Anda di halaman 1dari 185

DAFTAR ISI

Daftar isi ……………………………………………….1


Kata pengantar …………………………………………3
Interaksi ………………………………………………..4
Natal Baru di London ………………………………...12
Menyulap Asa ……………………………………..…29
Hijrah Hati …………………………………………...34
Perkemahan Jumat Sabtu …………………………….40
Tanpa Hati ……………………………………………44
Jakarta Punya Cerita ………………………………….53
Perusak Harga Diri …………………………………...68
Corylus Avellana ……………………………………..76
Kesalahan ……………………………………………..84
Alden ………………………………………………….90
Distraksi ……………………………………………..102
Kepala Batu …………………………………………111
Titik Buta ……………………………………………118
Aku, Dia dan Tidak Kemampuanku Melupakannya ..128
Si Tua Yang Menarik ……………………………….134
Lebih Dari Pengalaman ……………………………..139

1
Pengalaman Berharga ……………………………….147
Dunia Alat Tulis …………………………………….154
Pelipur Lara …………………………………………161
Semangat bersekolah ………………………………..171
Profil Penulis ………………………………………..180

2
KATA PENGANTAR
Marilah kita haturkan puji serta syukur atas
kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena-Nya kita diberi
nikmat serta berkah sehingga dapat menyelesaikan
Antologi Cerpen untuk tugas Bahasa Indonesia pada
semester ganjil ini.
Kami semua mengucapkan terima kasih kepada
semua pihak yang telah mendukung dalam pembuatan
antalogi ini, kepada Tuhan Yang Maha Esa, Kedua
Orang Tua kami, dan tentunya kepada Bunda Nurasiah
selaku guru Bahasa Indonesia kelas XI MIPA U yang
memberikan tugas ini, serta semua yang telah
mendukung kami.
Dalam pembuatan buku ini, kami menyadari
terdapat salah dan kekurangan. Kami segenap siswa-
siswi XI MIPA U(DEADPOOL) memohon maaf,
semoga yang membaca dapat menikmati, terhibur, dan
dapat mengambil hikmah yang ada dalam tiap cerita
kami.
Hormat kami,
Deadpool (XI MIPA U)

3
INTERAKSI
Karya: Ade Fadhilah
Menyeruput secangkir kopi di kafe dibanding
meminum kopi sambil melihat alam lestari yang
memanjakan indera, berbeda rasanya. Kopi pun
menghilang dari wadahnya tidak meninggalkan apa-apa,
begitu juga obrolan ku dengan Fajar yang tidak
bermakana apa-apa. Namun diantara obrolan itu
terancang wacana yang begitu terencana,
“Hmm, liburan semester enaknya ngapain ya,
Jar?”
“Munggah gunung ae”
“Gunung? Siapa yang mau ikut? Tahun lalu aja
kita gagal muncak.”
“Kita ajak aja Gio, katanya ia pernah daki
Gunung Semeru dan Gunung Cikuray, lagi pula ia anak
MAPALA, pasti kali ini kita berhasil muncak, El.”
Hari demi hari setelah pembicaraanku dengan
Fajar sore itupun berlalu. Pagi ini suara ayam bekokok
saling bersahut-sahutan seakan memberi pesan, “Wahai
manusia, bangunlah. Nanti rezekimu kupatuk.” Sebab
begadang, rasa kantuk masih belum hilang, menarik
selimut kembali adalah sebuah kenikmatan waktu itu.
Tanpa sadar waktu berjalan. Panas sinar matahari yang

4
memasuki kamar membuatku terbangun dari hibernasi,
teryata waktu telah menunjukkan pukul 14.00,
”Waduh jam 2, aku baru ingat ada janjian sama
Fajar.”
Dengan motor vespa lama peninggalan ayahku
yang tidak pernah diservis, aku melaju kencang seperti
mengendarai motor ninja, sebuah motor vespa itu kini
menjadi penguasa jalan raya dibawah kendaliku.
Sesampainya di kos-kosan Fajar, rasa kesal timbul.
Bagaimana tidak, aku yang sudah terburu-buru datang ke
kosannya, sedangkan dia masih tertidur pulas. Jendela
kos-kosan yang tidak memiliki hordeng menjadi
petunjukku. Ku kira dia sudah berangkat, karena kos-
kosannya terlihat sepi. Alhasil segeralah aku mengetuk
kencang pintunya hingga Fajar akhirnya membukakan
pintu untukku dengan wajah lesunya akibat baru
terbangun dari tidurnya.
”Katanya kita mau ketemuan sama Gio,
gimanasih kamu, Jar?! Langsung siap-siap ya! Udah mau
sore nih.”
“Iya, tunggu sebentar.”
“Oh iya, kamu ada kontak Whatsapp Gio gak?”
tanyaku.
“Ada El, mau ajak ketemuan dimana ni?”
“Di kafe senja kemaren aja.”

5
“Assiap El.”
Di kafe senja, kami mencari satu-persatu setiap
meja yang diduduki setiap pengunjung.
“Mungkin belum sampai El, kita tunggu aja.”
“Ya, selagi menunggu dia, lebih baik kita
memikirkan gunung apa yang mau kita daki,” , ucapku.
15 menit kemudian, Gio datang dengan wajah
datar nan dinginya seperti orang mati rasa. Tidak ada
senyum diantara muka polosnya. Hal ini membuatku
tidak yakin untuk mendaki bersamanya, namun lagi-lagi
Fajar menyakinkanku dengan alasan-alasan yang
diutarakanya, selalu saja membuatku terpengaruh
olehnya. Entah apa yang membuat argumen yang keluar
dari mulutnya seperti penawar hatiku. Akupun bertanya,
“Jadi tujuan kita kemana nih? Kalian ada saran
gak?”
“Aku sih ngalir, seperti air mengalir,” ucap Fajar
dengan nada bercanda.
“Alah… ngalir, ngalir, ngalir terus, kita harus
punya pendirian dengan keputusan sendiri sebab kita
daki gunung bukan haya ikut-ikutan tapi menikmati alam
semesta ini.”
“Iya deh, El.”

6
“Kita daki Gunung Merbabu saja, gunung yang
tidak terlalu sulit didaki,” kata Gio dengan nada datar
ciri khasnya.
“Oke setuju, lusa kita berangkat jam 05.00 pagi,”
ucapku dengan semangat.
Hari untuk mendaki Gunung Merbabu sudah tiba,
membuatku semangat untuk bertemu permukaan bumi
yang menjulang tinggi, melihat mentari muncul dari
balik gunung nantinya. Kami bertiga bertemu di sebuah
minimarket untuk membeli pasokan makanan untuk
mendaki kelak. Tas keril masing-masing milik kami
mulai terisi, lalu kami menyewa mobil untuk ke
basecamp Suwanting. Udara kian sejuk, seiring dengan
matahari yang kian tinggi. Merbabu tampak gagah
didepan sana bersemberangan dengan Merapi. Tatkala
kami tiba di basecamp Suwanting, kami bersantai sambil
menghisap rokok, asap rokok yang mengepul, menyatu
dengan hawa dinginnya Merbabu.
Perjalanan kami dimulai, langkah kaki kanan
dilanjutkan kaki kiri beriringan terus menerus, jalanan
yang diapit oleh perkebunan mulai berganti menjadi
deretan pepohonan. Di perjalanan, aku yang belum
terlalu mengenal Gio mengajak berinteraksi dengan
mengobrol untuk lebih mengenal satu sama lain,
“Gio, kenapa sih kamu selalu ingin mendaki gunung?
Gunung kan berbahaya. Lebih nyaman dan aman duduk
santai dan minum kopi di kafe.”

7
“Menurutku, kenyamanan tidak bisa dilihat
hanya dari resiko, melainkan faktor seperti persahabatan
manusia dengan alam yang tidak stabil, manusia bisa
bersikap bijak dan alam mendadak balas dengan amarah.
Tidak jarang juga manusia bersikap kurang ajar dan alam
malah membalas dengan kebaikan. Ketidakstabilan
inilah yang membuatku untuk datang lagi dan lagi untuk
menaklukkan puncak gunung,” ucap Gio.
“Puitis pisan sampeyan Gio,” sahut Fajar.
“Kalo kamu kenapa, Jar? Kan kamu yang mengajak
untuk mendaki gunung?”
”Kalau aku mah simpel, untuk refreshing dan bisa
unggah foto di Instagram hehehe…”
Jam demi jam berlalu, kian lama, jalur kian
menukik, curam, dan berpasir. Bukan hanya energi yang
terkuras tapi juga mental kami. Beberapa kali, aku
hampir terjatuh, beberapa kali pula, Fajar terpeleset.
Kabut makin pekat memenuhi udara, sempat
memuntahkan rintih air, kami berharap bukan hujan.
Jalur ini sudah cukup sulit, jangan sampai bertambah
sulit. Gio menyemangati kami untuk tetap berjalan,
“Turun curam, naik pun melelahkan.”
Hingga kabut perlahan menghilang seiring kami
yang naik. Sejauh mata memandang, tampak Gunung
Sumbing dan Sindoro. Rasa haru tidak tertahankan,
meluapkan emosi dan membakar semangat kami untuk

8
mendaki mencapai puncak gunung ini. Kami
meneruskan langkah demi langkah ditemani mentari
senja yang muncul mengubah langit menjadi warna
merah muda. Perlahan, malam pun datang, karena sudah
kelelahan, dan berhubung malam hari bukan waktu yang
baik untuk terus berjalan, kami memutuskan untuk
mendirikan tenda di pos air tepat di area pos 3.
“Suhu segini didalam tenda kok gak terasa dingin
ya?”
“Iya ya padahal 15 derajat celcius”
“Ini kita 15 derajat celcius tapi kok kerasa anget-
anget aja ya? Apa jangan-jangan? Ah, pengen bercanda
tapi gak enak.”
Setelah berbicara seperti itu, suhu berubah
normal kembali menjadi suhu yang benar-benar 15
derajat celcius, didepan tenda terdengar suara
“Naa,na,na”, disebelah kiri tenda terdengar suara seperti
delman, memang pos 3 tempat angker untuk mendirikan
tenda. Pintu tenda terbuka lalu ARGGGHHH.
“Sialan lu, Jar, lagi di tenda malam-malam cerita
horor di pos 3 pula,” ucapku ketakutan.
“Hahaha, untuk hiburan aja kali El, tapi itu
memang nyata loh,”
“Yang ditakutkan di hutan cuman satu
menurutku, yaitu hewan buas, harimau masih berkeliaran

9
dengan bebas apalagi dikelilingi hutan lebat, merupakan
tempat bersembunyi paling baik bagi hewan buas,” sahut
Gio.
Keesokan paginya, setelah sarapan, beres-beres,
dan mengisi air minum, kami melanjutkan perjalanan.
Jalur curam berpasir yang licin, kini berganti menjadi
jalan setapak yang dihiasi sabana. Kami pun tiba di
sebuah titik tertinggi dari Gunung Merbabu, yaitu
Triangulasi , bertepatan dengan mentari yang baru saja
mengintip dari balik awan. Aku memutuskan untuk
sejenak beristirahat dan menikmati suasana.
“Semua perjuangan kita terbayarkan teman-
teman, aku semakin yakin bahwa manusia tidak
diciptakan untuk sebatas bekerja lalu mati melainkan kita
adalah bagian dari alam semesta.”
“Benar sekali El, manusia dan alam memang
tidak bisa dipisahkan karena terdapat interaksi yang
dilakukan keduanya, interaksi inilah membuat kita harus
lebih memikirkan alam agar interaksi yang terjalin
selama ini tidak pudar dengan kemajuan zaman,” ucap
Gio dengan sedikit air mata berlinang di bola matanya.
Indah, satu kata untuk mewakilkan mega angkasa
pagi ini. Cahaya mentari berwarna keemasan mulai
menyeruak dari balik horison langit. Nampaknya
semesta memihak kepada kami. Awan mendung dan
kabut dihari kemarin sudah tak nampak lagi

10
keberadaanya sehingga terpampang jelas didepan mata,
pesona pemandangan dari atas Gunung Merbabu.
Kini kami menjelma menjadi sahabat yang
mampu berbagi tenda dan tawa. Setelahnya kami turun
dengan perasaan lelah, lega, dan bahagia. Bisa dibilang,
hanya yang sudah siap secara fisik, dana, pengetahuan,
dan mental lah yang kini berhak menyapa negeri diatas
awan sehingga membuat kami bangga karena kami
termasuk orang- orang yang bisa menyapanya. Ada rasa
haru dihati, ternyata benar, gunung bukan tempat yang
baik untuk merayakan, tapi gunung selalu menjadi
tempat terbaik untuk memaknai.
Aku, Fajar, dan Gio berpisah namun ini bukanlah
untuk terakhir kalinya, Sebelum berpisah kami
berbincang tentang kecintaan kami mendaki gunung,
semoga sebuah kisah yang kami pernah buat bisa
diceritakan pada teman, keluarga, maupun anak cucu
kami nantinya agar tahu mendaki gunung sama halnya
dengan candu miras, berbahaya tapi selalu ingin lagi dan
lagi. Sebelum berpisah, Gio yang biasanya diam
langsung buka suara, dan bertanya,
“Jadi Gunung mana lagi yang akan kita daki?.”

***

11
NATAL BARU DI LONDON
Karya : Deby Tiraini Oktavia Silalahi
London, kita bertambah tua tetapi kota ini
tetaplah muda.
London, 17 Desember 2019
Hari ini, pukul 9 pagi, termometer menunjukkan
angka 2 derajat celcius. Aku baru saja tiba di Bandara
London Heathrow (LHR). Perjalanan masih cukup jauh,
sekitar 22 km lagi aku akan tiba di tempat tujuan.
Sepanjang perjalanan, aku mendapati kristal-kristal putih
hinggap di jendela mobil. Sambil meneguk cokelat
panas, kuamati lingkungan negara Inggris ini. Dingin.
Tidak seramai pada musim semi. Ya, karena sekarang
musim dingin.
“Hai, Nona. Siapa namamu?”. Ia memecah
keheningan sembari menyetir mobil. Namanya Tuan
Rey.
“Namaku Zyra, Tuan,” ucapku dalam bahasa
inggris.

12
“Kau baru di sini? Dari negara mana?” tanyanya
lagi.
“Ya, Tuan. Aku dari Indonesia,”
“Oh, ternyata dugaanku benar. Aku banyak
menjumpai orang Indonesia selama bekerja di sini,”
ucapnya sambil terkekeh.
Orang itu terus bercerita mengenai pekerjaannya,
saat bertemu turis, pengalaman-pengalamannya, hingga
keluarganya. Tak jarang, ia bertanya kepadaku dan
meminta pendapatku. Aku mendengarkan setiap
ceritanya sambil sesekali melihat arloji yang melingkar
di tanganku.
“Oiya, Tuan. Apa perjalanan kita masih cukup
panjang?” tanyaku disela-sela ceritanya.
“Tidak lama lagi kita akan sampai di tempat
tujuanmu, Nona Zyra,”
Beberapa menit kemudian, mobil itu terparkir
sempurna di depan apartemenku, The Chronicle. Setelah
menurunkan barang-barangku, aku memberikan bayaran
untuk jasanya.
“Kuharap kita dapat bertemu dilain waktu.
Berhati-hatilah selama di negeri orang. Oiya, terimakasih
atas bayarannya, Nona. Aku pergi. Sampai jumpa,”
katanya sambil melambaikan tangan di balik kaca mobil.

13
“Sampai jumpa, Tuan Rey,”. Aku turut
melambaikan tangan.
Kuputar anak kunci di tanganku. Ruangan itu
terbuka. Alunan musik mengalir sembari aku menata
barang-barangku. Tepat ketika aku menyelesaikan
pekerjaanku, terdengar ketukan pintu.
“Hai, Nona. Aku Mike, pelayan di apartemenmu
sekarang. Aku akan selalu mengantarkan makanan
untukmu. Bila perlu sesuatu, telepon aku dengan
menekan tombol ini,” ucapnya ramah sambil menunjuk
tombol hijau di sebelah pintu.
“Ada yang dapat Saya bantu lagi?” tanyanya.
“Sepertinya tidak ada. Terimakasih atas
makanannya, Mike,” ucapku sambil tersenyum.
“Dengan senang hati, Nona. Saya permisi dulu,”.
Ia membungkuk lalu menutup pintu.
Aku melihat jam dindingku. Ternyata sudah
pukul 12 siang. Perutku mulai berbunyi. Untung saja ia
tepat mengantarkan makananku. Sembari makan, aku
memeriksa jadwal kegiatanku hari ini.
“Baiklah, setelah makan, aku harus pergi ke sini.
Setelah itu, aku akan mengunjungi tempat ini. Lalu, aku
akan makan malam bersama temanku,”
Aku harus memberitahu Mike. Segera kutekan
tombol hijau itu. Tak lama, terdengar suara di seberang.

14
“Halo, Mike. Malam ini Kau tidak perlu
mengantarkan makan malamku. Aku akan makan di luar.
Simpan saja itu untuk besok,” kataku.
“Baik, Nona. Selamat menikmati acaramu malam
ini,” ucapnya.
“Terimakasih, Mike,”
Setelah itu, aku bersiap-siap untuk pergi. Tujuan
pertamaku adalah berbelanja ke Oxford Street. Aku ingin
membeli perlengkapan untuk merayakan natal tahun ini.
Marks&Spencer, Oxford Street
Pukul 2 siang, aku dan temanku, Agatha sudah
berada di Oxford Street. Lampu-lampu Natal tergantung
di setiap toko di jalan ini. Indah sekali dengan
beragamnya warna bersinar di sepanjang jalan ini. Ada
banyak toko di sini. Akhirnya, kami memutuskan untuk
masuk ke toko dengan tulisan ‘Marks&Spencer’.
Wangi lembut menyambut kedatangan kami.
Pelayan-pelayan menyapa dengan ramah. Aku menyukai
etika mereka, sopan sekali. Mereka benar-benar
menghormati para pelanggan yang datang.
“Hai, Nona. Ada yang dapat Saya bantu?” tanya
seorang perempuan.
“Hai! Kami sedang mencari baju Natal di sini.
Apa ada produk keluaran terbaru?” tanya Agatha.

15
“Ah, tepat sekali. Kami memiliki baju Natal
khusus di setiap tahunnya. Baju ini baru saja tiba di sini
dan kalian berhak memilikinya,” ucapnya seraya
menunjukkan benda yang dimaksud.
Merah dan indah. Motif bunga merah ada di
bagian atasnya, bunga-bunga itu mengerubungi hingga
ke bagian tangan. Di bagian bawahnya, polos dan
dibentuk seperti bunga mawar. Ditambah coat merah
tebal yang membungkus dress cantik itu menambah
kesan elegan dan mewah bila dilihat.
Coat itu memiliki segitiga putih di kedua tangan,
balon-balon tangan di bagian lengan, dan bentuk leher
seperti bunga yang mekar. Motif bunga-bunga itu tadi
merambat dari atas hingga ke pinggang membentuk
segitiga lancip ke bawah. Tak lupa pula, ada tali-tali
yang tersusun di punggung. Lengkap sekali, ini benar-
benar indah. Lalu, aku mencobanya di ruang ganti. Aku
terkesima, dress ini benar-benar indah!
“Aku mau dress ini. Berapa harganya?” tanyaku
sambil terus menatapnya.
“Harganya 30 GBP, Nona. Anda yakin ingin
membelinya?” tanya pelayan itu.
“Ya, Aku sangat yakin,” ucapku.
“Baiklah, Kami akan membawakannya untukmu,
Nona. Silahkan menuju kasir untuk melakukan
transaksi,” ucapnya sambil menunjuk ke arah kasir.

16
“Saya permisi dulu, Nona,”. Ia membungkuk lalu
pergi.
Setelah pelayan itu pergi, aku mencari
perlengkapan yang lain. Aku menuju bagian topi. Sambil
mencoba-coba topi, kakiku tak sengaja tersandung
dengan kaki yang lain dan membuatku terjatuh. Tapi,
aku tak merasakan sakit di badanku. Ternyata, seorang
pria telah menangkapku dan sekarang aku berada di
pelukannya.
“Kau tidak apa-apa, Nona?” tanyanya.
“Ah, Aku tidak apa-apa, Tuan. Terimakasih telah
menolongku,” ucapku sambil berusaha bangun.
“Apa ada yang sakit?” tanyanya lagi. Ia
membantuku duduk di kursi yang ada di sebelah rak topi.
Aku meringis ketika ia meluruskan kakiku.
“Sepertinya kakiku sedikit terkilir,” kataku
sambil menahan nyeri.
“Kemari, biar kukompres dengan es agar rasa
nyeri nya berkurang,’ ucapnya. Ia mengambil kain dari
dalam tasnya lalu memanggil pelayan toko. Tak lama,
pelayan toko itu kembali dengan membawa es batu di
dalam wadah.
“Terimakasih,” ucapnya kepada pelayan itu.
“Baik, Tuan. Bila perlu sesuatu, silahkan panggil
kami,” kata pelayan itu sambil membungkuk.

17
Ia mengompres kakiku dengan perlahan. Hawa
dingin merambat ke sekujur tubuhku. Sesekali, aku
meringis menahan sakit. Tak lama kemudian, ia sudah
menyelesaikannya.
“Bagaimana rasanya sekarang?” tanyanya.
“Sudah mendingan. Sekali lagi, terimakasih telah
menolongku, Tuan. Aku berhutang budi padamu,”
kataku.
“Tidak apa-apa, Nona. Aku membantumu dengan
senang hati,” ucapnya.
“Ah, Aku belum memperkenalkan diri. Namaku
Zyra,”
“Aku Brave, Nona. Senang bertemu denganmu,”
“Senang bertemu denganmu juga, Tuan Brave,”
“Baiklah, aku harus pergi sekarang. Sampai
jumpa di lain waktu, Nona,” ucapnya sambil
melambaikan tangan.
“Sampai jumpa, Tuan,”
Setelah pria itu pergi, aku berjalan menuju kasir.
Ternyata, di sana Agatha telah menungguku. Ia
memasang wajah kesal di mukanya.
“Hei, Nona Zyra. Berapa tahun Kau harus
mencari dressmu? Apa Aku akan menjadi lebih cepat tua
jika terus bersamamu?” tanyanya.

18
“Hahaha... Tentu tidak, Nona Agatha. Ayolah,
Aku hanya mencari dress, bukan mencari jarum di antara
tumpukan jerami,” kataku sambil tertawa.
“Baiklah, segera bayar barang itu. Lalu, kita akan
pergi mencari sepatu,” perintahnya.
“Siap, Nona Agatha,” kataku.
Primark, 14-28 Oxford Street
Tujuan kami selanjutnya adalah mencari sepatu.
Tepat pukul 4 sore, Agatha membawaku ke tempat ini
karena ia selalu membeli sepatu di sini. Toko ini
menyediakan semua jenis sepatu yang tepat untuk
pakaian apapun.
“Hei, lihat pump heels ini, Zyra. Sangat cantik.
Cocok untuk dress barumu,” ia menunjuk ke sebuah
sepatu yang terpajang di tengah-tengah toko.
Sepatu itu berwarna merah, senada dengan warna
dress yang kubeli tadi. Tidak terlalu tinggi, sekitar 6 cm.
Bahannya dari kulit.
“Ah, iya, Kau benar. Aku akan membeli ini,”
“Jangan lupa untuk mencobanya terlebih dahulu,
Nona,” ujar pelayan.
“Baik, akan kucoba,”
Sepatu itu sudah terpasang di kakiku. Pas,
membuatku semakin ingin memilikinya.

19
“Apa Anda benar-benar yakin dengan sepatu ini,
Nona?” tanya pelayan.
“Ya, Aku yakin,”
“Baiklah, Saya akan membawanya ke kasir. Apa
ada yang perlu Saya bantu lagi?” tanyanya.
“Sepertinya tidak ada,” kataku.
“Baik, kalau begitu, Saya permisi dulu, Nona,”
ucapnya sambil membungkuk.
“Tepat sekali! Akhirnya, sepatu itu jadi milikmu!
Kau harus berterimakasih kepadaku. Ayo kita ke kasir
dan setelah itu pergi makan malam,” kata Agatha
semangat.
“Baiklah, baiklah. Terimakasih telah
membantuku, Nona Agatha. Ayo kita pergi sekarang,”
ajakku.

The Chronicle, City of London


“Cepatlah mandi dan ganti baju. Aku akan
menunggu di depan TV,” ujarnya seraya memakan
cemilan.
Aku bergegas mandi. 20 menit kemudian, aku
sudah berada di depan TV menggantikan Agatha.
“Baik, Aku sudah selesai. Ayo kita pergi
makan!” ajaknya.

20
“Hei, seharusnya Aku yang berkata seperti itu,”
ucapku
“Hahaha.... Jangan marah, Nona Zyra,” ucapnya
merayu.
Kennington Lane Café, Vauxhall London SE11 5QY
Malam ini kami memilih Kennington Lane Café
sebagai tempat makan malam kami. Seperti biasa, lampu
Natal selalu menyambut kedatangan kami di setiap
tempat di kota London ini. Kami memilih untuk duduk
di meja yang berhadapan langsung dengan pemandangan
luar. Salju turun semakin lebat. Aku mengeratkan coat
yang kupakai untuk lebih menghangatkan tubuhku.
Setelah memesan makanan, aku memerhatikan
sekelilingku. Seorang pria baru saja lewat. Ia
mengenakan syal berwarna merah yang melingkari
lehernya. Tanpa sengaja, aku terus memerhatikannya.
Aku merasa tidak asing dengan syal itu, seperti baru saja
kulihat tadi sore.
“Ada apa, Zyra?” tanya Agatha.
“Sepertinya Aku melupakan sesuatu,”
“Power bank? Charger? Headphone? Atau apa?”
“Entahlah, Aku juga masih ragu,”
“Baik, lupakan saja itu. Makanan kita telah
sampai,” ucapnya bersamaan dengan datangnya pelayan
café.

21
Aku terus berusaha mengingat siapa pria itu tadi.
Aku bahkan tidak mendengarkan semua yang dikatakan
Agatha. Ia terus saja mengoceh, tapi aku tetap tidak
menghiraukannya. Aku baru tersadar ketika sendokku
jatuh tepat di kakiku yang terkilir tadi.
“Auuu....,” aku meringis.
“Kau baik-baik saja?” tanya Agatha.
“Sedikit baik-baik saja,” ucapku.
“Kuharap kau tidak melakukannya lagi, Nona,”
ucapnya.
Tepat ketika aku menyentuh kakiku itu, aku
mengingat pria itu tadi. Ternyata, pria itu yang telah
menolongnya tadi saat di toko M&S. Sontak mataku
beralih kepadanya. Ia duduk di seberang kami, sendirian,
ditemani dengan segelas cokelat panas dan majalah di
tangannya. Aku terpaku kepadanya.
“Sudah selesai makannya, Nona? Kenapa Kau
melamun terus?”
“Ah, iya, sudah selesai. Ayo kita pulang,”
“Malam ini biarkan Aku tidur di apartemenmu,”
“Baiklah,”
The Chronicle, City of London, 12 Desember 2019
Pagi ini, udara sangat dingin. Coat tebalku
seakan-akan tak mampu menahan rasa dingin itu. Aku

22
harus selalu mengeratkan coatku agar tidak mati
kedinginan. Aku sengaja keluar lebih awal untuk
mencari cokelat panas di sekitar sini. Ya, aku menyukai
cokelat panas, lagipula minuman itu sangat cocok untuk
musim dingin seperti ini.
“Tuan, Aku pesan cokelat panasnya satu dengan
tambahan cream vanila,” ucap seorang pria di
belakangku.
“Aku juga memesan hal yang sama, Tuan,”
kataku kepada penjual minuman.
“Hei, Nona. Kita bertemu lagi di sini,” sapanya.
Aku menoleh ke belakang. “Hai, Tuan, Senang
bisa bertemu lagi denganmu,”. Aku mengajaknya
bersalaman.
“Kau tinggal di sekitar sini? Aku sudah beberapa
kali melihatmu di sini,” ucap Brave.
“Ya, Aku tinggal di The Chronicle,”
“Oh, sudah berapa lama di sini?”
“Baru beberapa hari. Aku di sini hanya untuk
merayakan Natal,”
“Pilihan yang tepat, Nona. Setiap tahun, Kota
London selalu merayakan Natal. Puncaknya ada di
tanggal 25 Desember nanti. Kau harus datang! Ada
banyak perayaan di sana,”

23
“Yah, itu tujuanku datang ke sini. Apa Kau tahu
dimana Natal tahun ini akan dirayakan?”
“Di Winter Wonderland, tidak terlalu jauh dari
sini,”
“Apa Kau akan datang, Tuan?”
“Hmm.... Aku belum pasti. Karena di sekitar
tanggal itu, Aku punya penerbangan ke negara lain. Tapi
Aku tidak tahu pasti kapan Aku akan berangkat,”
“Oh, baiklah. Kupikir Kau akan datang juga,”
ucapku sedih.
“Yah, setiap tahun Aku merayakan Natal di sini.
Natal di kota ini selalu berbeda. Aku menyukai setiap
perayaan Natalnya. Rasanya Aku tidak rela jika pergi ke
negara lain pada hari itu,” ucapnya sambil memandang
langit.
“Aku semakin tertarik dengan Natal tahun ini,”
“Hahaha.... Kau harus mencobanya! Baiklah,
Aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa,” ucapnya
sambil melambaikan tangan.
Winter Wonderland, Hyde Park, 25 Desember 2019
Taman ini menjadi salah satu tempat perayaan
Natal tahun ini dan hanya diselenggarakan selama bulan
Desember saja. Tepat hari ini, semua penduduk Kota
London berkumpul untuk merayakan Hari Natal.

24
Hari ini Agatha tidak menemaniku karena ia
sedang bersama pasangannya. Jadi, hari ini aku
sendirian. Dengan dress merah yang senada dengan
pump heels, aku menyusuri Hyde Park. Ada Santa Land,
Magical Ice Kingdom – kerajaan es yang terbuat dari es
dan salju –, Zippos Christmas Circus – atraksi sirkus –,
Zippos Cirque Berserk – pertunjukan sirkus kontemporer
yang menegangkan dan mendebarkan –, Ice Rink –
lapangan ice skating –, Giant Observation Wheel –
kincir ria –, dan Rides/Wahana – wahana seru yang
memacu adrenalin –.
Aku menepi di sebuah taman dekat London Eye.
Menatap ke atas, ke langit hitam yang dipenuhi hiasan
Natal. Ah, Natal tahun ini sungguh indah. Aku akan
mengunjungimu suatu saat nanti.
Tanpa sadar, sepasang mata tengah
memerhatikannya dari tadi. Pria itu menaikkan ujung
bibirnya. Dia cantik sekali.
Ting tong... Ting tong... Ting tong...
“Semua penduduk London, ayo berkumpul di
sini! Acara puncak akan segera dimulai!” seru sebuah
suara.
Aku mendatangi sumber suara tersebut sambil
memasang topeng mata maroonku. Ya, hari ini akan ada
perayaan berdansa bersama pasangan secara acak. Aku
menutup mataku, tanganku mengambil sebuah nomor

25
dari dalam kardus. Nomor 56! Aku harus mencari pria
dengan nomor 56!
“Hei, Nona. Apa Anda mendapat nomor 56?”
tanya seorang pria di belakangku.
Aku mengangguk. Ternyata pria itu juga
mendapat nomor yang sama denganku. Tak lama,
ayunan musik mengalun, kami mulai berdansa.
“Kau cantik sekali, Nona,” kata pria itu.
“Terimakasih. Kau juga tampan, Tuan,”
“Boleh Aku tau namamu?”
“Namaku Zyra, Tuan,”
“Kau mau ikut bersamaku nanti? Aku akan pergi
ke suatu tempat setelah ini,” katanya sambil tetap
berdansa.
“Kemana, Tuan?”
“London Bridge,”. Ia memutar badanku dan
menangkapku ke dalam pelukannya.
“Aku tunggu di depan. Plat mobilku UK 018.
Aku akan menunggumu di sana,” katanya. Setelah itu,
dia pergi meninggalkanku. Aku belum tahu namanya.
Tapi aku yakin aku akan menemukannya.
Setelah selesai berdansa, aku segera menuju
pintu keluar. Kuperhatikan plat setiap mobil di sana. Ah,
itu dia.

