Anda di halaman 1dari 10

“Gunung Yang Tidak Gampang”

PENDAKIAN Gn. ARJUNO 3339Mdpl


Via Purwosari tgl 7-9 Maret 2019

Gunung Arjuno merupakan gunung berapi yang masih aktif yang menjadi milik 3 daerah, yaitu kota
Batu, kab. Malang, dan kab. Pasuruan dan berada dibawah pengelolaan Tahura R. Soerjo. Gunung ini
juga menjadi gunung tertinggi ketiga di Jawa Timur setelah Gunung Semeru dan Gunung Raung.
Serta menjadi gunung tertinggi ke-empat di Pulau Jawa. Betapa seru dan bangga ya apabila bisa
mencicipi keindahan puncak gunung ini, mengingat predikat yang disematnya. Akan tetapi, kawan,
jangan pernah menggampangkan perjalanan menuju puncak gunung ini.

Apabila ingin menuju puncak Gunung Arjuno ada 4 jalur. Kita bisa melalui jalur Tretes, Cangar,
Lawang, dan Purwosari. Semua jalur memiliki karakteristik masing-masing. Yang pernah saya lalui
sebelumnya adalah jalur Tretes. Bicara tentang Gunung Arjuno, biasanya di kalangan pendaki juga
akan membicarakan Gunung Welirang. Ya, karena memang berdampingan, bahkan menurut saya
bergandengan ya. Dari semua jalur yang saya sebutkan tadi, kita bisa lho merancang pendakian
double summit, Arjuno-Welirang. Tentunya dengan persiapan matang dan waktu yang tepat karena
seperti yang sudah saya sampaikan, jangan pernah menggampangkan perjalanan menuju puncak
gunung. Gunung apapun itu deh. Apabila ingin melakukan double summit, yang ideal memang
melalui jalur Tretes atau Cangar, karena jalurnya memudahkan kita untuk bisa mengatur waktu
untuk meninggalkan tas carrier dan tenda di POS kemah terdekat tanpa harus membawanya lintas
puncak. Misal, kita naik dari jalur Tretes, berkemah di POS Pondokan, summit ke Welirang, turun lagi
ke POS Pondokan, lalu summit ke Arjuno, kembali ke POS Pondokan lagi. Kira-kira begitu lah.
Berbeda apabila kita naik melalui jalur Purwosari dan Lawang, mau tidak mau, kita harus membawa
semua barang bawaan (termasuk Carrier, tenda, sleeping bag, dll) ke puncak Gunung Arjuno dulu,
dan turun menuju jalur pendakian Gunung Welirang.

Baiklah, kembali ke perjalanan saya. Kami sebenarnya berencana untuk berangkat berempat. Saya,
Adhi, Alex, dan Budi. Akan tetapi, dengan berat hati Budi membatalkan keikutsertaannya pada H-1
karena sakit. Kami pun merelakan dan tetap berencana berangkat bertiga. Ada yang perlu kita
ketahui, bahwa ada beberapa hal pantangan ketika berada di kawasan Gunung Arjuno (dan Welirang
juga). Satu, menghindari berjumlah peserta ganjil. Kedua, tidak boleh memakai pakaian berwarna
Merah dan Hijau terang. Ketiga, tidak boleh berkata kasar dan kotor. Tiga hal ini percaya tidak
percaya sudah menjadi wejangan khusus di kalangan pendaki. Percaya tidak percaya tetapi kita
harus tetap berpegang teguh bahwa kegiatan mendaki kita tidak berniat jahat, buruk, dan tetap
menjaga sopan santun.

Jalur Purwosari kami pilih untuk perjalanan mendaki kali ini karena, katanya, pemandangannya asri,
alami, dan tidak terlalu ramai. Kebetulan pula Alex sudah pernah mendaki jalur ini sehingga cukup
mengenal jalurnya. Dan juga, sebenarnya kami sudah ampun-ampun dengan trek makadam di jalur
Tretes. Saya sendiri sudah pernah naik via jalur Tretes 2 kali dan hanya sampai di POS Pondokan saja.
Sangat menyiksa kaki karena hentakan kaki beradu dengan batuan-batuan besar di sepanjang jalan
sampai dengan POS Pondokan. Rencana awalpun kami ingin Double Summit, ambisius sekali
memang. Untungnya rencana itu kami rubah di H-3 karena tidak ingin memaksakan diri. Kami ingin
merasakan dulu treknya yang ternyata mantab sangarr.

Pada hari Kamis, 7 Maret 2019, sekitar pukul 7 pagi, saya memulai perjalanan dari rumah menuju ke
terminal Bungurasih Surabaya naik ojek online. Sesampai disana, saya masih menunggu Adhi
sebentar yang sedang dalam perjalanan. Sekitar 7.30 kami sudah naik bis menuju Malang, dan turun
di depan Taman Dayu, Pandaan. Kami menunggu Alex yang berangkat dari tempat kosnya di
Mojosari. Ternyata di pos ojek dekat kami menunggu, juga melayani perjalanan antar ke Pos
Pendakian Purwosari. Oleh karena Alex memang berniat membawa mobilnya untuk mengangkut
kami berangkat bersama ke Pos Pendakian, ya kami santai saja. Setelah menunggu beberapa saat,
Alexpun datang, dan kami pun berangkat. Menuju Pos Pendakian apabila dari Taman Dayu, cukup
mengikuti jalan menuju arah Malang, dan selepas Pasar Purwosari, akan ada kantor Pegadaian di
kanan jalan, barulah kita belok kanan dekat kantor Pegadaian tersebut dan ikuti jalannya menuju
Desa Tambak Watu. Ketika bertemu pertigaan, akan ada papan petunjuk ke arah kanan menuju pos
pendakian Gunung Arjuno. Atau apabila ingin lebih tepatnya, Pos Pendakian jalur Purwosari berada
di Dusun Tambak Watu, Kec. Purwodadi, Kab. Pasuruan. Kami sampai disana sekitar pukul 11 kurang
dan langsung cari warung makan, pecel adalah menu berkhasiat. Setelah makan, kami melakukan
pendaftaran dan segera packing ulang. Barang yang berlebih, kami tinggal di mobil. Oiya, parkir
motor ataupun mobil juga mudah, apabila di basecamp penuh, bisa memanfaatkan teras rumah
penduduk sekitar dan kita nanti bayar uang parkir kepada pemilik rumah.

