Anda di halaman 1dari 78

CATATAN DI ATAS AWAN

“Enggak! Perjalanan ini hanya akan kita lakukan saat cuaca baik. Aku nggak mau
pertaruhkan nyawaku untuk ikut perjalanan ini!” Teriakan itu muncul dari balik
jendela kamar Noel.

“Kalau menunggu cuaca baik itu artinya melewati batas waktu yang sudah
diberikan. Semua harus kita selesaikan bulan ini juga, Noel….”

“Lagi pula kalau menunggu cuaca baik, kita juga gak tau pasti kapan…Toh kita
melakukan perjalanan ini tidak sendirian kan, kita tetep akan ada pendampingan
dari senior. Ga bakal kenapa-napa deh…”

Perdebatan malam itu tidak menemukan kesepakatan yang menyenangkan, Noel


terpaksa mengundurkan diri dari Tim, dan itu menyisakan keganjilan diantara
teman-teman yang terlibat dalam perjalanan kali ini.

Ini bukan pertama kalinya aku melakukan pendakian. Hanya saja pendakian kali
ini bukan pendakian seperti sebelumnya. Ada tugas yang harus aku dan teman-
teman kerjakan sebagai syarat untuk bergabung dan diterima di komunitas pencinta
alam di salah satu universitas negeri terkemuka di Jogja. Pendakian ini disebut
Wajib Gunung.

Awalnya lokasi yang dipilih adalah gunung Merapi, tetapi mengingat kondisi
Gunung Merapi yang “AWAS” maka pendakian dialihkan ke Gunung Slamet.
Bukan tanpa pertimbangan, Gunung Slamet dipandang mempunyai karakteristik
yang tidak terlalu jauh berbeda dengan Gunung Merapi. Selain sama-sama masih
aktif, jenis batuan relatif sama yaitu batuan andesit, dilihat dari batas vegetasi
(plawangan) hingga ke puncak merupakan batuan lepas, berpasir dan merupakan
lereng yang cukup terjal. Dan yang pasti keduanya masih di pulau Jawa. Ya, lokasi
yang diambil memang tidak terlalu jauh karena pendakian ini pendakian dalam
rangka pendidikan lanjut setelah pendidikan dasar kepencintaalaman.
Perjalanan ini akan diikuti beberapa orang yang terbagi dalam 4 kelompok. Dua
tim akan memulai pendakian dengan mengambil entry point di jalur pendakian
Baturaden dan dua lainnya mengambil entry point di jalur pendakian Kaliwadas.
Masing-masing tim didampingi oleh dua orang senior. Untuk menghindari
penumpukan jumlah pendaki, maka setiap tim berangkat dari Jogja selang satu hari
dari tim yang lain.

Seperti kesepakatan terakhir, Noel memutuskan untuk mundur dari tim. Tersisalah
4 orang, aku, Iin, Baried, dan Azis. Rupanya yang memutuskan untuk tidak
bergabung tidak hanya Noel, seorang pendamping yang sudah ditentukan oleh
pengurus mendadak mengundurkan diri karena alasan kuliah. Ya apa boleh buat,
perjalanan ini tetap harus berjalan, ada atau tidak adanya mereka. Toh dengan
pengalaman dan pengetahuan Yayak cukup meyakinkan kami untuk tidak mundur
atau ragu. Apalagi, kami bukan tim yang pertama akan melewati jalur pendakian
Baturaden. Sehari sebelumnya, tim Baruraden I yang didampingi oleh Wiwid dan
Ndaru sudah melakukan pendakian. Jadi, kami tinggal mengikuti jejak mereka saja
untuk tiba di puncak Gunung Slamet.

***

Setelah subuh kami meninggalkan Jogja menuju Purwokerto. Semua bertemu di


Terminal Umbulharjo di halte jurusan Jogja – Purwokerto. Sengaja memilih
berangkat dengan bus karena lebih cepat dan dipastikan dapat tempat duduk. Kami
tidak mau bertaruh dengan naik kereta akan mendapat kenyamanan yang sama
dengan bus. Carier yang kami bawa juga akan lebih aman dan yang pasti kami
tidak harus setiap detik mengawasi, karena semua masuk di bagasi. Perjalanan
akan kami tempuh kurang lebih 4 jam. Waktu yang lebih dari cukup untuk tidur
lagi membayar begadang semalaman menyiapkan perlengkapan.

Bus melaju kearah barat, meninggalkan kota Jogja yang masih lengang. Setelah
kondektur meminta ongkos, selesailah tugas kami. Tanpa ngobrol lama, mata yang
masih menyisakan kantuk kembali merapat, dengan kepala bersandar nyaman di
sandaran kursi.

Tim Baturaden II (Nevi, Iin, Azis, Baried, Yayak)

Tidak terlalu sulit untuk menemukan entry point pendakian. Cukup sebutkan “Mau
ke Slamet” sopir angkot akan mengantar hingga jalan setapak di pertengahan
hutan. Ya jalur Baturaden memang cukup ramai karena Baturaden merupakan
objek wisata cukup terkenal di Purwokerto. Di dalam hutan ada jalan aspal meski
tidak seberapa lebar, dan itu sangat memudahkan awal perjalanan kami.

Matahari bersinar cukup hangat. Sengaja kami memulai perjalanan pagi-pagi agar
bisa mencapai target lokasi dan tidak terlalu ngoyo. Kami harus mengondisikan
diri dengan beban carier yang cukup berat dan penurunan kadar oksigen di setiap
ketinggian yang kami capai. Semakin tinggi lokasi yang kami lalui, semakin tipis
oksigen yang tersedia. Beberapa kali kami harus berhenti untuk mengatur
pernapasan.

