Anda di halaman 1dari 5

Hai semua! Namaku Valdisya Azzahra Apkamadi. Teman-teman bisa manggil aku Disya.

Aku
merupakan anak pertama dari tiga bersaudara yang lahir di Muara Tembesi pada malam 30 April
2005. Aku adalah siswa kelas XII Mipa 7 SMA Negeri 1 Padangpanjang yang dibimbing oleh
ibu Dra. Inharti Meifiza sebagai wali kelas dan ibu Dra. Hafni sebagai guru Bahasa Indonesia.

Hobi aku akhir-akhir ini ngerajut sama journaling.

Ini adalah salah satu pengalaman yang cukup memorable bagiku dan ini terjadi dua tahun
lalu, tepat dua hari setelah peringatan hari kemerdekaan Indonesia, pergi mendaki gunung
Tandikek bersama ayah dan dua adikku. Meski tak berhasil sampai di puncaknya, namun banyak
pengalaman baru yang aku dapatkan dari perjalanan ini.

Pagi itu, setelah menempuh perjalanan selama lima belas menit dengan mobil, kami
sampai di posko pertama, gerbang awal untuk perjalanan panjang ini. Kami segera merapat
kepada teman-teman lain yang juga ikut serta dalam pendakian ini.

“Kawan-kawan sekalian, sebelum kita memulai perjalanan panjang kita ini, alangkah
baiknya jika kita berdo’a terlebih dahulu sesuai dengan keyakinan kita masing-masing. Berdo’a
mulai,” ajak om Ari selaku pemimpin perjalanan kami kali ini. Semua menundukkan kepala
memanjatkan do’a kepada Tuhan, memohon agar perjalanan kami diberi kelancaran serta
kemudahan.

Selesai berdo’a kami menyemangati diri dengan meneriakkan yel-yel kami lalu
menggendong tas carrier di punggung masing-masing. Satu per satu teman mulai berjalan
meninggalkan posko pertama. Aku segera menyusul teman-teman yang sudah lebih dulu
melangkah, serta merta ikut menikmati pemandangan yang disuguhkan oleh kaki gunung
Tandikek.

Setelah beberapa menit berjalan melalui lintasan lurus akhirnya kami melalui track
menurun yang lumayan curam yang kemudian disambut oleh sungai dangkal yang berarus cukup
deras. Aku mencoba meyakinkan diri untuk melangkah di batu-batu besar yang bagian atasnya
muncul ke permukaan.

Tap.. tap..
Aku mulai melangkah, namun naas, di langkah keempat aku tergelincir dan kakiku
tercebur ke dalam sungai. Untungnya hanya celana bagian bawahku yang basah. Aku kembali
melanjutkan perjalanan dengan celana yang setengah basah ini.

Setelah track menurun curam, munculah trek mendaki yang sama curamnya dengan
penurunan tadi. Kami harus berpegangan pada akar-akar pohon yang menjalar keluar dan
berpijak pada tanah yang cukup licin. Sesampainya di atas, aku sudah mulai kehabisan napas dan
meminta untuk istirahat sejenak. Kami melanjutkan perjalanan setelah beristirahat beberapa
menit. Jalanan berbelok, mendaki, menurun, semua kami lalui hingga kami sampai di lembah
yang ketika kami meluruskan pandangan ke depan, tampak hamparan pemukiman warga nun
jauh disana tampak sangat kecil. Aku hanya bisa berdecak kagum.

Kami harus terus melanjutkan perjalanan untuk bisa menemukan tempat untuk istirahat
siang yang pada akhirnya sampai di sebuah pondok tempat para pekebun durian beristirahat.
Kami meluruskan kaki, membuka bekal, dan salat selama istirahat. Kami juga diberikan
beberapa buah durian oleh para pekebun.

Saat akan melanjutkan perjalanan, rintik-rintik hujan mulai terjun bebas dari tingginya
awan membuat kami harus mengenakan mantel agar tak kebasahan. Kami melanjutkan
perjalanan ditemani rintik hujan hingga ke awal mula pendakian yang sangat menanjak.

Kakiku mulai kesulitan menapak karena struktur tanah yang mulai melunak akibat hujan.
Ditambah dengan ransel yang kujinjing, berjalan dengan sangat pelan adalah solusi terbaik saat
itu. Ketika hari sudah beranjak sore, hujan sudah mulai mereda. Namun, kami tetap harus
berjalan dengan pelan Karena tanah masih sangat licin.

Kami sampai di shelter 1 saat mentari sudah mulai membenamkan diri. Ayah segera
mendirikan tenda dibantu oleh teman-temannya. Selesai tenda didirikan, kami mulai bersih-
bersih, makan, salat, dan bercengkrama sejenak. Walau keadaan saat itu sangat terbatas, tapi
rasanya sangat melegakan ketika kita bisa berbicara dengan orang lain sepuasnya tanpa ada
halangan. Kami menutup hari dengan bersenandung lagu yang mengantarkan kami ke alam
mimpi.

Di pagi hari berikutnya, kami terbangun Karena suara obrolan teman-teman ayah di luar
tenda, ya, kami terlambat bangun. Kami segera tayamum kemudian melaksanakan salat subuh.
Setelah selesai salat subuh, aku mulai membuka resleting pintu tenda dengan kedua tangannya
sembari mengucapkan ‘selamat pagi Tandikek’.