26
“Hai, Nona. Senang bisa bertemu denganmu
lagi,” ucapnya sambil tersenyum.
“Oh, Tuan Brave?! Apa Kau yang berdansa
denganku tadi?” aku terkejut.
“Yah. Ayo naik, kita akan pergi sekarang,”
Malam itu, kami ada di London Bridge. Di tepi
jembatan, ada sebuah kursi. Kami duduk di sana. Kami
terdiam.
“Nona, langit mala mini sangat indah, ya,”
ucapnya sambil menatap langit.
“Yah, sangat indah. Aku menyukainya,”
“Oiya, ada perlu apa hingga membawaku ke
sini?” tanyaku.
Ia tak menjawab, malah memerhatikan langit
malam.
“Kau tahu, selama ini Aku selalu kesepian. Tapi,
semenjak ia datang, Aku selalu memikirkannya. Aku
tidak tahan jika tidak bertemu dengannya. Tapi, Aku
hanya berani melihatnya dari jauh karena Aku takut
kalau ia akan menjauhiku,” katanya.
“Hingga akhirnya, Aku bertemu dengannya di
suatu kedai minuman. Kami bercerita, Aku menyukai
saat ia berbicara kepadaku, lembut. Dan tanpa sengaja,
kami dipertemukan lagi di sini, di Natal tahun ini. Aku
memang tidak jadi pergi karena Aku memilih untuk

27
mengundurkan waktu penerbanganku. Aku ingin ia tahu
perasaanku sebelum Aku pergi. Apapun jawabannya,
Aku terima. Yang paling penting adalah Aku sudah
mengungkapkan perasaanku,” suaranya memelan.
“Aku yakin wanita itu sangat cantik. Kau pasti
sangat menyukainya...,” ucapku.
“Ya, Aku sangat mencintainya. Dan malam ini,
Aku akan mengungkapkan perasaanku kepadanya,”
ucapnya sambil menoleh ke arahku.
“Aku?” tanyaku kaget.
Ia merendahkan tubuhnya di hadapanku dan
menatap mataku. Ia memegang tangan kananku. Di
tangan kirinya, ada bunga mawar merah yang sangat
cantik.
“Apa Kau bersedia menjadi kekasihku, Nona
Zyra?” tanyanya.
Tepat setelah dia mengatakan hal itu, sebuah
kembang api bertuliskan ‘I LOVE YOU’ menghiasi
langit malam. Aku terdiam. Kaget, benar-benar kaget!
“Aku... Aku....,” kataku.
Ia masih menunggu jawabanku. Aku menatap
matanya. Ia tidak main-main.
Aku mengangguk. Sontak aku langsung
dipeluknya. Ia memelukku erat, sangat erat. Pelukannya

28
hangat, aku menyukainya. Dan sekali lagi, kembang api
itu ada di langit malam bertuliskan ‘I LOVE YOU’.

***

MENYULAP ASA
Karya : Dhaniz Nurrizki
Aku bersekolah di SMP Negeri 1 Kota Binjai.
Sekolahku merupakan salah satu sekolah favorit di kota
tersebut karena banyak meraih prestasi dalam bidang
akademik maupun non akademik. Karena di sekolahku
terdapat banyak ekstrakurikuler yang sudah meraih
banyak prestasi di tingkat nasional maupun internasional
seperti ekstrakurikuler Bahasa Inggris, debat, renang,
taekwondo, karate, dan banyak lainnya. Karena itu aku
tertarik untuk mengikuti salah satu dari ekstrakurikuler
tersebut.
“Raihan, kamu mau nggak masuk ekskul
taekwondo? Soalnya lagi ada penerimaan anggota baru
nih,” tanya Adi kepadaku.

29
“Wah, boleh tuh, Di. Kebetulan aku juga lagi cari-
cari ekskul yang tepat untukku, sepertinya itu ide yang
bagus,” jawab ku.
“Hari Jumat kita latihan perdana setelah pulang
sekolah ya Han,jangan lupa datang ya,” ujar Adi.
“Siap komandan!” jawab ku.
Pada Hari Jumat aku mulai latihan dan disana aku
merasa ada bakatku di bidang ini dan aku pun berpikir
untuk mendalami taekwondo. Akupun mulai mempunyai
mimpi untuk menjadi atlet taekwondo yang dapat
membanggakan kedua orang tua, sekolah, teman dan
negaraku. Awalnya aku hanya latihan satu kali dalam
seminggu, aku merasa kurang dengan latihan sehari
dalam seminggu.
“Coach, apakah aku boleh menambah waktu
latihanku seperti teman-teman yang lain? Karena latihan
satu kali dalam seminggu ini terasa kurang bagiku,”
tanyaku kepada coachku.
“Serius kamu mau ikut latihan tambahan seperti
mereka?” balas coach.
“Sangat serius, coach,” jawabku dengan tegas.
“Kebetulan bulan depan kita ada kejuaraan di
Banten, kamu boleh mulai latihan hari senin ini ya,
jangan lupa pake baju training saja dan sepatu. Kita
latihan di stadion,” kata coachku.

30
“Siap! Terimakasih, coach!” jawabku semangat.
Pada hari senin pun aku mulai latihan dengan serius
bersama dengan Adi, Fadhil, Juan dan yang lainnya.
Dalam jangka waktu satu bulan ini kami harus berusaha
dengan maksimal, untuk menambah stamina,
menguatkan fisik, dan kecepatan kami. Tentunya tidak
mudah untuk bisa menambah hal-hal tersebut. Namun
hal itu kami lalui bersama-sama, susah, senang kami
lalui bersama. Letih pun tidak terasa lagi karena
semangat kami untuk mencapai hasil yang maksimal.
Pada hari terakhir latihan,
“Baiklah, hari ini hari terakhir kita latihan, besok
kita akan berangkat. Sebelumnya saya sebutkan kalian
main di kelas mana saja. Juan di kelas U-40kg, Adi U-
63kg, Fadhil U-58, dan Raihan U-55. Sekian
pengumuman dari saya, besok jangan telat kita kumpul
di sekolah,” kata coachku.
“Siap! Coach,” jawab kami serentak.
Keesokkan harinya pun kami berkumpul di sekolah
dan melakukan perjalanan ke Banten dengan Bus KONI.
Perjalanan itu menempuh waktu sekitar satu hari. Karena
berat badan kami semuanya belum pas pada
penimbangan, di perjalanan pun kami harus menahan
lapar dan haus. Itu sangat sangat menyiksa kami, tapi
karena semangat kami yang kuat kami harus menahan
lapar sampai selesai penimbangan.

31
Keesokan harinya, kami tiba pada malam hari.
“Han, bangun Han, kita sudah sampe di GOR nih,”
kata Adi.
“Hoammm.. Aku lapar sekali nih Di, ayo kita coba
nimbang dulu siapa tau sudah pas di timbangan,” kataku.
Dan kami pun berjalan memasuki ruang
penimbangan. Dan ternyata berat badan semuanya telah
masuk kecuali aku, berat badanku masih kelebihan 2 kg.
Coachku masih memerintahku untuk menahan lapar
sampai besok waktu terakhir penimbangan.
Keesokan harinya, kami pun berjalan ketempat
penimbangan lagi dan mencoba menimbang lagi. Syukur
berat badanku sudah masuk, sekarang tinggal
menyiapkan fisik lagi untuk persiapan tanding besok.
Keesokan harinya pun kami bersama-sama menuju
tempat pertandingan. Dan hari itu aku dan Juan
bertanding duluan. Hatiku pun mulai cemas dan berdebar
kencang. Kemudian coachku menyuruh kami berdua
untuk bersiap-siap dan langsung turun kebawah untuk
mempersiapkan alat-alat. Sesampainya aku di ruang
tunggu hatiku berdebar semakin cepat karena melihat
lawan-lawanku yang sudah lebih banyak pengalamannya
dibandingkan aku. Kemudian namaku dipanggil dan
diminta memasuki lapangan. Pada saat itu aku sangat
tidak percaya kepada kemampuanku.

32
“Raihan, tenang saja, berikan yang terbaik, jika
kamu tenang maka semua yang dilatih akan keluar
semua,” ujar coachku. Dan akupun berusaha tenang dan
memberikan yang terbaik. Syukur pertandinganku yang
pertama diberi kemenangan. Kemudian aku diminta
menunggu sebentar. Tak lama kemudian, namaku
disebut lagi untuk pertandingan kedua. Aku pun mulai
percaya diri. Di matras, aku memberikan yang terbaik.
Syukur diberikan kemenangan kedua saat itu.
Aku melihat calon lawanku di final. Ia bermain
sangat bagus dan terlihat jauh lebih hebat dariku. Disana
aku pun mulai putus asa. Tidak lama kemudian namaku
dipanggil lagi untuk pertandingan final. Dan coachku
menyiapkan alat-alat untukku.
“Coach, biarkan saja aku juara 2 saja, aku takut
coach,” ujar ku kepada coach.
“BOOOM!” tangan coachku memukul badanku
dengan keras.
“Apa kamu bilang? Tenang saja, berikan yang
terbaik, buat binjai bangga denganmu. Kita semua sama
saja, sama-sama makan nasi, jadi jangan takut. Ayo buat
orang yang merendahkanmu terdiam dan bertepuk
tangan!” ujar coachku.
“SIAP, Coach!” jawabku dengan meyakinkan
diriku.

33
Pertandingan pun di mulai. Syukur Alhamdulillah
aku diberi kemenangan, aku senang sekali. Aku sangat
berterimakasih kepada coachku. Dari sini aku baru tahu
arti dari kata-kata orang yaitu, “Usaha tidak akan
mengkhianati hasil,” dan dari hari ini aku mulai
bersemangat untuk mendapatkan prestasi-prestasi baru
Karena jika kita sudah berusaha dengan maksimal pasti
hasilnya akan indah dan kadang tidak kita sangka itu
bisa kita raih. Semangat!
***
HIJRAH HATI
Karya : Dimas Eka Saputra
Pagi ini, ia kalah dari sang mentari. Dengan
tergesa-gesa, ia bersiap. Di depan kaca berukuran 100
cm, terpampang jelas tubuh jangkung berseragam acak-
acakan. Dengan wajah yang masih mengantuk, Anto
merapikan rambutnya dan melaju ketempat yang
sebenarnyan ia benci,sekolah. Langkah pertamanya
menapak mulus di lantai sekolah bertuliskan “SMA
Mahoni”. Meskipun ia hampir kalah dari pak satpam
yang nyaris menutup gerbang, Anto berhasil lolos. Hal
pertama yang ia temui adalah 5 orang remaja dengan
kondisi mirip dengannya, yang biasa ia panggil dengan
sebutan “GengSuzuran”. Sebagai pemimpin dari Geng
Suzuran, tak ada hal yang Anto takuti di sekolah ini.
Seakan-akan seisi sekolah tunduk padanya.

34
Saat jam pelajaran, Geng Suzuran nekad untuk
bolos kekantin.
“Anto, kita gak dicari guru nih?” tanya Tono
kawan satu geng Anto.
“Santai aja bro,kita ini geng yang paling ditakuti
di sekolah ini,” jawab Anto dengan santai.
Perlahan asap yang menggumpal dihembuskan
sembari memegang sebatang rokok di sela-selajarinya.
Inilah kenyamanan yang setiap hari dijalani, dengan
seperti ini ia meraih kesenangan. Dia tak sadar asap
rokok yang dihembuskan mengganggu kelas lain.
Seketika guru lewat di depan wajah angkuhnya,
memergoki Anto.
“Hei kalian, kenapa kalian tidak masuk ke kelas
dan malah nongkrong di kantin?” tanya guru dengan
ekspresi kesal.
“Emang kenapa pak? Ini kan bukan sekolah milik
bapak kok,” jawab Anto dengan nada santai.
“Kamu ini! Ini juga bukan sekolah nenek
moyang kamu, jadi kamu gak boleh semena-mena di
sekolah ini!” jelas guru dengan tegas.
Lalu, mereka digiring keruang BK. Namun,
dengan santainya mereka melaju tanpa diselimuti rasa
bersalah. Seakan ruang BK adalah tempat yang wajib
mereka kunjungi setiap hari.Sesampai di BK, Geng

35
Suzuran bertemu dengan guru kesayangan yang telah
menyambut hangat mereka.
“Kalian lagi kalian lagi. Sudah muak saya
melihat wajah kalian”, kata guru BK dengan wajah
bosan.
“Halah buang-buang waktu aja di sini, mending
lanjut nongkrong di kantin,” batin Antomeronta.
Selama di ruang BK, Anto dan teman-temannya
diceramahi oleh guru BK. Seakan sudah jadi makanan
sehari-hari, ceramah guru BK di hadapannya ini sudah
sangat dihapal oleh Anto. Secara bertahap, guru BK
membacakan tata tertib sekolah secara satu per satu,
yang membuat Anto dan teman-temannya semakin
terlarut dalam kebosanan. Guru BK pun selalu
memberikan ancaman terhadap Geng Suzuran bahwa
akan mengeluarkan mereka dari sekolah jika melakukan
kenakalan remaja lagi. Tetapi, mereka tak pernah takut
atas ancaman itu, dan bahkan mereka tak peduli dengan
aturan sekolah.
Seusai mendengar celotehan panjang di ruang
BK, Geng Suzuran pun kembali ke kelas masing-masing.
Tapi tidak dengan Anto, ia ingin menemui kepala
sekolah untuk memprotes aturan sekolah yang
menurutnya terlalu mengikat itu.
“Eh Anto, kenapa lu gak ikut masuk ke kelas?”
tanya Tono, teman satu geng Anto.

36
“Gue kesel banget sama peraturan sekolah kita
yang terlalu ketat.” Jawab Anto.
“Kalian mau ikut gue ke ruang kepala sekolah
gak?” Anto bertanya dengan wajah kesalnya.
“Maaf To! Kali ini kami gak bisa ikut. Kami gak
mau nyari masalah yang besar di sekolah ini,” kata
Xianying dengan tegas.
“Oh, jadi ini yang namanya sahabat? Ya udah
gue pergi sendiri aja. Gak perlu minta bantuan kalian
lagi. Gue keluar dari geng,” jawab Anto menjauhi
teman-temannya.
Anto akhirnya sampai di depan ruang kepala
sekolah. Dengan penuh keyakinan, Anto membuka pintu
ruangan dan terlihat sosok kepala sekolah yang sedang
mengerjakan tugas-tugasnya. Kepala sekolah terkejut
melihat Anto di hadapannya.
“Ada apa ini Nak? Kenapa kamu tidak belajar di
kelas? Ini kan masih jam pelajaran,” tanya kepala
sekolah dengan bingung.
“Pokoknya saya mau protes, Pak! Sekolah
macam apa yang peraturannya seketat ini! Ini sekolah
atau militer?!!” ujar Anto dengan nada meninggi.
“Apa maksud kamu Nak? Kok tiba-tiba datang
langsung marah-marah tidak jelas begini?” tanya kepala
sekolah.

37
“Saya di sini datang untuk merubah peraturan
sekolah ini sesuai yang saya mau!” ucap Anto.
Kepala sekolah tidak menyetujui apa yang Anto
inginkan. Saking kesalnya, Anto spontan meninju kepala
pria di hadapannya dengan tangan kosong. Kemudian
kepala sekolah mengusir Anto dan langsung
membawanya ke ruang guru untuk diberikan sanksi.
Pihak guru langsung menelpon ibunya Anto untuk
datang ke sekolah. Sesampainya di sekolah, Ibu Anto
menangis dan memohon agar Anto tidak dikeluarkan
dari sekolahnya. Anto tidak peduli dengan ibunya sendiri
dan langsung meninggalkan ruangan itu. Permintaan
IbuAnto diterima guru-guru, tetapi Anto harus
membuktikan bahwa ia masih berhak untuk bersekolah
di sana.
Anto membuka pintu rumah berwarna cokelat
itu. Ditelusurinya sekeliling rumah,tapi ia tak
menemukan satu orang pun. Kemudian Anto menelpon
saudaranya, menanyakan kemana mereka pergi. Saudara
Anto menjawab bahwa mereka ada di rumah sakit yang
cukup jauh dari rumahnya. Anto bingung, dan kemudian
ia teringat bahwa ibunya menderita penyakit yang sudah
cukup lama. Tanpa basa-basi, Anto langsung melaju ke
rumah sakit itu dengan ninja kesayangannya.
Sampailah Anto di depan rumah sakit itu dan
langsung beranjak menuju kamar tempat ibunya berada.
Ia membuka pintu kamar. Dilihatnya sosok ibu yang

38
terbaring di atas ranjang dengan keadaan lemas. Ibunya
memanggil nama Anto dengan lembut dan Anto dengan
segera mendekati ibunya.
“Ibu baik-baik aja kan?” tanya Anto sambil
menatap ibunya dengan wajah sedih.
“Iya nak, ibu baik-baik aja kok. Kamu gak usah
khawatir, kamu fokus aja dengan sekolah kamu, jangan
jadi anak nakal lagi ya. Ibu ingin kamu jadi anak yang
baik. Biar nanti kamu sukses dimasa depan dan bisa
membuat ibu bangga,” ujar Ibu terbata-bata.
Tak lama, Anto menangis berseru-seru. Hatinya
hancur, tersayat beribu kali karena sang Ibu telah
dipanggil Yang Maha Kuasa. Anto menyesali perbuatan
yang selama ini ia lakukan. Ia berdoa kepada Sang Ilahi,
mendoakan ibunya ditempatkan di tempatterbaik di sisi-
Nya. Setelah kehilangan sosok ibu, sekarang Anto
menyadari bahwa seorang ibu layak untuk dibahagiakan.
Meskipun sudah berbeda dunia, tapi Anto yakin ibunya
akan tersenyum dari sana jika melihat anaknya sukses
kelak.
Anto berjalan melewati rerumputan. Berjalan
menuju sebuah makam bertuliskan “Tini Sumarni”.
“Selamat pagi, Ibu.” Anto tersenyum.
Dibersihkannya makam ibunya itu, serta tak lupa
pula ditaburi beraneka kembang.

39
“Ibu, Anto sudah melaksanakan semua pesan Ibu.
Anto sangat berharap, Ibu bisa tersenyum di sana. Ibu
bisa bahagia atas semua yang telah Anto raih. Anto
mempersembahkan gelar ‘Peraih Nilai UN Tertinggi
2018’ untukI bu, untuk wanita yang sangat Anto sayangi.
Terima kasih Ibu.” air mata Anto tak tertahankan. Anto
pergi meninggalkan makam, menyisakan bayang-bayang
Ibu di pikirannya.

***

PERKEMAHAN JUMAT SABTU


Karya : Dimas Farishandy
Semuanya berawal dari kegiatan tahunan di sekolah
ku Perkemahan jumat sabtu atau biasa disebut perjusa.
Kegiatan ini dilaksanakan tanggal 19 Januari 2019 di
Sekolah ku SMA Negeri 2. Sebelum Hari-H kami
sekelas membagi tugas barang-barang bawaan terutama
tenda tempat dimana kami akan beristirahat nantinya.
Ketika Perjusa kami sebagai peserta dilarang untuk
membawa kendaraan sendiri dan alat komunikasi seperti
handphone. Singkat cerita ketika Hari-H tenda untuk
anak laki-laki belum ketemu sehingga pada hari itu juga
kami mencari pinjaman tenda ke PMR.

40
Meskipun kami dilarang membawa motor aku dan
temanku tetap membawa motor untuk mempermudah
transportasi barang2 kami. Setelah sampai ditempat
ternyata jam sudah menunjukkan pukul 2 yang berarti
kami harus menegakkan tendanya hanya dalam waktu 1
jam 30 menit, ternyata menegakkan tenda itu sangat sulit
tenda itu tergolong cukup besar dan cukup sulit untuk
ditegakkan kami perlu kerja sama lebih untuk
menegakkan tenda ini. Akhirnya tenda pun telah berdiri
dengan baik, waktunya makan telah tiba para perempuan
pun mulai memasak ketika semua orang mulai kelaparan
setelah menegakkan tenda,kompor kami tidak bisa
hidup yang pada akhirnya harus membuat aku dan
temanku pergi kerumahnya untuk mengambil kompor
dirumahnya yang kebetulan tidak jauh dari
sekolah,secepat kilat kami berlari kemotor ku untuk
pergi mengambil kompor kami tidak boleh terlambat
sedetik pun jika terlambat kami harus dihukum push up.
Kembalinya kami kesekolah membuat perut-perut teman
kelas ku dapat tenang,ketenangan itu tak berlangsung
lama setelah salah satu teman ku tidak sengaja
mematahkan satu tiang tenda kami lagi dan lagi kami
pun harus memperbaikinya karena keterbatasan alat
kami harus mengakali tiang tersebut agar dapat berfungsi
lagi, Setelah memotong tiang tersebut kami baru bisa
makan dengan tenangnya
Setelah kegiatan makan kami harus melanjutkan
dengan kegiatan kepramukaan seperti PBB (Pelatihan

41
Baris Berbaris). Adzan maghrib berkumandang kami
yang beragama Islam diarahkan untuk shalat maghrib
berjamaah dimasjid, kami pun melanjutkan kegiatan
dengan berlatih untuk penampilan pensi kami nantinya
yang diselingi dengan seru-seruan bersama teman-teman
yang lain sedangkan ku lihat kelas yang lain yang berisi
“anak nakal” menyenter pepohonan dan juga menyetel
musik dengan keras tanpa memperdulikan mereka kami
tetap melanjutkan kegiatan kami, setelah shalat isha
berjamaah kami dikumpulkan dilapangan untuk kegiatan
pensi, dan setelah menampilkan pensi kami,kami di
arahkan untuk membuat lingkaran besar yang
mengelilingi api unggun besar , pada pukul 11 diadakan
renungan suci lilin yang telah kami bawa tadi dihidupkan
dan diletakkan masing2 didepan kami,karena kondisi
badan yang sudah lelah,hari yang sudah larut malam
beberapa teman ku pun tertidur termasuk aku bahkan
salah satu temanku sampai ada yang mengorok dengan
keras,tak lama berselang kami dibangunkan dari tidur
dengan teriakan/tangisan yang keras dari lingkaran
sebelah wanita seketika kegiatan renungan dihentikan
saat itu juga, kami semua diarahkan kemasjid untuk
“berlindung” sekaligus beristirahat,disana kami bersama
membaca surat2 pendek sebagai perlindungan diri
setelah suasana cukup tenang,kami diarahkan kembali ke
tenda masing2 untuk beristirahat.
Di Tenda pada awalnya suasana tenang mulai
tercipta,baru saja kami menutup mata kami dibangunkan

42
lagi oleh suara teriakan dari tenda kelas lain, yang pada
akhirnya membuat kami dan yang lain diarahkan lagi ke
aula, di aula kami dibagi menjadi beberapa kelompok
dan kelompok itu pun disebar pengelompokkan itu
ditujukan untuk membagi tempat tidur kami. Setelah
tidur seadanya kami shalat subuh berjamaah dan
dilanjutkan dengan kegiatan kepramukaan yang
seadanya seperti meminum air kelapa setelah itu kami
diarahkan untuk berkemas pulang.
Semua kerja keras kami dari awal sampai akhir
hampir terasa sia-sia tenda yang kami bangun dengan
susah payah itu kami hanya dapat menggunakannya
beberapa saat saja , dari perjusa ini kelas kami yang pada
awalnya masih membawa sifat buruk dari smp sudah
mulai mengubah pemikiran kami menjadi lebih dewasa,
sifat egois dan mementingkan diri sendiri perlahan tapi
pasti mulai pudar, semua kegiatan di perjusa sangat
menyenangkan kami mulai membuka potensi diri kami
masing-masing dan juga memupuk semangat gotong
royong.
Tak hanya sampai disitu,keesokan harinya sekolah
dipulangkan lebih cepat karena ada salah satu siswa yang
kesurupan,yang berujung pada kesurupan massal di
smanda, keesokannya kepala sekolah mengambil
langkah untuk mengadakan kegiatan ruqyah massal
untuk melindungi diri kami dari hal-hal yang tidak
diinginkan dengan perlindungan dari Allah.

43
Semenjak peristiwa itu murid-murid,ekstrakulikuler
dan kegiatan sekolah lainnya dibatasi selesai sebelum
adzan maghrib untuk menghindari kejadian tersebut
terulang kembali.
Dari pengalaman perjusa ini saya,teman teman saya dan
warga smanda yang lain mendapat pelajaran yang sangat
berharga kita sebagai manusia tidak boleh egois karena
didalam kehidupan ini kita hidup berdampingan dengan
makhluk hidup lainnya baik itu yang tampak maupun
tidak.

***
TANPA ARTI
Karya : Dwi Mustika Anjasari
Terlihat sepasang remaja perempuan dan laki-laki
yang masih mengenakan seragam putih abu-abu
berlarian tanpa memperdulikan penampilan mereka yang
sudah tidak berbentuk lagi, mereka berlari bersama saat
seorang laki-laki parubaya mencoba mengejar mereka.
“Ini semua salahmu Rama!” perempuan itu
membentak laki-laki yang bersamanya saat merasa tidak
ada lagi yang mengejarnya.
“Salahku? Tidak sadarkah dirimu kalau kau juga
menikmati mangga itu,” jawab Rama tidak terima ketika
dia disalahkan.

44
“Ya benar kau selalu begitu tidak mau
disalahkan, coba saja kau meminta baik-baik tidak perlu
mencuri begitu, lihatlah penampilan kita sekarang,
terlihat aneh,” perempuan itu mengomeli Rama panjang
lebar.
“Ya aku salah dan kau yang benar bukan begitu,
kau sendiri tahu bahwa pak Aji tidak akan memberi
mangganya dengan sukarela,” Rama menjawab tanpa
peduli perempuan yang ada di sampingnya sedang kesal.
“Kita harus minta maaf kepada pak Aji, aku tidak
mau makan makanan yang haram.”
“Baiklah ayo Aina kita pergi dan bersiaplah
untuk segera mendengar ceramah dadakan,” Rama
mengajak Aina kembali ke rumah pak Aji. Ketika
mereka datang pak Aji sudah menyiapkan berbagai kata-
kata mutiaranya untuk mereka.
Aina tertawa saat mengingat kejadian itu dimana
Rama mengambil mangga milik pak Aji yang terkenal
dengan kepelitannya, mereka harus berlari agar tidak
terkena amukan pak Aji. Namun, karena takut memakan
makanan haram mereka kembali dan mendapat ceramah
dari pak Aji. Persahabatan Aina dan Rama memang
sudah terjalin sejak mereka SMA hingga sekarang.
“Aku rindu semua kebersamaan kita Rama,” tawa
yang menghiasi wajahnya luntur tergantikan senyum
getir.

45
“Kenapa kamu tidak pernah mengerti bahwa aku
selama ini menyimpan perasaan padamu?” tanya Aina
pada dirinya sendiri, lolos sudah butiran kristal itu jatuh
dari pelupuk matanya. Tersirat jelas kesedihan yang dia
rasakan.
“Seandainya aku berani mengatakannya, pasti ini
tidak akan terjadi,” ucapnya lirih.
Rama adalah laki-laki pertama yang menjadi
sahabatnya. Rama juga laki-laki pertama yang bisa
membuatnya merasakan sebuah perasaan aneh yang
bergejolak ketika mereka bersama. Dan Rama pula laki-
laki pertama yang mampu membuatnya menjatuhkan air
mata.
Di luar sana hujan sedang mengguyur bumi,
langit nampaknya mengerti, dan turut merasakan
kesedihan Aina. Terlihat Aina menatap keluar, melihat
hujan turun yang setidaknya mampu menenangkan
hatinya.
“Hari ini kamu rela pergi menemui Fina,
dibandingkan bersama denganku saat kematian Ibuku.”
Aina menertawakan dirinya, hari ini dia bukan
hanya kehilangan Ibunya. Namun, hari ini juga dia
merasa kehilangan sahabatnya, Rama. Aina terlalu capai
hari ini, kematian Ibunya sudah menguras tenaganya.
Mengingat Rama, Aina teringat ketika Rama
bergegas pergi saat Fina meneleponnya. “Maaf, tapi aku

46
harus pergi sekarang,” hanya itu yang dikatakan Rama
sebelum dia pergi meninggalkan Aina sedang menangisi
kepergian Ibunya.
Dua hari setelah itu Rama sudah mencoba
menghubunginya, puluhan pesan dan ratusan panggilan
tidak pernah satu pun ditanggapi Aina, bahkan saat
Rama datang ke rumah Aina, dia justru tidak mau
menemuinya.
“Kumohon Aina aku ingin menemui dirimu,”
bujuk Rama yang datang lagi siang hari ini untuk
menemui Aina.
“Kembalilah Rama aku sedang tidak ingin
diganggu,” jawab Aina dibalik pintu rumahnya.
“Aku minta maaf Aina, sungguh aku tidak mau
meninggalkan kamu saat itu namun, aku sudah berjanji
kepada Fina untuk menemaninya pergi, kau sendiri yang
mengatakan bahwa laki-laki itu yang dipegang adalah
janjinya, kan,” Rama berucap lirih, dia sangat sedih
dengan kondisi sahabatnya tapi dia tidak mampu
melanggar janjinya.
Tidak lama kemudian pintu rumah mulai terbuka,
terlihat kondisi Aina yang mampu membuat hati Rama
bergetar ikut merasakan kepedihan.
“Aku memaafkan kamu tapi beri aku waktu
untuk sendiri, kamu tahu Ibu telah pergi meninggalkan

47
aku, dan sekarang aku sendirian hidup di dunia ini,”
Aina berusaha tegar saat mengucapkan kata-katanya.
“Siapa bilang kamu sendirian, aku dan
keluargaku akan selalu ada untukmu Aina, ingat kita
sahabat yang tidak akan terpisahkan,” senyum Rama
menyakinkan Aina.
"Terima kasih Rama, tapi bolehkah aku bertanya
sesuatu kepadamu?"
“Tentu Aina,” setelah mendapat persetujuan Aina
mulai berpikir untuk menyusun kata-kata yang tepat
untuk ditanyakan.
“Apa Fina begitu berarti dalam hidupmumu,
Rama?” Aina bertanya pelan setelah mereka terdiam
beberapa saat.
“Aina tanpa aku jelaskan kamu pasti sudah
mengerti, Fina itu sangat berarti bagiku dia orang yang
aku cintai,” Rama tersenyum bahagia mengingat kembali
kenangannya bersama Fina.
“Terima kasih lagi sudah menjawab pertayaanku”
“Baiklah, ingat aku memberimu waktu untuk
sendiri sekarang, tapi jika ada sesuatu segera hubungi
aku oke.”
Setelah mengatakan itu Rama pergi
meninggalkan Aina yang tersenyum pahit, perkataan
Rama yang mengatakan bahwa mereka cuman sahabat

48
dan betapa berartinya Fina mampu membuat hatinya
terluka.
“Jadi tidak adakah artinya selama ini aku
bersamamu dan menemani setiap suka duka kamu
Rama,” lirih Aina sedih, dia segera masuk ke dalam
rumah.
Siang telah berganti malam dan Aina masih
duduk sendiri dengan kebingungan yang sedang melanda
hatinya, setelah kematian Ibunya dia tidak memiliki uang
lagi bahkan untuk makan dua hari ini merupakan
pemberian dari tetangganya yang berbaik hati.
“Aku harus bekerja, aku tidak mau
mengecewakan Ibu dengan berhenti kuliah, Ibu sudah
susah payah menyekolahkan aku,” tekad Aina untuk
mengambil langkah awalnya.
Sebulan kemudian, Aina telah menata
kehidupannya setelah mendapatkan pekerjaan di salah
satu toko, dia bekerja sepulang dari kuliahnya. Hari ini
pengunjung toko lumayan ramai, Aina sebagai penjaga
toko dengan senang hati melayani pelanggannya.
Sepulang Aina dari toko, bulan telah
menggantikan posisi matahari untuk bersinar. Namun,
ada yang berbeda hari ini Rama terlihat menunggu
dengan senyum lebarnya.
“Aina hari ini aku sangat bahagia, Fina dan aku
telah menjalin hubungan,” Rama mengatakan dengan

49
senyum bahagianya, tapi tanpa disadarinya hati seorang
perempuan yang ada di depannya hancur saat
mendengarnya.
“Benarkah? Selamat kalau begitu,” Aina
mengatakan dengan senyum getirnya, sungguh saat ini
hatinya sakit mendengar semua ini.
“Aina hari ini aku sangat bahagia, oleh karena itu
aku akan mentraktir kamu makan.”
Rama yang sedang berbahagia berjalan mundur
di tengah jalan karena terlihat jalan yang sepi, Aina yang
melihatnya tertawa kecil melihat tingkah Rama, dia
mencoba mengalihkan kesedihannya dengan tertawa.
“Rama hati-hati ini jalanan!” seru Aina saat
Rama hampir ke tengah jalan.
“Aku bahagia Aina akhir−¿.”
“Rama awas ada mobil di belakangmu!” teriakan
Aina membuat Rama melihat ke belakang dan menutup
matanya karena jarak mobil yang sangat dekat
membuatnya takut. Namun, beberapa saat kemudian
Rama merasakan tubuhnya terdorong jatuh dan tidak
merasakan sakit dia mencoba membuka matanya, betapa
terkejutnya Rama saat melihat tidak jauh dari tempatnya
Aina tergeletak dengan tubuh yang bersimbah darah.

