Anda di halaman 1dari 4

DI BAWAH ATAP KALIMANTAN

CERPEN

KARYA
Muhammad Siddik
Tahun baru segera tiba, aku bersama
empat teman ku, mencari referensi untuk
BAB 1 malam tahun baru kami, dan entah kenapa
PENDATANG BARU saat itu kami memilih bukit batas sebagai
Martapura, 22 februari, 2006, tempat tujuan. Tiba dimana siang sebelum
seorang wanita yang sangat amat aku malam tahun baru 2019, kami berangkat
sayangi sedang bertaruh nyawa, kala itu tanpa tahu apa yang seharusnya kami
sekitar jam 01:00 pagi dia mulai mengalami persiapkan, hari itu aku membawa tas yang
rasa yang teramat sakit, sampai ketika adzan berisikan snack dan sarung untuk tidur,
subuh memanggil rasa sakit itu berubah empat temanku juga sama seperti itu, tak ada
menjadi rasa bahagia. Mata coklat dengan dari kami yang membawa perlengkapan
rambut yang lebat, menjadi sebuah sumber camping saat itu. Kami berangkat dari
kebahagian yang baru, di kamar itu suara Martapura menuju pelabuhan, diperjalanan
tawa dan tangis melebur jadi kenangan. kami sangat gembira sambil membayangkan
"Heuhh, syukurlah kamu baik-baik saja, hal seru apa saja yang mungkin terjadi.
kamu tau diantara anak-anak mama, kamu Sesampainya di pelabuhan kami tak aku
paling susah" ucap wanita tersebut sambil sudah tak sabar ingin mendaki, tapi apa daya
menggendong bayinya, walau hanya isak perutku lapar saat itu "woii.. Kita makan dlu
tangis pendatang baru yang keluar dari yoo, udah laper nih" ucap ku, "dahh, ayo
mulut bayi tersebut, sang wanita terus bicara kita makan, disana kayaknya murah tuh"
kepada bayi itu "nahh, karna kamu yang sahut Fai, tanpa kusadari ternyata kami saat
paling susah maka kamu harus buat bangga itu sama-sama belum makan karena saking
mama mu ini" sambil mengelus pipi bayi optimis nya mungkin, tidak jauh dari
itu, lalu ibu dari wanita tersebut berkata " pelabuhan kami menyantap mie yang sudah
dia cucu ku, mustahil baginya jika tak kami pesan dengan secangkir kopi, saat
mampu membuatmu bangga" "iyaa bu, sedang asik nya makan, tiba" langit yang
dengan melihat nya tumbuh itu sudah cukup mendung menumpahkan hujan ke bumi,
bagi ku" jawab sang wanita. "aduhh hujan gimana nih? " tanya Fai, aku
hanya asik makan saat itu, lalu sahut Tofa
Bayi tersebut adalah aku, lahir "udah sampai sini juga, mending kita trobos
dikeluarga yang sederhana, membuat aja lahh! " dan diqi menjawab "halahh
momen-momen kecil terasa lebih berarti. jangan gitu juga kali, tunggu aja dulu lagian
Tidak pernah kusesali sedikitpun apa yang sebentar lagi juga teda" "nahh betul tuh, eeh
telah kulewati, bahkan jika aku kembali beli kopi gih kayaknya enak dah ngopi di
mungkin jalanan itu lagi yang akan ku pilih, puncak" ucap ku, dan kami pun menunggu
membosankan bukan? Yaa memang kenapa, hujan reda, tapi sudah lebih satu jam berlalu,
tidak ada salahnya mengulang sesuatu jika hujan masih berjatuhan, untungnya beberapa
itu yang terbaik menurutku. Tapi tenang saja saat kemudian hujan berubah menjadi
dalam cerita ini aku takan menceritakan gerimis, seakan membukankan jalan bagi
tentang diriku, tapi aku akan menceritakan kami yang sudah terlanjur membara.
pengalaman pertamaku dalam menapakan
kaki di alam kalimantan. Kami bergegas menuju pelabuhan, di
sana kami menyewa satu kepal untuk
BAB 2 berempat, kami sadar kapal ini terlalu besar
MENUJU TUJUAN untuk kami, tapi karena waktu itu bukit
batas tidak seterkenal sekarang, jadi hanya
sedikit orang yang datang kesana. Bunyi
mesin kapal terdengar keras, dengan di pintu tebuka, senyuman hanyat bapak
iringi suara gerimis yang menyatu dengan tersebut menbuat kami merasa sedikit
suara ombak seakan-akan menyambut tenang, "Waalaikumsalam, silahkan masuk",
kedatangan kami, ditengah perjalan, hujan kami masuk, dan bapak kembali bertanya
berhenti, namun langit tetap mendung, kami " Ada apa yaa? " "Jadi begini pak, kami
naik ke atas kapal dan melihat pemandangan pengen ke puncak bukit batas, tapi kata
dari luar, "woww" suara kekaguman keluar warga, bukit batas lagi di tutup, terus kami
tanpa permisi dari mulut kami berempat, disuruh izin ke bapak klo mau naik" ucap ku
"heyy, ayo foto!!" seru tofa, kami saat itu, pak Rt ragu saat itu dan menyakan
