S
eberkas cahaya berpendar terang di langit timur Alengka. Sinar
itu bergerak begitu cepat membelah gelap langit malam ini.
Belum genap rasa takjub ini tiba-tiba dentuman kencang
menggegerkan seisi kota. Di balik bukit Carmani, cahaya menyilaukan
muncul disusul kilatan bertubi-tubi disertai gemuruh kencang. Joglo ini
berderit-derit menahan goncangan. Kami bertiga-Sinta yang sedari tadi
menangis tersedu, Laksmana yang menatap nanar kesegala arah, dan
aku-segera keluar mencari perlindungan. Belum sempat kami melihat
situasi, tanah yang kami pijak seketika retak. Merekah bagai dibelah oleh
tangan-tangan raksasa. Dari dalam retakan itu terlihat nyala merah,
magma perut bumi yang menggeliat seakan mencari mangsa.
"Lari, kita harus pergi dari sini!" ucapku seraya menarik Sinta dan
Laksmana pergi
***
"Sinta....!!!!!!!!"
Lima belas menit kemudian aku sudah melesat menuju Dau, tempat
Naja menungguku. Hari ini jalanan kota Malang begitu padat. Belum lagi
sinar matahari begitu terik. Sialnya aku sudah terlambat hampir satu
setengah Jam. Dan Naja sama sekali tak merespon panggilanku. Hari ini
aku berjanji untuk mengantar Naja menuju gunung Arjuno. Dia hendak
melakukan penelitian ke sana. Untungnya skill mengendaraiku cukup
baik. Jadi aku bisa menyisipkan motorku melewati jalur-jalur sempit agar
lebih cepat sampai.
"Kenapa nggak lewat jalur Lawang? Atau naik bus lah minimal ke
Purwosari?"
***
Pukul tiga sore, aku dan Naja memulai perjalanan menyusuri jalur
pendakian gunung Arjuno. Tujuan kami adalah tempat bernama Alas Lali
Jiwo. Kurang lebih besok pagi aku dan Naja baru bisa sampai di sana.
Selepas desa Tambak Watu kami menuju pos pertama yang bernama Goa
Ontobego. Jalan menuju Goa Ontobego masih luas dan cukup landai.
Jalur ini dipagari oleh pohon-pohon pinus yang menjulang tinggi. Seakan
menjadi kanopi yang melindungi semua pendaki dari terik matahari.
Masih banyak penduduk lalu lalang di sekitar sini. Ternyata jalur ini tak
seburuk yang kubayangkan.
"Nggak tau. Tadi kepalaku pusing. Kuat kok Ja. Pusingnya udah
hilang" jawabku sambil membenahi posisi dudukku.
"Beneran nih?"
"Woy Sa! Ngelamun terus! Udah ayo lanjut" ucap Naja yang sudah
muncul di sampingku.
***
"Sa, kita nginap sini saja. Besok kita lanjut ke Alas Lali Jiwo"
***
"Enggak Ja. Aku sudah baikan kok. Kita lanjut saja ya" ucapku
meyakinkan Naja.
"Yasudah tapi kamu jangan memaksakan diri, kalau tidak kuat kita
berhenti saja. Atau kita langsung pulang saja"
"Setuju"
"Oh iya Sa, ngomong-ngomong siapa Sinta? Sejak kamu pingsan
sampai di bawa kemari, kamu menyebut nama Sinta terus?" Ujarnya
sambil menatapku penuh curiga.
***
"Udah... Eh Sa, belakangan ini kamu kok berubah ya. Kamu sering
ngelamun, tiba-tiba pingsan, manggil-manggil orang nggak jelas juga.
Ada apa sih sa sebenernya? Lagi ada masalah?" Celoteh Naja penasaran.
"Tapi apa hubunganya kamu dengan tokoh Sinta itu ya?" Wajah
Naja berubah sayu.
"Itu yang aku tidak tahu Ja. Dan tidak mau tahu" tegasku
"Yasudah, ayo kita lanjutkan, 3 pos lagi kita sampai Alas Lali Jiwo.
Semoga tidak terjadi apa-apa" ucap Naja seraya bangkit. "Oh iya, kalau
ada apa-apa, cerita!" ucapnya sambil berjalan pergi.
***
"Sa, nanti kita bangun jam tiga ya. Biar bisa sampe Alas Lali Jiwo
tepat waktu. Sekarang ayo istirahat dulu" ucap Naja sambil menyetel
alarm di ponselnya.
***
***
Jalur menuju Lawang ini sangat terjal. Jauh berbeda dengan jalur
TambakWatu. Disini, medan jalan seakan tak memberi ampun pada kaki
kami. Keringat mengucur deras walau hawa dingin menusuk tubuh.
Beberapa waktu berjalan, di depan kami tampak sebuah hutan dengan
pohon pinus menjulang. Rindang nan asri. Ini adalah Alas Lali Jiwo.
