Anda di halaman 1dari 6

Jejak Gunungku yang Ketiga

Catatan : Anana Fitri

Memang benar perkataan orang tentang “orang kalau sudah mendaki gunung jika tidak
membawa rasa kesal, ya candu”. Setelah pendakian pertamaku di Gunung Sumbing bersama kakak
sepupu dan pendakian kedua di Gunung Prau bersama teman-teman ospekku, rasa candu itu
mengantarkanku untuk mendaki Gunung Kembang.

Kembang 2320 mdpl

Gunung Kembang berada di desa Dukuh Blembem, Kaliurip, Damarkasihan, Wonosobo, Jawa
Tengah. gunung yang disebut-sebut sebagai anak dari Gunung Sindoro ini hanya memiliki ketinggian
2320 meter dari permukaan laut (mdpl). Jika dilihat dari Gunung Prau, akan terlihat jelas Gunung
Sindoro dan Gunung Sumbing dan tepat di belakangnya, bukit kecil yang merupakan Gunung
Kembang. Meskipun baru dibuka untuk umum pada tanggal 1 April 2018, pesona Gunung ini
membuatnya tak kalah populer demgan Gunung Sindoro, Sumbing, Prau, dan Bukit Sikunir di
Wonosobo. Sejak jalur pendakian Gunung Kembang resmi dibuka, gunung ini baru memiliki satu base
camp resmi, yaitu base camp Blembem.

Melalui Dewi, teman sekelasku di kampus, Aku mendapat informasi bahwa Komunitas Pecinta
Alam Sindoro Sumbing (KOMPASS) akan mengadakan pendakian bersama ke Gunung Kembang
pada 23 Desember 2018. Aku yang masih awam tentang masalah pendakian tentu senang jika bisa
mendaki bersama komunitas yang pasti pengetahuan pendakiannya sudah mumpuni. Pendakianku kali
ini kulakukan bersama Lili, teman pesantrenku dulu, Fikriansyah, teman pendakianku di Gunung Prau,
Indah, Dewi sendiri dan teman-teman dari komunitas yang aku tak tahu persis berapa jumlahnya.

Start perjalanan bersama KOMPASS dimulai dari Pasar Kentang, Binangun, Wringinanom,
Kretek, Wonosobo. Sebelumnya Aku pulang ke Temanggung untuk mengambil perlengkapan mendaki
di rumah, dan menjemput Lili yang juga berangkat dari Temanggung. Pukul 07.20 WIB Aku dan Lili
menaiki bus dari Pasar Legi Parakan menuju BLK Wonosobo untuk menemui Dewi, kemudian
langsung meluncur menuju Pasar Kentang Binangun dengan menaiki angkot jurusan Wonosobo-
Kretek.

Jam sepuluh lebih kami sampai di Pasar Kentang Binangun. Disana kami sudah ditunggu
beberapa anggota Komunitas. Karena hanya tinggal beberapa anggota rombongan yang belum datang,
kami langsung diantar menuju base camp menggunakan motor agar tidak menjamur dan menumpuk di
Pasar. Jalanan dari pasar Kentang menuju Base Camp Pendakian sudah menyuguhkan pemandangan
yang cantik. Saat hampir dekat dengan base camp perjalanan kami lalui di tengah-tengah kebun teh,
karena memang base camp Blembem ini terletak di area perkebunan teh milik PT. Tambi. Ekspetasi
kami serombongan, saat sampai di puncak nanti suguhan alam akan lebih cantik dari gambar-gambar
yang kami lihat di google saat mencari info tentang gunung kembang.

Base Camp

Jam yang digunakan orang-orang memang berbeda-beda, jarang yang menggunakan jam
ontime, termasuk Aku sendiri hehe. Kukira Aku yang datang paling terakhir, ternyata sampai disana
kami masih harus menunggu Fikri dan teman-temannya yang (ternyata) terlambat. Karena sudah lama
menunggu akhirnya panitia memutuskan peserta yang sudah datang akan naik terlebih dahulu
didampingi beberapa panitia. Pihak panitia bergegas menurus simaksi dan persyaratan pendakian
lainnya. Untuk tiket masuk (termasuk simaksi, biaya parkir dan lain-lain) kami dikenai biaya Rp.
15.000,00 perorang. Setelah panitia selesai mengurus simaksi Aku, Lili, Dewi, Mbak Aya, Mbak Liren
dan beberapa peserta lain yang belum kuhafal namanya mempersiapkan diri kemudian naik ditemani
beberapa panitia, dan beberapa panitia lain tetap di base camp untuk menunggu Fikri dan teman-
temannya.

Pos 1 - Istana Katak

Pukul 11.15 kami memulai perjalanan menuju Pos 1. Jalanan dari base camp menuju pos 1
dikelilingi lebih banyak perkebunan teh dari pada di perjalanan menuju base camp tadi. Perlu waktu
sekitar 40 menit untuk kami sampai di Pos 1. Waktu yang terbilang cepat untuk rombongan kami yang
membawa beberapa anggota yang baru pertama kali mendaki dan kebanyakan perempuan. Pos 1 yang
kami tuju ini berupa sebuah bangunan kecil yang digunakan untuk penimbaangan teh dari para pekerja
perkebunan, yang memiliki kolam yang dihuni banyak kecebong. Saat musim hujan di kolam ini akan
terdapat banyak katak, karena itulah pos ini dinamakan Istana Katak.