50
“Aina, Aina kamu baik-baik saja, kan,” Rama
memanggil Aina yang sedang berusaha tetap sadar, dia
meletakan kepala Aina di atas pangkuannya.
“Tolong, siapa pun tolong panggilkan
ambulans!” teriak Rama yang membuatnya salah satu
dari beberapa orang yang melihat kejadian itu menelepon
ambulans.
“Ambulans sedang dalam perjalanan,” ucap
seorang perempuan yang menelepon tadi.
“Terima kasih, dengar Aina kau harus tetap sadar
ambulans sebentar lagi datang,” ucap Rama
menyakinkan Aina, terlihat air mata telah turun dari
pelupuk matanya.
“Rama aku harus mengatakan sesuatu, sesuatu
yang telah lama ingin aku katakan,” ucap Aina terputus-
putus.
“Kamu masih bisa mengatakannya nanti oke,”
Rama terlihat mengusap air mata yang terus turun dari
matanya.
“Aku harus mengatakannya sekarang, Rama
terima kasih karena selama ini kamu selalu menemaniku,
Rama aku sebenarnya memiliki perasaan denganmu
sejak SMA hingga sekarang, tapi aku tahu kamu tidak
memiliki rasa yang sama, dan kamu bahagia bersama
Fina. Rama aku sangat bahagia aku bisa bersama Ibu
sekarang,” ucap Aina terputus-putus dengan senyumnya,

51
Rama yang mendengar semuanya tidak sanggup
menahan air matanya, sebuah tangis dengan kesedihan
mendalam turun dari matanya.
“Kamu tidak akan pergi Aina, kamu harus
menemaniku, kan?” Rama terlihat sangat menyedihkan,
wajahnya telah dipenuhi oleh banjiran air matanya.
“Terima kasih Rama, aku mencintaimu, dan
sekarang aku akan bersama Ibu dan menemaninya,”
Aina mengatakan dengan air mata yang turut turun.
Rama seakan kehilangan separuh jiwanya,
setelah Aina mengucapkan syahadat matanya menutup
untuk selamanya. Tidak lama kemudian ambulans
datang dengan membawa Aina yang telah
menghembuskan nafas terakhirnya bersama Rama yang
setia mendampinginya.
Semua orang telah pergi meninggalkan
pemakaman pagi itu, meninggalkan seorang laki-laki
yang masih terdiam menatap nisan di depannya. Laki-
laki itu hanya diam tidak membisu sejak Aina
dinyatakan meninggal.
“Andai kamu tahu Aina, aku juga memiliki rasa
yang sama denganmu selama ini. Namun, aku
merahasiakan semuanya darimu tapi seharusnya kamu
tahu bahwa aku tidak pernah sekalipun mencintai Fina,
semua itu hanya sebuah kebohongan yang aku buat.
Sebenarnya aku tidak pergi meninggalkan kamu saat itu,

52
aku ada di sana menjauh darimu karena aku tidak
sanggup melihatmu bersedih, setiap tangisan yang kamu
keluarkan mampu menghancurkan hatiku,” Rama
tersenyum getir mengingat semua hal yang telah dia
lakukan kepada Aina.
“Aina maafkan aku seharusnya aku
mengatakannya ini lebih awal, Aina aku mencintaimu
dulu, sekarang, dan selamanya, semoga kamu bahagia di
sana,” Rama tersenyum seraya menatap nisan yang ada
di depannya, dan pergi meninggalkan pemakaman.

***

JAKARTA PUNYA CERITA


Karya : Elza Ully Tiara T.
Jakarta, 15 Oktober 2017. Udara dingin AC hotel
pagi ini terasa menusuk hingga ke tulang.Embun pagi
masih menyelimuti bumi,sang surya pun masih enggan
menampakkan dirinya. Namun sayup-sayup telah
terdengar ramainnya klakson mobil dan motor yang

53
bersaing di jalanan ibu kota,masing-masing berusaha
terbebas dari kemacetan Jakarta yang amat padat.
Hari ini adalah hari terakhirku berada di
Jakarta.Satu minggu sudah aku telah berkutat dengan
ramainya Jakarta,memikul beban berat membawa nama
Provinsi Bengkulu di ajang Lomba Penelitian Siswa
Nasional tingkat Sekolah Menengah Pertama. Kegiatan
ini dimulai sejak 8 Oktober hingga 13 Oktober di Hotel
Grand Sahid Jaya Jakarta Pusat. Ini adalah pengalaman
pertamaku menginjakkan kaki di ibu kota Negara
Indonesia dengan misi khusus membawa nama Provinsi
Bengkulu di ajang perlombaan nasional.
Perlombaannya memang telah usai sejak dua hari
yang lalu, tapi ku pikir sayang banget kalau langsung
pulang ke Bengkulu, toh Sabtu dan Minggu juga libur.
Alhasil disinilah aku, bergulat dengan kenyamanan
kamar hotel ditemani selimut tebal dan AC hotel yang
dingin, sungguh ini adalah perpaduan kenyamanan yang
lengkap untuk menemani akhir pekanku.
Pagi ini terpaksa aku terbangun lebih pagi.Suara
mama yang memasukkan baju dan perlengkapan ke
koper sungguh berisik mengusik ketentraman tidurku.
“Elza, ayo bangun dong, bantuin mama beresin barang-
barang masih banyak nih yang belum disusun” kata
mama sambil terus sibuk merapikan barang-barang.

54
“Iya ma!” Sahutku sambil membuka selimut tebal yang
menutupi seluruh tubuhku.
“Selamat pagi mamaku yang cantik” Sapaku manja
sambil memeluk mamaku dari belakang.
“Selamat pagi anak mama yang cantik, sudah sana cepet
mandi udah tuh beresin barang-barang kamu terus
masukin ke koper semua” kata mama padaku
“Oke siap boss,”kataku sambil mengambil handuk yang
tergantung di lemari hotel lalu berjalan masuk menuju
kamar mandi.
Jam menujukkan pukul 07.00 pagi, tepat saat
kami telah usai merapikan semua barang dan
memasukkannya ke dalam koper. Jadwal penerbangan
kami sebenarnya masih jam 7 malam nanti, namun kami
memutuskan untuk siap-siap lebih awal, yah daripada
telat kan.
“Ma, udah selesai belum beres-beresnya?” tanyaku pada
mama
“Udah nih tinggal dikit lagi, kenapa kak?” sahut mama
“Lapar banget nih ma, ayo turun ke bawah kita
makan”kata ku pada mama
“Ya udah ayo, mama juga udah lapar. Jangan lupa bawak
HP ya ntar abang Dev nelpon kita ga tau ” sahut mama
“Iya aku ga akan lupa bawa HP mama sayang” kataku
pada mama sambil menggandeng tangan mama

55
Abang Dev adalah salah satu sepupuku yang
tinggal dan menetap di Jakarta,selama aku mengikuti
perlombaan dialah yang terus menemani dan
memberikanku arahan-arahan mengenai
presentasi,wawancara dan banyak hal. Abang Dev itu
orangnya humoris, dan sangat ramah.
Selama aku di Jakarta abang Dev lah yang
menemaniku berkeliling Jakarta disela-sela waktu
kosong seusai kegiatan perlombaan. Ia menemaniku
jalan-jalan ke banyak tempat wisata seperti ke Monas,
melihat Bundaran HI, mengunjungi Taman Mini
Indonesia Indah, hingga menemaniku mencoba
merasakan rasanya naik Bus Transjakarta. Pokoknya
abang Dev itu sepupu yang paling seru dan yang paling
aku sayang.
Setelah selesai makan kami kembali ke
kamar.Saat itu jam masih menunjukkan pukul 07.30 dan
abang Dev belum kunjung datang. Akhinya aku dan
mama memutuskan untuk pergi berbelanja ke BLOK M
SQUARE. Hanya perlu jalan sedikit kami sudah sampai
di sana.Saat kami sedang berbelanja di sana, tiba-tiba
handphoneku berbunyi ,telepon dari abang Dev masuk.
“Hallo, Abang dah sampai di hotelkanmu sama mama
dimana nih?” sahut abang
“Eh, udah sampai ya bang,iya bentar lagi aku balik ke
hotel tadi aku jalan-jalan sama mama niatnya mau beli

56
oleh-oleh di BLOK M. Abang tunggu bentar ya.”
Jawabku pada abang Dev
“Oke abang tunggu ya, cepetan kalau lama abang tinggal
jalan ntar” jawab abang padaku sambil tertawa
“Ok siap boss” sahutku
Sesampainya di hotel aku masuk ke kamar dan
berganti pakaian yang lebih santai dengan kaos
oblong,celana jeans hitam, jaket denim dan tak lupa
mengikat rambutku yang panjang.“okay sudah siap”
gumamku sambil bergaya di depan kaca bulat besar
kamar hotel.
Berhubungan sudah jam makan siang, setelah
berganti pakaian kami memutuskan untuk pergi mencari
tempat makan yang enak di sekitaran hotel.
“Tante kita mau makan apa nih ?” tanya abang pada
mama
“Tuh, tanya adek kamu aja, dia tuh yang paling
kelaparan” sahut mama sambil tertawa
“eh iya , kamu mau makan apa nih dek? Hari terakhir loh
ini makan bareng sama abang ntar sore kan udah pulang
adek abang tersayang ini.” tanya abang Dev padaku,
sambil tertawa dan mengacak-acak rambut ku
“Di mana aja deh asalkan yang bayarin abang” sahutku
sambil tertawa

57
“Ya udah deh kalau gitu makan di solaria aja ya” jawab
abang sambil menunjuk restoran di seberang hotel kami.
“iya ayuk cepetan” sahutku sambil menarik tangan abang
berusaha menyeberangi ramainya jalan Kebayoran Raya
siang itu.
Kami pun makan siang bersama dan setelah itu
berkeliling mencari beberapa gantungan kunci untuk
oleh-oleh pulang ke Bengkulu.
Seusai berbelanja kami pun kembali ke hotel.
Saat itu jam masih menunjukkan pukul setengah dua
siang. Mama memutuskan untuk beristirahat, sedangkan
aku memilih untuk bermain game bersama abang di sofa
depan lobi hotel.
“Bang, Gelora Bung Karno jauh gak sih dari hotel ini?
tanyaku membuka obrolan
“Hem, enggak juga kok dek, naik transjakarta terus turun
di halte kemang jalan dikit dah sampai deh kita, kira-kira
lima belas menitlah dari sini, emang kenapa kamu mau
ke sana?”
“gimana yah sekarang emang jam berapa bang?”
“Jam dua tepat nih, kalau kamu mau abang temenin deh,
yah kira-kira masih keburu sih kalau cuman mau liat-liat,
kan jadwal penerbangannya jam 7 malam, ntar kita
pulang jam 4 sore terus langsung ke bandara, jarak hotel

58
ini ke bandara kan gak terlalu jauh jadi jam setengah
enam nanti kira-kira dah sampai bandara.Gimana dek ?
“Oke deh aku ngambil tas sama kamera dulu ke kamar
sekalian pamit sama mama ya bang”
“iye dah gue tunggu di sini aja ya” sahut abang
Kami pun berjalan menuju halte transjakarta
dengan tujuan Gelora Bung Karno. Benar kata abang
hanya lima belas menit kami sudah sampai di Gelora
Bung Karno, namun sayangnya kami tidak bisa masuk
ke dalam GBK karena GBK sedang melakukan renovasi
besar-besaran untuk menyiapkan SEA GAMES
2018.Walaupun sedikit kecewa karena ga bisa masuk ke
GBK,kami tetap melanjutkan perjalanan.
Iseng-iseng kami ke gedung DPR-MPR dan
mengambil beberapa foto disana, lalu berjalan mengitari
Senayan City sambil mengobrol dengan seru.
Semua hal yang kami lihat bisa jadi topik obrolan
seperti saat tiba-tiba ada sekelompok ondel-ondel lewat
di depan kami. Hal itu tentu itu sangat menarik
perhatianku.Yah maklumlah itu adalah pertama kalinya
aku melihat ondel-ondel dengan sangat dekat.Aku
sempat berfoto dengan sepasang ondel-ondel lucu itu
dan sedikit diajari tarian japin khas dari Betawi.
Aku juga sempat singgah di kantor multimedia
dan plaza yang sering aku lihat di TV seperti gedung
MNC TV, RCTI dan plaza Indonesia yang berpusat di

59
Senayan City. abang juga banyak bercerita padaku
mengenai hal-hal menarik tentang Jakarta sembari
berjalan menyusuri daerah senayan city.Seusai puas
berjalan-jalan kami pun mencari halte transjakarta untuk
pulang ke hotel.
“Bang mama nelpon nih kataku” halo ma kenapa?
“Kak dimana? Udah jam berapa nih nanti telat ke
bandara”
“Iya ma ini juga lagi nyari halte bus sama abang soalnya
dari tadi gak ketemu juga”
“Yaudah, cepetan pulang ke hotel ya”. Sambungan
telepon pun diputus
Setelah berjalan lumayan jauh akhirnya kami
menemukan halte bus transjakarta, namun entah
mengapa bus tak kunjung datang. Kepanikan mulai ku
rasakan saat melirik jam tanganku yang telah
menunjukkan pukul 16.00. Hingga akhirnya tepat 16.08
bus datang dan kami langsung menaikinya.
Sekitar jam setengah lima kami sampai di hotel,
terlihat semua koper dan barang sudah ada di depan lobi
dengan mama yang sudah berdiri di depan lobi dengan
raut tak tenang.
“Sebentar ya tante, aku lagi mesan taksi online” kata
abang pada kami
“iya bang” ini udah jam limaloh bang” sahut mama

60
“iya tante ini ada kendala sedikit”
Abang sibuk mengurus urusan mobil untuk
mengantar kami ke bandara, entah ada kendala apa,
namun terdengar samar-samar olehku sepertinya sang
supir taxi salah memahami alamat hotel, sehingga abang
harus memesan taksi online dengan sopir yang lain, tak
lama kemudian mobil yang kami pesan pun datang
setelah semua koper dipastikan telah masuk ke dalam
bagasi , mobil pun melesat cepat memecah ramainya
arus jalanan ibu kota.
Awalnya perjalanan kami berjalan cukup lancar
tanpa terkendala macet, namun sialnya di tengah jalan
ada penutupan satu pintu gerbang tol sehingga hanya
satu pintu tol yang menjadi akses masuk ke jalan tol,
rasa cemas mulaiku rasakan, keringat dingin mulai
membasahi tanganku, pikiranku melayang bagaimana
kalau kami benar-bena rketinggalan pesawat, ditambah
tatapan kesal mama kepadaku membuatku semakin tak
karuan
“Bang sekarang udah jam 6 gimana nih belum sampai
dan kita belum check in?” tanyaku dengan suara bergetar
karena cemas
“Udah kamu tenang dulu dek” sahut abang
menenangkanku
“Bang kalau telat check in apa harus bayar lagi? Tanya
mama

61
“Iya bisa jadi tante, tapi tante jangan khawatir saya akan
urus semuanya.”Jawab abang
“Kamu sih za kenapa tadi ngajakin abang jalan-jalan
udah tau mau pulang malam ini, kalau kita beneran telat
mama harus apa coba!” omel mama padaku
“udah tante jangan marahin si adek kasian, bukan salah
dia juga kok tan, tadi aku juga yang ngajakin” abang
berusaha menyelamatkanku dari amarah mama
Untungnya abang berhasil menenangkan mama
dan mama hanya diam sepanjang sisa perjalanan, yah
walaupun aku masih merasakan tatapan marah mama
padaku. Hingga akhirnya pukul 18.55 kami sampai di
terminal keberangkatan 1C yang sangat padat.
“udah kamu langsung check in aja deh sama mama, biar
abang aja yang ngurusin barang-barangnya” kata abang
kepadaku.
Secepatnya aku berlari menuju tempat check in,
rasa panik ini membuat semua pikiranku jadi semakin
kacau ditambah saat itu bandara sangat sibuk dengan
antrian penumpang yang cukup padat alhasil langkahku
semakin terhambat dibuatnya. Setelah berhasil melewati
semua tahap pemeriksaan aku berlari langsung menuju
ke tempat check in maskapai Lion Air tujuan Jakarta-
Bengkulu saat itu tak sadar aku pun berlari
meninggalkan mama mengantre dengan cepat bahkan

62
berusaha memotong barisan antrean, yang aku pikirkan
hanya satu aku harus bisa ngejar check in dengan cepat.
“Mbak saya mau check in” kataku pada petugas bandara
dengan napas tak karuan.
“hmm, ini udah telat dek” jawabnya padaku sembari
menujukkan monitor dengan keterangan check in anda
telah berakhirnya.
“Mbak saya minta tolong bangetkan saya hanya telat 10
menit dari batas waktu check in, apa gak bisa lagi mbak
kan masih ada waktu sebelum jadwal penerbangan apa
gak ada dispensasi mbak saya minta tolong sekali”
“Adek coba bawak kertas ini dulu ke customer service
kita di sana ya” Kata petugas bandara itu kepadaku ,
sembari memberikan kertas dengan beberapa catatan
yang sungguh aku pun tak mengerti itu apa
Dengan sigap aku ambil kertas itu, dan langsung
berlari menuju customer service maskapai lionAir yang
jaraknya tak jauh dari tempat check in tadi.
“mas, ini ada catatan”kataku pada petugas sembari
memberikan catatan yang diberikan petugas check in tadi
padaku.
“maaf dek ini sudah terlamabat. Kayaknya gak bisa lagi
nih dek karena ini adalah penerbangan terakhir kita
dengan tujuan Jakarta-Bengkulu

63
“Jadi penerbangan ke Bengkulu ada kapan lagi mas?”
tanyaku semakin panik
“Besok jam sembilan pagi dek”
“Mas apa benar-benar ga bisa saya mohon sekali mas.”
Pintaku memelas
“Maaf dek ini gak bisa lagi”jawabnya padaku
Oh, Tuhan rasanya aku ga kuat lagi berdiri
mataku mulai panas, satu-satu air mataku mulai
mengalir, berusaha ku hapus jejak tangisku saat mama
datang menghampiriku
“Gimana kak? Bisa” tanya mama dengan wajah
cemasnya
“Maaf ma kata petugasnya gak bisa lagi” tangisku mulai
jatuh mengucapkan kalimat itu pada mama
“Cepet kamu cari abang di luar, tanyain kita harus
gimana!” kata mama kepadaku sembari megambil
handphone dan berusaha menelpon abang Dev
Dengan cepat aku langsung berlari berusaha
mencari jalan keluar dari tempat check in, karena tidak
boleh keluar dengan jalan yang sama saat kita masuk
tadi, aku mencoba bertanya pada setiap petugas bandara
ke mana arah pintu keluar.
Suasana bandara yang sangat ramai ditambah
ini adalah kali pertamaku berjalan sendirian di Bandara
Soekarno Hatta yang sangat luas ini membuat aku

64
kebingungan dalam melangkah, hingga akhirnya aku
berhasil menemukan pintu keluar, namun sialnya aku
malah keluar di pintu kedatangan 2B padahal abang tadi
berada di pintu Keberangkatan 1C aku berusaha mencari
di mana pintu keberangkatan 1C namun tak kunjungku
temui.
“Mas ini di mana ya?Tanyaku pada salah satu petugas
kebersihan bandara
“Ini masih di terminal kedatangan 1B mbak “ sahutnya
padaku
“Terminal keberangkatan 1C di mana ya mas?” tanyaku
“Wah masih jauh mbak di ujung sana” jawabnya
Seketika aku mulai panik,air mataku tak bisa lagi
kubendung, rasanya berdiri pun tak bisa lagi kucoba
terus menelpon nomor abang tapi hasilnya nihil nomor
abang selalu tidak aktif, sial aku baru ingat saat di mobil
abang bilang handphone abang habis baterai.
Sungguh aku bingung ini di mana, pikiranku
mulai kacau rasa panik dan menyesal membuat
perasaanku semakin buruk, terbayang padaku bagaimana
marahnya mama padaku.Aku sangat takut, pikiranku
kalang kabut mengingat kami yang harus membayar lagi
tiket, lalu dimana kami harus tinggal malam ini hotelkan
sudah check out, terus apa papa di rumah juga bakalan
marah padaku.

65
Semua pemikiran-pemikiran itu melayang di
pikiranku membuat aku semakin panik, tangisku tak bisa
lagi kubendung tak sadar aku sudah terduduk di sudut
ruangan dan menangis sejadi-jadinya sambil menunduk
berusaha menutupi mukaku yang sembab. Selang
beberapa waktu kemudian tiba-tiba HP ku bergetar, ada
nomor baru yang menelpon.
“Halo ini siapa?” tanyaku sembari masih menangis
“Dek ini nomor Iphone abang yang satu lagi.Kamu di
mana dek?”
“Bang aku gak tau ini di mana, aku bingung” tangisku
semakin menjadi-jadi
“Sudah kamu tenang dulu, jangan panik coba liat ada
tulisan apa disekitar situ ”
“Ini masih di terminal kedatangan 1B kayaknya bang di
dekat KFC ” Jawabku lemah
“Yaudah kamu tunggu di sana yah, abang bentar lagi
datang dah jangan nagis lagi”sambungan pun diputus
Tak lama kemudian abang datang
menghampiriku, dia langsung memelukku dan mengelus
kepalaku berusaha menenangkanku yang menangis.
“sudah dek jangan nangis lagi”
“Elza takut bang, Elza takut ketemu mama, mama pasti
marah besar sama aku” aku menangis sejadi-jadinya di
dalam pelukkannya

66
“udah makanya kamu tenang dulu, dengerin abang,
semua nya udah abang urus kamu sama mama gak bayar
lagi kok tiket pesawat, hanya jadwalnya saja yang di
rubah jadi jam sembilan besok, abang juga udah bilang
sama mama untuk gak marahin kamu, abang udah jelasin
kalau ini bukan salah kamu Elza .Yah cuman tadi kita
enggak ada yang nyangka kalau pintu tol bakalan
ditutup, jadi itu yang ngebuat kita macet dan terlambat
datang, intinya kamu tenang dulu, dah jangan nangis lagi
masa bisa sampai kesesat kayak gini sih Za untung kamu
ga ilang.” ujarnya sambil tertawa.
Sedikit lega rasanya mendengar bahwa kami tak
perlu membayar lagi dan semua sudah selesai abang
urus. Mama memutuskan untuk menginap malam ini di
rumah omku yang ada di daerah cengkareng, kami pergi
ke sana menggunakan taxi, untungnya mama gak terlalu
marah lagi sama aku, dan akhirnya aku dan mama, juga
abang Dev bermalam di sana, keluarga omku pun sempat
kaget karena kami datang malam-malam ke sana. Setelah
bercerita panjang lebar, kami memutuskan istrahat,
paginya mama sudah membangunkanku jam lima pagi
lalu kami berangkat dari sana jam enam pagi mama takut
terlambat lagi katanya.
Abang Dev mengantarkan kami, ke bandara
segera setelah sampai di bandara aku langsung bergegas
Check In untunglah kali ini kami tidak terlambat check

67
in. Akhirnya jam sembilan tepat kami take off, terbang
menuju Bengkulu meninggalkan Ibu Kota Jakarta
Di dalam pesawat aku tak bisa tidur, sedangkan
mama sudah lelap tertidur sejak awal penerbangan.
Kutatap bentangan cakrawala biru nan luas dari balik
jendela pesawat. Ku ingat lagi kejadian memalukan
kemarin, Ah rasanya kalau dipikir-pikir aku ceroboh
sekali sudah ketinggalan pesawat kemarin bahkan bisa
sampai tersesat di bandara dan menangis ketakutan,
hahaha rasanya ini pengalaman yang tak akanbisa aku
lupakan,aku tak sabar ingin bercerita dengan teman-
teman tentang pengalaman seru ini.
Selamat Tinggal Jakarta pengalaman kemarin
sungguh buruk tapi juga sangat seru pengalaman
pertama ketinggalan pesawat dan tersesat di terminal
keberangkatan 1B hari itu akan terus ku ingat dan tak
akan terlupakan.

***

PERUSAK HARGA DIRI


Karya: Ghevin Agung Nugraha

68
“Badai bisa datang kapan saja, maka persiapkanlah diri
dengan baik saat menghadapinya.”
Namanya Syafira Athina, yang akrab disapa
dengan sebutan Athina. Seorang gadis yang cantik nan
anggun bak bidadari, dengan akhlak mulia, serta
kecerdasan lebih yang dia punya membuat siapapun iri
dengannya. Namun siapa sangka, dirinya yang dipuja
banyak orang justru membuat ia dilecehkan dan
ditinggalkan begitu saja. Akibat sebuah foto perusak
harga dirinya, yang disebarluaskan oleh seseorang yang
iri kepada Athina.
Pagi mulai menyapa dengan sang raja siang
bangkit dari ufuk timur, bertepatan dengan Athina yang
baru saja memasuki gerbang sekolah. Namun pagi itu ia
sudah merasa risih akan orang-orang yang berbisik ria
seakan-akan sedang membicarakannya, dia tidak perduli
dan tetap melangkahkan kakinya ke kelas. Sesampainya
Athina dikelas Speaker Audio Class berbunyi,
menandakan ada pengumuman yang akan disampaikan.
“Selamat pagi, untuk anak yang bernama Syafira Athina
dari kelas XI IPS A disilakan menghadap Pak Iman di
ruang BK sekarang. Terima kasih, sekian”
***
Tanpa memerdulikan sekitar, ia langsung
bergegas menuju ruang BK. Sesampainya di ruang BK,
Athina disilakan duduk oleh Pak Iman yang notaben

69
sebagai guru BK. Pembicaraan mereka sangat serius,
namun hati Athina masih bertanya-tanya apa maksud
Pak Iman memanggilnya.
“Athina, Bapak ingin membicarakan sesuatu”ujar Pak
Iman membuka pembicaraan, “sepertinya orang tuamu
harus dipanggil, karena kita perlu ada pembicaraan
dengan Bapak Kepala Sekolah. Karena Bapak mendapat
informasi yang bisa menjadi masalah besar untukmu,”
tutupnya.
“Masalah apa ya Pak?” tanya Athina bingung.
“Besok saja kita bicarakan, jangan lupa kamu harus
datang dengan orang tua mu. Silahkan kembali ke
kelas!” jawab Pak Iman dengan tegas.
***
Keesokan harinya...
“Apa-apaan ini?!” Bentak Pak Effendi dengan nada
yang penuh amarah.
“Bapak, kami mohon untuk tenang dulu” ujar Pak
Arman selaku kepala sekolah SMA Harum Kusuma
Bangsa, “Disini kita sama-sama tidak tahu siapa yang
berbuat hal keji ini.”
“Terus kenapa anak saya yang jadi korban tuduhan ini?!”
Tanya Pak
Effendi tanda tak terima.

70
“Kami pihak sekolah hanya menanyakan kebenaran Pak,
tidak sama sekali menuduh ataupun memfitnah Athina.
Menurut kami semua, ada pelaku dibalik tuduhan ini
pak,” jelas Bu Rini mempertegas, beliau selalu
menghadapi setiap masalah siswa. Baginya, masalah kali
ini cukup berat selama ia menjadi wakil kesiswaan.
“Berani sekali dia menuduh anak saya, bisa-bisanya anak
saya dituduh akan foto tidak senonoh semacam itu. Saya
tidak terima!” bentak Pak
Effendi
“Sebaiknya Bapak tenang dulu,” sigap Pak Iman
meredakan emosi papa
Athina.
“Athina.. Bapak ingin bertanya. Apakah foto ini adalah
dirimu?” tanya
Pak Arman.
“Demi Allah Pak, itu bukan saya. Saya difitnah dan
dituduh, dan untuk apa juga saya melecehkan diri
sendiri,” jawab Athina tegar dengan tubuh gemetar.
“Tapi, dengan kabar burung ini citra sekolah kita
menurun Pak, mau tidak mau masalah ini harus
diselesaikan dengan cepat,” sahut Pak Iman.

71
“Sesuai dengan peraturan sekolah, siswa yang
bermasalah seperti ini harus dikeluarkan dari sekolah,”
tegas Bu Atin.
Jderrr... Hatinya bagai tersambar petir di siang
bolong, badannya seketika lemas dan tak berdaya.
Apakah ini yang disebut keadilan atas fitnah itu?
Dikeluarkan dari sekolah? Sungguh biadab orang yang
menyebabkan masalah ini.
“Apakah itu adil? Keadaan anak saya itu dituduh,
kok dikeluarkan? Sekolah macam apa ini?!” bentak Pak
Effendi.
Athina mulai bangun dari duduknya dan berjalan
pelan menuju meja kepala sekolah, badannya ia
jatuhkan. Lututnya menyentuh tanah, sorot matanya
menangkap jelas siluet mata Pak Arman. Tangannya
dikepal, lalu matanya menampakkan semburat merah.
Air matanya perlahan mengucur deras hingga
membasahi seluruh wajahnya, dan bibirnya mulai
melontarkan perkataan permohonan. “Pak tolonglah saya
hiks.. hiks.. Saya mohon.. Percayalah itu bukan saya..”
ucapnya dengan penuh tangisan.
Ayahnya tak mampu membendung emosi,
kemudian mengambil langkah menuju Athina yang
sedang berlutut memohon lalu menegakan kembali
posisi anaknya menjadi berdiri.