“Tunggu…pelan-pelan aja..,” teriak Azis di satu jam perjalanan masuk hutan


Baturaden.
Yayak yang berjalan paling belakang sebagai sweeper hanya tersenyum setiap kali
Azis merebahkan tubuhnya bersandar di akar pohon yang tumbuh di permukaan.
Hutan yang lebat, pohon-pohon menjulang dengan batang yang besar, akar muncul
di permukaan tanah. Sejak isi carier kami bertambah dengan 5 liter air, perjalanan
memang menjadi bertambah berat. Dan itu sangat dirasakan oleh Azis.

“Istirahat aja dulu, jangan mengeluh…” kataku. Aku teringat pesan Pak Dusun
tempat kami singgah kemarin malam;

“Kalau ndaki gunung, jangan mengeluh, nanti capek beneran. Trus jangan buang
air sembarangan, minta ijin dulu. Ya percaya atau tidak, hutan Gunung Slamet ini
masih wingit – sering terjadi hal hal aneh” begitu katanya memberi pesan.

“Gunung Slamet masih aktif kan ya, Pak? Pernah meletus kaya Gunung Merapi
apa tidak?” tanya Azis ingin tahu.

“Iya memang masih aktif, tapi tidak seaktif Gunung Merapi. Lagipula lubang
kawahnya luas jadi kalaupun meletus tidak terlalu berbahaya…”

“Kalau mau meletus tanda tandanya seperti apa, Pak?” kali ini aku ikut nimbrung,
ingin tahu juga.

“Biasanya di sini kalau ada bencana, tandanya ada suara gemuruh dari atas
gunung…” jawab Pak Heri, sambil memandang jauh ke arah gunung.

Pak Heri tidak menjelaskan lebih jauh gemuruh seperti apa yang dimaksud. Kami
pun tidak bertanya lebih banyak karena Bu Heri datang membawakan mendoan
khas Purwokerto. Seketika hangatnya mendoan, sambal kecap dan segelas teh
manis lebih menarik perhatian kami.

Jejak-jejak kaki kecil kami semakin jauh meninggalkan perkampungan di sekitar


Baturaden. Gemericik air sesekali terdengar di sepanjang jalur yang kami lewati.
Hutan tropis yang megah. Pohon-pohon berbatang raksasa begitu mudah kami
temui, kicau burung riang menemani selama perjalanan. Tidak hanya itu, makhluk
kecil penghuni hutan Slamet kadang membuat kami ketakutan; Lintah.

Entah berapa puluh atau bahkan ratusan lintah yang sudah kami temui. Mereka
kadang terlalu lincah hingga celana panjang saja masih bisa dia lewati. Apa boleh
buat, dengan terpaksa kami menjadi donor darah untuk makhluk-makhluk
berbadan empuk itu. Beberapa kali kami harus berhenti untuk melepas gigitan
mereka di kaki. Pada awal pertama digigit, Azis mencabut paksa lintah yang
menggendut kekenyangan menghisap darahnya. Akibatnya, gigitan itu melukai
kakinya. Untungnya tidak seberapa parah, hanya luka kecil, dia masih bisa terus
berjalan.

Dari puncak punggungan sesekali kami melepaskan pandang jauh ke bawah.


Langit biru tanpa awan. Matahari cukup terik, tapi itu tidak terasakan panasnya.
Kanopi pepohonan di sepanjang perjalanan memayungi langkah kami. Cuaca hari
ini memberi semangat lebih. Yah, hujan badai sepertinya akan jauh dari pendakian
kali ini. Meskipun bulan Februari masih masuk bulan musim penghujan, tapi lihat
saja sinar matahari dan biru langit yang seolah jadi sumber penerang paling
sempurna untuk menikmati indahnya lembah dan kaki gunung. Dari ketinggian,
kepulan asap terbang semakin tinggi dari perkampungan di bawah. Garis putih
seolah menyatukan langit dan bumi.

“Lihat, itu pantai!” teriak Baried begitu bersemangat menunjuk jauh kearah
selatan. Iya di ujung selatan pulau jawa memang pantai, tapi kalau pantai itu
terlihat dari puncak punggungan ini aku juga tidak yakin.

“Masa sih?” tanya Iin setengah protes. Azis juga tak mau ketinggalan. Dia
mengeluarkan kamera poket manualnya, mengambil angle yang dirasa bagus, dan
kami mengabadikan momen itu, sambil istirahat siang menikmati keagungan
Tuhan melalui semua yang Dia ciptakan. Kadang manusia lupa, betapa
sesungguhnya mereka adalah makhluk-makhluk kecil dengan ego yang sangat
besar. Ego itu yang tanpa disadari mampu menghancurkan segalanya.

“Ok, kita lanjutkan perjalanan… jangan keasyikan di sini…” suara Yayak


membuyarkan kekaguman kami. Carier seberat 20kg kami sandang lagi, hampir
menutup separuh tubuh. Sebelum meneruskan langkah, kami memberi tanda di
peta jalur yang sudah kami lewati. Beberapa menit kami juga berusaha
memperkirakan jarak yang harus ditempuh hingga tiba di Pos II.

“Kita buka camp jangan di Pos II ya,” kataku setengah berbisik pada Yayak.

“Tergantung kondisi tim,cuaca dan waktu.”

Jawaban Yayak membuatku berpikir ulang. Cuaca bagus, angin tak terlalu
kencang, kontur di peta juga tak begitu terjal, batihku meyakinkan diri sendiri
kalau Pos II akan terlewati.
“Ok, kita berangkat!” kataku memberi komando.