Tujuan utuma kami. Terutama Naja. Diwajahnya, seyum puas merekah,
matanya tampak bergairah, walau keringat membasahi seluruh
tubuhnya, Naja tampak sangat antusias memasuki Alas Lali Jiwo ini.
Berbeda denganku, sejak pertama kali kami berjalan di jalur ini, seakan
jiwaku ditarik untuk mendatanginya. Jalur ini, angin, serta pepohonannya
seakan ingin menyampaikan sebuah pesan kepadaku.
"Sa, tetep jalan dibelakangku ya, jangan berhenti. Kalau ada apa-
apa, panggil aku" tutur Naja sambil menatap ke Alas Lali Jiwo.
***
“Bangun Aksa.. selamatkan aku..” sayup-sayup kudengar suara
wanita meminta pertolonganku. Suara itu, aku mengenalinya. Sinta.
Sinta meminta tolong kepadaku. Tapi aku tak bisa berbuat apapun. Aku
bahkan tak bisa merasakan diriku sendiri. Segala yang kurasakan hanya
gelap dan kosong. Sesaat kemudian, setitik cahaya jingga berpendar
remang. Kian waktu cahaya itu kian membesar. Ternyata cahaya jingga
itu berasal dari nyala api yang berkobar sangat besar. Api itu melumat
rumah-rumah penduduk. Orang-orang berteriak tunggang-langgang. Di
sekitar mereka, masusia setengah kera, sedang berpesta membawa obor
dan bebatuan. “Bangun Aksa.. Bangun..” suara wanita itu terdengar
kembali. Sesaat kemudian aku mulai bisa merasakan tubuhku kembali.
Mataku kukerjapkan perlahan-lahan sembari mencoba menggerakkan
kedua tanganku.
“Kau baik-baik saja Aksa? aksa?” tanya seorang laki-laki yang baru
saja memasuki ruangan ini. Lelaki ini sangat berwibawa. Wajahnya putih
bersih dengan tubuh tegap proporsional. Di punggungnya, terdapat anak
panah. Ia memakai banyak sekali perhiasan emas, serta mahkota besar di
kepalanya.
“Apa yang terjadi? Apa maksud semua ini?!” tanyaku ketus. Sebal
rasanya semua orang aneh ini mempermainkanku tanpa alasan.
“Jadi kau sudah bangun sepenuhnya, bagus. Ayo segera kita pergi”
ucap Laksmana sambil membantuku berdiri. Entah apa yang kurasakan.
Aku merasa semua ini sudah pernah kualami. Dengan sigap aku
mengikuti langkah Laksmana keluar dari ruangan ini.
“Aku tak bisa menjawabnya Aksa, dan aku tak bisa membantumu.
Pergilah menuju kota Alengka. Disana kau akan menemukan jawaban
atas dirimu sendiri” ucap Laksmana. Ia menatapku penuh keyakinan.
Lalu pergi bersama pasukannya. Menyisakanku dengan ruang hampa
berdiri menatap Alengka.
***
***
***
Tubuh kami berdua terbanting di atas lantai kayu. Kami tiba di
sebuah Joglo di atas bukit yang cukup jauh dari kota Alengka, bukti
Carmani. Di sini Laksmana rupanya telah menunggu kedatangan kami
berdua. “Semoga masih ada waktu. Ayo kita harus pergi” ucap Laksmana
membangunkan kami berdua. Aku menarik lengan Sinta, menahannya
pergi. “Sinta, jelaskan dulu semuanya padaku” ucapku pada Sinta. “Tak
ada waktu lagi Aksa, semuanya sudah terlambat”. “Setidaknya katakan
siapa aku sebenarnya!” bentakku pada Sinta. Lengang mengisi jeda
antaraku dan Sinta.
“Aksa, kau adalah titisan dewa Wisnu sang Penjaga Alam Semesta
serta Prabu Ramawijaya, suamiku. Setiap tiga ratus tahun, dalam wujud
Dewa Wisnu akan turun ke bumi untuk mendirikan kembali dharma yang
berbelok dari jalannya. Kau sendiri yang menuliskannya, di dalam lontar
kuno milikmu, akan turun di mana, dan menjadi siapa. Di tiga ratus
tahun yang lalu, kau berhasil menegakkan dharma dengan membunuh
Rahwana. Selepas itu kau kembali ke Swargaloka sebagai Dewa Wisnu.
Namun, setelah kepergianmu. Sebuah komet raksasa melesat menuju
Alengka. Dengan tujuan untuk menghancurkan Alengka, bahkan seisi
dunia. Karena itulah aku memohon pada langit untuk membalikkan
takdir. Yakni mendatangkanmu kembali ke Alengka untuk
menyelamatkannya” tutur Sinta dengan raut cemas di wajahnya.
***
***
“Sa Aksa. gimana sih, kamu baru bangun ya?! makannya jangan
suka begadang!”
Selesai