72
“Apa yang kau lakukan nak, kau tidak bersalah!”
bentak Pak Effendi.
Tangisnya bertambah kencang, Athina pun
memeluk ayahnya erat. Semua yang ada disana
merasakan pilu hati yang sangat dalam, dan terenyuh
melihat kejadian ini. Tidak ada yang menyangka seorang
gadis lugu nan cantik, menjadi imbas akibat keirian
seorang manusia biadab.
“Saya sudah memikirkan jalan keluarnya Pak, Bu. Saya
selaku Ketua OSIS disini sudah mempertimbangkan
jalan keluar dari masalah ini, sebaiknya biarkan masalah
ini hilang dengan sendirinya. Athina akan saya bimbing
menjadi kuat dan saya akan membantunya untuk
mengembalikan nama baiknya, saya ikhlas untuk
menolongnya,” ujar Alena dengan tegas.
“Bagus sekali pemikiranmu, Bapak harap apa yang kamu
bilang tadi dapat terwujud Alena,” balas Pak Arman,
“Pak Effendi, saya selaku kepala sekolah mohon maaf
atas ketidaknyamanan ini, saya selaku perwakilan pihak
sekolah akan membimbing penuh Athina kedepannya.
Kami pihak sekolah memutuskan akan menindak lanjuti
kasus ini,dengan tujuan untuk mencari pelaku atas
kekejaman ini.”
“Terima kasih atas penyelesaian masalah ini, saya harap
nama baik anak saya kembali.”

73
“Iya Pak, kami usahakan dengan maksimal,” yakin Bu
Rini.
“Makasih Pak, Bu, dan Nak Alena. Sebaiknya saya pergi
dulu, saya ada meeting dengan klien. Saya titip Athina,”
ucap pak Effendi.
“Terima kasih mbak Alena,” Athina memeluk Alena.
“Kamu yang kuat ya dek,” ujar nya menguatkan Athina.
“Sekarang kalian berdua boleh kembali ke kelas,”
perintah Bu Atin.
***
Masalah itu dapat terselesaikan, namun apalah
daya nasi sudah menjadi bubur. Masalah ini sudah
tersebar keseluruh seantro sekolah, tercoreng lah nama
Athina. Dimanapun Athina berada, disana pasti saja ada
orang yang akan membisikkan dirinya. Tak hanya
berbisik, Athina akan dilempar sesuatu, entah itu batu
ataupun sampah.
“Kau lihat, dia itu yang berfoto bugil. Cuih.. Masih saja
tidak tahu malu.. Dasar wanita jalang.”
“Kalau aku jadi dirinya sudah pasti pindah sekolah, dan
menjauh sejauhnya.”
“Apa?dia masih bersikeras dia tak salah?hahaha dasar
perempuan tak tau diri.”

74
Setiap hari Athina akan mendengarkan semua
hinaan dari teman-temannya, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Tak sedikitpun terlihat
kesedihan di wajah seorang Athina. Karena dia percaya
Tuhan memberinya masalah ini agar ia dapat belajar
menjadi pribadi yang lebih baik.
Byurr.. Athina sudah bosan dengan hal ini, ia
disiram lagi dengan air dingin. Di kantin tidak ada orang
yang peduli dengannya, melihatnya pun saja tidak.
Orang-orang disekitar Athina memilih pindah dan
menjauh, dan tinggalah seorang Athina dengan keadaan
basah kuyup akibat guyuran air tadi.
Dengan langkahnya yang gontai, ia pergi ke
kamar kecil untuk berganti pakaian. Athina terduduk
lemas dilantai, ia mulai bergumam...
“Ya Tuhan, jika aku mati apakah masalah ini
dapat terlupakan? Hatiku sudah tak mampu bertahan dari
tekanan yang selalu menimpa, apa aku mati saja biar
tenang?Andai diriku dapat memutar waktu, rasanya
ingin kembali saja ke masa kecil. Hamba Mu ini
sangatlah lemah Ya Tuhan, mungkinkah jalan ini adalah
yang terbaik untuk diriku dan hidupku?”
Matanya mulai mengeluarkan tetes demi tetes air
mata kesedihan yang teramat dalam, ia sudah tak tahan
lagi dengan jeratan ini. Dirinya mulai bangkit, dan
merogoh saku bajunya untuk mengambil sesuatu.

75
Keputusannya sudah bulat, ia tak tahan dengan semua
ini.
“Ya Tuhan, maafkan hamba mu yang tak
mematuhi perintahmu.. Papa.. Mama.. Maafkan Athina
yang tidak bisa lagi memberi kebahagiaan untuk mama
dan papa..” gumam Athina.
Dibukanya pembungkus silet itu, dengan
keyakinan yang kuat ia mulai mengiris pergelangan
tangannya. Air matanya kembali menderas, sakit goresan
ini tidak seberapa dari sakit akibat tekanan yang
menimpanya. Nafas terakhir seorang Athina berhembus
pada hari itu, kematian Athina menciptakan kesedihan
teramat mendalam dari orang-orang yang
menyayanginya.

“Sebuah berlian diberi arang yang gosong, akan sangat


susah mengembalikannya ke bentuk sempurna. Tak
hanya bentuk, nilainya pun sama susahnya.”

***

CORYLUS AVELLANA

76
Karya : Ghina Fitria Yuwelza
Jumat, hari Jelena untuk berdiam diri hingga sore di
Hutan Hazelnut. Dulu, ayah dan ibunya pernah
mengajak Jelena ke sana, berlari mengelilingi hutan dan
bermain petak umpet di antara pohon. Namun, semuanya
hanyalah kenangan masa lalu. Sweater polos dan celana
jeans biru yang Jelena gunakan untuk busananya hari ini.
Korek api telah Jelena masukkan ke kantong celana.
Jelena beranjak keluar dari kamar.
“Kamu mau kemana, nak?” Suara berat terdengar.
Jelena memutar badan dan menatap sumber suara, itu
adalah ayahnya. Jelena menatap ayahnya dengan malas.
“Hutan Hazelnut,” Jelena berkata dan langsung pergi
meninggalkan ayahnya yang berdiri di depan pintu
rumah. Otak Jelena terus berpikir dan terbayang apa
yang baru saja dilakukannya tadi, Jelena merasa bersalah
telah bersikap seperti itu pada ayahnya, tetapi ayahnya
selalu menyimpan rahasia. Empat tahun Jelena
menunggu kejujuran sang ayah dan hingga sekarang, hal
itu tak kunjung diketahui olehnya.
Pada suatu malam empat tahun yang lalu, hujan
turun dengan deras. Jelena kecil mendengar teriakan
samar dari seorang wanita dan ia pikir itu ibunya,
Yolanda Rose Hadid. Jelena turun dari kasurnya,
mencoba untuk menguping apa yang terjadi. Tubuh
Jelena tergetar menahan tangis mendengar ibunya

77
menangis dan meronta ia langsung berpikir bahwa
ibunya disiksa ayahnya. Akhirnya, Jelena kembali ke
atas kasurnya dan hanya bisa menangis tersedu-sedu.
Malam itu adalah hari terakhir Jelena melihat ibunya
yang dia cintai. Jelena pada saat itu hanyalah anak kecil
yang tak mampu berbuat apa-apa. Hingga saat ini, suara
siksaan itu menjadi mimpi buruk bagi Jelena.
Waktu tempuh Jelena berjalan kaki dari rumahnya
ke Hutan Hazelnut sekitar dua puluh menit. Walaupun
lelah, Jelena menikmati semuanya. Kembali ke tempat
itu membawa lagi kenangan yang dimilikinya,
pikirannya masih melayang entah kemana dan tersadar
saat dia menemukan sekumpulan botol dan kantong
plastik di sekitarnya. Jelena membenci hal itu, ia
langsung memungutnya dan memasukkan sampah
tersebut ke kantong plastik yang sengaja ia bawa dari
rumah. Seminggu sekali, Jelena rutin melakukannya.
Hutan Hazelnut menyimpan terlalu banyak kenangan
indah dan tak akan ia biarkan hutan ini hancur. Jelena
juga percaya bahwa Hutan Hazelnut terdapat peri-peri
yang menjaganya. Jelena berkhayal sambil tertawa kecil.
Tiba-tiba, Jelena melihat ada seorang laki-laki di
depannya yang membuyarkan lamunannya. Telinganya
panjang dan runcing, mata biru bersinar, bulu matanya
lentik, terlihat seperti memakai mascara.
“Ka..kamu siapa?” Tanya Jelena sedikit takut dan
terbata-bata.

78
“Aku Zayn Elf, kenapa kamu begitu takut? Langit
sepertinya gelap. Sebelum hujan, mampir saja ke
rumahku,” Zayn tersenyum dan mengajak Jelena dengan
tatapan manis yang membuat siapa pun tak sanggup
menolaknya.
Jelena sedikit ketakutan karena mengira Zayn adalah
arwah gentayangan yang ada di Hutan Hazelnut. Namun,
pikiran itu berubah saat matanya melihat rumah Zayn.
Ratusan bunga mawar mengelilingi bangunan kecil
berbentuk bulat dengan kubah sebagai atapnya. Hal ini
mengingatkan Jelena tentang ibunya yang sangat suka
bunga mawar. Rose itu sendiri adalah nama tengah
ibunya.
“Namamu siapa?” Tanya Zayn kepada Jelena.
“Aku Jelena Hadid” jawab Jelena. Zayn kembali
tersenyum sambil mengajaknya ke taman bunga.
Jelena melepas sendalnya dan berjalan di hamparan
bunga mawar, ia berlarian bersama Zayn melupakan
semua masalah, ia sangat senang. Kemudian ia
merebahkan badannya di rerumputan hijau, menatap
langit.
“Hei! Ayo sini disini sangat indah!” ucap Jelena
kepada Zayn.
“Aku harus pergi, aku harus melakukan sesuatu.”
Kata Zayn.

79
Terlihat sorot mata Zayn sendu dan terlihat bersedih.
Jelena bingung kemana Zayn akan pergi namun, ia tetap
tak bergeming dari rerumputan sambil menikmati
pemandangan.
“Aduh!” terdengar suara teriakan, namun Jelena tak
menemukan siapapun disana.
“Disini, kau menindih kami” Jelena memandangi tiga
bunga mawar kecil yang ternyata bisa berbicara, ia
terkejut, jangankan untuk berteriak, membuka mulut pun
sulit.
“Jangan khawatir, kami memang bisa berbicara, hai
gadis manis, selamat datang di Corylus Avellana,
dimana tanaman bisa berbicara satu sama lain, Oh! Satu
lagi! Disini terdapat seorang Elf (kurcaci)” ungkap
mawar kecil itu.
Jelena mencoba memahami apa yang terjadi, ia
memberanikan diri untuk bertanya “Siapa Elf itu?”
mawar kecil menjawab dan bercerita sedikit, ternyata Elf
itu adalah Laki-laki yang sejak tadi menemaninya, dan
kini ia sedang mengemban tugasnya menjaga Corylus
Avellana, terlihat di ujung bukit sana Zayn sedang
mondar-mandir kebingungan.
“Kalian bilang aku di Corylus Avallena?” Tanya
Jelena.

80
“Corylus Avallena merupakan dunia para tumbuhan,
tapi tempat ini sedikit demi sedikit akan hancur, kau
berada disini karena kau percaya bahwa kami ada” jawab
mawar kecil.
Dia menjelaskan secara detail apa yang sedang
terjadi di Corylus Avallena. Jelena melihat bagaimana
kondisi tempat ini, ternyata tidak lama lagi akan terjadi
longsor dan tentu saja akan menimpa seluruh tempat ini.
Itu tidak akan ia biarkan terjadi. Ia mengambil langkah
cepat dan kembali ke rumah. Keesokan harinya, Jelena
mengambil beberapa bibit pohon dan peralatan
menanam, ia berencana untuk menanami pohon di
perbukitan yang akan terjadi longsor tersebut.
Sesampainya disana, Zayn langsung mendatanginya
sambil membantu Jelena menanami seluruh bibit itu.
“Besok, aku mulai sekolah kembali, Hari ini adalah
hari terakhir liburanku.” Ucap Jelena.
“Baiklah, kuharap kau akan kembali lagi.” Mereka
menempelkan kedua kelingkingnya seraya mengucap
janji bahwa mereka akan bertemu kembali suatu saat
nanti.
Pada akhir bulan Februari, cuaca sangat panas dan
sangat jarang turun hujan, hal ini mengingatkannya
kembali akan Corylus Avallena. Dimana tepat tiga
bulan yang lalu setelah ia menanami beberapa bibit
untuk menyelamatkan tempat itu. Jelena yang sudah

81
lama sekali tidak berkunjung kesana, Jelena kembali ke
tempat tersebut dengan mengayuh sepeda tuanya. Di
tengah perjalanan, rintik hujan mulai turun. Jalanan
sedikit demi sedikit menjadi licin. Jelena mengayuh
sepeda tuanya dengan cepat agar dapat tiba lebih cepat.
Setibanya Jelena disana, Jelena segera mencari Zayn.
Namun dia tidak menemukan Zayn dimanapun. Jelena
semakin panik, saat dia panik tiba-tiba ada cahaya kilat
diikuti suara petir. Jelena terkejut kemudian berlari
mencari tempat untuk berteduh. Namun sialnya, Jelena
menginjak kaca yang membuat kakinya terluka.
Darahnya mengalir dan menggenang di rerumputan.
Perlahan, mata Jelena berkunang-kunang, lalu dia mulai
tak sadarkan diri.
“Terimakasih saying, kamu telah menyelamatkan
tempat ini. Ibu tak pernah pergi, ibu selalu ada bersama
mu, disini” ucap wanita berparas cantik itu sambil
menunjuk ke hati Jelena.
“Ibu…” Jelena ingin memeluk wanita itu, namun suara
alat kardiograf yang memantau perkembangan jantung
Jelena membangunkannya. Jelena membuka kelopak
matanya perlahan dan merasa silau dengan lampu putih
yang menyorot matanya.
“Anak saya sadar dok!” Ayah Jelena terlihat senang
melihat anaknya yang telah sadarkan diri.

82
Jelena menatap ayahnya dengan tatapan kosong, ia
ingin menemui ibunya, namun yang ia temui saat ini
hanyalah ayahnya.
“Mana ibu?” Tanya Jelena.
Pertanyaan dua kata itu terdengar oleh ayahnya yang
telah membungkam rahasia sejak empat tahun silam.
Ayahnya menjelaskan semuanya secara detail bahwa
ibunya mengidap depresi dan mencoba untuk bunuh diri
pada malam itu. Malam dimana ibunya berteriak seolah-
olah sedang disiksa ayahnya. Ayahnya sama sekali
bukan pelaku penyiksaan ataupun pembunuhan itu.
Ibunya memang meninggal pada hari itu, ia meninggal
bukan karena terbunuh melainkan ia melarikan diri ke
Hutan Hazelnut dan terjatuh hingga membuatnya tewas
di tempat itu. Ayahnya memilih untuk membungkam dan
tidak memberi tahu apapun yang terjadi karena ia takut
anaknya akan trauma dan depresi hingga berujung pada
hal yang sama seperti ibunya. Setelah mendengar cerita
yang sebenarnya, Jelena dengan cepat memeluk ayahnya
erat sambil menangis tersedu-sedu. Ayahnya mencium
kening Jelena lembut. Dokter yang menangani Jelena
menangis haru melihat mereka.
Sejak saat itu, Jelena tidak menemukan lagi
Corylus Avallena. Semuanya menghilang seakan tidak
pernah terjadi. Hampir setiap hari ia mendatangi tempat
itu, namun hasilnya tidak ada. Ia menyimpulkan bahwa
Corylus Avallena, dunia para tumbuhan. Hanyalah

83
khayalan semata yang secara tidak sengaja dibuat oleh
otaknya yang tidak dapat menerima kenyataan akan apa
yang terjadi pada ibunya. Saat Jelena sedang menerka-
nerka, tiba-tiba terlintas dipikiran Jelena apa yang
dikatakan bunga mawar kecil kepadanya bahwa ia harus
percaya. Jelena langsung berkata ”Aku percaya, tempat
itu memang ada. Tempat itu hanya menghilang
sementara karena aku sudah mendapat jawaban atas apa
yang dirahasiakan ayah, aku akan kembali lagi….”
Ucapnya sambil berjalan meninggalkan Hutan Hazelnut
yang dulunya adalah Corylus Avallena.
Tap..tap..tap, langkah kaki berjalan terdengar di
telinga Jelena. Ia menoleh dan melihat ke sumber suara.
“Zayn, apa itu kau?” Tanya Jelena dengan penuh
harap.
“Hai, kau kembali ya?” ucap Zayn sambil tersenyum.
***

84
KESALAHAN
Karya : Jagad Thandika Nugraha
Pagi ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah
liburan semester. Sebelumnya perkenalkan namaku Dodi
Wiranto, aku bersekolah di SMAN 2 Kota Bengkulu.
Pada istirahat pertama, aku dan teman-temanku sedang
bersantai di depan kelas. Karena merasa bosan, teman-
temanku mengajakku untuk berkeliling sekolah.
“Dod, cari angin yuk. Panas sekali disini, sekalian
kita melihat perubahan yang ada disekolah,” ujar salah
satu temanku.
aku hanya mengiyakan ajakan tersebut dan pada
akhirnya kami pun pergi keliling sekolah untuk mencari
angin dan melihat-lihat sekolah.
Sewaktu kami sedang asik berkeliling, tiba-tiba aku
melihat seorang gadis cantik berkacamata. Setelah itu
aku langsung bertanya kepada temanku.
“Heyy, apakah kalian kenal dengan gadis
berkacamata itu?” tanyaku.
“Ooo gadis itu namanya Annisa, dia adalah siswi
pindahan dari sekolah lain” jawab Nino.
“Murid pindahan? Emangnya dia berasal dari mana?”
tanyaku penasaran.

85
“aku dengar dia adalah murid pindahan dari kota
Bandung, kata orang dia pindah karena orang tuanya
ada tugas disini Dod,” kata Milo.
Aku semakin penasaran dengan gadis berkacamata itu,
namun sayangnya dia tidak sekelas denganku. Jurusan
kami berbeda, dia Ipa sedangkan aku Ips. Tapi itu bukan
masalah besar bagiku.
Bel masuk pun berbunyi. Saat di kelaspun aku
masih saja terbayang-bayang dengan Gadis itu.
“Dod!!” kata Lina dengan keras hingga mengagetkan
lamunanku. “Kamu kenapa? Nggak sadar kalo daritadi
dipanggil.”
“Ah, tidak ada apa-apa, aku hanya kurang tidur saja
karena kebanyakan main game tadi malam. Jadi sedikit
melamun,” sengaja ku berbohong pada Lina. Lina
adalah sahabatku dari pertama ku masuk sekola, Lina
orangnya baik ramah dan cukup pintar.
Waktu Istirahat kedua, entah kenapa kantin terasa
begitu ramai. Banyak teman-temanku terlihat juga
disana. Aku mencoba untuk mendekati kerumunan itu.
“ada apa sih, kok ramai banget disana?” Kataku
dalam hati.
Tidak ada temanku yang menjawab, ternyata mereka
semua sedang melihat siswi pindahan.

86
“Eh, kamu tau ga? Murid pindahan yang baru masuk
hari ini Anissa namanya, baru hari pertama aja dia udah
banyak yang naksir,” Lina cerita ke Indah.
“Iya bener Lin. Aku mah takut aja kalo sampe pacar
aku, ikutan naksir sama dia,” geram Indah.
“Eh kalian lagi pada ngomongin apa sih? Ngomongin
murid baru yang namanya Anissa itu?” Tanyaku pada
Lina dan Indah.
“Iya nih Dod, aku takut nih kalau sampai pacar aku
naksir sama dia dan berpaling dariku,” kata Indah.
Pulang sekolah pun tiba, di rumah kucoba buka
media sosial. Aku mencari akun media sosialnya, sangat
sulit mencari akunnya karena banyak orang yang
namanya Anissa. Akhirnya aku menemukan akun
Instagram miliknya. Aku mencoba untuk mengirim
pesan pribadi ke akunnya. Taklama setelah kukirim
pesan itu, dia langsung membalasnya. Aku sangat
senang akan hal itu, kukira dia orangnya sombong.
Ternyata dia orangnya baik banget dan ramah. Aku larut
dalam pesan pribadi dengannya “Ah aku semakin dekat
dengannya,” kataku dalam hati.
Setelah berkirim pesan dalam waktu yang lama, aku
pun memberanikan diriku untuk mengajaknya pergi
jalan-jalan. Tepatnya pada malam minggu, aku
mengirimkan pesan pribadi kepadanya.

87
“Ehh Nis, besok kamu mau gak ikut aku ke suatu
tempat, sekalian jalan- jalan?” tanyaku.
“Emangnya mau kemana dod?” tanya Nisa
“Ikut aku ke pelabuhan niss, disana ada tempat makan
yang enakk banget,” jawabku.
“Okee dod, aku mau ikut. Tapi kamu yang jemput aku
yaa, nanti aku share location,” jawabnya, mendengar
jawabannya tersebut membuatku merasa sangat senang.
Sampailah hari minggu, aku dan dia berkunjung ke
pelabuhan yang tempatnya lumayan jauh dari tempat
tinggal kita berdua, disana kita bercerita satu sama lain.
“Nis kamu kenapa pindah sekolah kesini sih, padahal
di Bandungkan sekolahnya bagus-bagus” tanyaku.
“Yaaa, gimana lagi dod orang tuaku pindah tugas, dan
gamungkin aku tinggal di sana sendiriaan, lagian aku
juga bekum bisa jauh dari orang tuaku eheee”
jawabnya sambil tersenyum manis
pada akhirnya kita menjadi larut dalam sebuah cerita.
“Entah kenapa kita bisa sedeket ini yaa dod” ungkap
Annisa.
“Iyaa nih Niss, padahal kitakan baru-baru ini ngobrol”
jawabku
“Tapi akuuuu....” ucap Anissa ragu.
“Tapi apa Nisss?” jawabku.

88
“Tapiii..” belum lagi Nissa menjawab pertanyaanku,
tiba-tiba hujan turun dan akupun langsung mengajak
Annisa pulang kerumah
Hari hari berikutnya pada jam istirahat aku
mengajaknya untuk bertemu sebentar, dan aku ingin
mencoba mengatakan sebuah rasa padanya. Rasa yang
selama ini aku pendam dan aku simpan dalam hati,
kucoba meskipun aku agak sedikit gugup saat
melihatnya,
“Nisss, sebenarnya aku sukaa sama kamu, aku cinta
sama kamu. Tapi aku belum berani ngomongnya, tapi
pada hari ini aku berani untuk mengungkapkannya”
ungkapku pada Annisa sambil tersenyum. Indah yang
mendengarnya juga terkejut dengan semua itu.
“maaf Dodi, aku sudah memiliki pacar, kamu ingat
tidak waktu kita di pelabuhan pada hari minggu,
tepatnya sebelum hujan turun, aku mau ngomong
sebenarnya aku sudah punya pacar, aku sangar
mencintainya, mungkin kamu datang di waktu yang
salah Dod, maaf aku gabisa menerimamu menjadi
pacarku” jawabnya sambil tertunduk.
“Tapi niss kenapa kamu baru ngomong sekarang
kalau kamu udah punya pacar?” tanyaku.
“Aku mau ngomongnya waktu kita di pelabuhan dod
tapi, sebelum aku selesai ngomong, hujan turun dan
kamu langsung mengajakku pulang, dan kamu tidak

89
bertanya kepadaku sebelumnya kalau aku udah ada
pacar atau belum,” jawabnya dengan muka ga tega.
“Ohh ya sudahlah kalau gitu Niss, maaf aku terlalu
banyak berharap denganmu, terima kasih sudah mau
berteman denganku selama ini, semoga kamu bahagia
dengan pacarmu,” jawabku kecewa.
“Sekali lagi aku minta maaf ya Dod, aku jadi
gaenakkan sama kamu,” ujarnya.
“Iyaaa tidak apa-apa Niss, ini juga merupakan
kesalahanku. Seharusnya aku bertanya dulu kepada mu
kalau kamu udah punya pacar atau belum,” setelah itu
aku langsung pergi dari hadapannya dengan rasa sakit.
Setelah sampai di kelas, aku hanya bisa diam dan
merenungi perbuatanku, dan menyesali apa yang terjadi,
dalam hati aku berkata “Kenapa aku tidak tanya
dulu,apakah dia sudah mempunyai pacar? Mungkin aku
tidak akan merasa sesakit ini.”
Semenjak saat itu aku menjauhinya dan mencoba
melupakannya. Perlahan tapi pasti, aku bisa
melupakannya. Aku memulai mencari cinta yang baru,
dari kejadian Annisa aku belajar bahwa kita harus
mengenalnya terlebih dahulu. Mencari darimana dia
berasal, agar kita tidak berharap kepada orang yang
salah.

90
***
ALDEN
Karya : Jessica Eltira Simanjuntak
Aku selalu berharap agar aku mendapatkan
kesempatan untuk melihat dunia luar itu dengan mataku
sendiri, berlari liar di padang rumput dengan kedua
kakiku sendiri. Aku selalu ingin merasakan sensasi
harum lautan yang menari-nari di depan hidungku.
Sebelum hari itu tiba, aku pernah bermimpi di dalam
pulasnya tidur siangku. Di dalam mimpiku, aku menari
di lembabnya pasir pantai yang di selimuti ombak. Di
sana hanya ada aku seorang. Aku menari tiada henti
sambil mengayunkan tangan kananku dan memutar
badanku, aku tersenyum bahagia. Tiba-tiba, sebuah badai
datang dan membuat aku menghentikan tarianku. Badai
itu disertai petir yang menggelegar. Aku berlari sekuat-
kuatnya, hingga hari mulai gelap. Tidak ada seorang pun
di sana. Hanya aku. Aku duduk dan menangis dalam
diamku karena tidak ada seorang pun yang akan datang.
Lalu, keajaiban pun datang. Seorang lelaki tua datang
kepadaku. Dengan senyum damainya, ia memberikanku
sebuah burung merpati putih. Lelaki tua berwajah damai
itu pun berjalan pergi. Dia meninggalkanku bersama
burung merpati itu.
Malam yang sunyi ini adalah malam terakhir aku
berada di kota Metropolitan ini. Aku menatap sekilas

91
langit malam yang gelap dan beberapa bintang yang
menampakkan dirinya pada malam hari itu. Dengan
nafas pasrah, aku mulai memasukkan baju-bajuku ke
dalam koper yang kuletakkan di atas kasurku. Tidak
lupa, aku memasukkan beberapa novel dan buku-buku
yang aku suka.
"Udah siap?" tanya Papa yang berdiri di depan
pintu. Aku menganggukkan kepalaku sambil meresleting
koper merah muda itu.
"Kalau udah, langsung tidur ya" kata Papa.
Papa bilang besok adalah permulaan yang baru dalam
hidupku. Aku tidak tahu menahu apa yang terjadi besok,
lusa, ataupun seminggu yang akan datang. Yang jelas,
hidup yang telah aku tata sejak dahulu semuanya telah
hancur. Hancur hingga aku lupa cara untuk menata
semuanya. Sebuah kelainan ini membawaku ke sebuah
kota kecil di bagian selatan Sumatera ini. Kecelakaan
menimpaku tepat pada satu tahun yang lalu mengubah
hampir keseluruhan hidupku. Kecelakaan itu membuatku
memiliki kelainan berupa Agoraphobia. Agoraphobia itu
tergolong sebagai anxiety atau serangan panik tetapi
versi lebih gilanya. Agoraphobia membuat penderitanya
takut akan situasi keramaian, bertemu sangat banyak
orang.Saat dipusatkan pada keramaian,
penderita Agoraphobia akan merasa pusing, kecemasan
berlebihan dan mereka bisa saja pingsan. Hal itu pernah
aku alami saat aku berada di tengah keramaian pada saat

92
festival makanan tahun lalu. Saat melihat keramaian, aku
seakan bisa mendengar desah napas orang banyak dan
keringat mulai menyucur dari pelipisku hingga di titik
terparahnya pandanganku mulai gelap hingga aku mulai
tidak sadarkan diri.
Bulan pun berlalu menjadi tahun hingga aku
memutuskan tidak kuliah untuk melakukan beberapa
terapi psikologis yang menyebalkan plus membosankan.
Ocehan psikiater membuatku ingin keluar dari ruangan
saat ia mulai mengatakan semua akan baik-baik saja
padahal aku tahu semuanya tidak akan baik-baik saja.
Beberapa bulan sebelumnya, ayahku memenangkan
lelang rumah di sebuah kota kecil di bagian selatan
Pulau Sumatera ini. Teman ayahku bilang, bahwa kota
itu tergolong kota yang tidak terlalu ramai jadi sangat
cocok untuk penderita agoraphobia sepertiku. Beberapa
hari pun berlalu dan Zimzalabim! Aku berada di kota itu.
Rumah yang akan sementara aku tinggali untuk terapi
sialan ini lumayan. Rumahnya besar dengan hiasan
bunga raflessia yang diukir di dindingnya. Kamarku
berada di atas tepatnya pada ruang paling belakang.
Ayahku bilang, kalau ruangan itu cukup sepi untuk
menenangkan beberapa serangan kepanikan yang akan
kualami. Kamar itu dilengkapi dengan balkon yang
langsung mengarah ke arah taman belakang yang bisa
dibilang cukup bagus. Aku harus siap menerima jika
hari-hariku akan diisi oleh beberapa novel dengan
romansa yang membosankan dan lagu-lagu sendu

93
dari The Carpenters yang akan kuputar setiap
kali Agoraphobia menyerangku. Setiap hari, aku
membaca beberapa novel tepat di kursi di dekat jendela.
Sensasi angin sejuk yang menerpa wajahku setiap aku
membaca di dekat jendela seakan-akan mengurangi
pahitnya kelainan yang sudah menjadi makanan sehari-
hari bagiku. Aku membaca dan terus membaca hingga
aku tersadar ada seseorang yang menatapku dari jauh.
Mata sipitnya menatapku dengan seksama. Seorang
lelaki jangkung yang memakai seragam sekolah
berwarna biru. Bibirnya tersenyum kepadaku sambil
melambaikan tangannya ke arahku. Aku segera menutup
gorden dan menghiraukannya. Setiap jam 4 sore seorang
lelaki bertubuh jangkung itu lewat belakang rumahku
dan lagi-lagi ia melambaikan tangannya. Aku yang tidak
menyukai wajah konyolnya terus menutup gorden setiap
kali melihat dia.
Setiap pagi aku menyiram bunga di halaman
belakang. Suara derap kaki orang berlari kudengar
menuju ke arah rumahku. Suara yang menyesakkan
dada. Suara derap kaki itu makin dekat. Suara hentakan
yang bukan hanya dihasilkan oleh dua kaki. Sebuah
tangan menggedor-gedor pintu masuk di pagar belakang.
Hatiku ragu untuk membukakan pintu tetapi suara
gedoran itu makin keras hingga menyesakkan dadaku.
Keresahan memaksaku untuk menggeser engsel pintu
dan membukakannya dan kulihat seorang lelaki berlari
masuk sambil dikejar oleh 4 orang lelaki SMA yang 3

