Anda di halaman 1dari 38

MALAM BERBINTANG

DI GUNUNG LAWU
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa. Berkat limpahan karunia-Nya, dapat
menyelesaikan penulisan buku Catatan Gunung Lawu ini. Dalam penyusunan buku foto ini penulis telah
berusaha semaksimal mungkin sesuai dengan kemampuan yang dimiliki. Namun sebagai manusia biasa,
penulis tidak luput dari kesalahan dan kekhilafan baik dari segi teknik penulisan, tata bahasa maupun penyusunan.
Dalam buku ini, penulis mengusung tema perjalanan selama di Gunung Lawu yang dikemas dengan
balutan berbagai foto. Mulai dari awal hingga akhir perjalanan penulis selama berada di Gunung Lawu.

Gunung Lawu sendiri merupakan gunung yang letaknya di Pulau Jawa, Indonesia, tepatnya di perbatasan Provinsi
Jawa Tengah dan Jawa Timur. Tingginya sekitar 3265 m. Gunung Lawu terletak di antara tiga kabupaten yaitu Kabupaten
Karanganyar (Jawa Tengah), Kabupaten Ngawi (Jawa Timur) dan Kabupaten Magetan (Jawa Timur). Ada 3 jalur yang
bisa dipilih oleh para pendaki yaitu jalur Cemoro Kandang, Cemoro Sewu dan Candi Cetho. Gunung Lawu memiliki
tiga puncak, Puncak Hargo Dalem, Hargo Dumiling dan Hargo Dumilah. Yang terakhir ini adalah puncak tertinggi.

Gunung ini berstatus gunung api “istirahat” (diperkirakan terakhir meletus pada tanggal 28 Novem-
ber 1885) dan telah lama tidak aktif, terlihat dari rapatnya vegetasi serta puncaknya yang tererosi. Di lerengnya
terdapat kepundan kecil yang masih mengeluarkan uap air (fumarol) dan belerang (solfatara). Gunung Lawu
mempunyai kawasan hutan Dipterokarp Bukit, hutan Dipterokarp Atas, hutan Montane, dan hutan Ericaceous.
Gunung Lawu sedikit berbeda dengan gunung lainnya, karena selain untuk aktivitas pendakian, Gunung Lawu
juga digunakan untuk lelaku dan ziarah. Biasanya Gunung Lawu akan ramai pada saat 1 Suro pada kalender jawa.

Saya pribadi mengucapkan terima kasih untuk semua pihak yang terlibat dalam penyusunan buku ini.
Terima kasih atas waktu kalian, semoga yang kalian lakukan menjadi sebuah ladang pahala untuk kita semua.
Aamiin. Saya sadar, tidak akan pernah ada karya yang bisa memuaskan pembacanya. Pasti akan selalu ada
celah. Namun anggaplah buku ini sebagai langkah awal untuk kita menciptakan sebuah karya. Semoga den-
gan adanya buku ini membuat semangat penulis dan fotografer lain untuk menulis, menyalurkan buku, dan
mengabadikan perjalanan dalam lensa kamera. Sebab sebaik-baiknya manusia adalah yang bermanfaat untuk orang
lain. Akhir kata saya ingin katakan, “Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan karya. Den-
gan menulis dan mengabadikan perjalanan lensa kamera dalam sebuah buku maka namamu akan abadi di sana.”

Yogyakarta, Agustus 2019


Salam literasi!

Agung Widiyanto
15 menit pertama memang akan terasa lebih berat, mungkin karena
masih penyesuaian, lama tidak mendaki, atau kurangnya persiapan sebelum
mendaki. Untuk kasus saya sepertinya karena kurannya persiapan sebelum pendakian.