Perjalanan menuju Pos II mulai menanjak, sekali ada jalan datar, bonus untuk jalan
lebih cepat. Sepanjang jalur pendakian Baturaden memang tidak terlalu jelas pos
yang dimaksud. Setiap pendaki punya nama dan pos sendiri, suka-suka mereka
membuat shelter. Tapi yang santer terdengar adalah bahwa di Pos II sering terjadi
hal-hal aneh. Seperti yang dikatakan Pak Kadus Heri, hutan Gunung Slamet masih
wingit. Ada cerita juga kalau di Pos II dulu pernah ada yang meninggal. Ampun
deh… ya jujur, biar aku didaulat jadi koordinator tim, tetep keder juga dengan
yang begituan. Sumpah… makanya aku ga mau ngecamp di Pos II. Aku sendiri
juga ga tau Pos II disebelah mana… sebenarnya dibohongi letak Pos II juga aku
gak tahu.
Pikiran buruk tentang Pos II dan seluk beluknya sekejap terlupakan oleh medan
yang semakin berat dan jalan setapak yang tidak begitu jelas. Kami harus menjaga
jarak dan berhenti beberapa kali karena Azis tertinggal di belakang. Karena sibuk
berurusan dengan lintah Azis memilih jalan di paling belakang. Meskipun kami
sudah melarangnya, tapi dia tetap keras kepala untuk jalan di belakang.

“Tar kalo aku jalan di depan, kita bakal sering berhenti,” katanya memberi alasan.

Terbersit kekhawatiranku tentang Azis. Sepanjang perjalanan dia lebih banyak


mengeluh, berhenti seenaknya sendiri tanpa memberi tahu. Dan yang kami
sesalkan, dia hanya menggunakan sandal gunung. Sebelum memulai pendakian
Baried sempat menawarkan sepatu cadangannya untuk dipakai Azis, tapi Azis
menolak.

“Yang penting nyaman kan? Aku nyaman dengan sandalku kok,” bantahnya
memberi alasan.

Pertimbangan-pertimbangan logis dan keselamatan sudah tidak digubrisnya. Dan


ini menjadi beban yang cukup menganggu. Aku harus siap dengan semua
kemungkinan, pikirku memberanikan diri.
Kekhawatiranku berujung nyata. Menjelang pukul tiga sore langit mulai berbayang
awan hitam. Matahari tidak tampak lagi. Angin berhembus terasa sampai kulit.
Daun-daun bergoyang kegirangan kesana kemari tertiup angin. Spontan kaki kami
melangkah lebih panjang, berharap bisa sampai di shelter sebelum hujan turun.
Langkah itu rupanya membuat kami meninggalkan Azis jauh di belakang.
Menunggu dan membuang waktu berkali kami lakukan. Sesuatu yang seharusnya
tidak terjadi kalau Azis mau menggunakan sepatu Baried.

“Maaf, sandalku licin jadi aku ga bisa jalan cepat…” kata Azis menegaskan
keterlambatannya.

Aku hanya bisa menghela napas panjang. Ingin sekali aku marah dan memakinya,
tapi aku tidak bisa serta merta lakukan itu. Justru aku dituntut untuk menyelesaikan
semua persoalan yang mungkin terjadi selama pendakian ini. Aku harus lebih kuat
dan lebih sabar, batinku menghibur diri.

Di perhentian ketiga menunggu Asiz bergabung, langit mulai menitikkan tetes-


tetes air. Gerimis mulai menjamahi hutan Gunung Slamet.

“Zis, ayo… lebih cepat, hujan segera turun!” teriak Baried mendapati sudah
beberapa lama menunggu Asiz masih belum muncul. Iin memanfaatkan waktu
membuka jas hujannya, sementara aku dan Yayak mencoba memperkirakan cuaca.

“Yak, ngerasa aneh ga sih? Lihat burung yang terbang mengikuti perjalanan kita
gak?” tanyaku pelan.

Yayak mencoba mengamati sekitar. Kemudian dia menggeleng. Ada gelisah yang
sangat kupahami menyusup dalam jiwaku. Gelisah yang tidak akan terpahami oleh
orang lain, gelisah yang mungkin bila kuceritakan akan berbuah tawa dan aya aya
wae… begitu kata orang sunda.

Percakapanku dengan Yayak tidak berlanjut. Azis melangkah mendekat dengan


keringat sebesar biji jagung. Iin siap dengan ponco birunya dan Baried bertambah
besar bentuk tubuhnya dengan raincot warna merahnya.

“Wah, sandalku putus…!” keluh Azis, “jadi tadi benerin dulu.”

“Kita langsung lanjut, Zis?” tanyaku atau lebih tepat sebuah ajakan. Azis
mengangguk mantap, dia juga tidak mau kehujanan, karena itu akan sangat
merepotkan langkahnya.

Hujan masih gerimis, langit rupanya masih malu-malu untuk menangis. Atau
barangkali memang hanya akan gerimis. Di ketinggian seperti ini memang sering
terjadi gerimis, hujan yang disebabkan oleh kelembaban suhu udara.

“Hujan selamat datang nih kayaknya...” kataku memecah kebisuan.

“Hujan selamat datang gimana, enakan juga sunset kalau ngasih ucapan selamat
datang. Jangan hujan dong,” Iin menimpali.

“Kalau hujan, persediaan air kita nambah, gak perlu nyari di lembah… ya nggak?”
kali ini Baried menyampaikan pendapatnya.

