkan Alengka. Sinta, Laksmana, berpegangan


pada pundakku” ucapku mantap.

“Jadi kau sudah ingat Aksa” ucap Laksmana sambil tersenyum

Tak perlu waktu lama. Kutempelkan tangan kananku di depan


sabuk. Sedetik kemudian tanah merekah. Membuka lebar-lebar. Di
bawah kami, sebuah lubang terbuka. Tubuh kami bergetar. Rasa sakit
menusuk seluruh tubuh. Aku, Sinta dan Laksmana berteriak ngilu.
Menahan sakit yang luar biasa. Tubuh kami diserap lubang ini. Zap!
Gelap. Tubuh kami menghilang. Diikuti suara ledakan kencang yang
menghilang bersama gelap.

***

Tubuhku terasa hancur. Kulitku bagai disayat, disobek perlahan-


lahan. Tulangku terasa remuk. Rasanya tenggorokanku kering. Haus
bukan main. Kubuka mata perlahan-lahan. Sinar matahari begitu terik.
Tak ada satupun pohon di tempat ini. Aku tertidur di atas gundukan
pasir. Kulihat sekeliling, Laksmana tak terlihat. Semuanya seakan
bergoyang. Terlalu panas disini. perlahan ku coba bangkit. Di
hadapanku, terlihat Sinta tak sadarkan diri. Matanya menutup rapat.
Sepertinya ia tak tahan dengan tempat ini. Kuputuskan untuk
mendekatinya. Aku berusaha berdiri, menahan panas bukan main.
Kepalaku mendongak. Mataku terbelalak. Di hadapanku ternyata Sinta
telah mati. Yang kulihat hanya penggalan kepalanya. Sinta telah mati.
Kepalanya terpenggal. Tubuhnya tak tampak di sekitar sini. Dari
kejauhan, seorang lelaki bertubuh hitam, dengan tiga mata di wajahnya,
serta ular kobra melilit lehernya. Mendekati kami penuh murka. Di
tangannya, sebuah tongkat trisula-dengan ujung terbuat dari baja-yang
mengkilap diterpa terik matahari.

Dari kejauhan ia terlihat membidik sesuatu. ia lantas melemparkan


tombak. Aku hanya bisa menatap nanar. Tubuhku lemas tak berdaya.
Tombak itu melesat. Jatuh tepat di potongan kepala Sinta. Aku berlari
menghambur

***

“Sinta...!!!!!!!!!!” aku bangkit. Mataku terbelalak. Keringat dingin


mengucur deras. Jantungku berdegub kencang. Nafasku tersengal.
Perlahan-lahan kulihat sekeliling. Jam itu, lemari itu, kuarahkan
pandangan ke bawah. Kaus ini, tempat ini.. kamarku. Ponselku menyala.
Kuraih, kulihat dengan saksama. Sembilan puluh panggilan tak terjawab
dari Naja. Belum habis kulihat ponsel itu, ia bergetar. Panggilan masuk :
Naja.

“Sa Aksa. gimana sih, kamu baru bangun ya?! makannya jangan
suka begadang!”

Kumatikan sambungan telepon. Kutatap layar ponsel. Kutatap


kamarku. Sinta. Laksmana. Alengka. Jadi semuanya.... hanya mimpi?

Selesai

Anda mungkin juga menyukai