Perjalanan terakhir saya naik gunung ternyata sudah cukup lama. Rasa kangen
membuat saya ingin kembali menikmati dinginnya kabut diketinggian. Maka
dari itu 2-4 Juli 2016 atau kurang beberapa hari sebelum lebaran saya berkunjung
ke salah satu gunung diperbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur, yaitu Gunung Lawu.
Sekitar jam 2 siang, bertiga, Mas Marsono, Mas Wahyu Widhi, dan saya berangkat dari
pos Cemoro Sewu.
Semangaaat!!!
Pemanasan sebelum pendakian merupakan salah satu bagian penting. Jangan sampai
dilewatkan, agar tidak ngos-ngosan seperti saya. Tidak terasa langkah kami sampai di Pos
1 setelah melewati beberapa pos yang kami kira pos 1. Di pos 1 istirahat sejenak sekaligus
mengatur ulang nafas. Di pos 1 juga kami mendapat informasi dari pendaki yang turun dan
beristirahat dipos 1 kalau warung Mbok Yem sudah tutup sejak beberapa hari yang lalu (gagal
sudah rencana makan pecel yang legendaris), ya semoga saja masih ada warung yang buka.
Saat perjalanan menuju pos 2, langit senja sudah berubah menjadi hitam, kemudian keindahan-
nya digantikan oleh bintang-bintang yang mulai bermunculan, bimasakti atau biasa disebut milkyway
juga mulai terlihat. Saya mengajak Mas Bek berhenti sebentar untuk beristirahat sekaligus memotret
milkyway, sedangkan Mas Marsono jalan duluan menuju pos 2. Tidak lama kemudian terdengar suara
Mas Marsono, “pos 2 euy”. Ternyata pos 2 tidak terlalu jauh dengan lokasi kami, kami bergegas
menuju pos 2.
Maalam pertama di Gunung Lawu, Langit pos 2 malam ini sangat cerah. Kerlip bintang
menerangi langit, milkyway nampak terbit dari balik siluet bukit. Saya mengambil kamera yang sudah
terpasang di tripod untuk memotret milkyway. Sayang tidak lama kemudian kabut mulai turun, membuat
lensa tertutup uap air, tidak lama kemudian rintik air mulai turun membasahi pos 2.

“Gunung mempunyai cuacanya sendiri”


Bau tanah basah sisa hujan semalam terasa segar memenuhi rongga hidung,
semburat kehangatan juga mulai terasa, beberapa burung juga mulai berkicau dan
bermain disekitar tenda kami. Selamat pagi semesta, semoga cuaca hari ini tetap
cerah dan kami bisa sampai ke puncak dengan selamat tanpa arah suatu apapun.
Menata isi tas kembali...
Perjalanan dimulai kembali...
Atur nafas dan langkah kembali...
Bertemu dan belajar dari pendaki nyentrik
Kami cukup lama ngobrol dengan rombongan yang menurut saya nyentrik ini, tidak terasa banyak
pandangan baru yang kami dapatkan dari pertemuan dengan mereka. Hal-hal bijak yang tampaknya
mereka dapatkan dari “laku sederhana” yang berpasrah dengan alam. “Kami tadi malam ingin membuat kopi,
tapi tidak punya air, tetapi namanya kalau pasrah, alam akan memberi jalannya, tidak lama kemudian hujan
disekitar tempat kami, cukup untuk membuat kopi kemarin malam” ucap salah satu orang yang berasal dari kediri.

Mas Gunawan, salah satu dari rombongan bahkan punya keterbatasan, tidak bisa melihat. Bayangkan saya naik
gunung dengan kondisi mata normal saja saya sering kesrimpet, terpeleset karena menginjak di posisi yang kurang pas.
Disepanjang perjalanan mas Gunawan berjalan dengan cara memegangi badan salah seorang rekan yang berjalan
di depannya. Satu langkah demi satu langkah berjalan menapaki tangga berundak yang terkadang terantuk kayu
yang melintang di jalan.

Hal menarik lainnya adalah mereka tidak membawa tas gunung seperti pendaki-pendaki pada
umumnya, sebagai gantinya mereka menggunakan karung goni untuk membawa perlengkapan seperti dandang, ketel,
gelas dan lain sebagainya untuk digunakan memenuhi kebutuhan saat melakukan pendakian.
Pakaian dan alas kaki yang digunakan juga nyentrik menutut saya, sendal slop yang wajarnya digunakan
untuk ke kondangan digunakan untuk mendaki. Mungkin ini kurang benar tetapi dari mereka saja juga belajar, mendaki
gunung itu tidak hanya menggunakan peralatang yang itu saja, tetapi yang terpenting adalah pengetahuan untuk
bertahan hidup di alam.

“A journey is best measured in friends,


rather than miles.” – Tim Cahill
“One’s destination is never a place,
but a new way of seeing things.”
Henry Miller
Perjalanan dari pos 3 menuju pos 4 bisa dibilang salah satu rute terberat yang harus dilewati jalur
Cemoro Sewu. Dengan jalur tangga batu berundak yang kadang setinggi paha, rute yang
dilewati juga monoton, menanjak ke kiri atas, ketemu belokan, nanjak ke kanan atas dan
ketemu belokan lagi nanjak ke kiri atas, begitu seterusnya, dan rasanya ndak ada habis-habisnya.
Pos 5
Saat kami sampai
semua warung tutup.
Mungkin karena beber-
apa hari lagi Idul Fitri.
Pos 5 mempunyai tanah
lapang yang cukup luas
serta cukup terbuka.
Sementara Mas Bek menjalankan ritual mendokumentasikan 360 pos 5, saya juga ikut
mengambil beberapa gambar, tetapi sambil menyisir beberapa pohon arberi yang sudah masak.
Setelah dikumpulkan ternyata banyak juga. Rasa arbei yang agak asam dan segar mememani kami
rehat sebentar di pos 5 dan menjadikan semangat kembali untuk melanjutkan ke pos selanjutnya.
Perjalanan dilanjutkan kembali karena terlalu lama berhenti, badan
menjadi dingin dan mulai kedinginan, Sendang Drajat menanti didepan.
Semoga masih ada warung yang buka. Saat menuju Sedang drajat,
kabut datang dan menutupi pandangan didepan, tetapi untungnya kami
tidak terpapar teriknya matahari karena pohon sudah mulai memendek.
Sampai di Sendang Derajat untungnya masih ada warung yang buka, kami langsung menghampiri dan menaruh tas
sedikit unruk beristirahat. Mas Bek langsung bertanya ke penjualnya,