“Iya, gua capek naik turun lembah cuma buat ngambil air. Kalau hujan, kita taroh
aja nesting di luar tenda, pasti terisi air penuh,” Azis tidak mau ketinggalan.

Perdebatan hujan dan sunset masih terus bergulir meramaikan perjalanan yang
mulai mendekati kesunyian hutan. Hari akan beranjak sore, menuju gelap. Gerimis
mulai datang lebih deras dan kilatan petir tampak di kejauhan. Hujan segera turun.

Mencari tempat untuk mendirikan shelter itu satu-satunya yang terpikir olehku.
Jalan ini terlalu rimbun dan tanahnya terlalu sempit untuk didirikan tenda. Kami
melanjutkan langkah beberapa meter ke depan. Azis dan Baried berjalan lebih dulu
untuk mencari tempat yang lebih datar.

“Ole le…!” teriak mereka memberi kode. Segera kami menyusul mereka. Sial,
tempat yang mereka temukan terlalu terbuka. Akhirnya kami jalan lagi. Di tengah
hujan yang mulai deras, setiap tanah datar menjadi harapan kami. Butuh satu
tempat yang agak luas agar 2 tenda kami bisa berdiri.

“Ok, kita akan buat camp di sini!”

Dua tenda didirikan di tengah hujan dan kilatan petir. Setelah satu tenda berhasil di
dirikan, aku dan Iin memasak air untuk minum, sekedar penghangat. Ini shelter
pertama kami. Puncak Gunung Slamet masih jauh di atas. Kami baru
menyelesaikan separuh panjangnya perjalanan. 

***

Defense

Quote:
‘Janganlah berjalan di depanku aku mungkin tak dapat mengikuti. Janganlah pula
berjalan di belakangku aku mungkin tak dapat memimpin, tetapi berjalanlah
seiring bersamaku dan jadilah sahabatku…’

Pagi bersinar secerah kemarin. Setelah sarapan pagi kami lanjutkan perjalanan.
Masih panjang lintasan yang harus kami tempuh. Masih menunggu terjalnya
medan dan yang pasti lintah si binatang penghisap akan selalu menyambut di
sepanjang jalur pendakian. Kali ini menghindari gigitan Lintah, Azis melumuri
tubuhnya dengan minyak kayu putih. Sayang rupanya itu bukan jurus yang ampuh.
Malahan panasnya minyak kayu putih bercampur keringat terasa membakar di
sekujur tubuh Azis. Dan dia harus menahan itu di sepanjang perjalanan.

Di hari kedua pendakian jalan yang kami lalui tidak lagi bisa dibilang mudah.
Tidak banyak jalan datar. Setiap jengkal yang kami lalui selalu dihadapkan pada
tanjakan dan tanjakan. Dingin juga mulai terasa lebih dari hari sebelumnya.
Pastinya setiap ketinggian yang kami capai, kadar oksigennya semakin menipis.
Kami harus hati-hati dengan kondisi itu.

“Yak, mentok ga ada jalan lagi...!” teriak Baried. Sengaja jarak kami memang agak
renggang, karena menyesuaikan dengan kemampuan masing-masing, tapi tentu
saja dengan jarak pandang yang masih bisa dikontrol.

Kami segera menyusul Baried yang hari ini bertugas sebagai pembuka jalan.
Benar, setapak yang kami lalui habis. Sebelah kanan dan kiri lembah yang subur.
Tidak mungkin ada jalan di situ. Iin, Azis dan Baried berjalan menyebar,
memastikan ada setapak. Aku dan Yayak memastikan posisi kami dipeta. Benar,
tidak ada yang salah. Memang kontur dipeta sangat rapat, itu artinya ada tanjakan
atau tebing yang cukup terjal. Tapi dimana? Hampir setengah jam kami habiskan
untuk mencari jalan setapak.

“Hei, ada rafia dan patahan pohon…!” teriak Iin kegirangan.

“Itu pasti jejak dari kelompok Baturaden I,” kataku kemudian. Tanjakan yang
cukup terjal, hampir mendekati 90 derajat. Pantas saja kami kesulitan menemukan
jalan. Apa boleh buat, memang itu jalan yang harus kami lewati.

Berpegang pada akar dan batang pohon, Baried naik lebih dulu. Ujung sepatu
trakingnya beberapa kali di hentakan di tebing tanah setinggi 2 meter itu untuk
membuat jalan serupa tangga. Iin menyusul ke atas setelah Baried tiba dan
meletakkan cariernya agar lebih mudah menarik yang lain. Azis melepaskan sandal
gunung andalannya. Dia terlihat kerepotan.

“Zis, lempar aja sandalnya!” kata Baried menyiapkan diri untuk menangkap sandal
Azis.

Azis menurut. Tanpa alas kaki Azis pun merambat naik.

“Aduh !” tiba tiba Azis berteriak kesakitan. Dia terjatuh setelah naik beberapa
meter. Di saat yang bersamaan, sisi lain dari hatiku tergetar oleh suara burung yang
sepanjang hari kemarin megikuti perjalanan kami. Dia datang lagi, batinku. Aku
tidak tahu burung jenis apa itu. Aku juga tidak mengerti dengan perasaanku
sendiri. Setiap kali burung itu terbang di antara perjalanan pendakian ini selalu
menimbulkan perasaan khawatir yang berlebihan. Tapi aku hanya bisa simpan
sendiri kegelisahan itu.

“Kamu ga papa Zis?” tanya Yayak. Azis tak bersuara, hanya menggeleng sambil
meringis kesakitan.

“Serius gak papa?” tanyaku ragu.