Kami memulai perjalanan ke POS 1 sekitar pukul 12:40.

POS PENDAKIAN KE POS 1 (1 Jam lebih)


POS 1 bernama Guo Oento Buego.

Perjalanan menuju Pos 1 memakan waktu ± 1 jam. Dari pos Pendakian kami menuju jalan ke atas
dan belok kiri, masuk ke sebuah Gapura. Jalan masih landai dan berpaving, kiri kanan adalah kebun
milik warga. Menuju Pos 1 ini kita akan menemui Pos Perijinan Perhutani, kita juga harus lapor dan
sekedar menunjukkan surat ijin beserta menyampaikan tujuan kita. Di dekat pos Perhutani ada objek
wisata baru, berupa rumah pohon. Belum terlalu ramai karena mungkin memang masih dalam tahap
penyempurnaan. Kami tidak melihat langsung rumah pohonnya, tetapi sudah ada plakatnya. Selepas
rumah pohon, barulah kita akan menikmati suasana hutan, kiri kanan masih terdapat kebun sayuran,
buah-buahan, dan kopi. Sesampai di Pos 1 kami menemui sebuah gapura bertuliskan Guo Oento
Buego dan ada sebuah Patung Naga yang menurut cerita dari seorang teman, Naga adalah
representatif dari makhluk penjaga Gunung Arjuno. Keren ya.

POS 1 KE POS 2 (1 Jam lebih)


POS 2 bernama Tampuono.

Di sepanjang perjalanan, jalan masih termasuk landai, dan hanya beberapa kali saja terdapat
tanjakan. Tetapi sudah cukup memberitahu bahwa perjalanan yang sesungguhnya telah dimulai.
Shock terapi nya cukup membuat kami ngos-ngosan. Di tengah tengah perjalanan, kami menemui
lokasi bernama Watu Kursi, dan jalur ke kanan menuju tempat berdoa Eyang Madrem. Sesampai pos
2 kita masih bisa menemui warung yang menyediakan mie, teh hangat, roti, dan beberapa camilan.
Di seberang warung, di tengah pertigaan Pos 2 ada tempat berdoa Eyang Sekutrem. Apabila kita
belok kiri dari pos ini, maka ada beberapa warung lagi yang berjejer dimana jalan tersebut menuju
Sendang Dewi Kunti, tempat berdoa Eyang Abiyoso, dan Goa Nogo Gini. Tetapi jalur ke puncak tidak
mengarah ke Sendang Dewi Kunti ya kawan, tetapi jalan satunya yang mengarah ke atas (yaiyalah ke
atas, kan menuju puncak). Cuaca saat itu berkabut dan gerimis yang membuat kami sedikit basah
dan sampai tubuh kami mengeluarkan uap semacam di sauna. Kami mampir dulu ke warung untuk
minum teh hangat dan mengeluarkan jas hujan. Kami melanjutkan perjalanan dengan memakai jas
hujan.

POS 2 KE POS 3 (15-20 menit)


POS 3 bernama POS Eyang Sakri.
Perjalanan menuju pos ini sudah didominasi jalan yang lebih menanjak dengan pemandangan hutan
dan kebun. Akan tetapi relatif dekat jaraknya. Nanti tidak terasa akan sampai saja di Pos 3. Ketika
kami turun dua hari setelah ini, saya sempat bertemu dengan rombongan pendaki yang baru naik
dan bilang “wah dekat ya pos 3 nya”. Saya pun berbicara dalam hati, perjalanan ke Pos 4 lah yang
akan terasa panjang. Cuaca yang masih mendung dan gerimis membuat suasana makin sejuk dan
syahdu. Di tengah perjalanan, kami menemui pertigaan yang mengarah ke jalur Puthuk Lesung, yaitu
sebuah bukit dengan pemandangan yang juga bagus. Biasanya menjadi jujugan para camper atau
pendaki santai yang ingin sekedar berkemah dan menikmati suasana hutan. Patut dicoba lain kali.
Sesampai di Pos 3, kami menemui sebuah gubuk kecil tempat berteduh untuk para peziarah yang
berdoa di makam Eyang Sakri ini. Kami tidak berlama-lama di pos ini karena mengejar waktu dan
sambil berdoa agar hujan tidak bertambah deras.

POS 3 KE POS 4 (±1 jam)


POS 4 bernama POS Eyang Semar.

Perjalanan menuju pos 4 sudah mulai menempa mental. Dominan tanjakan dan sedikit sekali bonus
landai. Perkiraan perjalanan sebenarnya bisa makan waktu sekitar 1 jam lebih, tetapi tergantung
kekuatan fisik masing-masing. Jangan dipaksakan, kamipun cukup sering berhenti untuk sekedar
ambil nafas dan meredakan degup jantung supaya tidak terlalu berdebar-debar. Diperjalanan
menuju Eyang Semar, kami menemui sebuah pondokan yang menurut cerita beberapa pendaki, itu
adalah semacam padepokan. Saya kira sudah sampai saja di Eyang Semar, ternyata masih
jauh..hehe. Perjalanan kami masih ditemani hujan gerimis. Saya berfikir bahwa hujan ini tidak akan
reda bahkan sampai kami tiba di POS 5 nanti. Rencana untuk lanjut ke POS 7 Jawa Dwipa dan
menginap disana harus kemudian dirembuk ulang, mengingat cuaca sudah seperti ini dan waktu
sudah menjelang sore. Menjelang kami sampai di POS Eyang Semar, kami menemui pertigaan,
apabila ke kanan langsung menuju POS 5, apabila ambil terus kami akan memutar dulu menuju ke
Eyang Semar. Oleh karena, saya ingin tahu POS Eyang Semar dan kelihatannya arah belok kanan
treknya lumayan nanjak, maka kami ambil jalan terus saja. Sesampai di POS 4, kamipun juga tidak
berlama-lama, berharap segera sampai di POS 5 dan cek hawa situasi selanjutnya. Saat itu jam
menunjukkan pukul 17:05.