Mas Bek : “Pak, teseh wonten nopo?” (pak yang ada tinggal apa saja?)
Pak Panut : “wah gari pop mie kaleh teh tubruk mawon mas” . “Njih mboten nopo nopo pak, pesen tigo nggih”
Pak Panut : “niki wonten sekul tapi mpon adem, nopo badhe ngagem sekul mboten mas?”
Kami ber tiga : “njih pak” balas kami bertiga kompak
Akhirnya kami sampai di puncak Gunung Lawu. Rasa
lelah sedikit hilang berganti dengan rasa syukur
ketika melihat pemandangan yang ada didepan mata.

Kami sampai puncak ketika matahari


hampir terbenam, semburat orange dan jingga mulai
menyatu, tidak lama kemudian berganti menjadi
hitam. Sore ini angin dipuncak berhembus sedikit
kencang, rasa dingin juga mulai masuk badan.

Saatnya menghangatkan badan didalam tenda. Kami


mencari tempat yang pas disekitar puncak, agar lebih
mudah dan cepat untuk kepuncak esok hari, selain itu kami
juga berencana untuk memotret milkyway dipuncak lawu.
yang sudah jarang saya temui ketika penda-
kian kali ini adalah sepinya gunung, mun-
gkin karena beberapa hari lagi lebaran?
Malam kembali datang, ini adalah malam ke dua dan
malam terakhir kami di Gunung Lawu pada perjalanan
kali ini. Malam hari ini Lawu kembali menunjukan ke
indahannya, malam ini langit kembali bertaburan bintang.

Setelah selesai mendirikan tenda, mengisi


perut kami kembali ke punck mengabadikan dan
menikmati indahnya Lawu malam ini, sayang
rasanya jika hanya menghabiskan waktu didalam
tenda. Baru pertama kali saya pergi ke puncak bisa
beberapa kali dan kalau lapar tinggl kembali ke tenda.
Naiklah ke semua puncak gunung semampumu,
sampai kamu tahu bahwa puncak terbaik adalah
kesabaran. -anonim-
Tips memotret milkyway

1. Sarat yang wajib waktu memotret haus malam

2. Gunakan kamera yang bisa diatur secara manual (speed, aperture, iso)

3. Senter (selain untuk narsis, bisa juga untuk membantu mencari fokus)

4. Gunakan lensa yang mempunyai bukaan lebar (kalau ada yang di bawah f4)

5. Gunakan tripot agar mempermudah mencari komposisi sekaligus agar tidak shake karena
menggunakan Slow Shutter

6. Untuk pengaturan dasar bisa menggunakan shutter 15-30 detik, bukaan terbesar pada lensa
(f4/yang lebih kecil lagi), dengan iso 1600 atau lebih tinggi lagi.

7. Milkyway bisa dilihat, dipotret dan diamati pada pertengahan Maret sampai pertengahan Oktober

8. Mencari milkyway bisa menggunakan aplikasi google sky map ataupun stellarium.
Bukan hanya batrai kamera dan gawai saja yang
butuh diisi, badan juga butuh di isi kembali agar lebih
segar dan kuat untuk menghadapi esok yang belum
tahu ada apa. Saatnya untuk tidur, mengistirahatkan
badan, fikiran, dan mental yang sedari tadi sudah
bekerja keras menuju puncak.

Rasanya baru sebentar mata terpejam alarm


sudah berbunyi,yang menandakan kami harus
bangun dan bersiap menuju puncak. Rasa
malas dan capek semakin bertambah ketika
bertemu dengan udara dingin yang menusuk tulang.