“Gak papa, akar pohonnya ga kuat nahan badan gue...” kata Azis sambil terus
mencari akar atau batang pohon yang bisa membantunya naik.

Burung kecil itu masih terbang memutar. Sesekali hinggap di ranting pohon yang
tidak terlalu tinggi. Sesekali itu juga aku menatapnya, mencoba bercakap
dengannya meski aku tahu aku tidak akan mendapatkan jawaban apapun. Burung
yang aneh… Aku yakin tidak ada seorangpun dari tim ini yang mempedulikan
keberadaan burung merah itu kecuali aku. Aku cukup terganggu dengan ulahnya.
Gaya terbang dan suaranya semakin keras seiring bertambahnya ketinggian
pendakian ini.

Jalan setapak yang dilalui tidak sejelas jalur di bawah tadi. Terlalu banyak akar
pohon yang tumbuh di permukaan. Medan semakin sulit begitu kami tiba di jalur
pendakian yang disebut ‘lubang tikus’. Dengan beban carier segedhe almari kami
harus merangkak di bawah akar pohon menjalar. Setapak sempit di kemiringan
lembah yang cukup dalam. Meskipun lembah ditumbuhi pepohonan berkayu tapi
tetap saja berbahaya kalau kami sampai terpeleset.

“In, kamu naik lebih dulu…” kata Baried.

“Nggak ah, kamu aja duluan. Badanmu kan lebih besar jadi bisa buka jalan
sekalian…” kata Iin.

“Badanmu kan kecil, jadi lebih lincah untuk bisa merangkak dan mengambil jalur
yang lebih aman,” balas Baried.

Kami masih mengamati sekitar. Rupanya inilah satu-satunya jalan.

“Aku duluan aja deh kalo kalian masih terus berdebat,” kataku menengahi. Carier
kubiarkan tertinggal, aku akan menariknya nanti dengan webbing. Merangkak!
Gila benar-benar seperti tikus. Perpaduan tautan tanah, batang, dan akar pohon
menjalar yang menakjubkan. Aku tidak yakin akan terulang untuk kedua kali untuk
pendakian berikutnya.

Aku masih terus merangkak. Setelah hampir mencapai setapak yang lebih terbuka,
Iin menyusulku. Tepat setengah meter dia di belakangku, detik itu juga, batang
pohon tambatanku patah dan aku terperosok.

“Awas, In…!”
Aku tidak menyangka Iin menyusulku sebelum aku sampai di posisi yang aman.
Tak terhindarkan lagi, kakiku menendang tubuh Iin sampai dia ikut terperosok.
Beruntung dia masih bisa pegangan pada batang dan akar pohon yang lebih kuat.

“Hati–hati, jangan terlalu dekat...” Yayak memperingatkan.

“Kalian naik setelah aku sampai di ujung lorong… aku akan beri kode,” kataku
setelah situasi kembali tenang.

Perjalanan merangkak menembus lubang tikus membuat kami kehabisan tenaga.


Hari ini kami terlalu sering berhenti untuk istirahat dan batas vegetasi yang kami
tuju masih jauh.

Setengah satu siang, istirahat siang yang mengejutkan. Belajar dari perjalanan
kemarin, langit mendung sekitar jam dua siang, dan disusul hujan hingga malam.
Begitu juga hari ini, warna biru langit masih terlihat di sela awan yang
menggumpal. Sedikit harapan untuk melanjutkan langkah. Tapi alam memberikan
lain. Begitu kami tiba di ketinggian di mana pohon-pohon besar mulai jarang,
langit tiba-tiba gelap. Biru langitku tidak terlihat lagi. Gemuruh mengejutkan
beratnya langkah kami.

“Hujan?!” tanyaku.

”Bukan, angin,” jawab Yayak pelan. gemuruh itu semakin terdengar keras. Seperti
suara hujan, tapi tidak ada air. “Merapat! Semua berkumpul, kesini!” teriakan
keras Yayak menambah keterkejutan kami.

Seketika itu juga Baried yang semula berjalan di depan berbalik arah diikuti Iin.
Kami berlindung di balik semak rumput yang tingginya hampir sama dengan tinggi
badan kami. Azis masih berada di belakang. Tiupan angin membuatnya kepayahan
untuk melintasi tanjakan penuh belukar dan rumput yang bergoyang tertiup angin.

“Badai!” katanya. Semua duduk membungkuk, melindungi diri dari tiupan angin.

Punggungan ini terlalu terbuka, terlalu berbahaya jika kami memaksa untuk
berjalan. Sepuluh menit terasa begitu lama untuk menunggu angin sedikit
melemah. Kami akan melanjutkan perjalanan, kami harus mencari tempat yang
aman untuk mendirikan shelter. Sepuluh menit ini membuat kami lebih banyak
diam, hanyut dalam pikiran sendiri. Bisa jadi, sepuluh menit ini membuat kami
menyesal melakukan pendakian ini. Sepuluh menit ini mengingatkan kami pada
Noel, dan di sepuluh menit ini juga kami merasakan kehangatan sebuah
persahabatan.

Ketika tangan kami saling berpegang erat, kami tak ingin ada yang terlepas. Ketika
kami duduk begitu dekat, kami tidak bisa berdiri sendiri. Perjalanan ini tidak bisa
dilewati seorang diri. Kebersamaan, rasa percaya dan saling peduli adalah kunci.