Pos 2 – Kandang Celeng

Perjalanan rombongan kami dari istana katak menuju kandang celeng memerlukan waktu 30
menit, melebihi waktu normal yang biasanya hanya 20 menit. Karena kami naik saat musim hujan,
resikonya adalah disambut alam dengan jalanan di perkebunan teh yang licin dan tidak teratur karena
terus dipijaki para pendaki. Tidak sedikit dari kami yang tergelincir dan rela bermandikan lumpur agar
bisa meneruskan perjalanan. Kandang Celeng sendiri merupakan gerbang masuk menuju hutan
Gunung Kembang. Dinamai kandang celeng sepertinya karena di dalam hutan Gunung Kembang ini
banyak terdapat celeng atau lebih kita kenal dengan sebutan babi hutan. Untuk semua pendaki juga
tidak diperbolehkan mendirikan tenda dan camp di kandang celeng, selain bahaya babi hutan sendiri
mungkin masih banyak hal-hal mistis lain yang menjadi penyebabnya.

Pos 3 – Pos Liliput

Dari Kandang Celeng untuk sampai pos ini rombongan kami memerlukan waktu 35 menit.
Sepanjang jalan menuju pos ini dikelilingi hutan yang masih sangat hijau dan asri. Gerimis menambah
kemenawanan hijau hutan, sepadan dengan sepatu dan kaki yang terus kami paksa untuk berjalan di
atas lumpur berbatu dan becek. Pos ini dinamai pos liliput, karena konon di pos ini pernah terlihat ada
manusia kerdil yang memiliki tinggi sekitar 1 meter.

Pos 4 – Pos Simpang Tiga

Pos ini dinamai pos simpang tiga karena di pos ini terdapat jalur bercabang yang digunakan
untuk pembukaan jalur baru. Dari pos liliput menuju pos ini diperlukan waktu sekitar 30 menit. Mulai
dari pos 4 ini pula rombongan kami berjalan terpisah menjadi beberapa kelompok.

Pos 5 – Pos Akar

Untuk menuju pos ini kami memerlukan waktu sekitar 25 menit. Di pos akar ini kita akan
menemukan banyak pohon yang memiliki akar yang menggantung seperti akar pohon beringin yang
bisa digunakan untuk ayunan. Di sepanjang perjalanan dari Kandang Celeng sampai dengan Pos Akar
rombongan kami disuguhi pemandangan hutan yang masih asri dan terawat karena memang Gunung
Kembang sendiri masih belum seluruhnya terjamah manusia, sementara itu gerimis terus mengguyur
hutan.

Pos 6 – Sabana

Dari pos 5 menuju sabana ini diperlukan waktu sekitar 40 menit. Kelompokku yang berisi 2
orang laki-laki dan 3 perempuan termasuk Aku terus berjalan menembus gerimis yang mulai menjadi.
Sudah tidak terdapat hutan dengan pohon-pohon tinggi yang bisa kami gunakan untuk sekedar
berteduh. Lagi-lagi itu merupakan resiko yang harus didapat karena nekat melakukan pendakian di
musim hujan. Sabana Gunung Kembang ternyata bukanlah padang rumput yang datar dan luas seperti
sabana di gunung-gunung lainnya, melainkan sabana dengan padang rumput yang memiliki
kemiringan sekitar 40 meter. Kami kesulitan berjalan bersama hujan di kemiringan. Pohon-pohon di
pinggiran jalur yang harusnya sedikit membantu perjalanan kami pun ternyata berduri. Sesuai nama
pos yang kami tuju (Sabana), kami juga harus sabar dan merana untuk menuju ke sana.
Pos 7 – Tanjakan Mesra

Entah siapa yang menamai pos ini dengan nama tanjakan mesra. Sepanjang perjalanan dari
sabana menuju tanjakan mesra tidak akan kita temui kemesraan sedikitpun kecuali jalur yang terus
menanjak dan tidak ada sedikitpun bonus untuk para pendaki. Mungkinkah diberi nama Tanjakan
Mesra karena kami yang masih saja diguyur hujan untuk menuju kesana harus banyak memeluk bumi
dengan menjambak rumput-rumput yang ada agar bisa menjaga keseimbangan. Aku rasa nama mesra
pada tanjakan ini tidak cocok ditafsirkan seperti kata mesra biasanya, tetapi diartikan dengan mesra,
“menyiksa raga”.

Puncak (Bukan Tujuan)

Badan,baju, dan ransel kami basah kuyup meskipun sudak mengenakan jas hujan. Kelompok
kami tidak ada yang membawa tenda. Karena hujan semakin deras, kabut menebal dan kami tak
kunjung menemukan lokasi rombongan yang sudah sampai duluan dan sepertinya sudah mendirikan
tenda. Aku berteriak memanggil Dewi.