POS 4 KE POS 5 (50-60 menit)


POS 5 bernama Makuthoromo.

Perjalanan menuju POS 5 sangatlah menguji. Tanjakan berbatu kerap bersaut di hentakan kaki kami,
rasanya tidak habis-habis ini tanjakan. Bahkan ketika turun dua hari berikutnya, saya terkaget-kaget
betapa “begininya” jalur naik yang kami lewati kemarin. Perjalanan ke POS 5 ini masih ditemani
dengan cuaca mendung gerimis dan tentu saja sudah semakin sore. Saya bahkan tidak berfikir untuk
ambil foto atau merekam trek, karena teramat fokus menapaki batuan-batuan di tanjakan-tanjakan
ini. Tetapi ritme kami untuk menanjak sudah bagus, sehingga kamipun siap sedia menghadapi
tantangan ini. Cuaca masih tetap gerimis, sudah agak reda tetapi mulai berkabut. Akhirnya kami
sampai di POS 5 sekitar pukul 17:55. Sedikit berembuk, apakah lanjut ke Jawa Dwipa atau tidak.
Perjalanan ke Jawa Dwipa masih butuh waktu hampir 2 jam yang berarti sampai sana sekitar jam 8
malam tanpa dekat dengan sumber air dan resiko perjalanan di malam hari. Akhirnya kami sepakat
untuk buka tenda disini saja. Cukuplah untuk beristirahat semalam penuh setelah berjalan lebih dari
4 jam sejak dari pos pendakian.

Sudah ada beberapa tenda berdiri di sebelah pondok shelter, terhitung ada 7-8 tenda. Wah ramai
sekali. Sebenarnya pondok shelter terlihat luas, saya berfikir, pasti didalamnya sudah banyak
pendaki juga nih. Sempat bersapa dengan beberapa penghuni tenda-tenda tersebut tetapi kemudian
kami bergegas untuk segera gelar tenda. Maklum, masih gerimis kecil, angin dingin yang sepoi-sepoi,
dan sudah mendekati gelap. Kami tidak ingin kedinginan diluar tenda. Kami bertiga dengan tangkas
mengatur letak tenda. Saya mengambil frame tenda dan flysheet yang ada di tas saya. Alex
mengambil dan menggelar inlays tenda. Adhi membantu memanjangkan frame tenda dan mulai
menyatukan frame dengan inlays tenda. Oleh karena, frame lama yang terbuat dari fiber sudah uzur
(baca: banyak yg patah), maka dua minggu yang lalu saya berinisiatif untuk membeli frame tenda
baru berbahan alumunium yang lebih ringan. Oleh karena juga, tenda waktu itu dibawa oleh Alex di
Mojosari dan saya tidak mengukur secara langsung frame fibernya, maka alhasil frame
alumuniumnya kurang panjang. Dhuaarr. Kami terkaget dong pastinya. Untunglah tidak terlalu
pendek juga, jadi masih bisa ada ruang di dalam tenda. Kami tetap mendirikan tenda, dan kemudian
memasang flysheet diatas tenda sebagai penahan angin dan air. Dan trik flysheet ini sangatlah
berhasil. Walaupun duduk didalam tendapun masih harus membungkuk, tetapi udara dingin tidak
mampu merangsek masuk karena pemasangan flysheet yang tepat. Kami masih sempat memasak
makan malam sebentar di teras tenda dan akhirnya mulai mengistirahatkan badan, persiapan untuk
summit besok pagi.

PAGI DI MAKUTHOROMO

Hari Jumat, 8 Maret 2019, kami bangun sekitar pukul 5:30 pagi. Udara di luar tenda sudah sangat
sejuk, cuaca cukup cerah tetapi berangin cukup kencang. Pagi tadi sekitar pukul tiga, saya terbangun
dan mendengarkan gemuruh angin kencang yang sepertinya berhembus melewati deretan cemara
yang ada di sekeliling POS 5 ini. Adhi dan Alex pun ikut terbangun, tetapi kami tidak berdiri ataupun
terduduk. Kami hanya mendengarkan saja suara itu dan berharap segera lewat, selesai, dan hening
kembali. Saya terjaga cukup lama mendengarkan suara angin itu sampai akhirnya tertidur kembali.
Untungnya disaat matahari mulai bersinar, cuaca mulai bersahabat. Kami segera mengeluarkan
bahan makanan untuk sarapan. Menu kali ini berbeda dari tadi malam yang hanya mie goreng sosis.
Pagi ini kami merebus kentang, masak sop baso sapi, goreng tahu tempe, saya bikin oatmeal, Alex
bikin kopi dan milo. Ritual sarapan memakan waktu dari jam 6 sampai pukul 8 pagi. Setelah itu, kami
memutuskan untuk mempacking semua barang bawaan yang tidak dibawa summit untuk dititipkan
ke pondok di POS 5 ini karena kemarin kami diingatkan oleh mas penunggu pondok untuk
menitipkan saja ke pondok shelter agar lebih aman. Mas penunggu pondok itu bernama Mas Dani,
dia tidak bisa menjaga sampai sejauh itu dengan kondisi hilir mudik pendaki yang kita tidak tahu
apakah baik atau malah mengambil barang di tenda orang lain. Walau sebenarnya kami merasa
aman-aman saja, dan merasa bahwa etika para pendaki tidak akan mencuri barang yang bukan
miliknya. Akan tetapi, kamipun mengiyakan saran dari Mas Dani tersebut. Oleh karena setelah
sarapan kami harus packing dan membawa ke pondok, alhasil waktu berangkat untuk summit makin
termakan. Mas Dani sangat ramah kepada para pendaki, dan tidak segan untuk menyuruh pendaki
bermalam di pondok saja apabila berkenan. Dia juga berkata bahwa tidak akan meminta biaya
sepeserpun. Bagi dia ini adalah semacam pengabdian untuk alam dan sesama. Setelah mengobrol
beberapa saat dengan Mas Dani, kamipun berpamitan dan berangkat. Kami berangkat sekitar pukul
9:30 pagi. Menurut Mas Dani, kami akan sampai di puncak sekitar pukul 4 atau 5 sore. Sebuah
prediksi yang mencengangkan menurut saya. Wah, masih sejauh itu ya puncak dari sini. Masih
sekitar 6 jam perjalanan. Kami membawa 1 tas carrier saja yang berisi jas hujan, makanan ringan, 1
botol besar air minum, baju ganti untuk darurat, dan jaket. Adhi membawa tas selempang kecilnya
dan 1 tas punggung kecil berisi 2 botol besar air minum. Saya membawa tas selempang saya berisi
camilan kecil, dan jaket tebal yang tetap saya bawa sendiri. Hitung-hitung meringankan beban di tas
carrier. Kami bersiap untuk kondisi hujan, dingin, dan kelaparan. Saya sendiri masih mengingat
insiden di Semeru, dan tidak ingin mengulangi summit tanpa membawa bahan makanan yang
banyak.