***
Sejak badai kemarin siang kami masih belum beranjak dari shelter ke dua kami.
Puncak Gunung Slamet sudah tidak jauh lagi. Dua jam perjalanan dan kami akan
sampai di sana. Tapi tidak hari ini. Hujan masih belum mau reda, awan hitam
masih juga tidak beranjak memayungi tanah Gunung Slamet. Entah akan kapan
gemuruh angin, gemertak kayu dan pohon tumbang ini tidak terdengar lagi,
sementara hawa dingin mulai terasa semakin menggigit. Hembusan angin pun
tidak mau diajak bersahabat. Tidak ada kehangatan di sini selain pelukan dan
balutan sleeping bag yang barangkali juga mulai basah dan lembab. Ditambah asap
rokok beberapa kawan membuat udara di dalam tenda ini semakin sumpek, sesak,
dan pengap. Pun tidak mungkin bagiku untuk membuka sedikit celah dari tenda
kecil ini, hanya angin dan rasa dingin yang barangkali akan kudapatkan, bukan
udara segar.

Jadwal pendakian mulai terganggu. Seharusnya, hari ini kami sampai di puncak
dan mulai turun ke jalur Bambangan. Apa boleh buat, alam tidak mengijinkan
pendakian ini berjalan sesempurna rencana yang telah kami susun.

Semua berjalan sudah tidak sesuai rencana. Perbekalan cadangan untuk 1 hari
tambahan dipastikan harus dibuka. Harusnya malam ini kami sudah di basecamp
Bambangan, bukannya diam menunggu badai berhenti dan terkurung dalam tenda
yang rangkanya tidak lagi sempurna. Alas tenda basah, sleeping bag lembab dan
perbekalan menipis. Kembali turun dan mengakhiri pendakian sampai di titik ini
bukanlah keinginan kami. Kami akan menunggu sampai besok pagi, kami yakin
besok akan lebih baik dan perjalanan akan dilanjutkan...

Pagi menyapa dengan ramah hari ini. Sudah dua hari kami terjebak tanpa bisa
bergerak sedikit pun. Angin mulai melemah—bahkan pagi ini langit tampak cerah
dan matahari bersinar hangat. Pagi yang indah untuk bisa memulai aktifitas lebih
bebas. Memanfaatkan panas matahari, tenda kami biarkan tanpa penghuni, semua
keluar untuk mengeringkan sleeping bag dan beberapa barang yang lembab dan
basah.
“Kita harus bisa sampai puncak!!” teriak Azis semangat.

“Aku juga ga mau kalau kita harus turun lagi lewat Baturaden. Kita ke puncak
terus turun lewat Bambangan. Sumpah kapok lewat sini…” Baried ikut menimpali.
Wajar kalau Baried enggan untuk melewati lagi jalur pendakian Baturaden, selain
ancaman Lintah, dia tidak mau lagi merangkak di lubang tikus. Badannya yang
besar terlalu mudah untuk tersangkut dan itu membuatnya frustasi.

“Apa tidak sebaiknya kita turun?” kata Iin pelan. Ada kekhawatiran di bicaranya.
Ada yang dia takutkan tentang badai kemarin. “Kalau nanti kita naik, terus ada
angin, badai seperti kemarin, bagaimana?” Iin menambahkan keraguannya. Nada
bicaranya tersendat, perpaduan antara kewajiban untuk sampai puncak dan
kekhawatiran bertemu badai menundukkan keberanian seorang Iin yang setiap
harinya cuek dan tidak pernah mundur pada apapun. Kami terdiam.

Iin benar, badai bisa saja datang lagi, seperti kemarin, batinku.

“Ya kita ngecamp lagi... ” jawab Azis.

”Ngecamp di mana coba? kita nggak mungkin dirikan tenda buat camp di puncak
gunung bro,” Baried menimpali. “Mau mati?!” Baried menambahkan kalimatnya
dengan nada keras.

“Ya kalau nggak bisa ngecamp diatas, kita turun lagi…” Azis masih ngotot dengan
pendapatnya.

“Hei, lupa kamu kemarin gimana. Di daerah kaya gini, yang masih ada pohon aja
susah buat jalan, gimana kalau ketemu badai di puncak gunung. Kamu tau medan
ke puncak gak sih!?” Kali ini bukan pertanyaan yang diucapkan Baried, tapi lebih
sebuah penegasan.

“Kalau sampai jam 9 cuaca bagus, kita bisa lanjutkan perjalanan,” kataku setelah
berkoordinasi dengan Yayak.

“Yakin, Vi?” tanya Iin.

Aku tahu ada keraguan yang bergelayut tegas di matanya. Aku mengangguk. Jauh
di kedalaman hatiku aku juga takut badai itu akan datang lagi. Aku hanya bisa
berdoa semua akan baik-baik saja. Meskipun mimpi semalam dan keberadaan
burung berbulu merah itu masih saja tidak mau beranjak jauh dari otakku.

Kemoloran hari pendakian memungkinan kami akan bertemu dengan tim


Kaliwadas II yang berangkat satu hari setelah kami. Sedangkan tim Baturaden I
dan Kaliwadas I kemungkinan besar sudah berhasil melintas puncak Tugu Surono
dan kembali ke Jogja. Ada tanggung jawab yang harus kuselesaikan, tim
Baruraden II harus berhasil mencapai puncak, turun melalui jalur Bambangan dan
kembali ke jogja. Begitu seharusnya. Jika kami kembali turun melalui Baturaden,
tanpa pernah menyentuh Tugu Surono sebagai puncak tertinggi Gunung Slamet, itu
artinya kami gagal mendapatkan keanggotaan kami. Perjalanan ini sudah kami
persiapkan lebih dari 2 bulan. Semua butuh perjuangan dan pengorbanan. Masih
terlintas jelas bagaimana kami harus setiap hari bertemu untuk koordinasi, latihan
fisik dua kali seminggu selama dua sampai tiga jam, menyisihkan sebagian uang
kuliah untuk biaya pendakian, dan berkejaran dengan tugas kuliah, semua kami
lakukan agar pendakian ini bisa berjalan. Meskipun pada akhirnya, tim yang
berangkat tidak sempurna, tanpa Noel, dan pada pelaksanaannya, tidak seindah
yang kami bayangkan…

Setelah briefing yang cukup lama. Dengan pertimbangan dan pemikiran yang
cukup matang, kami siap melangkah lagi. Cuaca yang cukup cerah terlalu sayang
untuk disiakan. Kami tidak tahu sampai kapan cuaca seindah ini akan menemani
langkah kami.