94
lelaki itu bertubuh jangkung dan satu lagi bertubuh
gemuk. Mereka berlari-lari di halaman belakang
rumahku. Kecemasanku akan keramaian yang
menyesakkan menyerangku tiba-tiba. Semuanya terkesan
buram dan tiba-tiba aku tidak melihat apa-apa.
Semuanya hanya bayangan semu seorang pria yang
mengguncang-guncang tangan dan kakiku. Suaranya
menjadi bayang-bayang yang kudengar samar. Lalu
kurasakan seseorang mengangkat tubuhku. Dia
menurunkan aku dari gendongannya dan
mendudukkanku di salah satu kursi di teras belakang.
"Kau dak papo?" tanyanya dengan raut khawatir. Aku
menatapnya aneh karena aku tak mengerti dengan
ucapannya. "Hah?" tanyaku bingung. "Kamu gakapa-
apa?" tanyanya kembali. Aku mengangguk pelan sambil
membersihkan rumput-rumput yang tertempel
dicelanaku.
"Orang baru ya?" tanyanya lagi dengan tatapan ramah.
"Eh, lo bukannya minta maaf malah nanya mulu"
bentakku padanya. "Ooo, bukan orang Bengkulu toh"
tanyanya dengan tatapan bingung. Aku menatapnya
kembali dengan tatapan sinis. Aku berjalan ke arah pintu
di pagar belakang dan membukakannya.
"Keluar" perintahku kepadanya.
"Aduh, galak amet" katanya kepadaku. Dia mengejarku
sambil menarik tangan kiriku "Eh, sorry. Jangan marah

95
lagi ya" katanya dengan raut muka bersalah. "Oh iya,
nama kamu siapa?" tanyanya kepadaku.
"Gak tau" jawabku singkat.
"Namaku Alden" katanya sambil memberikan tangannya
kepadaku. Aku hanya terdiam melihatnya ketika dia
memberikan tangannya kepadaku untuk
memperkenalkan dirinya. Dia meraih tanganku dan
membuat tanganku menyalamnya. "Nama kamu siapa?"
tanyanya lagi.
Aku hanya diam. "Kasih tau dulu dong namanya"
mintanya
"Zinnia" jawabku singkat. Dia bertepuk tangan sambil
menyunggingkan bibirnya kepadaku "Aku baru dengar
loh nama kaya gitu" lanjutnya.
"Makasih udah nyelamatin aku tadi. Aku pulang dulu ya.
Besok aku main ke sini lagi. Bye Zinnia!" kata Alden
sambil berjalan keluar menuju pintu pagar.
Sejak saat itu dia sering datang ke rumahku. Dia
seorang anak SMA yang tiap harinya menitipkan kue ke
warung-warung untuk mencari sesuap nasi. Alden
bercerita kepadaku ayah dan ibunya sudah bercerai.
Ibunya yang hanya seorang pegawai di POM Bensin
membiayai Alden yang duduk di kelas 3 SMA dan adik
laki-lakinya yang duduk di kelas 1 SMP.  Setiap jam 4
sore saat Alden pulang sekolah ia selalu menceritakan
kepadaku beberapa candaan yang terkadang tidak lucu

96
dan terkesan garing sambil menyiram beberapa bunga di
halaman belakangku.
"Zin, " panggil Alden kepadaku. Aku membalas
panggilannya dengan tatapan dan dua alis yang
terangkat.
"Kamu udah pernah ke Pantai Panjang?"
"Belum" jawabku
"Ke sana, yuk!" ajaknya.
"Kau kan tau kalau penderita agoraphobia gak bisa ke
tempat yang ramai" jawabku dengan wajah cemberut.
"Bisa kok. Gimana kalau kita pergi pagi-pagi besok?"
lanjutnya. Aku mengerutkan dahiku "Mau ngapain?"
tanyaku kembali.
"Kalau pagi kan Pantai Panjang gak terlalu rame. Kamu
bisa lihat deh" kata Alden
Saat Sang Fajar mulai terbit aku pergi ke halaman
belakang sambil berjalan dengan langkah pelan agar
Papa tidak mendengar aku pergi. Aku melihat Alden
menaiki motornya sambil memberiku sebuah helm
merah untuk aku kenakan.
"Gimana kalau di jalan nanti rame? Dan nanti aku
kumat?" omelku kepadanya.
"Gini, nanti kalau di jalan, kamu pake helm sambil tutup
mata. Jangan lihat apa-apa" jawabnya

97
"Kalau jatuh dari motor gimana?" keluhku. Dia menatap
mataku lekat-lekat "Pegang bahu aku kuat-kuat"
jawabnya sambil tersenyum. Perjalanan pun dimulai.
Aku menikmati saat angin dingin pagi hari menerpa
wajahku. Aku hanya menutup mata sambil meletakkan
tanganku di bahu Alden. "Udah sampai" kata Alden
sambil memarkirkan motornya. Aku membiarkan kakiku
memijak pasir pantai. Aku melihat desir ombak yang
beradu seraya angin dingin pantai mendinginkan
hangatnya kulitku. Aku berjalan ke arah tepi ombak.
Kubiarkan ombak itu menyelimuti kaki telanjangku.
"Kamu senang?" tanya Alden. Aku mengangguk sambil
tersenyum. "Makasih" kataku kepada Alden yang sedang
menatapku.
Aku dan Alden duduk beralaskan koran. Yang
kami lakukan hanyalah menatap ombak yang disinari
cahaya kekuningan Sang Fajar. Yang paling kuingat
adalah betapa indahnya wajah Alden pada saat itu. Saat
Sang Fajar memberi sebuah sinar pada wajah kecilnya.
"Kamu cantik" kata Alden kepadaku. Aku menoleh
kepadanya dan menggariskan sebuah lekukan senyum di
bibirku. Alden mengambil sesuatu dari tas hitamnya
yang telah robek. Sebuah kertas yang dialaskan papan
LJK. Dia mengambil sebuah pensil dan mulai
menggoreskan pensilnya di atas kertas itu.
"Mau ngapain?" tanyaku kepadanya.

98
"Mau gambar kamu" jawabnya. Dia mulai
menggambarkan wajahku pada kertas itu.
"Jadi kamu nanti mau kuliah mana?" tanyaku.
"Kayanya aku gak bakal kuliah. SNMPTN gak dapat,
dan mama gak sanggup bayar kuliah aku Zin" jawabnya.
"Aku dapat sih beasiswa di luar kota, itu pun swasta.
Beasiswanya gak penuh. Aku juga tetap gak bisa bayar
itu. Tapi, Aku bakal kerja supaya aku bisa kuliah. Jika
uang aku sudah terkumpul, aku bakal kuliah di Bengkulu
supaya aku bisa jagain kamu" lanjutnya dengan nada
serius. Aku hanya terdiam mendengarnya. Dia
melanjutkan lukisannya sementara aku menikmati
suasana Pantai. Saat jam sudah menunjukkan pukul 7
kami memutuskan untuk pulang. Aku merasakan suara
orang banyak saat aku berangkat pulang. Yang aku
lakukan hanyalah menutup mataku sambil memegang
erat bahu Alden. Sesampai di rumah, aku turun dari
motornya. "Makasih" kataku kepadanya. Aku membuka
pagar belakang, "Zin" panggil Alden kepadaku. Aku
menoleh ke belakang melihat senyumannya kepadaku
yang lebih manis dari sebelumnya.
"Aku suka kamu Zin," katanya. "Kamu mau gak jadi
pacar aku?" tanyanya.
"Kamu mau punya pacar yang punya sakit mental kaya
aku?" tanyaku balik.

99
"Aku cinta kamu Zin. Meskipun kamu lebih tua dari aku,
meskipun kamu sakit mental kaya gitu, aku siap"
jawabnya. Aku tersenyum mendengar kata-katanya,
"Alden, kamu itu masih kecil" kataku kepadanya.
"Kamu gak harus jawabnya sekarang kok, kamu bisa
jawab kapan aja kamu siap" lanjutnya. Aku hanya
tersenyum kepadanya sambil menutup pagar dan masuk
ke dalam rumahku.
Perasaan bahagia yang kurasakan saat mengetahui
Alden mencintaiku. Aku merasakan gemuruh hebat di
dadaku saat mengetahui Alden tidak akan melanjutkan
kuliahnya tahun ini. Jika pun ia sudah mendapatkan
uang, ia akan tetap kuliah di sini demi menjagaku. Aku
bimbang harus bagaimana. Aku ingin Alden melebarkan
sayapnya. Aku sadar dia orang yang berbakat. Dia tidak
harus kuliah di sini untuk menjagaku. Aku terpikir suatu
ide. Ide yang gila. Aku akan membantu Alden. Aku
menelpon Papa yang sedang bekerja. Terkesan gegabah.
Aku tahu ini adalah hal yang benar untuk dilakukan.
Hari pun berlalu dan aku menyadari untuk
memberanikan diri menyatakan semuanya kepada Alden.
Aku hanya menunggu saat yang tepat. Aku menunggu
saat bulir-bulir air dari awan membasahi tanah. Di sore
hari itu, langit mulai mendung dan aku mengambil
ponselku. Aku memanggil Alden untuk datang ke danau
kecil di belakang rumahku. Aku segera pergi ke danau
itu. Aku membiarkan tetesan air hujan membasahi. Aku

100
sungguh tidak peduli akan apa yang aku lakukan. Aku
terduduk di tepi danau menunggu Alden. Alden datang
kepadaku sambil mengenakan payung.
"Ngapa di sini Zin? Nanti kamu sakit loh hujan-hujanan"
katanya.
"Aku gak mau lihat kamu lagi" teriakku kepadanya. Dia
mengerutkan dahinya, "Kenapa?" tanyanya.
"Kamu gak pantes buat aku" kataku.
"Kamu gak mau jadi pacar aku?" tanyanya.
"Kamu miskin, bodoh, jelek. Gak cocok buat aku yang
kaya" bentakku sekali lagi padanya.
"Aku bisa jadi kaya suatu hari, Zin. Aku bakal bahagiain
kamu dengan uangku suatu hari"
"Kamu tetap gak pantas buat aku. Aku gak sudi temanan
apalagi pacaran sama orang miskin" teriakku kepadanya.
"Kamu pergi, jangan temuin aku lagi" teriakku lagi.
Alden tetap berdiri di sana. Ia mendekatiku. Ia
memberikanku sebuah kertas yang sudah dilaminating.
Kertas itu berlukiskan wajahku yang menghadap
samping. Gambar yang ia buat di pantai waktu itu. Dia
memberikan payungnya kepadaku. "Pergi" kataku lagi
kepadanya. Dia meninggalkanku tanpa mengatakan
sepatah kata pun. Kesedihan ini merasukiku. Semuanya
adalah kebohongan. Aku sangat sangat mencintai Alden.
Alasanku mengatakan ini kepadanya pada saat hujan

101
adalah agar ia tidak melihat tangisanku. Aku pergi ke
rumah dan merebahkan tubuhku ke tempat tidur dan aku
menangis sejadi-jadinya. Aku meminta tolong kepada
Papaku supaya Alden bisa kuliah. Papaku akan
membiayai sisa kuliah Alden dari beasiswa tersebut. Jika
Alden tahu ini, ia pasti tidak bakalan suka. Aku
membuat Alden membenciku hingga ia tidak tahu kalau
aku membiayai sisa kuliahnya. Aku hanya ingin Alden
meraih mimpi-mimpinya. Seminggu kemudian, aku
menerima sebuah pesan singkat dari Alden. 
"Zinnia, aku harus ke luar kota. Aku dapat beasiswa
penuh" 
Aku memblokir semua nomornya. Aku tidak ingin dia
tahu kalau aku melakukan semua ini. Aku tahu jika aku
menahannya, aku tidak membiarkan dia mengepakkan
sayapnya. Aku membiarkan dia pergi karena aku
mencintainya.
Alden..
Aku ingin hidup selamanya dalam siang dan malammu.
Aku ingin memperdengarkanmu semua lagu sendu
dari The Carpenters. Alden, andai kau tahu betapa
banyaknya rentetan cerita yang ingin kukisahkan
kepadamu. Aku ingin menceritakan kepadamu tentang
pengorbanan matahari yang selalu mengorbankan
dirinya tiap malam agar bulan dapat hidup. Aku ingin
mengisahkan kepadamu tentang bagaimana kesepian ini
merasuki diriku, tentang dinamika perasaan yang terjadi

102
di dalam relung hatiku. Tentang bagaimana aku
menemukan dirimu. 

***

DISTRAKSI
Karya : Muhammad Erbiwan
Malam yang sepi, aku berjalan ditemani
bayanganku yang hilang timbul karena lampu jalan yang
kedap-kedip. Sunyi, hanya itu yang aku rasakan. Sampai
disaat aku mendengar suara tertawa orang-orang yang
sedang bersenda gurau. Benar saja, preman kota yang
sedang nongkrong sambil mengeluarkan asap dari
mulutnya karena habis menghisap rokok. Aku pun hanya
melewati mereka dengan berjalan menunduk, saat itu
pula mereka yang tadinya saling berkicau satu sama lain
seketika saling berbisik. Aku merasa aman setelah
melewati mereka, namun rasa aman itu hanya sesuatu
yang fana saat itu, mereka tiba-tiba mengejarku sambil
memegang alat-alat yang telah mereka siapkan. Aku
berlari secepat yang aku bisa, tenagaku seakan tak ada

103
habisnya, dan adrenalin mengalir di sekujur tubuhku.
Setelah cukup jauh dari mereka, aku melihat sebuah
gang kecil, aku pun masuk ke gang tersebut dan pergi ke
sisi sebuah mobil lalu menumpahkan air mata disana.
Aku hanya ingin pulang. Aku menangis hingga aku
terlelap karena terlalu lelah.
Aku mendengar suara rintik-rintik air yang
berjatuhan menyentuh tanah, namun di mataku hanya
gelap yang terlihat. Aku pun membuka mata pelan-
pelan, ternyata waktu telah menunjukkan pukul 15.00,
saat itulah aku sadar bahwa yang terjadi hanyalah mimpi
semata. Ternyata mimpi buruk saat tidur siang, bisa lebih
buruk dibandingkan saat malam. Namun saat itu, hujan
memang sedang membasahi bumi, membuat perasaan
lebih tenang dan pikiran lebih terbuka. Aku mencari
ponsel pintarku, menghidupkan data internet lalu
notifikasi whatsapp ku seketika menyerbu, grup kelas
sedang ramai, aku bergumam, “Apa yang kira-kira
mereka bahas sore-sore begini?”. Aku membaca satu
persatu pesan di grup, hingga aku membaca pesan dari
Yani dengan huruf kapital dan ditebalkan yang
bertuliskan “TUGAS CERPEN DIKUMPUL HARI
SENIN, MINIMAL 2 HALAMAN DAN
MAKSIMAL 8 HALAMAN, TIDAK ADA
PENUNDAAN.” Aku baru ingat akan tugas tersebut,
“Ya Allah, baru bangun tidur langsung disambut
peringatan tugas begini, mana sudah sabtu sore, hanya

104
besok waktu untuk aku mengerjakannya. Belum lagi
senin ujian geografi, buku saja belum tersentuh, astaga.”
Aku berniat mengerjakannya malam itu juga,
agar aku bisa berleha-leha besok. Malam itu pula Ibuku
berkata, “Fadzli, habis maghrib nanti siap-siap ya, kita
jalan-jalan, mumpung mbak mu pulang seminggu.” Aku
tak bisa menolak, karena memang jarang jalan-jalan,
biasanya hari libur aku lebih senang ditemani siaran Liga
Inggris. “Siap, Bu!” jawabku. Pulangnya aku langsung
mengganti pakaianku lalu menuju pulau kapuk, ya,
maksudku tempat tidur. Setiap malam sesaat sebelum
aku tidur, disanalah pikiranku mulai campur aduk.
Hingga ada satu pikiran yang tiba-tiba membuatku
terdiam sejenak, yaitu tugas. Aku berpikir mengapa aku
bisa lupa mengerjakannya, jam dinding juga hampir
menunjukkan pukul 11 malam, waktu biasanya aku
beristirahat. Aku pikir, “Mengapa dari kemarin tidak aku
kerjakan tugas sialan ini.”
Aku pun sedikit review hari kemarin. Aku ingat
kemarin pulang lebih awal sekitar pukul 09.00 karena
hanya 1 mata pelajaran yang diujikan, lalu aku ingat
bersama teman-teman pergi bermain ke rumah Thandi
hingga pukul 2 siang. Sebelum pulang, kakak Thandi
mengajak kami bermain futsal, kami tidak bisa berkata
tidak kepada futsal. Bermain hingga pukul 4 sore lalu
pulang kerumah masing-masing, tapi aku harus segera
menjemput kakak ku di bandara yang akan mendarat

105
pukul 17.30. Malam itu aku sudah berniat ingin
membuat cerpen, namun selepas maghrib, ketika
membuka whatsapp ada pesan dari grup kelas yang
isinya “Guys futsal kuyy, ujian terakhir kan senin, jadi
malam ini masih bisa futsal nih.” Lagi-lagi aku tergoda
dan lagi-lagi aku pergi bermain futsal, pertama kalinya
aku bermain futsal 2 kali hanya dengan jangka waktu 4
jam. Aku hanya bisa menyesal mengapa tidak
mengerjakan jauh-jauh hari, aku pikir, “Baiklah, masih
ada 24 jam besok, akan aku gunakan untuk membuat
cerpen tersebut, 2 jam saja selesai mungkin, cerpen kan
mudah.”
Minggu pagi, aku dibangunkan kakak ku. “Dzli
bangun, mandi terus siap-siap kerumah nenek, kita
sarapan disitu sama sepupu yang lain.” “Iya, Mbak.”
Jawabku dengan nada mengantuk. Setelah selesai
bersiap, kami pun pergi. Sarapan bersama yang jarang
dilakukan menjadi hal yang dirindukan, begitu juga
dengan mengobrol bersama dengan sepupu-sepupu yang
jarang berjumpa. Sedang asik bercanda bersama, tiba-
tiba sepupuku yang bernama Riyan yang pendidikannya
setingkat denganku bertanya, “Dzli, kamu kapan selesai
ujian akhir semester?” Aku terdiam sesaat lalu
menjawab, “Aaa… anu.. senin, Yan.” Saat terdiam tadi
aku berkata dalam hati, “Astaga, aku lupa besok masih
ujian, geografi lagi. Aduh materinya 5 bab lagi, habislah
aku.” Saat itu aku hanya ingin segera pulang kerumah

106
agar bisa menyelesaikan cerpen dan belajar untuk ujian
terakhir.
Setelah dzuhur, kami pun pulang. Di perjalanan
pulang aku sengaja tidur di mobil agar dirumah tidak
mengantuk lagi. Tapi apapun yang membuat kita
nyaman, pasti sulit dilepaskan, salah satunya bagiku
adalah tidur. Yap, benar saja, saat tiba dirumah aku
melanjutkan tidur. Aku seringkali kebablasan saat tidur
siang, dan siang itu juga kebiasaan itu berlanjut. Ya, aku
bangun pukul 4 sore. Ketika rasa kantuk telah hilang dan
baru saja berniat mandi, Ayahku memanggil, “Fadzli,
bantu Ayah cuci mobil sini.” Seperti biasa, aku tidak
berani menolaknya. “OTW, Yah!”. Selesai membantu
Ayah, aku baru saja ingin masuk rumah, tapi Ayah
memanggil lagi,
“Dzli, mau kemana kamu?”
“Curup, Yah.”
“Ngawur terus.”
“Hehehe… mau mandi lah, Yah.”
“Mandikan dulu motormu itu, baru kamu mandi.
Motor udah kayak motor trail aja, tanah semua.”
“Besok lah, Yah… besok aku kan pulang cepat”
“Cuci sekarang pokoknya, biar enak pergi
sekolah besok motor bersih”
“Iyain lah”

107
Aku pun mencuci motorku, dan ternyata Ayahku
benar, motorku sangat kotor. Lap yang kugunakan pun
berubah warna menjadi coklat. “Akhirnya, bersih juga
ini motor.” Gumamku. “Kan enak bisa mandi sekarang.”
Aku pun pergi mandi, lalu setelah maghrib lanjut makan
malam. Aku langsung menghidupkan laptop dan
membuka aplikasi belajar online yang sangat jarang aku
gunakan. Aku pun belajar sambil sesekali membuka
sosial media, agar tidak ketinggalan berita-berita hangat
di dunia maya. Akhirnya, pukul 22.00 aku selesai belajar
dan menyiapkan buku dan seragam. Aku membolak-
balik pakaian di lemari, namun hanya baju putihku yang
tidak ada. Saat aku cek di keranjang, ternyata bajuku
masih disana dalam keadaan kusut belum disetrika.
“Cobaan… cobaan…” gumamku.
Selesai menyetrika, “Akhirnya, bisa
ti…..daaaakkkk, cerpenku belum dibuat 1 kata pun
astagaaa. Mungkin aku harus begadang malam ini,
semoga tidak kesiangan besok.” Akhirnya, pukul 23.30
hampir larut malam, aku harus bertatapan dengan laptop.
Aku bahkan tidak tahu harus membuat cerpen seperti
apa. Akhirnya, aku mulai membuat dengan apapun yang
ada dipikiran ku, karena apapun yang terjadi, mulai saja
dulu. Pukul 2 dini hari, baru setengah jalan aku membuat
cerpen. Pikiranku mulai kacau karena seharusnya otakku
sedang beristirahat saat ini. Namun, hatiku menolak
untuk berhenti, jari-jariku juga masih ingin menari-nari
diatas keyboard, malam sunyi yang hanya ditemani

108
cahaya biru laptop. Baterai laptop mulai melemah, aku
langsung mencari charger laptop. Baru saja ingin ku
colokkan ke stop kontak, seketika gelap, “Ya Allah
listrik padaaammm… baterai tinggal sedikit, cerpen
belum selesai…” Namun aku masih beruntung untuk
menyimpannya dan melanjutkannya disekolah besok
seusai ulangan.
Sehabis sarapan, aku pun pamit,
“Pergi dulu, Bu”
“Ya, Dzli. Tapi kenapa tas kamu besar sekali?
Ujian hanya satu kok.”
“Bawa laptop, Bu”
“Hanya
kamu yang ujian bawa laptop, Bujang”
“Ada tugas, Bu. Sesudah ujian nanti mau
dikerjakan, udah ya Bu, aku pergi dulu.”
“Ya iya, hati -hati dijalan”
“Siap, Mom!”
Ujian berlangsung, namun banyak soal yang
kujawab dengan ragu, “Ini pasti akibat sistem kebut
semalam dan kurang tidur. Sudahlah, aku sudah
berusaha sebisaku.” Seusai ujian, aku langsung
mengambil laptop ku dan menghidupkannya. Entah
karena hawa pagi yang masih sejuk atau otakku sedang

109
memiliki pelumas, aku mengerjakan dengan cepat, bunyi
tombol keyboard seakan-akan tidak berhenti terdengar
olehku. Teman-teman yang semuanya sudah selesai,
mengangguku agar pikiranku pecah. Apalagi suara-suara
orang yang membahas ujian yang sudah usai, ah, sangat
mengangguku.
Saat sedang semangat mengerjakan, Yani
berteriak lagi, “Semua file cerpen bawa kesini, biar di
transfer ke laptopku.” Sontak aku langsung berpikir lebih
keras untuk menyelesaikan cerpen ini,
“Eh, Yani, tunggu dong, aku sedikit lagi selesai
nih.”
“Lah, kamu baru buat cerpenmu? Kamu ngapain
aja dari hari Jumat?”
“Banyak acara keluarga, Yan. Tunggu sebentar
deh pokoknya.”
“Ya iya aku tunggu 15 menit.”
Teman-temanku hampir semuanya sudah pulang
kerumah masing-masing, sekolah hampir kosong hanya
dalam waktu 15 menit. Akhirnya, “Wah selesai juga ni
cerpen, semoga guruku senang membacanya.” Setelah
selesai, aku langsung memindahkannya ke flashdisk agar
bisa di kirim file nya ke laptop Yani.
“Yan, udah nih cerpenku.”

110
“Yaudah sini cepat, sebelum pacarku datang, aku
mau pergi soalnya.”
“Yee… dasar bucin, nih filenya.”
“Iri saja, ingat, iri tanda tak mampu hahahaha…
dah, aku duluan, Dzli.”
“Iya iya, aku juga mau pulang.”
Sesampainya dirumah, notif whatsapp muncul,
dan itu dari Yani,
“Woy, kamu ngasih file cerpen tapi ngga ada
judulnya gimana sih.”
“Astaga aku lupa, Yan. Sebentar, Yan aku
pikirkan dulu”
Lagi-lagi aku buntu dalam berpikir, hanya untuk
beberapa kata yang akan diletakkan pada judul cerpenku
itu. Setelah berpikir dan mencari kata yang cocok,
terlintas di pikiranku tentang kejadian beberapa hari ini,
dan aku sudah memutuskan judul untuk karyaku itu,
“Yan, aku sudah ada judul untuk cerpenku nih,
masih perlu ga?”
“Lah, cerpen kamu kok aku yang perlu.”
“Hehehe… iya iya, canda, Yan.”
“Yaudah, apa judul untuk cerpenmu ini?”
“Judulnya, DISTRAKSI.”

111
***

KEPALA BATU
Karya : Muhammad Rizah Fahlevi
Dani hanya termenung melihat tubuh Doni yang
terbujur kaku di kamar mayat. Ia merasa tidak percaya
atas apa yang ia lihat. Adik satu-satunya yang sangat ia
sayangi telah pergi menghadap sang ilahi dengan cara
yang cukup tragis. Selain itu kesedihan nya bertambah
dalam dengan istrinya yang dirawat di rumah sakit. Hari
itu merupakan hari yang paling menyik sabatin Dani.
Bagaimana tidak? Di hari yang sama ia harus melihat
istrinya dirawat di rumah sakit dan ia juga harus melihat

112
adik satu-satunya meninggal dihadapannya sendiri.
Disaat-saat ia termenung meratapi kesedihan, datanglah
seorang berpakaian abu-abu menghampirinya.
“Permisi pak, apakah saya sedang bicara dengan
bapak Dani?” tanya anggota kepolisian yang
menghampirinya.
“Iya, saya pak,” jawabDani.
“Baiklah pak, apakah bapak bisa menceritakan
kronologi kejadian yang menimpa istri dan saudara
bapak?” tanya Polisi tersebut.
“Baiklah pak, saya akan menceritakannya,”
jawab Dani.
Semua berawal pada hari yang menyedihkan
untuk keluarga besar Dani dan Doni. Saat itu ayah Dani
dan Doni sedang sakit dan dirawat di suatu rumah sakit
ternama di kota tersebut. Ayah Dani dan Doni terkena
penyakit Jantung melihat pertengkaran antara Dani dan
Doni . Pada akhirnya pada sore hari ayah Dani dan Doni
pun meninggal. Kepergian ayahnya membuat Doni
sangat terpukul. Setelah kematian ayahnya Doni selalu
menyalahkan dirinya karena ia merasa ayahnya
meninggal karena ia dan kakaknya selalu bertengkar.
Karena hal itu Doni pun selalu menyalahkan dirinya dan
ia tetap tidak akrab dengan kakaknya.
Seminggu setelahnya, Doni yang depresi pergi
mencari hiburan dengan teman-temannya. Mereka pun

113
pergi ke suatu klub malam. Disana Doni menceritakan
masalahnya ketemannya. Teman Doni pun mensupport
Doni dengan penuh. Doni mulai merasa tenang. Mereka
pun melanjutkan menghibur diri mereka di klub
tersebut.
Doni yang masih tinggal di rumah ayahnya
dengan Dani pun pulang kerumah larut malam. Hal
inilah yang sering membuat Dani bertengkar dengan
Doni. Sesampainya Doni di rumah kakaknya langsung
menceramahi Doni. Doni yang dalam kondisi setengah
sadar karena mabuk, membalas ceramahan Dani dengan
membentaknya. Dani yang prihatin dengan kondisi
adiknya itu tetap lanjut menceramahi Doni.
“Hey Don, habis ngapain jam segini baru
pulang?” tanya Dani dengan nada agak kesal.
“Gak penting kakak tahu, Doni ngantuk mau
tidur,” jawab Doni.
“Don!!! Ingat ayah udah gak ada kamu masih aja
seperti ini. Bagaimana ayah bisa tenang disana?”
sambungDani.
“Gak usah bawak-bawak ayah!!! Ayah udah gak
ada!!!” jawab Doni dengan nada tinggi sambil berjalan
menuju kamar dengan kesal.
Keesokan Harinya Doni pun mengajak kumpul
teman-temannya ditempat yang sama seperti kemarin.

114
Namun saat ia ingin pergi ia dihadang oleh kakaknya,
Dani.
“Mau kemana Don?” tanya Dani.
“Mau keluar cari angin,” jawab Doni.
“Ngapain keluar? Mending dirumah sama
kakak,” sambung Dani.
“Malas, mending hangout bareng teman-teman
lebih seru,” jawab Doni sambil beranjak pergi.
Ketika kumpul dengan teman-temannya, Doni
pun bercerita tentang kakaknya.
“Hey Bro, gua kesal banget sama kakak gua,”
kata Doni
“Emang nya ada apa?” tanya salah satu
temannya.
“Masa setiap gua pulang dimarahin dan juga
setiap gua mau keluar ditanyain pula,” jawab Doni.
“Sedih amat nasib lu, dapat kakak cerewet kayak
gitu,” sambung temannya.
“Agh, gak taulah gua, nasib-nasib,” lanjutDoni.
Mereka pun lanjut menghibur diri mereka, tanpa
ada beban hidup sedikit pun. Setelah itu Dani
menelepon Doni yang tidak kunjung pulang hingga larut
malam.