mengiyakan dan disana kami seperti orang kembali "kalian dari mana? " "dari
yang baru melihat dunia. sungguh martapura pak" "ooh kesini tadi pake kapal?
pengalaman tersebut membuat saya " "iyaa pak" "nah itu kapalnya masih ada
menyukai alam sampai sekarang, bagi saya ga?" "gada pak karna kami bilangnya minta
alam adalah tempat dimana kekaguman jemput besok" jawab ku, bapak tesebut
berubah jadi obat. Kapal yang terus melaju terlihat bimbang kala itu "gimana yaa,
membuat angit semakin kencang, kami sebenarnya gunungnya lagi ga boleh di
berempat duduk sambil tertawa, naikkin" "tapi pak kami besok pagi langsung
menyanyikan lagu yang kami putar di turun, jadi ga lama juga digunung" jawab ku
sepanjang jalan, membuat suasana saat itu dengan optimis "yasudah, kalo emang
tidak lagi terasa dingin. Saat itu umur kami pengen naik, tapi ingat pertama kalian ga
bahkan belum lima belas tahun, tapi umur boleh bikin api unggun, kedua kalian jangan
bukan halangan bagi kami yang terlahir di pake senter, terus jangan ribut, kalo petugas
keadaan yang menuntut kami mandiri dari tau, kalian pasti kena marah" kata pak Rt
kecil, jadi tidak ada alasan untuk tidak dengan serius "iya pak makasih", selesai
melakukannya. meminta izin kami senang diperbolehkan
naik, kami kembali menuju arah bukit batas,
Kapal berhenti, dan kami sudah sampai dijalan warga yang sedang berjaga
sampai, walau bukan ini tujuan akhir kami, tadi meminta uang sebagai biyaya masuk
kami cukup senang sudah sampai di pulau sebesar lima ribu perorang, dan akhirnya
pinus, kami turun dari kapal dan langsung di kami bisa mendaki bukit batas.
suguhkan oleh pepohonan pinus yang
berbaris seakan menjadi pintu gerbang BAB 3
dalam perjalanan pertama kami, tidak lama SEPANJANG MALAM
kami di pulau itu, kami melanjutkan
perjalanan ke bukit batas, di kaki bukit kami Saat itu pukul tiga siang, dan langit
tiba di perkampungan, kami melihat para masih gelap, kami melanjutkan perjalanan
warga desa yang sedang berjaga disana, lalu namun ditengah perjalan, rintik hujan mulai
kami menanyakan arah menunju puncak berjatuahan kembali, kami mencari tempat
bukit batas, tenyata saat itu bukit batas untuk berteduh, untungnya didekat sana ada
ditutup dan dilarang untuk didaki, kami di pandok, jadi kami bisa berteduh. Beberapa
suruh meminta izin kepada Rt setempat oleh saat kemudian rintik yang tadinya kecil
warga yang sedang berjaga, dengan rasa berubah jadi hujan yang lebat, kami
yang tidak karuan kami pun menuju rumah terjebak, dan kami memutuskan untuk
pak Rt. memasak mie saat itu, tapi ridak ada kayu
"Tok.. Tok.. Tok.." "Assalamu'alaikum kering untuk membuat api, terpaksa kami
pak" hanya memasak mie dengan cara
"Tok.. Tok.. Tok.." "Assalamu'alaikum" merendamnya sampai tidak keras lagi,
sambil menunggu hujan reda mie yang
kusantap terasa nikmat kala itu, entah karna
rasa lapar atau pemandangan hujan di atas
gunung yang membuat nafsu makan
bertambah, mie tersebut habis ku makan.
Hujan itu reda, namun waktu sudah
mendekati jam lima, karena puncak sudah
dekat kami memutuskan untuk melanjutkan
perjalanan.
Kami telah sampai di puncak, kami
duduk di atas batu sambil belihat keindahan
alam dari atas. Malam tiba namun langit
kembali meneteskan air, tidak ada tenda saat
itu, kami sadar dan kami langsung bergegas
turun dan kembali kepondok tadi, sampai di
pondok tersebut kami pun terpaksa
menyalakan senter untuk penerangan.
Malam itu menjadi malam yang panjang,
kami berbagi cerita sepnjang malam tanpa
tidur, dengan ditemani suara hujan dan kopi,
tak terasa sudah jam 3 pagi, kami saat itu
kelelahan, untungnya beberapa saat setelah
itu hujan mulai reda, kami memejamkan
mata sebentar untuk memulihka energi,
alaram dari handphone membangunkan ku,
ku lihat saat itu diqi sudah bangun lebih
dulu, jam menunjukkan enam pagi, aku juga
membangunkan yang lain "ayoo, dah jam
enam bangun!" ucapku saat itu, mereka
terbabgun dengan muka lesu, kupikir itu hal
wajar, karna dari kemarin kami tidak ada
makan-makanan selain mie yang direndam
atau mentah. Kami kembali meminum kopi
bekas tadi malam, sambil mengingat betapa
sengsaranya kami malam tadi. Pagi yang
mendung mengawali tahun itu, dan kami
kembali dengan rasa puas.

Anda mungkin juga menyukai