“Kita butuh waktu kurang lebih 3 jam untuk sampai di puncak gunung. Itu
perkiraan, kita ambil air dulu sebelum naik ke atas,” kata Yayak.
“Di dekat batas vegetasi ada cerukan. Kita bisa ambil air di sana,” kataku.

“Jam 2 kita harus sudah jalan turun ke Bambangan. Lebih cepat lebih baik…”
Yayak menambahkan.

Dari beberapa cerita teman yang sering melakukan pendakian, puncak gunung
akan berkabut setelah jam 1 siang. Berbahaya jika terjebak kabut di puncak
gunung. Selain tersesat karena setapak yang tertutup kabut, kita juga bisa tersesat
karena banyak jalur untuk turun dan jalurnya hampir sama; pasir, tanah dan
bebatuan.

Mengingat jalan untuk menuju puncak tertinggi Gunung Slamet berada di bibir
kawah, kami sepakat untuk menghindari puncak berkabut. Pendakian pun
dilanjutkan dengan timbunan semangat yang sudah terhalang oleh badai dua hari
kemarin. Istirahat yang terlalu lama membuat badan kami terasa pegal, tapi itu
bukan halangan. Dengan sedikit pemanasan, rasa pegal akan hilang.

Menapaki setapak menuju batas vegetasi, hutan yang kami lalui sudah tidak
serapat sebelumnya. Tidak ada lagi pohon-pohon raksasa dan lintah di tanah basah.
Yang terhampar hanya ilalang dan pohon – pohon berbatang kecil yang tumbang.

Pukul sepuluh siang kami tiba di pertigaan jalur Baturaden dan Kaliwadas. Tidak
ada jejak dari tim Kaliwadas II. Perkiraan kami akan bertemu di pertigaan ini.
Namun yang kami temukan hanya tali rafia merah terikat di satu pohon, di
dekatnya ada bekas api unggun dan sedikit sampah organik—sampah dari tim
Baturaden I. Jejak yang sama dengan yang kami temukan di sepanjang jalur
pendakian kemarin.

Sampai di batas vegetasi, sudah tidak ada lagi pohon pelindung, tidak ada lagi
halangan untuk menatap kegagahan Gunung Slamet. Sejauh mata memandang
hanya bongkahan batu dan tanah berpasir. Berpayung langit biru dan tersaput
kabut tipis, puncak Slamet terlihat elok. Meskipun jurang-jurang kecil menganga
di setiap alur badan gunung, tapi itu bukan untuk ditakuti. Karena di dasarnya kami
bisa mendapatkan air sisa hujan kemarin. Lekukan – lekukan yang menakjubkan.

“Ole…le…!” Terdengar teriakan nyaring dari dalam hutan. Itu suara dari tim
Kaliwadas II. Tidak berapa lama satu demi satu anggota tim Kaliwadas II
bermunculan. Dengan cover carier warna warni yang cukup mudah dikenali.

“Woi… pa kabar? Kirain dah nyampe Bambangan, masih disini juga rupanya?”
Doni memberi salam. Meskipun belum ada satu minggu kami tidak bertemu,
pertemuan hari ini seperti pertemuan yang sudah lama tidak terjadi.

“Gimana mau jalan, kemarin kehadang badai separah itu...” kataku menjelaskan.

“Iya, kemarin kita juga sempet ketahan, tapi cuma semalem... Lho yang lain pada
kemana neh? kok Cuma kalian bertiga, Azis ma Baried mana?”

”Ole..le…ayo kita jalan lagi. Kita tunggu di atas bro!” teriak Azis setelah selesai
mengisi botol-botol kosong dari air di cerukan.

“Tuh mereka, ngambil air di cerukan,” kataku sambil menunjuk kearah Azis dan
Baried yang berada 20 meter di atas batas vegetasi. Azis dan Baried menyandang
kembali carier mereka dan meninggalkan beberapa botol kecil untuk bekal di
perjalanan.

“Woi, kami jalan duluan!” teriak Azis bersemangat. Belum aku memberikan
jawaban, mereka sudah melangkah.

“Ayo, kita jalan lagi, lama-lama diam bisa tambah dingin,” ajak Iin. Dia
melangkah pelan meninggalkan aku dan Yayak. Tidak ada salahnya juga kami
jalan agak berjauhan, selama masih bisa melihat satu dengan yang lain. Jarak yang
terlalu dekat kadang justru berbahaya untuk kami. Batuan gunung ini meskipun
terlihat kokoh sebenarnya sangat rapuh dan labil. Salah ambil pijakan batu-batu itu
akan rontok dengan mudah. Kami bisa terperosok kapan saja, dan rock fall menjadi
ancaman yang menakutkan bagi pendaki.
“Kami jalan duluan, atau kita mau sama – sama jalan ke atas?” aku menawarkan
diri mengajak tim Kaliwadas II untuk bersama-sama.