PERJALANAN SUMMIT
POS 5 KE POS 6 (15-20 menit)
POS 6 bernama Candi Sepilar.

Pukul 9.30 pagi kami berangkat, tidak lama setelah itu, mungkin 15-20 menit, kami sudah tiba di
Candi Sepilar. Sebuah bangunan punden berundak yang cukup besar. Masuk ke candi ini harus
melalui semacam patung penyambutan dan tangga batu. Alex berhenti sejenak untuk memasang
decker lutut. Cuaca cerah dan tidak terlihat mendung. Menurut saya ini kondusif sekali. Hanya angin
yang sesekali menerpa kami, tetapi kami sudah siap dengan kondisi itu.

POS 6 KE POS 7 (1,5 jam)


POS 7 bernama Jawa Dwipa.

Selepas Candi Sepilar, kami disuguhi jajaran pohon cemara di sepanjang perjalanan. Area ini
mengingatkan lembah kidang di jalur Tretes dan hutan cemara di Semeru. Sangat menyejukkan.
Beberapa kali kami berhenti untuk ambil foto pemandangan. Di area ini angin mulai lebih sering
menerpa kami dengan kencang. Alex mulai mengambil jaket flanelnya, dan saya mulai memakai
jaket tebalku. Saya tidak ingin menantang alam dengan tidak segera pakai jaket. Semasa di dataran
rendah sana, angin sudah jadi peng-apes-an saya, alias saya gampang masuk angin. Tetapi Adhi
masih kuat dengan kaos lengan panjang oranye andalannya.

Jalan menuju POS 7 terkadang landai, terkadang menanjak. Kata mas Dani, Jawa Dwipa ada dibalik
bukit sana. Kami masih harus melewati sebuah bukit di hutan cemara itu, sebelum akhirnya bisa tiba
di POS 7 Jawa Dwipa. Melihat trek tanjakan dan liku-liku ini, kami bersyukur kemarin tidak
melanjutkan perjalanan selepas magrib menuju POS 7. Kami bersyukur buka tenda di POS 5 saja.
Kami tidak yakin cukup kuat untuk bisa melewati trek seperti ini di malam hari dalam kondisi cuaca
grimis, mendung, dan berangin. Ini salah satu pelajaran berharga bagi kami, jangan pernah
memaksakan ego untuk menepati jadwal yang kita buat ketika dibawah karena perjalanan ke gunung
akan selalu penuh improvisasi dan kondisinya akan selalu dinamis, menyesuaikan keadaan yang ada.
Salah mengambil keputusan sama dengan membahayakan diri sendiri dan kelompok, bahkan bisa
merepotkan orang lain nantinya. Perjalanan menuju Jawa Dwipa menimbulkan banyak perenungan
di benak saya, dan membuat saya makin banyak bersyukur. Kami sempat bertemu dengan dua
kelompok pendaki yang sudah turun. Mereka ternyata rekan pendaki yang berkemah di POS 5 tadi
dan sudah berangkat summit sejak pukul 12 malam. Waaaww...kami sudah tidak berfikir untuk
memacu tubuh berangkat di tengah malam seperti itu. Sifat puncak Gunung Arjuno tidak seperti
Gunung Semeru yang berbahaya selepas pukul 8 pagi, sehingga kami memang tidak menjadwalkan
summit di tengah malam. Kelompok pertama sempat berkata, kenapa tidak berangkat dengan
mereka tadi pagi, kamipun menjawab bahwa kami pendaki santai, ingin menikmati suasana dulu
dengan tidak tergesa-gesa. Kelompok kedua tidak berhenti lama karena sudah kelihatan kecapekan
dan fokus untuk turun. Kami menyemangati mereka agar tetap hati-hati.

Sesampai di Jawa Dwipa, kami segera rebahan. Mengistirahatkan kaki, bahu, dan lengan. Camilan
segera dibuka untuk sekedar mengisi tenaga. Tidak lama saat kami masih duduk-duduk, datanglah
rombongan ketiga yang ikut beristirahat sejenak di POS 7 ini. Sedikit perbincangan bahwa ternyata
rombongan mereka sebenarnya ada 20 orang, 4 orang diantaranya kembali turun karena ragu-ragu
saat mendapati angin kencang dini hari tadi, seperti badai katanya. Sekarang sudah mulai turun
semua, tetapi sayangnya tidak berbarengan. Kelompok pertama tadi hanya 2 orang, kelompok kedua
ada 3 orang. Kelompok ketiga ini cukup banyak, 6 orang. Kelompok ketiga ini segera melanjutkan
perjalanan kembali, dan kami masih menikmati camilan biskuit kami. Kami sedikit membahas
tentang cuaca dini hari tadi dan membayangkan kondisi saat itu ketika summit, pasti tidak
mengenakkan. Adhi menawarkan diri ke Alex untuk berganti membawa Carrier, setelah itu kami
segera melanjutkan perjalanan.
POS 7 KE PUNCAK (5 jam)
Puncak Gunung Arjuno bernama Puncak Ogal Agil.