115
“Halo Don, dimana? Jam segini belum pulang,”
kata Dani.
“Masih ngumpul sama teman, bentar lagi
pulang,” jawab Doni.
Dani yang tidak percaya dengan perkataan Doni
pun langsung memaksa Doni untuk segera pulang.
“Gak ada sebentar-sebentar, cepat pulang!!!” kata
Dani.
“Agh… iya Doni pulang,” jawab Doni.
Setelah itu Dani pun mematikan teleponnya.
Doni yang terlihat kesal langsung ditanyai oleh
temannya.
“Ada apa Don?” tanya teman Doni.
“Gua udah disuruh pulang, padahal gua masih
mau nongkrong sama kalian,” jawabDoni.
“Santai bro, kita lanjut aja sebentar lagi, gua rasa
kakak kau tidak akan marah,” kata teman Doni.
“Hmm.. Baiklah, lagi pula hanya sebentar, pasti
kakakku tidak akan marah,” kata Doni.
Doni pun melanjutkan nongkrong bersama
temannya hingga larut malam. Disana mereka
bergoyang, bernyanyi dengan riang tanpa ada beban,
dan juga mereka mengkonsumsi minuman beralkohol
dengan porsi yang lumayan banyak, hingga membuat

116
Doni dan teman-temannya mabuk. Akhirnya setelah
merasa puas, mereka pun langsung pulang kerumah
masing-masing dengan keadaan mabuk.
Sedangkan dirumah, Dani yang merasa khawatir
terhadap Doni pun mulai muncul perasaan tidak enak
terhadap Doni. Namun ia tidak bisa meninggalkan
istrinya dirumah begitu saja. Namun rasa khawatir Dani
tidak dapat terbendung. Ia pun memutuskan untuk
mencari Doni bersama dengan istrinya. Dani yang tidak
tau keberadaan Doni pun kebingungan ingin pergi
kemana. Namun Dani tetap memutuskan untuk mencari
Doni. Istri Dani pun mulai meyakinkan Dani bahwa
Doni baik-baik saja.
“Bang, tenang saja, Doni pasti baik-baik saja, dia
kan sudah besar. Pasti bisa jaga diri,” kata istri Dani.
“Tapi aku cemaskan Doni, tadi udah disuruh
pulang tapi belum pulang,” kata Dani.
“Kita tunggu saja,” kata istri Dani.
“Tidak! Aku yakin sekali kalau kita tunggu,
subuh baru pulang si Doni itu,” kata Dani.
“Tapi mau cari kemana?” tanya Istri Dani.
“Kita cari ke seluruh kota sampai ketemu,” jawab
Dani.
Mereka pun meneruskan perjalanan mencari
Doni. Di seluruh penjuru kota mereka cari, tapi belum

117
ada tanda-tanda keberadaan Doni. Dani dengan gelisah
memacu kendaraan dengan cepat. Lalu tibalah mereka di
sebuah simpang. Ketika itu, mobil Dani yang melaju
dengan cepat melewati rambu lalu lintas yang
menunjukkan lampu hijau, dan tiba-tiba muncul sebuah
motor dari arah lain datang dengan cepat. Dani yang
sedang memacu mobilnya dengan cepat tidak dapat
mengelak dan akhirnya terjadi tabrakan.
Setelah terjadi tabrakan, warga sekitar pun
segera datang untuk menolong. Warga langsung
mengevakuasi Dani dan Istrinya serta pengendara motor
yang ditabrak oleh Dani. Warga membawa mereka
langsung ke rumah sakit terdekat. Disana mereka
mendapat perawatan medis. Diantara mereka bertiga,
hanya Dani yang sudah sadar saat sampai di rumah
sakit. Dani hanya mengalami luka ringan, sehingga ia
diperbolehkan untuk berjalan. Dani pun segera mencari
istrinya, yang juga berada di rumah sakit itu. Betapa
lega nya Dani saat melihat istrinya tidak mengalami luka
berat, walaupun istrinya masih pingsan. Namun setelah
itu ia mendengar bahwa pengendara yang ia tabrak telah
meninggal dunia. Dani pun merasa bersalah dan
langsung mencari keberadaan pengendara itu. Betapa
terkejutnya Dani saat ia mengetahui bahwa pengendara
yang ia tabrak adalah Doni. Seketika Dani pun terdiam
dan menangis. Ia tidak menyangka jika adiknya akan
mati karenanya. Dani tidak hanya menabrak Doni,
namun, temannya juga. Teman Doni mengalami luka

118
berat namun sudah sadar. Dani pun langsung
menanyainya mengapa Doni belum pulang, padahal hari
sudah larut malam. Temannya pun menceritakan
semuanya kepada Dani.
Setelah mendengar keterangan dari Dani. Polisi
pun mengetahui bagaimana kronologi terjadi, dan ia pun
mengucapkan belasungkawanya, lalu pergi
meninggalkan Dani yang sedang bersedih.

***

TITIK BUTA
Karya : Muhammad Surya Rahman
Pada siang itu tampak hampir semua siswa kelas
X sedang bermain bola di lapangan, tetapi ada seorang
siswa yang tidak ikut. Namanya Tara. Seorang siswa
kelas X yang baru masuk di SMAN Z. Dia lebih senang

119
untuk membaca buku di perpustakaan, menurutnya tidak
ada gunanya bermain di tengah hari yang panas. Hanya
membuat badan lelah dan bau. Di kelas pun, dia lebih
sering menghabiskan waktunya sendirian. Seperti makan
siang dan saat mengerjakan tugas. Karena hal tersebut, ia
dipanggil ANSOS (Anti Sosial) oleh teman-teman
sekelasnya.
Ia tidak mempermasalahkan akan hal tersebut,
menurutnya panggilan-panggilan tersebut hanya
dilakukan oleh sekelompok remaja yang ingin
keberadaannya diakui. Semakin seiring waktu berjalan,
begitu pula dengan kemampuan sosial Tara yang terus
berkurang. Dimana yang biasanya saat istirahat kedua
saja Tara berada di perpustakaan, sekarang hampir
disetiap jam kosong ia berada di perpustakaan.
Kemampuan intelektual Tara memang meningkat, tetapi
kemampuan bersosial Tara berkurang. Saat ada tugas
kelompok, dia mengerjakan tugas tersebut sendirian.
Tetapi saat mengumpulkan tugas tersebut, dia hanya
membuat namanya sendiri. Karena hal tersebut, teman-
teman yang satu kelompok dengan Tara dimarahi oleh
guru mata pelajaran. Setelah presentasi teman-temannya
satu sekelompoknya menanyakan alasan Tara melakukan
hal tersebut.
”Tara, kok nama kita nggak kamu masukin sih?” kata
teman-teman sekelompoknya.

120
“Kalian aja nggak ngerjain apa-apa dalam tugas ini,
kenapa aku harus buat nama kalian?” jawab Tara dengan
dingin.
Teman-teman yang kesal mendengar perkataaan Tara
menjawab, “Kamu bilang mau membuatnya sendiri, tau
gitu kami kerjain sendiri aja.”
Tara yang merasa tidak bersalah meninggalkan teman-
temannya yang kesal karena perbuatannya sendiri.
Keegoisan Tara tidak berhenti disitu. Saat belajar
pun dia juga pelit berbagi ilmu,
“Tara, bisa ajarin aku tentang ini? Penjelasan Ibu Aza
kecepatan, jadi aku kurang paham,” kata Ebit dengan
memohon.
“Makanya, kalo guru lagi ngejelasain itu didengar
bukan ngobrol. Sudahlah aku mau ke perpustakaan,”
jawab Tara dengan dingin.
Ia pun meninggalkan Ebit begitu saja. Ebit yang tak
tahan dengan perkataan Tara menceritakan hal tersebut
dengan teman-teman sekelas.
Karena hal-hal tersebut teman-teman sekelas
menjauhinya. Berita tentang keburukan Tara tersebar
luas di grup angkatannya, namun Tara bersikap tidak
perduli akan hal tersebut, karena baginya orang yang
membutuhkan bantuan orang lain adalah orang yang

121
lemah. Teman-teman angkatannya mulai menggunjing
keburukan Tara.
“Eh, kalian pada tau si Tara gak? Anak kelas X
angkatan kita,"ujar Nanda.
“Oh, Tara yang dikenal ansos sama pelit nilai itu ya?”
sambut Tina.
“Iya, Tara yang itu. Aku satu kelompok sama dia. Ih
nggak asik banget kerja sama dia, ribet dan harus sesuai
sama yang dia mau. Kalo menurutnya nggak bagus, dia
tega nggak masukin nama ke anggota kelompok,”
sambung Nanda.
“Dih, jadi cowok kok ribet. Amit-amit deh aku punya
cowok kaya dia,” kata Wulan.
“Enak kalo ganteng, lah mukanya aja standard. Emang
ada yang mau sama cowok kaya dia?” kata Tari dengan
nada mengejek.
”Eh, dia nggak punya teman ya? Aku liat dia setiap jam
istirahat langsung ke perpus,” ujar Dwi.
“Orang kaya dia siapa sih yang mau temenan? Aku sih
ogah,” kata Dini yang kesal setelah mendengar cerita
tentang Tara.
Waktu terus berlalu, saat pengumuman kenaikan
kelas sudah jelas bahwa Tara menjadi juara kelas.
Liburan semester yang dinantikan oleh semua orang pun
tiba. Saat teman-teman yang lain berlibur bersama, Tara

122
hanya liburan di rumah. Seperti biasa, hanya membaca
buku. Liburan yang seharusnya menyenangkan menjadi
tidak ada bedanya bagi Tara. Tetapi ada sebuah kejadian
buruk yang dialami oleh Tara saat liburan, ketika Tara
kehabisan buku untuk dibaca tetapi liburan masih
panjang. Setelah membaca buku terakhirnya, Tara
langsung membereskan tumpukan buku yang sudah
dibacanya. Dia segera mengganti pakaian santainya lalu
bergegas ke toko buku dengan mengendarai sepeda
motor miliknya. Toko buku yang ia tuju lumayan jauh
dari rumahnya, ia pun kurang hapal dengan lika-liku
jalanan karena dia lebih senang berada di dalam
kamarnya atau di perpustakaan sekolah. Ia mengendarai
motornya dengan pelan dan menggunakan panduan yang
diberikan oleh Google Maps. Sudah hampir 2 jam dia
berkendara, tetapi ia belum juga sampai. Bensin
kendaraannya mulai habis, namun dia masih belum juga
sampai. Akhirnya ia menyadari bahwa dirinya tersesat.
Kemampuan bersosial yang buruk membuatnya
kesusahan saat bertanya dengan warga sekitar, ia panik
saat ada bapak-bapak menghampirinya.
”Ada yang bisa saya bantu nak? Saya lihat kamu sudah
berkali-kali lewat di depan rumah saya,”tanya bapak itu.
Tara terkejut akan kehadiran bapak itu.
”ti..tidak ada apa-apa kok pak, saya sedang menunggu
te..teman saya. Dia tinggal di...di dekat sini,” Jawab Tara
terbata-bata.

123
“Ah begitu rupanya, hati-hati di jalan ya nak,” sahut
bapak itu sambil meninggalkan Tara. Setelah bapak itu
pergi, Tara merasa lega. Ia pun menelpon orang tuanya
untuk menjemputnya.
Libur akhir semester sudah hampir berakhir, tetapi
masih banyak anak-anak SMAN Z masih berlibur. Entah
itu dengan keluarga, teman, maupun pacar. Pada hari
pertama di tahun kedua Tara terjadi sesuatu yang sangat
diinginkan hampir semua siswa. Ya, pada pagi hari itu
turun hujan yang sangat deras. Hujan deras ini dapat
menjadi alasan agar tidak bersekolah. Namun berbeda
dengan Tara. Dia sudah bersiap dari subuh, bahkan hujan
deraspun tidak menurunkan semangatnya bersekolah.
Dia menggunakan jas hujannya dan mengendarai sepeda
motornya dengan hati-hati karena jalanannya licin.
Setelah dia tiba di sekolah, banyak jam pelajarannya
yang kosong dikarenakan masih banyak guru yang
berhalangan hadir. Dari yang alasannya anaknya sakit,
hingga alasan yang paling sepele yaitu terjebak hujan.
Tara merasa guru-gurunya tersebut malas untuk
mengajar, jadi dia memutuskan untuk belajar melalui
sumber ilmu yang lain, BUKU. Dia sangat betah berada
di perpustakaan sekolah, dia bahkan mampu
menghabiskan waktu seharian di perpustakaan karena
jam pelajaran hari itu banyak kosong. Biasanya dia
hanya berdua dengan penjaga perpustakaan, namun kali
ini ada seorang siswi lagi yang terlihat membaca di

124
perpustakaan itu. Tara terlihat acuh tak acuh dengan
siswi tersebut.
Sudah 3 bulan waktu berjalan, namun Tara dan
siswi itu masih menjadi penghuni di perpustakaan yang
kecil itu. Tak ada seharipun yang terlewat tanpa pergi ke
tempat yang kaya akan ilmu tersebut. Tara mulai terbiasa
dengan kehadiran siswi tersebut, bahkan saat bertemu.
Tara menyapa siswi tersebut dengan senyuman tipis di
bibirnya, namun siswi itu tetap bersikap dingin. Suatu
ketika, siswi itu datang menghampiri Tara.
“Kenapa kamu senang disini? Nggak punya temen ya
diluar. Sedih banget sih hidupmu,” tanya siswi itu.
”Emangnya kenapa kalo saya nggak punya teman? Kan
nggak ganggu hidupmu juga. Aku tidak mau berteman
dengan mereka karena mereka kasar dan jorok. Lagipula
aku tidak akan mati kalau tidak punya teman, pergi
sana,” Jawab Tara.
Gadis itu pergi meninggalkan Tara sendirian. Hingga
suatu hari, siswi yang biasanya menemani Tara
membaca sekarang tidak terlihat lagi. Awalnya, Tara
pikir dia hanya sakit demam. Namun sudah hampir 3
minggu siswi itu tidak terlihat di perpustakaan. Tara
mulai merasa kesepian. Tara mulai mencari keberadaan
wanita itu. Dia kesulitan dalam mencari wanita itu
dikarenakan tidak pernah berbicara dengan orang lain.
Satu-satunya petunjuk yang Tara miliki hanyalah
kenyataan bahwa wanita itu BUTA. Iya, buta. Tara

125
mengetahui hal ini melalui buku yang dibaca siswi itu.
Siswi itu membaca buku dengan huruf Braille. Huruf
yang diperuntukan orang buta agar bisa membaca.
Bahkan Tara tidak mengetahui nama siswi tersebut.
Tara mencari keberadaan siswi tersebut, dia
memberanikan dirinya untuk bertanya dengan teman-
teman sekelasnya. Dia tidak peduli walau dicaci maki
oleh teman-temannya. Sebelum berbicara, Tara
mengumpulkan terlebih dahulu keberaniannya.
“Teman-teman, kalian tau nggak siapa nama siswi yang
sering ke perpustakaan sekolah?” Tanya Tara.
“HAH? Aku nggak salah denger nih? Tara yang
katanya bisa melakukan semuanya sendiri bertanya sama
kita nih,” kata Ebit dengan nada mengejek.
“Waduh, kayaknya kita lagi mimpi nih,”sambung Inez.
“Cubit aku dong Nez, abis inikan pelajaran Ibu Aza.
Guru kesayangan si Tara. Nanti cuma dia yang dapet
nilai,” Ucap Nanda.
“HAHAHAHAHAHAHA” Diiringi tawa teman-
teman sekelasnya. Tara yang sudah menduganya tidak
memperdulikannya, ia pun mengulang pertanyaannya.
“Sebelumnya aku minta maaf kepada teman-teman jika
aku melakukan kesalahan, aku tau kalian tidak akan
semudah itu memaafkan kesalahanku. Tapi aku mohon
untuk kali ini saja, apakah kalian tau siapa nama siswi

126
yang sering ke perpustakaan sekolah?” tanya Tara sekali
lagi.
“Kalau kamu sudah tahu jawabannya kenapa masih
nanya. Lagipula kita nggak pernah ngeliat orang yang
kamu cari, mungkin karena kebanyakan membaca
otakmu jadi gila,” Ujar Ebit disambung dengan suara
tertawa dari teman-teman sekelas.
Namun, ada seorang siswi yang merasa kasihan dengan
Tara. Namanya Susi.
“Sudahlah teman-teman, Tara sudah menyesal dan
meminta maaf. Bagaimana kalau kita melupakan
kesalahannya dan saling bermaaf-maafan saja? Kalian
setujukan?” Ujar Susi.
Teman-teman yang mendengar perkataan Susi terenyuh
dan membuka hati mereka. Sebagian sudah bermaafan
dengan Tara, tetapi tidak dengan Ebit, Nanda, dan
beberapa teman lainnya.
“Tidak mau.Enak saja, setelah memperlakukan kami
seperti ini, dia bisa meminta maaf dan menganggap
semua hal yang dilakukannya tidak pernah terjadi.
Pokoknya kami tidak mau memaafkannya,” ujar Ebit dan
Nanda.
Susi yang melihat kejadian itu meminta maaf kepada
Tara. “Tar, maafin mereka ya. Sikap mereka masih
kayak bocah,” ujar Susi kepada Tara.

127
“Iya, tidak apa-apa kok. Bukan salah mereka juga sih,
mungkin kesalahan yang aku buat ke mereka sudah
kelewat batas. By the way, kanu tau nggak nama orang
yang aku cari Sus?” Ucap Tara.
“Kalo soal itu aku juga tidak tahu siapa namanya.
Sepertinya siswi kelas X. Soalnya dia angkatan kita,
hanya kamu yang sering pergi ke perpustakaan,” Kata
Susi.Tara menjawab,“baiklah, terima kasih Susi atas
infonya.”
Tara melanjutkan pencariannya, setelah berbaikan
dengan teman-teman sekelasnya.Ia menjadi lebih lancar
dalam menyampaikan sesuatu, ia berkeliling ke semua
kelas X untuk menanyakan nama dan keberadaan siswi
itu. Setelah bertanya sana-sini, akhirnya ia mememukan
titik terang. Siswi itu bernama Betari Nada Vareza. Anak
kelas X IPA D, dan merupakan anak dari Ibu Nanda,
salah seorang guru di SMAN Z. Setelah mendapat
informasi itu, keesokan harinya Tara menemui Ibu
Nanda untuk bertanya tentang keberadaan Betari. Ia pun
menceritakan semua hal kepada Ibu Nanda. Setelah
mendengar cerita Tara, Ibu Nanda hanya menangis. Ibu
Nanda menangis dalam waktu yang lumayan lama. Tara
hanya menunggu Ibu Nanda berhenti menangis dan
menceritakan tentang anaknya, Betari. Ibu Nanda
menceritakan sambil sesegukan,

128
“Pertama, Ibu sangat senang bahwa anak Ibu bisa
mengubah kamu. Kemudian hal yang harus kamu
ketahui bahwa...” tangis Ibu Nanda pecah kembali.
Tara yang penasaran membantu menenangkan Ibu
Nanda. “Hal yang kamu harus ketahui bahwa Betari
sudah meninggal dunia 1 minggu yang lalu pasca operasi
kelenjar getah bening yang dideritanya beberapa tahun
terakhir,” lanjut Ibu Nanda sambil menangis.
Bagai disambar petir di siang bolong, Tara hanya
terdiam mendengar perkataan Ibu Nanda. Tak lama, ia
mulai menangis. Ia tidak menyangka hal tersebut. Tara
menyesal telah kehilangan orang yang merubah dirinya.
Seandainya dia mampu berubah lebih cepat, pastinya dia
tidak mengalami kesulitan dalam mencari wanita itu.
Lalu setidaknya dia sempat mengucapkan terima kasih.
Tara yang saat itu berada di titik butanya merasa bahwa
berhubungan dengan orang lain itu tidak penting,
sekarang hanya bisa menyesal karena keacuhannya.
Hingga ia kehilangan seseorang yang penting dalam
hidupnya.

***
AKU, DIA DAN TIDAK KEMAMPUANKU
MELUPAKANNYA
Karya : Revina Fadillah Gunanto

129
Seseorang muncul dari arah selatan, memakai
kaos cokelat dengan celana berintonasi sama.
Kemunculannya membuat ku menghentikan segalanya.
Waktu, pikiran, dan serangkaian kegiatan yang harusnya
aku lakukan menjadi tidak jelas.
Ku pikir kepekaan ku terhadap mu masih sama.
Dengan jarak yang cukup jauh dan penglihatan yang
kurang optimal, aku tahu itu kamu.
Pepatah mengatakan, bila kamu menemukan
seseorang dalam jarak yang jauh, meski di tengah
keramaian sekalipun. Kamu langsung mengetahui siapa
itu, artinya kamu menyukai sosok tersebut.
Hampir setahun setelah kelulusan kami tidak
pernah bertemu. Tidak ada yang berubah dari
penampilannya. Begitu pula dengan penampilanku. Cara
berjalannya masih sama, sedikit tergesa – gesa dengan
pandagan lurus ke depan. Suaranya tidak seberat laki –
laki sebayanya. Dia tidak terlihat ramah pada orang yang
tidak dekat dengannya. Bahkan tidak ada yang berubah
dengan senyum dan tawanya. Senyum tipis yang nampak
memukau dengan sepasang lesung pipi. Senyum yang
dahulu mampu menggemparkan seisi sekolah. Ya, dia
memang belum berubah.
“Bang, mau kemana?” Teman di sampingku
segera menyapanya.

130
Ya teman ku memang dekat dengannya, karena
mereka pernah berada dalam satu tim basket di sekolah
dulu. Tidak perlu cemas, teman ku juga laki-laki. Tetapi
sesungguhnya aku yang cemas, bila saja teman ku
berbeda jenis dengannya.
“Dia masuk mana?” tanya ku tak bisa menahan
rasa ingin tahu ku terhadanya.
“Kedokteran.”
Aku tidak mengerti harus menyimpulkan
perasaan yang muncul dalam benakku sekarang. Rasanya
senang mendengarnya masuk jurusan favorit, rasanya
bangga padahal aku bukan siapa – siapa, rasanya aku
ingin berteriak dia sangat keren. Rasanya aku ingin
mengatakan kepada semua orang firasat ku benar, bahwa
dia cerdas, dia mempunyai potensi untuk menjadi
sukses, dia berbakat dan auranya sangat kuat.
Sempat dulu aku merasa sedikit hebat karena
nilaiku lebih tinggi darinya, kupikir penampilan ku tidak
bisa dibilang bagus, akupun tidak pandai olahraga seperti
dirinya, namun aku mempunyai bakat dalam bidang
akademik. Kupikir aku mempunyai harapan untuk bisa
berada di sampingnya.
Kenyataan yang terjadi kepada ku sekarang
membuat perasaan ku bercampur aduk. Terutama ketika
mendengarnya masuk kedokteran. Aku bukan siapa –
siapa. Nilai ku yang tinggi tidak membuat ku masuk

131
jurusan favorit seperti dirinya. Aku tidak mengeluh
dengan keadaanku, aku selalu mencoba untuk bersyukur.
Mungkin ini yang terbaik. Tapi setelah melihat dia,
mengetahui kehidupannya sekarang. Sebuah pikiran
muncul di benak ku.
Ah, masa depannya cerah sementara aku bukan
siapa – siapa bahkan tidak tahu tujuanku, cita – cita ku,
bahkan mimpi terasa asing bagi ku.
Ku pikir dia sedang memperlebar jarak di anatara
kami, menghancurkan harapan yang dulu sempat
kubangun. Aku tidak seharusnya berharap waktu itu.
Kesombongan kecil itu tidak seharusnya muncul.
Waktu hampir menunjukan pukul sebelas. Acara
akan dimulai dua jam lagi. Namun sebagai panitia dia
sudah sibuk menyiapkan segala hal sebelum acara
dimulai.
Sebagi panitia, aku juga berkewajiban membantu
tim ku untuk menyiapkan segala sesuatunya sebelum
acara inti dimulai. Sejak itu aku belum melihat dirinya
lagi.
Semua stan fakultas sudah tersusun rapi, lengkap
dengan banner di atas setiap meja. Semua panitia sibuk
merapikan meja, menyusun hiasan di atasnya dan
membaca materi yang telah disediakan, waspada bila ada
pertanyaan dari peserta yang nanti tidak bisa terjawab.

132
Akhirnya acara yang ditunggu pun dimulai. Para
peserta memasuki ruangan dan memulai mendatangi stan
yang sesuai dengan minat mereka. Di tengah ruangan,
seorang MC muncul membawakan acara. MC
memanggil seorang panitia untuk bernyanyi.
Beberapa peserta mengelilingi daerah tengah
untuk mendengar lagu yang dibawakan sang penyanyi.
Di situlah aku melihat sosoknya kembali. Dia
membetulkan speaker dan kabel yang ada di dekat
panggung. Kemudian duduk kembali di meja panitia.
Tak lama, peserta datang menggerumbungi mejanya.
Bertanya segala hal tentang fakultas dan jurusannya, dan
dia menjelaskannya dengan ramah. Sepertinya aku harus
menarik kata-kata ku bahwa dirinya tidak ramah.
Enak sekali jadi peserta itu, bisa menatap dia dari
dekat, mengobrol dengannya, mendapat senyumannya,
dan mendapatkan perlakuan yang ramah dari dirinya.
Itulah yang sedang aku pikirkan.
MC mempersilakan seorang panitia untuk maju
ke depan menyanyikan lagu dangdut. Ia terlihat excited
dan turut maju ke depan. Sayangnya mic yang dia
pegang tidak berfungsi. Pasti akan bagus bila dirinya
benar – benar bernyanyi. Aku belum pernah mendengar
suaranya secara jelas, apalagi mendengarnya bernyanyi.
Kini aku menyadari betapa hebatnya dia. Aku
tidak tahu mengapa. Mungkin aku berlebihan,
pendapatku subjektif karena terlalu mengaguminya. dia

133
bukan seorang ketua OSIS terkenal sewaktu di sekolah
dulu, bukan siswa pintar yang sering dipanggil guru
untuk olimpiade, bukan siswa rajin yang selalu mendapat
nilai bagus dan peringkat tinggi di kelas, Ia juga bukan
ketua klub yang populer di kalangan siswa-siswi di
sekolah. Dia masuk tim basket inti, namun hanya sebagai
anggota.
Dirinya bukan siswa teladan yang datang paling
pagi dan pulang cepat untuk belajar. Ia datang ke sekolah
setengah jam sebelum jam pelajaran dimulai hanya untuk
mengobrol dan menonton jam pelajaran olahraga kelas
lain setiap harinya. Ia juga bukan siswa yang aktif, tapi
selalu datang mengurus agenda klub basket. Dia tidak
berpenampilan sangat rapi, tetapi mencoba memakai dasi
dan atribut penting lainnya bila ada upacara. Ia terlihat
mudah bergaul tetapi temannya hanya itu saja. Dia
jarang tersenyum tetapi selalu tertawa bila bersama
temannya. Ia terlihat serius, tapi candaannya bisa
terbilang receh.
Penghujung acara tiba, tetapi topik utamaku
masih saja dirinya. Semua panitia kini sibuk merapikan
properti yang diguanakan saat acara.
Hari ini, dia menyadarkanku bahwa jarak kami
semakin jelas, bukan jarak dalam bentuk angka yang
menyakitkan. Jarak yang muncul padahal kami berada
dalam posisi zero mile yang menyakitkan. Seperti ada
yang ganjal, seperti sesuatu sedang ditarik paksa dari

134
tubuhmu. Bila penasaran, rasanya seperti ingin memukul
dadamu sendiri, tetapi tidak jelas mengapa. Kamu hanya
merasa dirimu bukan siapa – siapa. Kamu hanya merasa
tidak pantas.
Sampai acara berakhir, tidak ada hal istimewa
terjadi. Aku hanya pulang dan mendapat sedikit
‘pencerahan’. Maaf cerita ini tidak sesuai dengan
ekspetasi. Ini bukan cerita tentang dua insan yang
bertemu kembali dan akhirnya dipersatukan. Ini bukan
cerita dimana kamu bisa berharap terjadi sesuatu pada
sang gadis karena kesabarannya yang menjadi pengagum
rahasia. Ini hanya tentang aku, dia, dan ketidak
mampuanku melupakannya.
Aku dan dia seperti dua garis sejajar, mungkin
kami bisa cukup dekat, tapi tidak pernah mencapai titik
temu.
Dan sampai akhir cerita, aku masih berharap
sesuatu terjadi antata kami. Aku masih berharap waktu
mempertemukan kami kembali, nanti. Suatu hari bila
kami bertemu, aku akan menjadi cukup hebat sehingga
pantas berada di sampingnya.

***

SI TUA YANG MENARIK

135
Karya : Sandy Syah Bana
Vespa merupakan kendaraan roda 2 yang sudah
di produksi sejak puluhan tahun yang lalu, walaupun
sudah memiliki umur yang cukup tua, tidak tahu
mengapa kendaraan ini sangat di gemari banyak orang
terutama saya.
Setiap kali melihat vespa di jalan saya selalu
berbicara di dalam hati “seru juga kalau punya motor
kayak gitu.” Setelah itu saya langsung berbicara dengan
orang tua kalau saya ingin membeli vespa.
Saya berkata kepada orang tua saya, kalau saya
ingin meminang sebuah motor tua itu menjadi teman
dalam hidup saya, tetapi orang tua saya melarang dan
berkata “janganlah membeli motor tua nak, karena nanti
kamu bakalan susah sendiri mengurusnya.”
Memang perkataan orangtua saya itu benar
karena kebanyakan motor tua memiliki segudang
masalah di dalam mesinnya, ya maklumlah karena motor
itu sudah berjalan selama puluhan tahun.Saya melihat
teman-teman rata-rata ingin membeli motor sport yang
baru dan bertenaga, tetapi entah mengapa saya masih
bersikeras ingin memiliki vespa. Setiap hari saya
memujuk orang tua agar diizinkan meminang vespa
tersebut, tetapi selalu di tolak dengan alasan yang sama.
Saya tidak menyerah dengan tolakan-tolakan
yang diberikan oleh orang tua. Setelah sekian lama

136
akhirnya orang tua saya menyerah dan dibelikannya
vespa tersebut. Saya sangat senang karena akan
mendapatkan vespa yang selama ini saya inginkan.
Dari sinilah banyak cerita cerita yang telah saya
lalui bersama vespa, seperti kata-kata anak vespa yaitu
“satu vespa sejuta cerita”. Setelah saya membeli vespa,
orang tua saya bertanya “biasanya teman memiliki nama,
siapa nama teman mu yang satu ini?” saya berfikir lalu
menjawab “teman yang satu ini bernama Datuk.”
Saya memberi nama Datuk karena usia vespa
tersebut hampir sama dengan umur Datuk saya. Karena
saya baru memiliki vespa saya selalu membawa Datuk
tersebut untuk berkeliling kota saat sore hari sambil
melihat indahnya senja.
Tak terasa hari libur telah berlalu, besok adalah
hari masuk sekolah pertama di kelas X semester 2. Dari
sore saya sudah mempersiapkan datuk untuk dibawa ke
sekolah esok hari, Datuk terlihat lebih mempesona
karena sudah saya cuci.
Pergi dan pulang sekolah saya selalu ditemani
oleh Datuk, tetapi memiliki motor tua itu tidak semudah
yang saya bayangkan. Banyak cerita yang saya alami
selama memiliki Datuk.
Pada pagi hari seperti biasanya saya
menghidupkan Datuk dan berangkat sekolah,pagi itu
saya mungkin sedang sial karena tiba-tiba di tengah jalan

137
Datuk mati mendadak, saya langsung meminggirkan
Datuk untuk mengecek. Setelah saya cek rupanya Datuk
tersebut harus diganti businya, karena busi lamanya
sudah tidak berfungsi lagi.
Sekitar 20 menit saya memperbaiki Datuk tidak
tahu mengapa Datuk tidak mau hidup, saya berkata
didalam hati “sepertinya Datuk sedang merajuk.” Lalu
saya ingat kata kata bahwa “vespa itu punya hati.”
Setelah itu saya mengelus Datuk dan berkata “ayolah
Datuk, kalau kamu merajuk nanti saya tidak jadi
sekolah.” Sesudah berkata itu saya langsung mengengkol
Datuk dan terdengar suara ‘trenteng...tengg...teng.’
Akhirnya Datuk hidup dan memang benar bahwa
vespa itu punya hati. Sesampainya disekolah saya
melihat gerbang ternyata sudah tertutup, saya berkata
“tuhh kan datuk karena kamu saya terlambat.” Saya
harus menunggu di depan gerbang sampai gerbang
terbuka pukul 08.00.
Setelah gerbang dibuka saya ditanya oleh guru
“kenapa kamu terlambat?” lalu saya menjawab sambil
menunjuk Datuk “karena si Datuk merajuk bu.” Setelah
itu saya disuruh untuk membersihkan ruangan piket dan
menyiram bunga.
Kejadian itu sering terjadi di pagi hari setiap saya
pergi kesekolah, pernah suatu pagi saya kehabisan
bensin di jalan dan tiba-tiba datang sebuah mobil
menghampiri saya, lalu kaca mobil terbuka dan seorang

138
bapak-bapak bertanya kepada saya “kenapa nak?” saya
menjawab “habis bensin pak.”
Setelah itu bapak tersebut menyuruh saya naik
kemobilnya dan mencari bensin, di perjalanan mencari
bensin bapak itu bertanya “sekolah dimana nak?”
“SMA 2 pak.” Jawab saya
“ooo,susah ya kalo naik vespa sering mogoknya daripada
jalannya.” Kata bapak tersebut sambil tertawa
“iyaa pak, tapi beda rasanya kalo naik vespa pak, lebih
seru pak banyak ceritanya.” jawabsaya sambil tertawa
“iya juga ya, saya juga sering tuh dengar kata-kata ‘satu
vespa sejuta saudara’.” Jawab bapak itu
“nahh iya pak, kalo dijalan semua pengendara vespa itu
bersaudara pak walaupun kita enggak kenal, kalau
ketemu dijalan kita bakalan saling nyapa atau saling
membunyikan klaksondan juga kalo vespa mogok,
kebetulan ada anak vespa yang lewat kita bakalan
dibantuin tuh pak.” kata saya kepada bapak tersebut.
“wahh.., mantap juga kalo make vespa yaa,solidaritasnya
tinggi.” Jawab bapak tersebut.
“iya pak.” jawab saya.
Akhirnya saya mendapatkan orang yang menjual
bensin dan saat ingin mengeluarkan uang untuk membeli
bensin bapak tersebut langsung menahan saya dan ia
langsung membayar bensin tersebut.