“Ayah, Na mau makan nasi goring,” pinta Nana, adik pertamaku kepada Ayah yang
diacungi jempol oleh Ayahku.

“Far, coba ambilin alat masak di dalam carrier. Nana tolong ambil bahan-bahannya di tas
kak Dis, ya,” perintah ayah yang langsung dilakukan oleh kedua adikku. Aku yang melihat ayah
dan adikku mulai sibuk, maka aku membantu dengan melipatkan sleeping bag dan menyusunnya
di tepi tenda.

“Hari ini kita mau mendaki sampai puncak,” tutur ayah sambil mengaduk nasi goreng di
wajan. Serempak kami bertiga—aku dan kedua adikku—berkata ‘waah’.

“Kita ikut kan, yah?” Tanya Farrouq penuh harapan. Ayahku hanya mengangguk
kemudian menyajikan nasi goreng ke piring kami masing-masing. Kami mulai menyantap nasi
goreng buatan ayah dengan khidmat. Selesai makan, kami membereskan sisa makan kami tadi
dan bersiap untuk melanjutkan pendakian menuju puncak.

Kami pun memulai perjalanan menuju puncak. Sepuluh menit pertama aku sudah mulai
kelelahan. Sepuluh menit berikutnya, aku mulai minta istirahat dan nana mulai kelelahan.
Sepuluh menit beikutnya, Nana mulai minta istirahat dan akhirnya Om Ari menyarankan kepada
ayahku agar aku dan Nana tidak perlu ikut melanjutkan perjalanan karena alasan fisik tadi, dan
ayah hanya bisa mengiyakan.

Kami bertiga—Aku, Nana, dan Ayah, sedang Farrouq ikut melanjutkan perjalanan ke
puncak bersama teman ayah—mulai berputar arah dengan rombongan. Kami berjalan kembali
menuju tenda kami berada. Tetap sulit, karena jalan yang sangat curam. Setibanya kami di
shelter 1, kami membersihkan diri kami kembali.

“Wahhh, Nana, sini, coba tengok, deh,” panggilku seraya menurukan kaos kakiku,
menunjukkan kepada Nana beberapa ekor pacet yang menempel di kakiku.

“Iiih, cabutlah pacetnya, kak,” Nana bergidik ngeri lalu berjalan mundur menjauhiku.
Aku mulai mencabut satu per satu pacet yang ada di kaki dan melemparnya jauh-jauh.
Ketika aku sibuk mencabuti pacet-pacet yang ada di kakiku, ayah sibuk mengumpulkan
sampah di sekitar tenda kami. Sedang Nana, mulai mengistirahatkan badannya di dalam tenda.
Setelah aku selesai mencabuti seluruh pacet, aku masuk ke dalam tenda dan berganti pakaian.

“Ayah, Disa mau buang air kecil,” kataku pada ayah.

“Oke, kita jalan ke dekat sungai,” balas ayah yang dihadiahi anggukan olehku.

Ayah memimpin jalanku. Jalannya sangat curam dan licin sisa hujan tadi malam. Lalu
kami dihadang oleh tangga bambu yang tergantung yang menyebabkan aku harus membuka alas
kakiku untuk turun ke bawah.

“Disa disitu aja, ayah nunggu di dekat sini ya,” tunjuk ayah di antara dua batu besar yang
ada di sungai.

Sungainya berarus deras, penuh dengan batu-batu besar. Aku berjalan perlahan
mendekati batu besar yang dikatakan oleh ayah tadi, memantapkan pijakan, dan mulai jongkok.
Setelah selesai, semuanya aman hingga akhirnya aku salah pijakan dan terpeleset yang
kemuadian membuatku terseret arus sampai di tempat ayah menungguku. Ayah dengan cekatan
menangkap tanganku, dan aku terselamatkan. Aku bergegas bangkit dan keluar dari sungai.
celana yang kukenakan basah kuyup.

“Untung ayah nangkap Disa tadi, kalau nggak mungkin Disa dah sampai di tempat mulai
kemaren,” syukurku kepada Ayah, yang dihadiahi cengengesan dari ayah.

“Makanya, nanti kalau melangkah hati-hati. Karna kemaren hujan makanya jalanan
licin.” Aku hanya menggaruk kepalaku yang tidak gatal. Kami berdua segera kembali ke atas dan
beristirahat hingga sore menjelang.

Saat gelap menghampiri kami, rombongan dari puncak belum juga kembali. Namun,
beberapa orang dari bawah datang dan mulai mendirikan tenda. Kami bertiga tetap beristirahat
tiba hingga Farrouq sampai kembali di shelter 1. Farrouq mulai membersihkan diri dan akhirnya
bergabung dengan kami untuk beristirahat.

“Ada tadi sampai ke puncaknya, Far?” Tanya Nana mebuka percakapan.

“Ga sampai sih, tadi cuman sampai batu besar. terus foto-foto sebentar dan langsung
pulang karena dah sore,” kata Farrouq. Kami bertiga hanya mangut-mangut. “Tadi si Rozi anak
Om Ari kena sengat lebah,” katanya dengan muka serius.
“Tu gimana lagi?” tanyaku.

“Ya, gimana lagi. Dianya nangis. Untung aja pas mau turun kejadiannya.” Lagi, kami
mangut-mangut mendengar cerita Farrouq. Farrouq banyak bercerita malam itu hingga kami
tertidur.

Anda mungkin juga menyukai