Perjalanan setelah Jawa Dwipa masih berupa hutan cemara yang luas. Kami serasa sedang
mengelilingi sebuah bukit dan terkadang serasa sedang menaiki bukit tersebut secara vertikal karena
tanjakannya langsung bergaris lurus menuju atas. Yang tidak disangka-sangka, kami sempat dua kali
menemui seekor Alap-Alap (Elang Jawa) yang ukurannya besar sekali. Satu kali dari kejauhan, satu
kali terlihat ada pas diatas kami. Keren sekali pemandangan ini, bahkan kami terpaku dan tidak
teringat untuk mengeluarkan kamera. Baru tersadar ketika sang Elang sudah agak jauhan dari
jangkauan foto yang bagus. Akhirnya pemandangan ini kami nikmati saja dengan mata dan ingatan
masing-masing. Beberapa kali kami mengambil foto pemandangan disini, sejuk dan tenang rasanya.
Hembusan angin makin sering menerpa. Terkadang kami bersembunyi di dekat pohon besar yang
sebenarnya tidak pengaruh sama sekali untuk menghalau angin. Ketika berhenti untuk istirahatpun
kami tidak berlama-lama karena angin yang senantiasa menerpa disaat lengah. Perasaan mulai
bercampur aduk ketika merasakan panjangnya perjalanan dari POS 7 menuju puncak ini. Perjalanan
masih sangat jauh dan beberapa kali saya melihat jam untuk memprediksi waktu tiba di puncak dan
durasi turunnya. Saya mengingat prediksi mas Dani bahwa kami baru akan tiba di puncak pada pukul
4 sore. Saya sampaikan ke teman-teman bahwa patokan kita adalah jam 4 sore. Apabila ternyata
ketika jam 4 sore belum sampai puncak atau tidak melihat tanda-tanda puncak, maka lebih baik
kembali saja. Teman-teman setuju dengan rencana tersebut dan ikut memprediksi waktu. Ketika itu
masih sekitar pukul 1 siang, dan estimasinya seharusnya masih cukup masuk akal untuk tetap
melanjutnya. Tanjakan semakin banyak kami temui sejak berjalan dari Jawa Dwipa. Nafas kami yang
sudah mulai ngos-ngosan membuat kami makin fokus. Sekarang, berhenti hanya untuk mengatur
nafas dan jantung, bukang lagi untuk foto-foto. Saya hanya sesekali saja merekam trek, dan kembali
fokus pada tanjakan di depan dan di depannya lagi. Rasa lelah mulai mempengaruhi mental dan
inilah keseruan yang saya kangeni ketika mendaki gunung. Belajar lagi untuk berfikir jernih, dan
mengacuhkan distraksi yang muncul. Estimasi 5 jam perjalanan dari POS 7 ke Puncak tidak main-
main. Hutan cemara ini serasa tidak ada akhirnya, bukit di depan yang rasanya sudah kami lewati
berganti dengan bukit lainnya. Apabila meminjam kata-kata mas Dani, perjalanan ke puncak ini
melewati 7 lembah dan 7 bukit. Hitung saja sendiri. Kami sempat bertemu dengan rombongan
keempat berjumlah 5 orang yang ternyata adalah teman masa kecil Alex, bernama Yaqub. Setelah
mengobrol sebentar, kami ketahui bahwa rombongan 20 orang itu adalah bernama Independent
Hiker area Jatim. Saya pernah lihat review mereka di youtube. Komunitas ini mengharuskan para
anggotanya independent dalam membawa barang bawaan masing-masing, dan tidak
menggantungkan diri ke anggota lain. Kami bertiga agak menyayangkan karena mereka semua
ternyata tidak turun berbarengan, padahal naiknya barengan. Kelompok pertama sudah jauh sekali
tadi sebelum Jawa Dwipa. Tetapi untuknya masih tetap berkelompok kecil, sehingga masih cukup
aman lah ya. Tetapi kami tidak tahu lah tentang bagaimana mereka mengatur kelompok dan
perjanjiannya. Kami bertiga tetap mendoakan agar perjalanan turun mereka aman dan lancar.

Sampailah kami pada sebuah area yang sudah tidak banyak pohon tinggi, menandakan sudah mulai
mendekati area puncak. Ketika kami bertemu dengan sebuah batu besar yang cukup bisa jadi tempat
berlindung dari angin, Alex mengajak istirahat dulu di tempat itu. Ia kemudian menyampaikan
bahwa masih kepikiran dengan pantangan untuk menghindari berjumlah ganjil. Kami bertiga,
tentulah jumlahnya ganjil. Alex sebenarnya punya pengalaman tidak enak ketika kemari pada tahun
2014 lalu. Kelompok berjumlah 5 orang menuju puncak, walaupun sempat dibantu dengan diberi
sebuah tongkat oleh penunggu pondok terdahulu, pak To, salah satu rekannya saat itu harus turun
dari puncak dengan ngesot sampai ke POS 5. Sampai-sampai celana yang rekannya pakai sobek-
sobek karena beradu dengan batu di jalan turun. Memang ketika sampai di POS 5 kemarin, Alex
sempat mencari pak To lagi, tetapi tidak ketemu dan ternyata kata mas Dani, pak To sudah turun
gunung dan mas Danilah yang menggantikan. Karena itulah mungkin Alex juga menurut ketika
diminta menitipkan barang bawaan ke pondok saja. Saya sadar sekali bahwa Gunung Arjuno ini
kental sekali dengan kesakralannya dan tidak boleh memandang sebelah mata tentang mitos-mitos
yang ada. Alhasil, Alex berbesar hati untuk tinggal di batu besar itu, dan menyuruh saya dan Adhi
untuk melanjutkan perjalanan ke atas. Katanya kurang lebih 30 menit lagi sampai di Plawangan, dan
setelah itu dekat sekali dengan puncak. Saya dan Adhipun tidak membantah keputusannya
sedikitpun. Inilah yang menurut saya adalah bentuk saling percaya antar sesama anggota kelompok.
Saya, Adhi, dan Alex bukan hanya sekali ini naik gunung bersama, dan kami sudah paham sekali
karakter masing-masing. Apa yang Alex putuskan juga demi keselamatan kelompok. Saya dan Adhi
masih punya tenaga dan semangat untuk naik ke puncak. Cuacapun sedang cerah sekali, di puncak
pasti sangat indah. Kami berdua segera melanjutkan perjalanan setelah berbagi jas hujan, camilan,
air, dan jaket ke Alex. Batuan besar yang mirip dengan deskripsi Plawangan segera terlihat dari jauh
tak lama setelah kami berjalan. Alex bilang bahwa POS Plawangan adalah berupa batu besar dengan
sebuah batu kecil diatasnya yang menyerupai kursi atau sandaran untuk duduk. POS Plawangan ini
ternyata adalah POS yang dilalui pendaki yang berasal dari Jalur Lawang. Saya sempat melihat ada
pendaki yang melewati trek dekat POS Plawangan tersebut. Dan setelah beberapa tanjakan kami
lewati, terlihatkan di arah sebaliknya dari POS Plawangan, sebuah bendera merah putih dari
kejauhan, yang menandakan bahwa itulah puncak Ogal Agil yang sedari tadi kami cari
keberadaannya. Perasaan haru mulai menyeruak di hati saya dan entah dari mana kaki terpacu
untuk lebih cepat menapaki batuan dan tanjakan di depan. Kami berdua kira harus melewati POS
Plawangan dulu ternyata setelah melihat ada beberapa pendaki turun dari puncak dan kami melihat
jalur mereka, kamipun langsung potong arah menuju jalur para pendaki tersebut turun. Mereka
adalah pendaki yang naik dari jalur Lawang dan akan kembali ke jalur Lawang lagi. Senang sekali
bertemu dengan pendaki lain disana setelah beberapa saat yang lama tidak bertemu dengan
rombongan manapun.