139
Setelah kembali lagi ke Datuk untuk mengisi
bensinnya, saya langsung mengucapkan terima kasih
kepada bapak tersebut dan bapak tersebut langsung pergi
untuk melanjutkan perjalanannya. Saya langsung
mengisi bensin dan menghidupkan Datuk untuk segera
pergi ke sekolah.
Seperti biasanya saya terlambat dan ditanya lagi
oleh guru “kenapa terlambat lagi?, karena Datuk lagi?”
kata guru tersebut, “ehee,iya bu penyakit Datuk kambuh
lagi.” Jawab saya. Sepertinya guru-guru sudah hafal
dengan alasan saya.
Tidak sampai disana cerita Datuk, walaupun
sering mogok Datuk merupakan motor yang memikat
dan banyak di gemari oleh wanita cantik disekolah.
Banyak wanita yang meminta saya untuk mengantarnya
pulang dengan si Datuk. Itu merupakan kelebihan Datuk
yang saya sukai. Terlalu banyak cerita yang saya lalui
bersama Datuk, saya sudah bertekad untuk tidak pernah
menjual Datuk karena motor tersebut merupakan vespa
pertama yang mengisi masa-masa putih abu-abu saya
menjadi lebih menarik.
***
LEBIH DARI PENGALAMAN
Karya : Sara Krisharda Batubara
Hari ini adalah hari terakhir di bulan Juli. Pagi itu,
aku bersama tim paduan suaraku berangkat menuju

140
Jakarta. Ini memang bukan pertama kalinya aku kesana,
tapi ini pertama kalinya aku pergi tanpa ditemani oleh
orang tuaku. Sebelumnya perkenalkan terlebih dahulu,
namaku Sara Krisharda Batubara. Aku bersekolah di
SMPN 1 Kota Bengkulu. Saat itu aku masih duduk di
bangku kelas 3 SMP. Pergi tanpa orang tua menurutku
sangat menyenangkan. Aku merasa bebas karena tidak
ada yang melarangku. Perjalanan kali ini bukan sekedar
untuk jalan-jalan, tetapi untuk mengikuti kompetisi
pertamaku. Apalagi ini kompetisi internasional, Jakarta
International Choral Festival. Tentu saja bukan hal yang
mudah. Itu adalah saat yang cukup berat untukku. Aku
masih kelas 3 SMP saat mengikuti kompetisi itu dengan
kelompok paduan suaraku, bahkan usiaku belum genap
15 tahun. Masih terlalu muda untuk terjebak dalam
situasi orang dewasa. Masih banyak anggota lain di
paduan suara yang usianya diatasku. Bang Teguh
misalnya, dialah yang paling tua dari semua anggota,
usianya 34 tahun.
Saat pertama kali bergabung ke paduan suara, aku
duduk di bangku kelas 5 SD. Ada beberapa bagian di
paduan suara ini. Kami yang masih SD dimasukkan
kepaduan suara anak. Event terbesar yang kami ikuti
hanya sebatas beryanyi di gereja-gereja, itu saja sudah
membuat kami bangga terhadap diri sendiri. Saat aku
terpilih dalam kompetisi Jakarta International Choral
Festival, aku benar-benar tak menyangka akan
menemukan banyak kejadian unik yang terjadi. Ini

141
memang kompetisi pertamaku, tapi untuk Gema
Rafflesia Choir aku sudah mengikuti untuk keempat
kalinya. Acara ini sudah membawaku kemana-mana.
Misalnya ke Bali, Singapura, bahkan China.
Pada kompetisi Jakarta International Choral Festival
sebelumnya, aku hanya melihat kakak-kakakku saat
mereka sedang mencari dana. Kukira itu hal yang
mudah, namun saat aku termasuk anggota yang akan
berangkat. Aku juga harus ikut mencari dana, aku
melakukan banyak hal seperti mengadakan bazar
makanan, mencari sponsor, membagikan proposal, dan
lainnya.
Mencari dana memang sulit, tapi bukan itu bagian
yang tersulit. Situasi tersulit menurutku adalah saat
kakak-kakak seniorku berselisih paham. Rapat anggota
yang dilaksanakan kacau karena perdebatan mereka.
Tentang si A yang terlalu sering mencari alasan sehingga
tidak mengikuti latihan, si B yang selalu berbicara
tentang kedisiplinan padahal dirinya sendiri tidak
disiplin, atau si C selalu mengaitkan semua hal dalam
setiap perkataannya sehingga orang bosan mendengarnya
berbicara, dan si D yang sering menceritakan keburukan
orang lain padahal dirinya sendiri sama saja.melihat hal
tersebut, aku dan teman-teman yang seumuran hanya
bisa diam dan berpura-pura memahami. Kami hanya
mengikuti suara terbanyak saat diadakan voting. Benar-

142
benar situasi yang membuat kepalaku mau pecah
rasanya.
***
Hanya butuh satu jam perjalanan ke Jakarta jika kita
mengunakan pesawat. Sesampainya kami di bandara,
kami menunggu kenalan Bang Andikha(salah satu
anggota tim) yang akan menjemput kami di Bandara
Soekarno Hatta.
“Ayo guys kumpul dulu kesini, si Jo udah nyampai!”
teriak Bang Andikha. “Naiknya gentian satu-satu, yang
cewek dulu,” lanjutnya
“Tahunya aku kawan Bang Andikha itu polisi. Tapi
nggak bus tahanan jugaklah yang dibawaknya ke
bandara,” Komentar Kak Meysta sambil masuk ke dalam
bus.
“Ribut kali kamu Mes, tinggal naik aja pun banyak kali
cakapnya,” sahut Bang Andikha sambil menyusun koper
dan perlengkapan kompetisi lainnya. Dia dibantu seksi
peralatan lainnya.
“Lawak kali loh bang. Tahanan Negara pulak tulisan di
busnya itu,” Balas Kak Meysta lagi.
Setelah semua anggota tim dan perlengkapan masuk,
bus langsung berjalan menuju penginapan yang sudah
kami booking sejak jauh-jauh hari. Tentu saja selama
perjalanan ke hotel kami menjadi pusat perhatian. Bus

143
tahanan dengan jeruji besi yang terpasang di setiap
jendela dan sekelompok orang berkaos putih di
dalamnya sangat menarik untuk dilihat pengguna jalan
lainnya. Perasaanku campur aduk saat itu, antara malu
dan senang kurasakan secara bersamaan.
Sudah dua jam perjalanan yang kami lalui, akhirnya
kami tiba di penginapan dan menurunkan barang kami
masing-masing dan menuju kamar yang sudah
ditentukan untuk beristirahat sebelum kembali berlatih
pada sore harinya.
“Makasih ya bro,” ucap Bang Andikha saat Bang Jo
pamit untuk kembali ke kantor yang dibalas dengan
acungan jempol oleh temannya itu.
Selama satu setengah hari kami hanya istirahat dan
latihan untuk tampil di tiga kategori pertama yang kami
ikuti. Kami bahkan melewatkan Opening Ceremony
pada malam tanggal 1 Agustus karena besok paginya
kami akan bertanding dalam kategori Gospel Spritual.
***
Besok paginya kami bangun jam 3 pagi untuk
bersiap, tentu saja hanya yang perempuan karena kami
membutuhkan waktu yang lama untuk make up,
sedangkan yang laki-laki bangun pada pukul setengah
lima pagi. Ini pagi yang ribut, karena tidak semua
anggota bias mendandani dirinya sendiri, termasuk aku.

144
Aku berusaha membujuk semua kakak untuk
membantuku berdandan.
“Itu dipake dulu foundationnya dek, abis itu minta
dipasangin bedak sama Kak Esther,” ucap Kak Lia
sambil menyodorkanku foundation.
Aku memakai foundation itu dengan kaku sambil
mengikuti arahan sepupuku itu. Setelah semua anggota
siap, kami kembali melakukan pemanasan suara dan
berlatih sebelum berangkat menuju venue yang sudah
ditentukan oleh panitia.
Kejadian yang sama terus berulang untuk dua hari
selanjutnya, karena kategori yang kami ikuti berlangsung
tiga hari berturut-turut. Tapi tentu saja rasa cemas tidak
pernah membuat kami terbiasa. Persiapan yang sudah
kami laksanakan selama setahun tidak membuat cemas
yang kami rasakan hilang. Aku sempat merasa rendah
diri saat mendengar tim paduan suara yang lain sedang
berlatih sebelum naik ke panggung.
***
Setelah selesai dengan kategori Gospel Spiritual,
kami langsung kembali ke penginapan untuk berlatih
kategori selanjutnya, yaitu Foklore yang merupakan
kategori lagu daerah. Kami menyanyikan lagu Yo
Botoi-Botoi diiringi dengan tarian dan dol.
Tapi hal paling mengejutkan terjadi saat kategori
Musica Sacra. Bang Galih, pelatih sekaligus kondaktor

145
kami mengumumkan tiga jam sebelum kami naik
panggung, dalam kategori ini dia hanya menurunkan 18
penyanyi yang ikut berlomba. Padahal sebelumnya kami
selalu berlatih dengan 32 penyanyi.
Keputusan yang mendadak dan sangat mengejutkan
ini membuat kami semakin cemas. Hal ini disebabkan
karakter suara 14 orang lainnya dianggap tidak cocok
dengan lagu merasa sedih, sedangkan 18 penyanyi yang
terpilih akan naik ke panggung untuk bernyanyi. Sialnya,
aku salah satu dari delapan belas orang itu.
Bukannya tidak bersyukur, hanya saja aku tidak
percaya diri. Terutama saat Kak Ingrith, senior yang
selalu mengajariku tidak diizinkan bergabung karena
suaranya terlalu bertenaga untuk lagu yang harus
dinyanyikan dengan lembut.
“Semangat Sara,” bisik Kak Ingrith saat kami
memasuki backstage.
Aku hanya tersenyum. Aku merasa sangat gugup,
jantungku berdetak dengan sangat cepat seakaan-akan
mau copot. Bukan saat yang tepat untuk merespon Kak
Ingrith. Rasa gugupku membuatku merasa ingin
mengunci diriku di toilet saja.
***
7 September 2017, hari ini adalah puncak dari segala
kegugupan. Karena hari ini akan diumumkan pemenang

146
dari 13 kategori yang peserta keseluruhannya 80 paduan
suara dari banyak negara di Asia.
Saat pembawa acara menyebutkan pemenang dari
kategori yang kami ikuti. Secara otomatis kami saling
mengaitkan tangan, seraya menudukkan kepala dan
berdoa. Hal ini lebih menyiksa dari rasa tegang saat
pengumuman hasil Ujian Nasionalku SD dulu.
Dan saat pemenang diumumkan, tim kami mendapat
dua mendali emas untuk kategori Gospel dan kategori
Foklore, kami juga mendapatkan mendali perak untuk
kategori Musica Sacra. Rasanya semua perjuangan yang
sudah kami laksanakan terbayarkan lunas. Walaupun
masih dibawah target sebelum berangkat, tetap saja
prestasi itu sangat membanggakan.
Kami naik ke atas panggung setelah dipanggil
pembawa acara untuk ikut menikmati euphoria dengan
pemenang lainnya. Dengan sembrononya kami langsung
bergabung saat paduan suara dari Filipina sedang
mengambil foto, untung saja mereka menyambut kami
dengan ramah. Kami saling berkenalan dan berfoto
bersama. Bahkan mereka membagikan uang peso kepada
kami.
Pengalaman yang sangat berkesan untukku yang
belum genap berusia 15 tahun saat itu. Mungkin orang
lain tahu hanya sebatas kami sekelompok orang yang
bergabung dalam paduan suara akan berangkat
kompetisi. Tapi aku tahu, kami lebih dari itu.

147
Dengan bermodal pengalaman saat itu, aku kembali
berpartisipasi untuk kompetisi berikutnya. Dan aku
sekarang tahu maksud dari nasihat Bang Teguh untuk
semua anggota agar tidak menganggap remeh kompetisi
di Jakarta. Level kompetisinya mungkin lebih rendah,
tapi cerita dalam setiap prosesnya tetap bermakna.
***

148
PELAJARAN BERHARGA
Karya : Seprina Dwi Cahyani
Namaku Safina, aku berkerja sebagai guru di
suatu taman pendidikan kanak-kanak di kotaku. Aku
bukan hanya menjadi seorang guru, tetapi aku juga
merupakan seorang ibu dari anak-anakku dan istri dari
suamiku.
Hari jumat yang cerah ku langkahkan kaki
menuju tempat tugasku, karena waktu sudah
menunjukan pukul 07.00 WIB. Aku merasa sudah
terlambat tiba di sekolah tempat aku bertugas. Jalanan
mulai macet karena banyaknya kendaraan mahasiswa
yang keluar masuk kampus.
Setelah tiba di sekolah, hati ini merasa gembira
karena sudah disambut oleh anak-anak yang lucu dan
lugu dengan wajah-wajah yang penuh kegembiraan.
Dengan senyuman ku berjalan menuju ruang kelas dan
menaruh tasku di atas meja, setelah itu aku bergegas
menuju halaman sekolah untuk mengawasi anak-anak
yang sudah asyik bermain. Anak-anak memainkan
banyak permainan, ada yang bermain ayunan, pelosotan,
jungkitan dan masih banyak yang lain. Mereka bermain
dengan sangat gembira hingga aku pun ikut tersenyum
melihatnya.
Tanpa terasa waktu sudah menunjukan pukul
08.00 WIB. Bel sekolah pun berbunyi, semua muridku

149
bergegas menuju lapangan untuk melakukan kegiatan
pada hari jumat, yaitu melakukan senam bersama.
“Ayo anak-anak atur jaraknya agar tidak bersentuhan
dengan teman,” ucapku. Anak – anak pun melakukan
apa yang aku katakan.
Setelah anak-anak berbaris rapi aku pun memulai
senam pada hari itu. “Anak-anak apakah sudah siap
untuk senam hari ini?” Anak – anak pun menjawab
“Siap bu guru.” Aku pun siap diposisi ku sebagai
instruktur senam.
Anak-anak mengikuti senam dengan senang dan
gembira, musik pun berbunyi dengan lantang mengiringi
kegiatan senam kami. Gerakan demi gerakan kami
lakukan sampai dengan proses pendinginan dan senam
pun selesai. Ada sedikit rasa lelah yang aku rasakan,
tetapi rasa lelah itu hilang ketika aku melihat semua anak
muridku yang tersenyum gembira setelah senam.
Setalah melakukan senam, murid-muridku segera
masuk ke ruang kelas, mereka mulai membuka tasnya
masing-masing untuk mengambil minumannya. Mereka
pun meminum minumannya dan langsung duduk dengan
tertib sembari menungguku masuk ke kelas.
Setibanya aku di ruang kelas, anak-anak sudah
dengan tertib duduk ditempatnya masing-masing. Aku
pun memulai kegiatan belajar di kelas. Aku pun memulai
kegiatan belajar di kelas dengan memberi salam kepada
anak-anak.

150
“Assalamualaikum. Wr. Wb, anak-anak“
“Waalaikum salam. Wr. Wb, bu guru“ Mereka
menjawab dengan lantang.
Aku pun tersenyum mendengar jawaban murid-muridku,
dan melanjutan dengan menanyakan kabar mereka.
“ Apa kabar anak-anak?” Mereka menjawab dengan
bermacam-macam jawaban. Ada yang menjawab baik
dan ada juga yang menjawab kurang sehat.
Kulihat jarum jam sudah menunjukan pukul
sentengah sembilan pagi. Waktunya anak-anak untuk
melakukan kegiatan inti di kelas. Aku memulai menulis
hari dan tanggal di papan tulis. Kami memulai kegiatan
dengan melipat topi pak tani, dilanjutkan dengan
menggambar pemandangan di desa. Anak-anak pun
asyik dengan kegiatannya dan mengambar dengan
imajinasinya masing masing .
Satu jam telah berlalu, telah tiba waktunya anak-
anak untuk melakukan kegiatan selanjutnya. Kegaitan
selanjutnya adalah makan dan bermain bersama.
Terdengar suara kegembiraan anak-anak yang mulai
mencari tempat untuk bermain. Ada yang memilih
bermain didalam kelas dan ada juga yang memilih
bermain diluar kelas. Aku mengawasi anak-anak yang
sedang bermain, aku takut ada anak yang terjatuh atau
ada yang menangis karena diganggu oleh teman yang
lain.

151
Hari pun mulai siang, anak-anak masuk ke kelas dan
mengakhiri kegiatan pada hari ini. Aku mengantar
mereka ke gerbang sekolah untuk menunggu orang
tuanya. Satu persatu anak muridku dijemput oleh orang
tuanya, aku pun mulai membereskan ruang kelasku.
Setelah selesai tugasku, aku pun bergegas untuk
menjemput putra kecilku di sekolahnya. Setelah tiba di
sekolah putraku, aku langsung menuju salah satu tempat
pusat pembelajaan untuk membeli kebutuhan sehari-hari.
Saat sedang asyik berbelanja, tiba-tiba telpon
genggam ku berbunyi, aku pun bergegas
mengangkatnya. “Hallo assalamualaikum, ini papa, anak
kita kecelakaan.“ Hatiku hancur mendengar perkataan
suamiku, aku merasa tidak yakin bahwa anakku yang
masih tersenyum kepadaku saat pagi hari harus
mengalami kecelakaan.
Aku langsung meminta putraku agar cepat
mengikutiku. Kami berlari-lari kecil menuju parkiran
tempat sepeda motorku. Aku tidak kuat menahan
tangisanku sehingga tangisku pecah saat aku tiba
diparkiran.
Pikiran ku mulai kacau, aku merasa motorku lambat
sekali menuju rumah sakit. Setibaku di rumah sakit, aku
mendengar tangisan anakku yang menjerit kesakitan,
hatiku mulai hancur melihat anakku merasa kesakitan.
Aku dan suamiku hanya bisa menunggu hasil dari dokter
tentang kondisi anak kami. Dokter pun memanggil kami,

152
ia menjelaskan kepada kami tentang kondisi anak kami,
bahwa dari kecelakaan tadi anak kami menderita patah
tulang pada kaki kirinya. Patah tulang yang dialaminya
bukanlah patah tulang yang biasa, tempurung lututnya
pecah dan tulang betisnya patah.
Putriku dirujuk untuk menuju rumah sakit lain
karena pada rumah sakit sebelumnya tidak ada alat yang
bisa menangani patah tulang. Siang itu kami pun
membawa putriku menuju rumah sakit lain untuk
melakukan pengobatan yang lebih baik. Kami pergi
dengan menggunakan ambulans rumah sakit. Di dalam
ambulans, aku tidak henti-hentinya berdoa untuk putriku,
tanpa terasa air mata selalu mengalir di pipiku. Tak
terbayangkan oleh ku betapa sakitnya putriku, menahan
sakit pada kakinya yang tidak bisa di gerakkan.
Setibanya di rumah sakit, anakku melakukan
rangakaian pemeriksaan dan ronsen untuk mengetahui
letak tulang yang patah pada kakinya. Aku sangat
terkejut ternyata tulang yang patah pada kaki anakku
terletak pada tulang anggota gerak. Dokter pun
menyaran kami untuk melakukan operasi pemakaian
besi pen pada kaki putri kami. Tetapi setelah kami
melakukan mediasi dengan keluarga yang lain, banyak
keluarga yang menyarankan untuk membawa putri kami
pulang dan berobat dengan cara tradisional. Kami pun
mengikuti saran dari pihak keluarga.

153
Waktu terus berlalu, dan kami pun selesai
melakukan pengobatan tradisional. Setelah selesai
melakukan pengobatan kami pulang kerumah. Setibanya
dirumah sudah banyak keluarga kami yang menunggu
kepulangan kami untuk melihat keadaan putri kami. Air
mataku tidak berhenti mengalir di pipiku. Aku sangat
tidak tega melihat anakku menangis kesakitan.
“Sakit ma, sakit ma,” jerit putriku .
Aku mendekati putriku, sambil menahan air mataku agar
kelihatan kuat didepan putriku. Aku memberikan ia
semangat agar ia bisa kuat menahan rasa sakit yang ia
rasakan.
Hari terus berganti, anakku mulai pulih dari
sakitnya, ia sudah bisa untuk duduk. Walaupun baru bisa
duduk, putriku selalu merengek untuk masuk sekolah,
karena putriku takut ketinggalan pelajaran. Putriku
akhirnya sudah mulai bersekolah, tetapi ia harus
bersekolah dengan menggunakan kursi roda. Aku pun
mulai menangis lagi melihat keadaan ini, putriku yang
biasa terkenal dengan kelincahannya, harus duduk di
kursi roda. Tetapi aku selalu terlihat tegar dimata putriku
padahal hatiku rasanya ingin sekali menggantikan posisi
putriku dengan diriku.
Setelah tiga bulan berlalu, putriku sudah mulai
berlatih berjalan dengan menggunakan tongkat. Pancaran
keceriaan mulai timbul lagi dimata putriku. Melihatnya

154
membuat aku semakin optimis bahwa putriku bisa
sembuh dan bisa berjalan lagi seperti dulu.
Mengingat ucapan dokter bahwa anakku
kemungkinan tidak bisa berjalan, aku sangat bahagia
melihatnya bisa berjalan sekarang. Walaupun tidak bisa
berjalan dengan normal seperti dulu, tetapi aku sangat
bahagia melihat putriku kembali bahagia dan lincah
seperti dirinya yang dulu.
Dengan kejadian yang menimpa putriku, banyak
sekali pengalaman-pengalaman hidup yang aku dapat.
Mulai dari cara kita yang selalu menebar kebaikan
kepada orang lain, maka orang lain akan berbuat baik
pula kepada kita. Aku selalu mengingat bahwa dalam
kehidupan jangan pernah mengeluh dan selalu bersabar.
Dibalik suatu cobaan yang kita hadapi selalu banyak
jalan terbuka, untuk menuju kebahagian. Ingatlah bahwa
tuhan memberikan cobaan kepada kita karena ia sayang
kepada kita.

***

155
DUNIA ALAT TULIS
Karya : Tiara Sona
Pada zaman dahulu kala, hiduplah kertas,
pensil, penggaris dan penghapus. Mereka hidup di dalam
kotak pensil. Mereka itu bagaikan saudara, karena
mereka sangat dekat. Sudah lama mereka tinggal di sana.
Jangan kaget, di dunia ini alat tulis bisa berbicara. Dan
tentunya hewan juga bisa.
Awalnya mereka hidup dengan damai dan
tenteram. Tapi pada suatu hari kedamaian itu hilang.
Kenapa kedamaian itu hilang? Karena pensil selalu
dipuja-puji oleh semua orang. Mengapa pensil selalu
dipuja-puji? Karena pensil dapat membuat bentuk-
bentuk yang indah. Dengan pensil kita dapat
menggambar, menulis, dan mencatat. Singkatnya pensil
sangat berguna. Karena terus dipuja-puji pensil menjadi
sombong.
Suatu siang yang cerah, Matahari bersinar dengan
teriknya. Angin juga berhembus sejuk. Di dalam kotak
pensil, pensil, kertas, penggaris, dan penghapus sedang
berkumpul untuk melepas peluh penat sehabis berkerja.

156
“Hei teman-teman, apa sih kegunaan kalian?” Pensil
bertanya dengan suara lantang. Semua orang sekarang
menatap ke arah pensil.
“Kalo aku, tau kan? Secara aku ini yang paling banyak
kegunaannya disini! Aku itu bisa mengggambar, menulis
dan mencatat loh, kalo gak ada aku manusia gak akan
bisa untuk menulis, mereka gak akan bisa mencatat, dan
mereka tidak bisa menggambar“ Pensil melanjutkan
dengan nada sombong. Kertas yang melihat itu hanya
bisa tersenyum pasrah.
“Aku sih banyak gunanya, aku bisa membantu manusia
untuk mengukur, tentunya dengan bantuan pensil“
Penggaris tersenyum bangga.
“Kalo aku bisa menghapus bekas goresan yang
ditimbulkan pensil. Aku bisa mengahapus yang salah.“
Penghapus berkata.
Mereka tersenyum satu sama lain, kecuali kertas.
Kertas kebingungan, dia tak tahu apa gunanya.
“Apa gunanya aku?” Cicit kertas dengan suara kecil.
Tetapi sepertinya penggaris, penghapus, dan pensil
mempunyai pendengaran yang bagus. Mereka semua
melihat ke arah kertas yang sedang kebingungan.
“Kertas apa kegunaaanmu?” Tanya pensil dengan
senyum mengejek.

157
“Iya kertas, kami kan tadi udah jelasin kegunaan kami
masing-masing. Hanya kamu yang belum“ Tanya
Penggaris.
Karena kertas lama menjawab, penghapus kesal .
“Kertas, jawab donk!!” Bentak penghapus.
“Kegunaanku adalah …… kegunaanku adalah ……
kegunaanku ..” Kertas kebingungan. Tak tahu harus
berkata apa. Dan penggaris, penghapus, dan pensil juga
semakin kesal.
“Kertas apa kegunaanmu adalah…..” Pensil mulai serius.
“Apa kegunaanku, pensil?” Kertas bertanya, berharap
pensil dapat memberitahukan kegunaannya.
“Apa kegunaanmu untuk dirobek kertas?“ Pensil tertawa
terbahak-bahak. Penggaris dan penghapus juga ikut
tertawa.
Kertas merasa sedih, dia merasa tidak berguna.
Lalu dia meninggalkan kotak pensil dengan muka yang
merah, karena menahan tangisan. Kertas sangat sedih,
tetapi mereka makin tertawa dengan kencang. Kertas
pergi berjalan tak tentu arah. Entah sudah berapa jam dia
berjalan. Sampailah kertas di sebuah taman kanak-kanak.
Karena merasa letih kertas duduk di bangku yang
terletak di depan taman kanak-kanak. Kertas melihat
banyak anak-anak, binatang, dan tentunya peralatan tulis
lainnya. Mereka sedang bermain dan tertawa bersama.

158
Kertas iri, ia ingin dia dan teman-temannya dapat
bermain seperti itu.
Tiba-tiba ada yang menghampiri kertas
“Hai kertas, kenapa kau begitu sedih?” Rupanya itu
adalah kelinci. Kelinci adalah teman kertas juga. Kelinci
duduk di kursi sebelah kertas.
“Aku tidak sedih kelinci“ Jawab kertas setengah
tersenyum.
“Kamu bisa bercerita padaku kertas, aku akan
mendengarkan dan membantumu jika kamu butuh
bantuan“ Tawar kelinci.
“Aku sedih kelinci, aku merasa tidak punya kelebihan
kelinci. Aku rasa aku hanya punya kekurangan. Aku iri
pada pensil, penggaris, dan penghapus. Mereka punya
banyak kelebihan bagi manusia. Pensil dengan kelebihan
menulisnya, penggaris dengan kelebihan mengukurnya,
sedangkan penghapus dengan kelebihan menghapusnya.
Kenapa hanya aku yang tak punya kelebihan?” Kertas
bercerita dengan sedih. Sungguh ia ingin punya
kelebihan juga. Kelinci yang melihat itu hanya bisa
menghela nafas.
“Sungguh kertas, apa kau tidak sadar? Kau itu punya
banyak sekali kelebihan. Lihat anak-anak TK itu mereka
senang denganmu. Mereka senang melipat-lipatmu
menjadi berbagai macam bentuk dan tentunya itu pasti
indah, denganmu mereka bisa menggambar dengan

159
pensil, meghasilkan karya-karya yang indah. Lalu
mereka bisa mewarnaimu juga. Selain itu kertas kau bisa
menjadi pembersih bagi manusia.” Kelinci berkata
dengan berapi-api. Ia kesal akan pensil yang sangat
sombong. Sedangkan kertas ia masih berpikir.
Tampaknya ia syok akan perkataan kelinci.
“Sungguh kertas kau itu punya banyak kegunaan“ Ujar
kertas melanjutkan.
“Apa kau serius kelinci?” Tanya kertas, sepertinya ia
masih tak yakin.
“Dua rius malah kertas“ Ujar kelinci tersenyum, lalu ia
tertawa. Kertas tertawa juga karena kelinci.
Tak terasa hari sudah semakin malam, matahari
mulai menyembunyikan diri, sedangkan bulan mulai
menunjukkan sinarnya. Kertas harus pulang dan
berbaikan dengan penggaris, penghapus, dan pensil.
“Kelinci, karena hari sudah semakin sore, aku ijin pamit.
Aku harus kembali ke kotak pensilku,“ ujar kertas.
“Baik kertas, hati-hati“ Kertas pergi, meninggalkan
kelinci sambil tersenyum.
Saat malam hari barulah Kertas sampai ke kotak pensil.
“Eh ada kertas yang gunanya dirobek-robek nih“ Ejek
Pensil, Penggaris, dan penghapus sambil tertawa.
“Kertas udah pulang nih“

160
“Iya penggaris, ngomong-ngomong kertas udah ketemu
kegunaanmu? Kamu masih belum menjawab pertanyaan
kami, kertas” Tanya Penghapus dengan senyum
mengejek. Kertas hanya bisa bersabar.
“Kegunaanku, aku banyak dilipat oleh anak-anak TK
menjadi beragam bentuk yang indah, jika tak ada aku
pensil tak dapat menulis, mencatat, atau menggambar.
Penghapus tak bisa menghapus. Penggaris tak akan bisa
menggaris dan mengukur. Karena dengan akulah kalian
bisa melakukan semua hal itu.” Jawab kertas lantang.
Mereka semua terpana, tak menyangka kertas bisa
menjawabnya.
“Sadarkah kalian, kita memang punya kelebihan dan
kekurangan masing-masing. Karena tak ada sesuatu di
dunia ini yang sempurna. Mungkin memang penghapus
hanya bisa menghapus tinta pensil, penggaris hanya bisa
mengukur benda yang datar, pensil tintanya tak
permanen, dan aku juga dapat mudah dirobek. Tapi
sadarkah kalian, bahwa kita punya kelebihan masing-
masing yang tak semua orang punya“ Kertas
menjelaskan sambil tersenyum.
Mereka masih terpana. Mereka menyesal sudah
mengejek kertas. Mereka sadar bahwa mereka punya
kelebihan dan kekurangan masing-masing. Mereka
meminta maaf pada kertas.
“Maaf kertas, tak seharusnya aku begini. Maafkan aku
teman-teman karena aku menjadi sombong. Kertas

161
benar, kini aku sadar semua makhluk di dunia ini pasti
punya kelebihan dan kekurangan masing-masing“ Pensil
meminta maaf.
“Kertas aku juga meminta maaf sudah mengejekmu,
kamu benar-benar membuatku sadar. Bahwa apa yang
kulakukan selama ini salah. Aku bangga padamu kertas.”
Penghapus juga meminta maaf.
“Kertas maafin aku, maaf sudah mengejekmu. Kamu tak
pernah marah saat kami mengejekmu. Aku menyesal
kertas. Hiks …. Hiks ….Hiks“ Penghapus meminta
maaf. Mereka menangis karena menyesal sudah
mengejek kertas.
“Aku sudah memaafkan kalian semua, mari kita
berpelukan“ Kertas tersenyum.
Mereka berpelukan dan tentunya masih
menangis. Tapi tentunya tangisan bahagia bukan
tangisan sedih. Kertas senang karena sekarang mereka
tidak bertengkar lagi. Akhirnya kedamaian kembali lagi
ke dunia ini. Mereka akhirnya hidup bahagia dan rukun.
Mereka tak pernah lagi mengejek kelebihan dan
kekurangan satu sama lain, karena mereka sadar bahwa
mereka masing-masing memiliki kelebihan dan
kekurangan yang pastinya berbeda dari orang lain.
Karena tak ada yang sempurna di dunia ini. Semua orang
pasti punya kelebihan dan kekurangan masing-masing.
Itu semua agar kita bisa bersyukur dan mengingatkan

162
agar kita tak sombong. Bahwa di atas langit masih ada
langit lagi.