Tetapi konsistensi dan keindahan pagi


mengalahkan semuanya. Setelah ber-
siap, kaki pun melangkah selangkah demi
selangkah hingga puncak. Di puncak ternyata
sudah ada beberapa rombongan yang sudah dia-
tas untuk menikmati menikmati matahari terbit.

cekrek, cekrek, cekrek, suara rana kamera


mulai berbunyi. Semburat orange mulai menampa-
kkan ke indahan sekaligus membawa rasa hangat
yang mulai muncul dari arah barat. Bibir ini pun terus
berucap terimakasih Tuhan atas nikmatMu sekali lagi.
“Every sunrise gives you a new beginning and a new ending. Let
this morning be a new beginning to a better relationship and a
new ending to the bad memories. Its an opportunity to enjoy life,
breathe freely, think and love. Be grateful for this beautiful day.”
-Norton Juster
Pulang
Setelah mengambil indahnya pagi, saatnya menghangatkan badan, sarapan, dan
terakhir adalah ke tujuan utama mendaki yaitu pulang. Menurut saya tujuan
mendaki itu bukan sampai puncak, tetapi pulang ke rumah dengan semangat dan cerita baru.
Bersih-Bersih...
Selesai misi dipuncak, misi selanjutnya adalah membawa sampah turun sekalian
bersih gunung kecil- kecilan. Baru berjalan beberapa ratus langkah sudah banyak sampah
yang kami pungut, mulai dari plastik bekas mie instan, botol, tisu basah, kertas alay, dll.
Tolonglah, jika ingin menulis ucapan atau apa pun itu jangan dibuang
sembarangan, termasuk sampah yang lain juga, kasihan gunung ini yang semakin lama
semakin kotor dengan ulah oknum yang mengaku pendaki tetapi malah menyakiti gunung itu sendiri.
Kita kemana?
Kami memilih jalur turun lewat Cemoro Kandang, kurang tahu kenapa memi-
lih melalui Cemoro Kandang, mungkin karena agar banyak yang bisa di abadikan dan leb-
ih berfareasi jalurnya. Selain itu pulang dan pergi dengan jalan yang berbeda itu sunah.
Setelah turun beberapa pos, jalur menjadi lebih teduh, kabut turun dan membantu
kami menghilangkan rasa panas. selain itu jalur juga banyak pohon bunga-bunga liar yang mungkin
membuat jalur ini semakin indah. Tetapi selain indah jalur juga licin, beberapa bekas longsor, ada
juga pohon bekas terbakar yang mebuat beberapa jalur yang menjadi samar, . tetapi tetap saja indah.
Saya bukan seorang pendaki apalagi petualang, saya cuma orang yang
senang jalan-jalan tanpa harus mengotori dan merusak jalan-jalan yang
telah saya lalui.
Sampah kami dan “pendaki“ lain yang kami pungut yang dibawa
Mas Marsono ternyata sudah banyak dan hampir penuh. terkadang mem-
buat susah berjalan, dan sesekali berhenti untuk membenarkan posisi dan
karabiner agar tidak terlalu goyang saat berjalan dan mudah melewati jalur.
Basecamp, tapi belum selesai...
“Estimasi“ Perjalanan
Pada akhir perjalanan pendakian Gunung Lawu, terimakasih Mas Bek dan Mas Marsono sudah
mengajak saya dalam pendakian kali ini, perjalanan yang menyenangkan. Terimakasih Mas Bek sudah
Estimasi Pendakian Via Cemoro Sewu mengajari saya tentang keteguhan hati (eaaa) untuk tetap bersemangat memotret ketika kantong
1. Cemoro Sewu – Pos 1 30 menit kepompong lebih nikmat daripada harus ke luar tenda, dan tips-trik memotret.
Mas Marsono yang mengajari tentang masalah-masalah mendaki, dan beberapa quotenya yang ti-
2. Pos 1- Pos 2 50 menit dak bisa diprediksi, masih belum bisa percaya kalau kamu adalah guru salah satu sekolah di Solo.
3. Pos 2 – Pos 3 85 menit
4. Pos 3 – Pos 4 90 menit
5. Pos 4 – Pos 5 30 menit
6. Pos 5 – Hargo Dalem 15 menit “Mendaki gunung itu bukan berarti harus sampai di puncak, karena
mendaki gunung itu mencari sekang, karena di puncak itu belum tentu
7. Hargo Dalem – Hargo dumilah 30 menit
senang”
Marsono

Estimasi Pendakian Via Cemoro Kandang “Cara mendaki yang tidak capek itu, cari dan lihat aja di goo-
gle”
1. Cemoro Kandang – Pos 1 70 menit
2. Pos 1- Pos 2 80 menit “Didalam “kebodohan” terdapat kebersamaan yang kuat”
3. Pos 2 – Pos 3 110 menit Marsono
4. Pos 3 – Pos 4 90 menit
5. Pos 4 – Pos 5 40 menit
6. Pos 5 – Puncak Hargo Dalem 20 menit
7. Puncak Hargo Dalem – Hargo dumilah 30 menit

thuban07@gmail.com
tamasyaindie.wordpress.com

Anda mungkin juga menyukai