Pada akhirnya saya dan Adhi sampai di Puncak Ogal-Agil pada pukul 4 sore pas. Heran sekali, karena
sesuai dengan prediksi mas Dani. Rasanya terharu akhirnya bisa sampai di titik tertinggi gunung ini
mengingat perjalanan panjang yang kami lalui sedari tadi pagi. Kami berdua sempat terduduk di
batuan yang ternyata masih beberapa langkah lagi ke tonggak bendera Merah Putih yang kami lihat
dari kejauhan tadi. Saya dan Adhi segera berdiri dan menuju tempat tonggak merah putih tersebut
dan alangkah indah pemandangan yang kami lihat dari sana. Bak lukisan, hamparan bukit, kota,
bahkan jalan tol gempol bisa kami lihat dari puncak yang menandakan cuaca cerah disana. Dominasi
warna biru dan putihnya awan membuat saya merasa takjub dan bersyukur akan keindahan ini.
Kamera mulai kami mainkan, rekam video, foto, foto lagi, rekam video lagi. Kami berdua sampai di
puncak ketika tidak ada pendaki disana, serasa puncak milik kami sendiri...hehehe. Tapi rasanya sepi
juga sih. Kemudian tiba-tiba muncullah seseorang dari balik batu dengan menggendong carrier besar
menyapa kami. Segera kami bersalaman dan menyampaikan selamat. Dia ternyata bersama 4 kawan
lainnya berasal dari Jakarta sekitar naik dari Jalur Lawang dan berencana turun via jalur Tretes.
Akhirnya kami dapat teman juga dipuncak. Kami berdua segera teringat Alex yang sedang menunggu
dibawah sana. Maka dari itu, setelah membantu foto untuk rombongan dari Jakarta tersebut, kami
berdua segera turun menyusul Alex yang mungkin sudah kedinginan diterpa angin di tempat tadi
kami berpisah. Kami turun dari puncak gunung pukul 4:30 dan bertemu dengan Alex sekitar pukul 5
sore.

PERJALANAN TURUN
Puncak ke POS 5 (4 jam)

Kami bertiga segera packing ulang, dan bergegas turun dengan tujuan POS 5 kembali. Tantangan
jalanan turun sangat berbeda dengan tanjakan naik. Ketika naik, beban ada di betis, paha, dan
pinggang. Ketika turun beban lebih banyak diterima oleh lutut. Oleh karena, kondisi kaki saya
memang sudah lelah, dan ada riwayat pernah mengalami cedera lutut. Alhasil saya harus memakai
decker di lutut kiri di tengah perjalanan turun. Jawa Dwipa masih sangat jauh dan lutut mulai sakit
ketika ditekuk. Kecepatan langkah turun saya mulai berkurang. Walaupun Alex dan Adhi terlihat
masih kuat, mereka dengan sabar menunggu saya. Alex masih dengan kaki kirinya yang juga
bermasalah, Adhi dengan kondisi betis dan paha yang lelah sekali. Tetapi lutut saya ini yang paling
membuat lambat. Perasaan saya mulai bercampur dengan kekhawatiran mengulang insiden di
Semeru. Saya mulai fokus dengan trek dibawah saya. Tidak berfikir untuk merekam trek ataupun
mengambil foto. Saya tidak ingin merepotkan mereka lebih jauh lagi. Langit mulai menjelang gelap,
dan kami tidak segera sampai di Jawa Dwipa. Mental saya mulai tergerus, dan tidak ingin berfikir
apapun kecuali memikirkan pijakan kaki saya sendiri. Dalam hati berkata, tidak usah berfikir berapa
lama lagi sampai, tetapi berfikirlah untuk tetap berjalan satu demi satu langkah. Nanti juga akan
sampai kok. Ketika langit mulai gelap, kamipun mulai memasang senter kepala masing-masing. Saya
dan Adhi sudah membawa sendiri, dan Alex sempat menyewa ketika di Pos Pendakian kemarin. Pada
akhirnya kami sampai di POS Jawa Dwika ketika sudah gelap, sekita pukul 7 malam. Camilan kami
keluarkan kembali. Saya mulai lapar, dan tidak ingin perut saya kosong yang pasti akan membuat
kondisi makin parah nantinya. Untungnya saya pun membawa biskuit sehingga cukup lah untuk
bekal tenaga perjalanan turun.