***

PELIPUR LARA
Karya : Ukha Ghaezy A.
“Kamu harus kuat menghadapi cobaan hidup,
nak. Kamu itu cantik, pintar. Ibu yakin kamu bisa
diterima di kehidupan yang kejam ini, terkadang yang
kita butuhkan itu hanyalah obat yang dapat memulihkan
kehidupan ini menjadi indah dan berwarna.”
Kata-kata itulah yang selalu terbesit dipikiranku
ketika hidup terasa hampa. Aku merindukanmu, Bu.
Sekarang kau telah tiada dan aku sangat kesepian dan
tidak memiliki siapapun lagi di sini. Al-Fatihah buat mu,
Bu. Aku harap dapat menemukan obat yang dapat
membuat hidupku menjadi indah dan berwarna.
“Hore!!” rasa senang yang kurasakan saat ini
karena sudah menginjak kelas 11 SMA. Aku senang bisa
menemukan teman karena selama ini aku selalu tidak
disenangi oleh teman-temanku sebelumnya.Mungkin

163
karena keegoisankusehingga mereka menjauhi. Bagiku
jika menemukan teman, merupakan sebuah rezeki karena
ada orang yang bisa menerimaku.Perempuan itu adalah
Lia,dia itu baik,cantik,dan dialah satu-satunya orang
yang bisa menjadi sahabat bagiku.
“Hai Lara, yuk kita ke Pizza Hut untuk melepas
penat dari kesibukan sekolah sembari kita bertukar
pikiran dan buat tugas Kimia,” rayuan Lia sambil
menggenggam uang berwarna merah.
“Yuk,aku sudah laper banget nih,ayoklah kita ke
sana,” sahut Lara.
Akhirnya kami tiba di Pizza Hut,kami makan
dengan lahap dan bersuka ria di sana. Sesampainya di
Pizza Hut terlihat ada segerombolan remaja laki-laki
kurang lebih ada 6 orang dan ada satu di antara mereka
yang tidak asing wajahnya bagiku, ya dia adalah Fano,
teman sekelasku waktu kelas 9 SMP. Dia pintar tapi
bandel, pendek untuk ukuran laki-laki pada umumny tapi
lebih tinggi daripada aku, dan rambutnya ikal. Di sana
dia terlihat sedang membaca buku yang tebal. Namun,
aku tidak peduli dengan mereka karena aku sedang asyik
bercerita bersama Lia dan ia benar-benar enak untuk
diajak bercerita. Di saat kami sedang bercerita, tiba-
tiba…
“Hai Lara apa kabar? Sudah lama nggak ketemu
nih, kok kamu masih cantik aja ya,” tanya Fano yang
membuatku terkejut.

164
“Astaga, Fano gara-gara kamu aku jadi terkejut.
Kabarku baik, bagaimana denganmu yang semakin jago
Fisikanya?” balasku.
“Ah kamu bisa aja, doakan ya, Ra. Semoga aku
bisa ikut dan bisa menang OSN Fisika tingkat nasional.
Aku janji deh bakal traktirin kamu pizza yang meat
lovers,” jawab Fano.
“Aamiin, awas ya kalau nggak kamu traktir
nanti,” sahutku dengan gurauan.
“Iya aku janji, aku duluan ya soalnya sudah
dicariin sama calon mertua kamu,” ujar Fano yang
terdengar seperti guyonan.
“Ya,hati-hati sayang hehe,” balasku sambil
berguyon.
Memang seperti itulah Fano, dia suka bercanda
dan dia termasuk teman laki-laki yang lumayan dekat
denganku. Namun aku hanya menganggap dia seorang
tempat curahan hatiku ketika aku ada masalah dan kami
bahkan tidak pernah jalan berdua karena bagiku hanya
butuh seorang sahabat perempuan seperti kebanyakan
orang. Waktu telah menunjukkan pukul 6 sore, kami
berdua pun pulang menuju rumah masing-masing.
Oh iya, Lia benar-benar orang yang enak diajak
berteman, bahkan saat ke kantin kami selalu berdua dan
kami juga duduk sebangku. Hari-hari telah banyak kami
lalui dan tibalah suatu hari dimana pada saat itu aku

165
diperlakukan tidak wajar oleh teman sekelasku, pada saat
itu juga Lia sedang berada di luar kelas dan aku berharap
banyak darinya untuk menolongku.
Di kelas aku dihina,dicaci padahal aku tak
bersalah dan mereka pun mendorongku ke luar kelas
sambil menghujat, “Kamu tak pantas berada di sini, Lara
dan seharusnya kamu tak usah hidup.” Sontak aku
mengeluarkan air mata sederas-derasnya dan datanglah
Lia. Tanpa berpikir panjang aku berlari ke hadapan Lia
untuk memeluknya dan ternyata dia malah mendorongku
dan berkata, “Mereka benar, Lara. Sudah seharusnya
kamu untuk menjauh dari kami. Kamu bagaikan virus
bagi kami. Jujur saja ya, kamu itu menyebalkan dan aku
sudah muak sama kamu.” Mendengar perkataan Lia,
hatiku merasa sedih dan aku berpikir untuk mengakhiri
hidupku jika dunia memang kejam.
Aku pulang ke rumah dan melihat foto Ibu. Lalu
aku ambil foto Ibu di dinding dan aku menangis saat
melihat mukanya sembari aku mengeluh, “Bu, andaikan
kau masih ada, mungkin aku akan meminta bantuanmu
untuk menghadapi mereka yang jahat itu. Maaf, Bu. Lara
belum menemukan obat itu, malah Lara rasanya ingin
menyusul Ibu di sana. Untuk apa Lara hidup sebatang
kara di dunia, Bu? Jika dunia tidak menerima Lara.”
Sesaat aku sedang merasakan pilu yang kembali
menimpa hidup ini,tiba-tiba handphoneku bordering,

166
spontan aku langsung membuka handphoneku dan
ternyata ada pesan dari Fano.
“Hai Lara,apa kabar? Kalau ada masalah cerita
aja sama aku mumpung aku lagi ada waktu luang nih,”
pesan yang masuk dari Fano.
Melihat pesan itu,spontan aku membalas
pesannya
“Nggak ada apa-apa kok, aku senang-senang aja
sekarang,” balasku yang mencoba menutup diri.
“Jangan bohong deh, aku sudah tahu semuanya.
Walaupun kita beda sekolah, tapi aku tahu dari teman-
temanku,” balas Fano yang berupaya keras agar aku
membuka diri.
“Jadi begini, aku merasa sudah tidak pantas
untuk hidup dan mereka semua memperlakukanku secara
tak wajar, Fan,” jawabku.
“Oh gitu, Ra. Kamu jangan sedih. Yuk coba
kembali ke kehidupan yang semestinya kamu jalani.
Mereka itu hanya iri sama kamu, karena iri mereka jadi
seperti itu ke kamu. Kalau mereka seperti itu lagi,
panggil aku aja,” sahut Fano yang sambil memberikanku
semangat.
“Tidak usah,,Fan.,Terimakasih ya sudah
mencoba menghiburku walaupun aku masih sedih,”
balasku yang seolah-olah ingin mengakhiri obrolan.

167
Fano memang anak yang baik. Sepertinya dia
memendam rasa kepada diriku, tapi aku masih trauma
akan kejadian yang pernah aku alami. Aku tak mau
berharap banyak darinya. Walaupun ia terlihat tulus,
namun aku membatasi diriku.
Setelah kejadian itu, aku hanya menyendiri di
kelas dan aku melewati hari-hariku sendirian. Namun,
saat aku membuka whatsapp, selalu ada pesan dari Fano.
Terkadang aku sengaja tidak membacanya, walaupun
pesannya memberikan semangat kepadaku.
Sampai suatu hari, Fano mengirim pesan yang
isinya,
“Jangan seperti itu dong, Ra. Jika aku mengirim
pesan itu dibalas. Kalau sedih itu cerita agar kamu
tenang, aku kan tidak seperti mereka, Ra. Aku memang
bandel, tapi aku tidak bisa menyakiti perasaan seseorang.
Oh ya, Ra. Terimakasih ya atas doamu sebelumnya, aku
berhasil lolos OSN tingkat nasional. Tanggal 25 nanti
aku mau berangkat ke Pangkal Pinang. Mungkin
beberapa minggu ke depan aku nggak akan ganggu kamu
untuk sementara waktu, karena fokus untuk lomba dulu,
doakan ya semoga aku bisa mendapat medali di sana.
Aku harap kamu baca pesan ini.”
Aku langsung membaca pesan itu. Jujur, pesan
dari Fano ini membuat hatiku luluh sebagaimana jarang
ada laki-laki yang bisa membuat diriku seperti ini. Aku
lihat sepertinya dia suka dan memang tulus dengan

168
diriku, tapi aku masih dibayangi oleh rasa trauma dan
ada rasa malu di dalam diriku.
“Aamiin, semoga menang dan ingat janji kamu
yang dulu ya, semoga sukses!” balasku sambil
mendoakannya.
Waktu terus berjalan, aku hanya fokus belajar
agar keinginanku masuk jurusan Hubungan Internasional
UGM melalui jalur SNMPTN terwujud dan aku tak lupa
untuk selalu beribadah kepada Allah SWT seraya berdoa
agar keinginanku bisa terwujud.
Saat ini aku selalu terpikir dengan Ibu. Ibu
memang sudah tiada namun aku selalu mengobrol
dengannya dengan melihat wajah di fotonya dan di
setiap bacaan surah Yaasin selepas shalat.
Sudah 2 minggu waktu berjalan, dan benar tidak
ada kabar apapun dari Fano. Tapi aku merindukan pesan
darinya dan hati kecilku bergumam, “Apakah dia yang
akan jadi pelipur lara seorang Lara? Jika suatu saat dia
menyatakan perasaannya kepadaku, akan kuterima saja.
Karena dia itu baik, pintar walaupun agak bandel, dan
menyebalkan. Tapi dia orang yang peduli denganku.”
Dia benar-benar menghilang selama 18 hari, di
saat itu juga aku mengkhawatirkannya dan sempat
gelisah. Tak lama aku begitu, tiba-tiba ada pesan yang
masuk.

169
“Aku kembali, Lara. Kamu pasti kangen sama
aku, kan? Oh ya, Ra. Aku sudah di rumah nih, besok kita
ke Pizza Hut sesuai janji dulu hehehe, kan jadi lupa, Aku
berhasil dapat medali perunggu nih Ra, terimakasih ya.”
“Wah hebat banget Fanoku ini, selamat ya. Iya
deh besok kita ke pizza hut sambil kita bernostalgia
juga,” balasku dengan bahagia.
Mendengar kabar itu aku jadi lega dan bangga
dengan Fano. Dia benar-benar hebat dan tanpa berpikir
panjang aku mengiyakan ajakan dari Fano, karena aku
merasa nyaman dengannya dan aku berharap dialah
pelipur lara bagiku. Kami bercerita panjang malam itu
dan terlihat Fano senang pesannya dilayani dan aku
memberikan respon yang bagus kepadanya.
Esok haripun tiba, dan seperti janjinya Fano akan
menjemputku di rumah dengan mobil sedan hitamnya.
Akhirnya, kami tiba di Pizza Hut dan rupanya Fano
memiliki selera yang sama denganku, ia memesankan 2
meat lovers. Kami makan bersama, bercerita, dan
bernostalgia masa SMP. Lalu, Fano mengungkapkan
sesuatu.
“Ra, terimakasih ya selama ini sudah menjadi
bagian hidupku. Karena kehadiranmu di dunia ini, aku
bisa menjadi seperti ini. Aku hanyalah seorang Fano
yang bodoh pada saat SMP dan di saat itu aku berada di
titik terendahku, namun kamu pernah memberiku
semangat pada saat kita akan beranjak ke SMA. Alhasil,

170
kepingan perunggu inilah yang merupakan hasil kerja
kerasku selama ini yang bermula dari motivasi dirimu.
Ingat Ra, kamu itu istimewa, mereka semua hanya iri
kepadamu karena kamu itu udah cantik, pintar, dan
banyak yang suka lagi.”
“Mungkin ada satu lagi yang ingin aku
ungkapkan ke kamu tapi aku canggung
mengungkapkannya,” lanjut Fano diiringi dengan wajah
yang memerah.
Sekarang aku sudah tahu apa yang ingin ia
ungkapkan dengan itu spontan aku membalasnya,
“Nggak usah malu, Fan. Aku sudah tahu apa
yang mau kamu ungkapkan kepadaku, kenapa kau tidak
mengatakannya dari dulu? Apakah seorang Lara jauh
lebih sulit untuk dianalisis ketimbang permasalahan
Fisika? Aku hanya butuh seorang pelipur lara,Fan.
Kamu…”
Belum selesai aku berbicara tiba-tiba Fano
memotong dan sontak ia berkata,
“Ya, aku siap jadi pelipur laramu, kamu percaya
kan bahwa aku adalah obat yang kamu butuhkan selama
ini? Seharusnya kamu percaya, karena kamu pernah
menjadi obatku dan sekarang aku akan memulihkanmu.
Aku siap menjadi obatmu sampai kita beranjak tua
nanti.”

171
“Terimakasih ya, Fan. Aku tak menyangka kamu
bisa sebaik ini dibalik kebandelanmu itu. Aku harap
kamu bukanlah golongan seperti mereka-mereka itu,”
ungkapku dengan rasa senang.
“Iya, aku janji. Memang kita baru naik kelas 12,
tapi yang aku minta kita bisa hidup bersama sampai kita
kakek-nenek,” balas Fano dengan raut wajah yang serius.
“Kok udah jauh banget pikirannya hahahaha,”
balasku sambil tertawa terbahak-bahak.
Usai makan, aku diantarnya pulang kerumah.
Akhirnya, doaku terkabul. ternyata Allah memberikan
obat itu berupa seorang Fano, dan aku sambil
memandang wajah almarhumah Ibuku di kamar sembari
berkata, “Bu, akhirnya Lara sudah menemukan obat itu
berupa seorang laki-laki yang tulus mencintai Lara, Bu.
Lara harap dapat hidup bahagia bersamanya, Bu”
Hari-hari telah kami lalui,dan tibalah waktu
pengumuman SNMPTN. Pada saat itu aku merasa
senang tapi merasa sedikit sedih karena aku dan Fano
akan berpisah. Ya, kami sama-sama lulus SNMPTN, aku
berhasil diterima di UGM jurusan Hubungan
Internasional, sedangkan Fano berhasil diterima di ITB
Fakultas Teknik Tambang dan Minyak (FTTM).

***

172
SEMANGAT SEKOLAH
Karya : William Tiodo Doloksaribu
Ketika mentari merasa terlihat merangkak
perlahan di ufuk timur, Yunita terlihat bergegas menuju
kamar tidur anaknya. Pagi yang disambut kokokan ayam
jantan dari segala sudut penjuru kampung membawa
dampak ibu muda itu makin kelihatan gelisah.
Mengapa tidak, arah jarum jam hampir menunjuk
tepat ke angka enam, tetapi anak semata wayangnya itu
tak kunjung bangun dari tidurnya. Bukan hanya gelisah,
tetapi perlahan raut wajah Yunita terlihat begitu kesal

173
setelah melihat tingkah anaknya yang tak seperti
biasanya.
“Danis, bangunlah, sudah siang,” begitu kata
Yunita setelah tepat berada di tempat pembaringan
anaknya itu. Entah masih berada didalam dunia
mimpinya, perkataan itu tak digubris Danis.
“Danis ayo bangun, nanti kamu telat masuk
sekolahnya,” kata-kata Yunita sedikit mengoyang-
goyangkan tubuh anaknya. Namun, alangkah nikmatnya
dunia mimpi, membawa dampak Danis tak kunjung
bangun.
Dengkuran Danis masih terdengar begitu jelas
dikedua telinga Yunita, membuatnya bertambah kesal.
Bantal guling yang ada di sisi kanan tubuh anaknya itu
diambilnya selanjutnya di pukulkannya ke arah wajah
Danis bersama dengan pelan.
“Daniiis, bangun!”. Bukan mendengar, tetapi
merasakan hantaman guling ke wajahnya membawa
dampak Danis sekejap tersentak bangun. Terlihat sedikit
lucu atas respon anaknya membawa dampak Yunita
tersenyum mengusir kekesalan hatinya pada anaknya.
“Ah ibu, menggangu mimpi Danis saja,” Ucapan
spontan Danis dikala melihat ibunya tersenyum pahit
padanya.
“Mimpi, mimpi. Sekarang kamu cepat mandi
tidak lama waktunya kamu masuk sekolah”.

174
“Sekolah, sekolah lagi. Danis malas masuk
sekolah bu. Bosan,” Balas Danis sembari menjatuhkan
kepalanya kembali ke bantal. Alangkah kaget hati
Yunita, ia tak habis pikir bahwa anaknya akan bicara
seperti itu.
Hampir tak sanggup bicara lagi, setelah melihat
tingkah anaknya yang aneh itu. Danis di mata Yunita
dikenal sebagai sesosok anak yang pintar dan rajin.
Semenjak Danis mengenal dunia pendidikan, nilai
prestasi Danis terlalu bagus di mata Yunita dan termasuk
para gurunya.
“Sudah lah bu, Danis ingin tidur kembali untuk
melanjutkan mimpi Danis berjumpa bersama dengan
kakek-kakek tua”. Yunita kembali tersentak kaget
mendengar perkataan anaknya seperti itu. Meskipun
belum jelas mengapa sikap dan tingkah anaknya berubah
drastis, bersama dengan sikap keibuan Yunita, ia
kembali bicara pada anaknya,
“Danis, apabila kamu tak sekolah, lantas kamu
ingin jadi apa nantinya”. Mendengar kata-kata ibunya
itu, Danis hanya terdiam lantas menutupi kepalanya
bersama dengan bantal.
“Lho, kok Danis seperti ini. Apa Danis tidak
kasihan sama Ibu,” Yunita coba membujuk Danis,
anaknya itu. Seketika pun Danis mengambil keputusan
untuk kembali duduk dan menatap Yunita, ibunya.

175
“Ibu, justru Danis kasihan sama Ibu, karena itu
Danis mengambil keputusan tuk tidak ke sekolah. Danis
kasihan sama ibu, yang menyekolahkan Danis bersama
dengan orientasi kelak Danis kerja jadi pegawai,” kata-
kata Danis membuat Yunita hanya terdiam.
“Coba ibu pikir, apabila esok hari nanti Danis
tidak jadi pegawai, tentu ibu sendiri bakal kecewa. Sebab
di pikiran ibu, letak kesuksesan seseorang sekolah itu di
ukur seumpama dia jadi pegawai nantinya”.
“Tapi Danis, bagaimana caranya kami bakal
memengaruhi nasib apabila kamu tidak sekolah. Apalagi
dengan bersekolah, kamu akan menjadi cerdas. Dan
setelah cerdas, bukan hanya nasib di keluarga kita yang
sanggup kamu rubah, tetapi nasib orang-orang miskin
lain pun kamu sanggup merubahnya,” kata-kata balas
Yunita coba berikan pemahaman pada anaknya itu.
Mendengar perkataan ibunya, Danis hanya
tersenyum dan capai ke dua tangan ibunya itu.
“Ibu, apa ibu jelas bahwa sekolah itu adalah salah
satu bentuk pembodohan pemerintah bagi rakyat miskin
seperti kita ini”.
“Danis, maksud kamu apa nak,” Yunita sekejap
kaget pendengar pengakuan anaknya itu. Sedikit
penasaran pun menyelimuti pikirannya.
“Bu, cobalah ibu pikir, udah beberapa tahun. ini
Danis sekolah. Namun tak sedikit pun kesukaan Danis

176
yang terelisasikan oleh sekolah Danis sendiri. Danis hobi
ber-taekwondo, tetapi di sekolah tidak mengajarkan
kami tentang taekwondo. Yang ada hanya metematika
dan bahasa inggris. Di sekolah termasuk Danis menjadi
perhatian, hanya orang-orang kaya yang memperoleh
pelayanan baik dari guru. Banyak teman-teman Danis
yang segolongan bersama dengan kami yang miskin ini,
hanya dikomersilkan dari guru-guru. Dibilang bodoh lah,
dicap nakal lah agar membawa dampak kami merasa
diasingkan. Jadi apa untungnya Danis selalu sekolah,”
jelas Danis.
Demikian yang berjalan pada Yunita yang tak
habis pikir, apa yang membawa dampak anaknya jadi
seperti itu.
Jarum jam yang melekat di dinding kamar Danis
makin berputar, dan udah menyatakan tepat pukul 07.00.
Namun, anak dan orang tua itu tak beranjak dari ruangan
simple itu. Percakapan masih saja konsisten berjalan
membawa dampak mereka terhipnotis seakan tak
sadarkan diri.
“Ibu, semalam Danis bermimpi berjumpa
bersama dengan kakek-kakek tua. Danis tak jelas siapa.
Tapi kakek tua itu memberi tambahan pemahaman
padaku tentang suasana pendidikan di kampung kita ini.
Danis baru mengerti, ternyata dunia pendidikan di
kampung kita ini terlalu rusak bu,” lanjut Danis bernada
kesal.

177
“Siapa bilang pendidikan itu rusak nak. Coba
lihat, udah berapa kali Danis mendapat beasiswa dari
sekolah sebagai siswa terpintar di sekolah. Jadi jangan
berpendapat seperti itu dong nak,” Yunita kembali
berikan pemahaman bersama dengan mengusap-usap
kepala anaknya itu.
“Nah, itulah salah satu kekeliruan pendidikan bu,
hanya siswa cerdas yang diakui dan dibantu oleh
pemerintah. Sedangkan bagi siswa-siswa yang bodoh
tidak diakui dan tidak diberikan perlindungan semacam
beasiswa itu”.
“Tapi itu adalah salah satu langkah pemerintah
untuk menaikkan motivasi bagi anak untuk lebih giat
belajar lagi,” balas Yunita coba melayani perkataan
Danis, anaknya. Namun mendengar pengakuan ibunya,
Danis kembali tersenyum.
“Jadi di mana letak tugas-tugas pendidikan itu
sendiri, yang katanya memengaruhi sikap dan prilaku
seseorang jadi lebih baik. Dalam mimpi Danis semalam,
kakek-kakek itu sempat bicara padaku, bahwa
pendidikan hanya bakal melahirkan penindas-penindas
baru di kapung kita ini bu. Dan itu fakta, dikarenakan
mengapa di kampung kita ini banyak pejabat-pejabat
korupsi yang merampok uang-uang rakyat. Itu semua
efek dari ongkos pendidikan yang mahal. Hmmm,
Pokoknya pendidikan itu terlalu rusak lah bu,” Sela

178
Danis coba mengakhiri perdebatannya bersama dengan
ibunya.
Mendengar segala perkataan Danis, Yunita tak
habis pikir, hanya dikarenakan mimpi anaknya sanggup
bicara seperti itu. Yunita heran, tingkah anaknya di pagi
itu berubah menjadi tingkah orang dewasa. Hampir tak
percaya, dikarenakan Danis masih duduk di bangku
sekolah basic kelas tiga.
Menganggap pendapat anaknya tak sanggup
ditentang lagi, Yunita mengambil keputusan untuk
mengikuti arus pikiran anaknya itu agar dia kembali
berkenan melanjutkan sekolahnya lagi.
“Baiklah, ibu saat ini jelas apa maksud Danis.
Memang pendapat kamu semuanya benar. Jadi saat ini
ibu ingin bertanya kepada Danis”.
“Apa itu bu,” sepertinya Danis penasaran
mendengar perkataan ibunya.
“Jika saat ini Danis prihatin bersama dengan
suasana pendidikan, jadi apa Danis berkenan melakukan
perubahan pada dunia pendidikan di kampung kita ini,”
Yunita coba menjebak anaknya itu.
“Yah maulah bu. Danis berkenan memengaruhi
sistem-sistem pendidikan. Danis berkenan menerapkan
proses pendidikan yang tidak berpihak. Danis bakal
menghapus yang namanya ujian nasional, agar hak-hak
guru sebagai orang yang jelas tingkat kecerdasan

179
muridnya itu sanggup kembali lagi,” kata-kata Danis
yang terdengar seakan bermain-main bersama dengan
imajinasinya sendiri.
“Nah, dengan langkah seperti apa yang bakal
membawa Cita-cita Danis seperti itu sanggup tercapai,”
Yunita kembali bertanya pada Danis.
“Yah, bersama dengan langkah bersekolah yang
baiklah bu,” kata Danis sedikit memotong percakapan
ibunya.
“Itu kan,,, Danis sendiri memahami, bahwa
bersekolah itu kami sanggup mewujudkan cita-cita kita.
Tapi mengapa saat ini ini, Danis sendiri tak berkenan
pergi sekolah. Gimana caranya,” Yunita seakan
mengejek anaknya, tetapi sekedar mengembalikan
pemahaman Danis seperti sedia kala.
“Oh iya, lho kok Danis lupa sih. Jika Danis tak
sekolah, sama halnya Danis merelakan diri sendiri untuk
dibodohi oleh orang lain,” Danis seakan baru terbangun
dari ketidak sadarannya.
“Nah itu baru anak ibu. Berhubung jam baru
menyatakan pukul setengah delapan, lekas mandi.
Setelah itu, Danis berangkat sekolah untuk merampok
Ilmu pengetahuan,” Gumam Yunita berikan stimulus
pada anak semata wayangnya itu.
“Baiklah, pokoknya kelak, Danis bakal
mempengaruhi kampung kita ini dengan hasil

180
perjuangan Danis nantinya”. Mendengar pengakuan
Danis, Yunita sekejap tersenyum simpul selanjutnya
memeluk erat anaknya itu.
“Yah sudah, lekas mandi”. Yunita melewatkan
pelukannya, agar Danis sekejap bersemangat dan
langsung beranjak meninggalkan tempat tidurnya.
Melihat tingkah anaknya yang bercerita lucu,
Yunita kembali tersenyum sambil menggelengkan
kepalanya. Di sisi lain, Yunita pun merasa lega, karena
efek kakek-kakek yang ditemui Danis didalam mimpinya
sanggup terhapuskan kembali.
Ia takut, bila efek kakek-kakek itu konsisten
tertanam di pikiran anaknya, kelak anaknya itu tak bakal
bercita-cita jadi pegawai negeri lagi. Sebab difikiran
Yunita, anaknya diakui sukses apabila sanggup mencapai
predikat yang namanya PNS.
Sebagai ibu yang mendambakan melihat anaknya
berhasil, Yunita kembali bernafas lega setelah beberapa
menit ia sempat cemas bersama dengan ciri-ciri
kekritisan anaknya yang begitu cepat.
Akhirnya, ia mengambil keputusan untuk
merapikan tempat tidur Danis yang terlalu berantakan.
Namun, setelah beberapa detik merapikan tempat tidur
anaknya itu, ia kembali dikagetkan bersama dengan kata-
kata Danis yang kembali menemui ibunya yang masih
berada didalam kamar.

181
“Bu, tetapi setelah Danis pikir-pikir, apabila
Danis selalu bersekolah dan danis cerdas, apakah danis
tidak akan menjadi penindas-penindas baru di kampung
kita ini. Danis sepertinya ragu bu akan semua itu”.
Mendengar perkataan Danis yang mengagetkan,
Yunita hanya terdiam dan tak sanggup bicara apa-apa
lagi. Ruangan simple itu kembali sepi. Anak dan ibu itu
semuanya membisu. Sepintas berlalu, bayangan kakek-
kakek yang ada didalam mimpi Danis itu kembali
terlihat melintas di depan mata. Lalu, semuanya kembali
terdiam.

***

PROFIL PENULIS
 Pengarang : Ade Fadhilah
Judul cerita : Interaksi
Instagram : @adefadhilah

 Pengarang : Deby Tiraini Oktavia Silalahi


Judul cerita : Natal Baru di London
Instagram : @debysilalahi18

 Pengarang : Dhaniz Nurrizki


Judul cerita : Menyulap Asa
Instagram : @dhaniznurrizki_

182
 Pengarang : Dimas Eka Saputra
Judul cerita : Hijrah Hati
Instagram : @dimas_eka.saputra

 Pengarang : Dimas Farishandy


Judul cerita : Perkemahan Jumat Sabtu (PERJUSA)
Instagram : @farishandydimas

 Pengarang : Dwi Mustika Anjasari


Judul cerita : Tanpa Hati
Instagram : @disi_23

 Pengarang : Elza Ully Tiara Tampubolon


Judul cerita : Jakarta Punya Cerita
Instagram : @elzaully.tiara

 Pengarang : Ghevin Agung Nugraha


Judul cerita : Rusak Harga Diri
Instagram : @ghee.vn

 Pengarang : Ghina Fitria Yuwelza


Judul cerita : Corylus Avellana
Instagram : @ginaaf.y

 Pengarang : Jagad Thandika Nugraha


Judul cerita : Kesalahan
Instagram : @jagadtn

183
 Pengarang : Jessica Eltira Simanjuntak
Judul cerita : Alden
Instagram : @jejes_eltira

 Pengarang : Muhammad Erbiwan


Judul cerita : Distraksi
Instagram : @erbiwan.m_

 Pengarang : Muhammad Rizah Fahlevi


Judul cerita : Kepala Batu
Instagram : @fahlevirizah

 Pengarang : Muhammad Surya Rahman


Judul cerita : Titik Buta
Instagram : @suryakk_

 Pengarang : Revina Fadillah Gunanto


Judul buku : Aku, Dia dan Ketidakmampuanku
Melupakannya
Instagram : @revinafadillahgunanto

 Pengarang : Sandy Syah Bana


Judul buku : Si Tua Yang Menarik
Instagram : @sandy.syahbana

 Pengarang : Sara Krisharda Batubara


Judul cerita : Lebih Dari Pengalaman

184
Instagram : @krisha.sara

 Pengarang : Seprina Dwi Cahyani


Judul cerita : Pengalaman Berharga
Instagram : @seprina_cahyani

 Pengarang : Tiara Sona


Judul cerita : Dunia Alat Tulis
Instagram : @tiarasona

 Pengarang : Ukha Ghaezy Ausyafani


Judul cerita : Pelipur Lara
Instagram : @ukha.gz

 Pengarang : William Tiodo Doloksaribu


Judul cerita : Semangat Sekolah
Instagram : @wildoks301

185

Anda mungkin juga menyukai