“Dewiiii!!”

“Sebelah sini!”

Aku cepat-cepat mencari asal suara yang menjawab panggilanku. Saat kuhampiri tenda asal
suara, ternyata si empunya tenda bukan anggota rombonganku dan hanya menjailiku. Aki semakin
kesal, sementara waktu juga semakin sore dan langit semakin menghitam. Kami semua sudah sangat
lelah karena tak berhenti berjalan dan kedinginginan karena sejak awal perjalanan sudah terguyur
hujan. Kami ingin cepat-cepat menuju tenda untuk sekedar berteduh kemudian beristirahat.

“An....Anna di sebelah sini An.”

“Itu suara Dewi.”

Aku memberi isyarat kepada yang lain untuk mengikutiku mencari asal suara. Tidak jauh Aku
berjalan, aku menemukan tenda rombongan. Karena benar-benar sudah lelah Aku tak mempedulikan
bajuku yang kuyup langsung menerobos masuk tenda bersama. Sudah masuk waktu shalat maghrib
dan hujan semakin deras disertai angin yang juga kencang.

Setelah selesai mengeringkan badan dan mengganti pakaian, Aku kemudian mengisi perutku
yang sedari tadi hanya terisi air mineral dengan mi instan. Disela-sela makan, terfikir oleh kami
bagaimana keadaan Fadholin, ketua KOMPASS yang menunggu Fikri di base camp tadi. Sekarang
sudah benar-benar gelap dan hujan masih sama derasnya, tapi rombongan mereka belum menunjukkan
tanda-tanda sampai di puncak. Istirahat kami menjadi tak tenang. Menyusul kembali ke bawahn bukan
jalan keluar yang baik, mengingat kondisi kami yang juga masih kelelahan. Kami putuskan untuk tetap
menunggu sambil beristirahat dahulu.

“Anaaa!”

Jam 7 malam lebih Aku mendengar suara orang memanggilku. Aku bertanya pada teman-
teman setendaku apa mereka juga mendengar, mereka mengiyakan. Aku melongok keluar tenda, tak
lama kemudian Fikri. Dia datang sendirian dengan bertelanjang kaki, berwajah panik dan badannya
menggigil karena lama terkena hujan.

“Adikku masih di bawah, hipo.” Ucap Fikri dengan suara bergetar.

“Bisa-bisanya?”

Aku ikut panik. Aku menyuruh Fikri membersihkan kakinya yang lecet karena nekat naik tanpa
sepatu kemudian masuk ke tenda laki-laki. Dari pihak panitia juga bingung, bagaimana menyusul
rombongan Fikri yang hipotermia sedangkan posisi mereka ada di Tanjakan Mesra. Akhirnya beberapa
Tim Rescue dari KOMPASS akhirnya turun untuk menolong, sementara kami yang perempuan
menyiapkan makanan dan minuman hangat. Lama memang, tapi akhirnya rombongan Fikri yang
terkena hipotermia bisa cepat ditolong kemudian dibawa menuju tenda. Alhamdulillah.

Pesan dari Gunung

Semenjak Aku beserta rombongan sampai di puncak Gunung Kembang hingga waktu turun,
hujan disertai angin setia menemani kami yang berdesak-desakan di dalam tenda untuk mencari
kehangatan. Singkatnya, dalam pendakian kami terjebak badai dan harus menunggu keadaan membaik
untuk bisa turun. Kami tidak mendapatkan bonus sunrise atau pun pemandangan indah seperti yang
kami ekspetasikan karena memang di puncak yang ada saat itu hanya kabut dan badai. Tapi memang
setiap pendaki harus bisa seperti itu, tidak menjadikan puncak sebagai tujuan utama.

Dari awal perjalanan yang diiringi gerimis, jalanan yang becek dan licin, kami sadari bahwa
dalam pendakian yang dibutuhkan bukan hanya tekat yang kuat saja, melainkan pengetahuan, obat-
obatan, logistik, dan peralatan yang cukup dan memadai. Naik gunung juga bukan ajang untuk pamer
berapa mdpl saja yang sudah kita daki. Selain itu, bagaimana kami bisa berkerja sama dalam tim, tidak
boleh egois dan mementingkan keselamatan diri sendiri. Kita juga harus mematuhi prosedur pendakian
dan keselamatan yang ada.

Tujuan pendakian juga bukan puncak atau sunrisenya saja, itu semua hanya bonus yang alam
berikan. Tujuan realnya adalah dapat pulang kembali ke rumah, pulang dengan membawa pengalaman,
pembelajaran, perjalanan yang kita nikmati dan pengertian bahwa kerja tim itu benar-benar diperlukan.
Sementara puncak, sunrise/sunsite, dan keindahan yang lainnya sekali lagi, hanya bonus semata. Jaga
sikap, jaga alam, stop nyampah di gunung, stop vandalisme, Salam Lestari!.

Anda mungkin juga menyukai