Perjalanan segera kami lanjutkan menuju ke Candi Sepilar. Perjalanan naik tadi sekitar 1.5 jam
kurang. Dengan kondisi lutut saya yang begini, mungkin turunnya juga hampir sama durasinya. Duh,
kasian teman-teman ini, mereka sebenarnya bisa lebih cepat. Perjalanan menuju Candi Sepilar juga
menimbulkan drama di hati saya. Rasanya tidak sampai-sampai. Tapi berbekal kalimat saya sendiri
untuk tetap melangkah satu demi satu dan harus bisa menahan rasa sakit di lutut ini maka ritme
jalan saya bisa lebih teratur. Pada akhirnya kami sampai di Candi Sepilar. Saya masih kesulitan ketika
turun melewati sebuah trek yang semacam tangga, baik itu batu maupun tanah. Trek pintu gerbang
Candi Sepilar bukan pengecualian, tangga batu yang seharusnya mudah, ibarat naik turun di tangga
mall, menjadi momok bagi saya untuk dipijak karena mengharuskan lutut untuk menekuk dan rasa
sakitnya sangatnya terasa. Tetapi, saya kembali teringat, sudah dekat kok. Pada akhirnya kami
sampai di jalan samping pondok tempat mas Dani yang sudah gelap. Ternyata mas Dani masih
bangun dan menyambut kami dengan hangat. Termasuk hangatnya teh racikan yang sudah ia
buatkan. Kata-kata yang pertama kali dilontarkan olehnya adalah “wah nekat rekk” sambil
menyalami kami satu per satu. Saya tidak bisa menyembunyikan senyum karena berhasil turun
kembali dengan selamat. Kondisi badan juga tidak drop seperti yang saya takutkan tadi. Hanya lutut
yang rasanya tidak betah untuk ditekuk. Mas Dani menawarkan teh hangat yang segera kami sambut
dengan suka cita, dan sudah jadi angan-angan Adhi ketika tadi dijalan, ia membayangkan tes hangat
ketika sampai Mahkuthoromo. Mas Dani bilang bahwa Adhi dibantu oleh salah satu mahluk gaib.
Alex membenarkan karena sedari sarapan tadi dan sampai kami menuju Jawa Dwipa, kami memang
dibarengi oleh seekor burung kecil. Percaya atau tidak, setidaknya hal itu juga pernah saya dan Adhi
alami ketika di Gunung Lawu. Mitosnya bahwa ketika kita mendaki dan ditemani oleh seekor burung
kecil, itu pertanda baik. Saya percaya percaya saja, yang penting tujuan mendaki kami adalah baik
dan tidak ada niatan jahat. Mas Dani juga menawarkan sayur pakis dan tempe yang sudah ia masak
tadi, bahkan sempat dibuatkan sambel. Oleh karena, kamipun sudah malas untuk masak lagi,
tawaran ini tidak kami sia-siakan. Kami berfikir, sudahlah, tidak perlu mendirikan tenda lagi. Tidur di
pondok saja sampai besok waktu kami pulang. Hitung-hitung menemani mas Dani juga. Mas Dani
menceritakan tentang rombongan besar tadi, dan ternyata ada 2 anggota komunitas tersebut yang
ia larang untuk berangkat summit karena hanya membawa logistik seadanya saja. 2 anggota itu juga
sedang tidur di pondok. Malam itu pukul 11, ternyata datang rombongan pendaki dari Gresik. Kalau
tidak salah ada 6 orang. Mereka ingin beristirahat sebentar dan berangkat lagi pukul 1 atau 2 dini
hari. Mas Dani dan kamipun mengingatkan agar tidak terburu-buru.
Setelah kenyang makan dan ngobrol ngalor ngidul kamipun tidur dengan berbalut sleeping bag
masing-masing. Sleeping bag saya yang tebal ini rasanya sangat nyaman. Tidur di pondok ini cukup
hangat sebenarnya, walaupun akhirnya harus menghirup asap bekas kayu bakar yang terkadang
membuat mata pedih dan bau sangit. Tetapi sudahlah, tidur saja, tidak ada yang bisa saya lakukan
lagi. Rasanya sudah sangat lelah.

Perjalanan memuncak kali ini, saya anggap berhasil. Dan rasanya senang sekali.

PERSIAPAN PULANG
POS 5 KE POS PENDAKIAN (4 jam)

Keesokan harinya, saya bangun sekitar pukul 5:30. Saya mulai tidak nyenyak ketika alarm handphone
milik salah satu orang di rombongan dari Gresik itu berbunyi terus sekitar pukul setengah 3 pagi,
tidak segera dimatikan oleh si pemilik alarm. Yah sudah lah. Jam 5 sore, gantian alarm saya yang
berbunyi dan membuat saya ingin bangun saja. Ternyata rombongan dari Gresik itu pun tidak jadi
berangkat dini hari, mereka bangun sekitar jam 6 dan mulai memasak perbekalan untuk sarapan dan
summit. Mereka baru berangkat pukul 9 pagi. Saya, Adhi, dan Alex menikmati pagi di
Mahkuthoromo sambil bantu mencuci piring dan peralatan masak milik mas Dani. Setidaknya inilah
balas budi yang bisa kami lakukan atas kebaikan mas Dani tadi malam. Ritual bongkar muat perut,
obrolan dengan rombongan Independent hiker, dan 2 anggota mereka yang tidur di pondok menjadi
kegiatan kami di pagi hari, Sabtu 9 Maret 2019. Mas Dani ternyata sudah mencari bayam untuk
menyuguhkan menu sarapan bagi kami berupa nasi pecel, dia juga membuat menu lain berupa
sambel. Kamipun tidak tinggal diam dan menambahkan bahan makanan yang masih ada. Bakso,
tahu, tempe, bahan sop, mie instan, ikut kami sodorkan ke mas Dani dan mulai masak bersama.
Sebutlah 2 anggota muda independen hiker yang berkaos “konspirasi alam semesta” ini dua
sekawan. Dua sekawan ini ikut bergabung dengan kami untuk memasak sambil berbincang-bincang.
Sepertinya mereka berdua lebih nyaman bersama kami.

Rombongan Independen hiker ternyata sudah berpisah sejak kemarin. Sebagian besar diantaranya
sudah turun ketika hari jumat kemarin, dan menyisakan beberapa saja, termasuk teman Alex yang
kami temui kemarin. Menurut saya, teman Alex ini juga terkesan cukup baik dan bisa diajak mendaki
berkelompok dengan kelompok kami. Dia termasuk orang yang masih mau menunggu rekan
sependakian yang mengalami masalah. Buktinya, dia termasuk rombongan terakhir yang kami temui
karena membarengi salah satu anggota yang kelelahan. Saya tidak mengatakan rombongan lainnya
jelek ya, karena saya tidak sempat berbincang dengan mereka saja dan hanya mendengar pendapat
mas Dani saja. Rombongan teman Alex ini akhirnya juga berpamitan untuk turun terlebih dahulu.
Dua sekawan tidak mengikuti mereka, dan mengatakan bahwa akan ikut turun bareng kami.
Kamipun tidak keberatan. Selepas sarapan, isi air, kembali bersih bersih alat masak dan piring,
kamipun packing. Membagi kembali barang bawaan dan memeriksa bahan makanan dan barang-
barang yang sekirannya bisa kami hibahkan ke mas Dani. Alhasil kami menghibahkan beras, mie, gas
portable, dan madu. Barang bawaan jadi lebih enteng. Diantara waktu kami packing, hawa di POS 5
berkabut dan sesekali disertai awan gelap. Kami segera teringat dengan rombongan dari Gresik tadi,
kira-kira mereka aman atau tidak ya. Kami mendoakan agar mereka aman-aman saja, dan tetap
befikir jernih untuk turun kembali ketika cuaca tidak bersahabat. Di POS 5, terik matahari masih bisa
menembus kabut sehingga masih cukup hangat, tidak tahu diatas sana. Semoga aman selalu.

Kami siap dengan tas kami masing-masing pada sekitar pukul satu siang. Termasuk juga dua
sekawan. Kami berfoto sebentar di pintu masuk Candi di Mahkuthoromo dibantu oleh mas Dani.
Kamipun diantar oleh mas Dani di bibir turunan dekat jalan masuk POS 5. Mas Dani menyampaikan
bahwa akan menyambut baik apabila kami datang kembali ke POS 5 ini untuk sekedar berkemah dan
menikmati sekitaran POS 5 ini. Dia menjanjikan untuk mengajak kami berkeliling ke Candi Wesi dan
sebuah air terjun dekat situ. Kami pun tidak tahu kapan rencana itu akan ada, tetapi akan tetap
mengingat ajakan itu. Mas Dani pun menyampaikan bahwa apabila ketika berkunjung kembali dan
tidak bertemu dengannya, berarti dia sudah turun gunung karena sebenarnya dia juga memiliki
keluarga di Surabaya, dan usianya masih cukup muda seperti kami, sekitar 34 tahunan.

Selepas berpamitan dan berfoto. Kami memulai perjalanan turun melalui turunan tajam berbatu.
Lutut saya mulai terasa sakit lagi untuk ditekuk. Saya harus menikmati rasa sakit ini demi bisa
mencapai pos pendakian kembali. Turunan demi turunan saya lalui dengan decker lengkap
terpasang di dua lutut saya. Cukup membantu menahan sakit. Saya segera belajar cara
mengayunkan kaki dan posisi kaki yang seperti apa yang tidak menimbulkan rasa lebih sakit. POS
Eyang Semar akhirnya kami temui dan tidak jauh dari itu POS Eyang Sakri. Rasanya cukup cepat laju
kami turun, walaupun bukan kecepatan tinggi karena teman-teman harus menunggu saya yang
lututnya ini bermasalah. Turunan dari POS 5 ke POS Eyang Sakri masih banyak saya temui, inilah
yang membuat laju kaki saya tidak bisa begitu cepat. Tetapi sejak lepas dari POS Eyang Sakri ke POS
Tampuono, jalan yang saya temui lebih lebar dan saya sudah dapat teknik melangkah yang tepat,
yaitu langkah lebar dan zigzag sehingga tidak perlu menekuk lutut berlebihan. Perjalanan turun kami
tidak banyak berhenti lama, berhentinya hanya karena menunggu saya dan Adhi yang kerap
tertinggal beberapa meter dibelakang. Dua sekawan berada di kawalan Alex, sedangkan saya berada
di kawalan Adhi. Sesampai di POS Tampuono, kami singgah sebentar di warung untuk istirahat
minum teh hangat dan makan camilan. Kami bertemu dengan beberapa pendaki yang ternyata tidak
bertujuan ke puncak, tetapi ke Puthuk Lesung, sepertinya daerah itu asyik juga ya untuk dikunjungi
lain waktu. Kami teringat bahwa dua sekawan butuh segera sampai di POS Pendakian karena sepeda
motor mereka ternyata remnya bermasalah dan ingin segera mampir ke bengkel sebelum tutup.
Kamipun tidak berlama-lama di POS Tampuono dan segera melanjutkan perjalanan. Perjalanan turun
ke POS Guo Oento Buego didominasi dengan jalan landai sehingga laju jalanku juga bisa lebih cepat.
Di perjalanan turun ini kami bertemu dengan seorang bapak-bapak tua yang mungkin turun dari
jalur peziarah di sisi kiri, entah dari Eyang Madrem atau tempat lain. Semangatnya boleh juga.
Akhirnya kami sampai di POS Perijinan Perhutani dimana dua sekawan memarkir sepeda motornya.
Kamipun berpamitan dan mereka segera melesat turun. Sedangkan kami masih harus berjalan
gontai menyusuri jalan paving yang rasanya jadi lebih berat karena tidak ada yang menghambat gaya
gravitasi di kaki. Ya sudahlah, dijalani saja sampai akhirnya kami bertemu gapura dekat POS
Pendakian. Rasanya lega ketika sudah sampai di POS Pendakian dengan tidak ada masalah besar
dalam perjalanan turun ini. Perjalanan ditutup dengan makan sore di warung rawon. Dan saya
menyetir mobil Alex menuju terminal Bungurasih untuk mengantar Adhi di tempat penitipan motor
disana dan menuju rumah saya yang kebetulan berada tidak jauh dari terminal Bungurasih. Sangat
berterima kasih kepada Alex untuk bantuannya mengantar kami berdua kembali ke Surabaya tanpa
angkutan umum.

Demikianlah perjalanan pendakian ini ditutup dengan akhir yang bahagia.

Anda mungkin juga menyukai