“Yakin kalian mau ke atas sekarang?” Doni berbisik kepadaku. Aku mengangguk
dengan mata berbinar yakin.

“Kalau kalian mau, kita jalan bersama, tapi kami istirahat dulu sebentar,” Teo salah
satu anggota tim ikut bicara. Aku memandang jauh kearah ketiga temanku yang
sudah berjalan naik menapaki bebatuan Gunung Slamet. Mereka sudah cukup jauh
untuk dipanggil kembali. 

“Kami jalan pelan-pelan aja deh, kalian menyusul segera ya...” kataku.

“Ok, sampai ketemu di Tugu Surono. Hati – hati ya…” balas Doni.

Langkahku berlanjut menyusul Iin, Baried, dan Azis yang sudah jauh di depan.
Sesekali aku kembali menatap ke bawah, tim Kaliwadas II masih terlihat istirahat
di batas vegetasi.

“Vi, kita jalan lebih cepat, aku khawatir dengan mereka…” tiba tiba Yayak
melangkahkan kakinya lebih lebar. Dia terlihat lincah menapaki bebatuan, tidak
ada satupun yang runtuh karena pijakannya. Batunya yang benar-benar kokoh atau
kelihaian dia mencari pijakan? Entahlah. Langkah kami merapat pada Iin. Kulit
putihnya memerah terbakar matahari dan bibirnya bergetar oleh dingin.

“Kalian susul Azis dan Baried, aku akan mengikuti kalian,” kata Iin terbata. Aku
menatap ke atas gunung, Azis dan Baried semakin jauh dari kami.

“Zis, Ried… berhenti!!” teriakku. Kugunakan juga peluitku untuk menghentikan


langkah mereka. Sia – sia.Terpaksa kami harus mempercepat langkah.

“Aku kejar mereka, aku khawatir—mereka belum tahu jalan dan medan di
puncak,” kata Yayak.

Aku dan Iin menggangguk. Yayak bergegas menyusul Azis dan Baried. Perasaan
khawatir dan kecepatan Yayak berjalan membuat beberapa batu yang dipijaknya
runtuh, beberapa kali dia terpeleset. Yayak masih terus berjalan. “Hoi, berhenti!!”
teriaknya keras.

Azis dan Baried yang hanya berjarak 15 meter dari Yayak. Azis sudah tidak lagi
menggunakan sandal gunungnya. Dia nekat membiarkan kakinya menapaki
bebatuan tanpa alas. Sandal gunung kebanggaannya diikat di samping carier,
dengan satu sisi yang telah putus pengaitnya. Mereka bertiga kemudian berhenti
menunggu aku dan Iin yang berjalan amat pelan. Semakin ke atas udara semakin
dingin, oksigen semakin menipis dan perbekalan yang seolah tidak pernah
berkurang beratnya bersandar di punggung kami. 

Menghela napas sebentar. Tim Kaliwadas II sudah terhalang oleh batuan dan kabut
yang mulai beranjak naik menyelimuti badan gunung.

“Yak, kabut lagi,” kataku pelan.

Yayak mengangguk, mengiyakan. Kami sudah berada jauh diatas badan gunung,
puncak tidak jauh lagi. Kami akan lanjutkan perjalanan sebelum kabut semakin
tebal. Sambil istirahat dan berlindung dari panas matahari di balik batu yang agak
besar, Azis memperbaiki sandalnya dengan tali frusik. Dia tidak boleh berjalan
tanpa alas kaki. Batu dan pasir yang tajam akan sangat mudah melukai kulit
kakinya. Kami tidak ingin itu terjadi.

“Kamu tuh bener – bener gila. Bisa – bisanya naik gunung tanpa alas kaki.
Pelajaran buat kita semua. Merepotkan!” Iin bergumam. Kami tahu kalimat itu
ditujukan untuk Azis meskipun Iin tidak secara langsung menyebutkan nama.

Azis tidak menanggapi, dia sudah benar-benar merasakan payahnya naik gunung
dengan sandal. Walaupun namanya sandal gunung, itukan cuma di iklan televisi.
Dengan medan berbatu, berpasir dan lereng yang curam konyol namanya jika tidak
membekali diri dengan perlengkapan standar pendakian. Azis kembali memakai
sandal gunungnya. Agar tidak lepas dan lebih nyaman dia menggunakan kaos kaki
agak tebal.

Perjalanan dilanjutkan. Kali ini aku di depan, diikuti Iin, Baried, Azis dan paling
belakang Yayak. Bibir kawah Gunung Slamet sudah terlihat meskipun untuk
sampai disana masih butuh perjuangan dan tenaga ekstra. Lereng semakin curam,
tidak terlalu banyak batu untuk pijakan, hanya permukaan berpasir, dan kami harus
berjalan menyamping agar tidak terpeleset. Seringkali untuk menjaga
keseimbangan kami harus berjalan membungkuk. 

Langkahku terhenti, mendadak dadaku terasa amat panas. Kuambil air minum di
daypack, seteguk yang menyegarkan.

“Kenapa, Vi?” tanya Iin.

Aku menggeleng, memberi isyarat baik-baik saja. Sengaja aku tak ingin terlalu
banyak bicara, tahu kondisiku mulai menurun. Di detik itu, ketika kaki terasa berat
untuk melangkah, beban carier rasa-rasanya ingin kutinggalkan, dan tubuhku ingin
sejenak direbahkan, sayup-sayup kudengar suara adzan. Kabut tersingkap perlahan,
aku lihat langit begitu cerah, biru tanpa awan dan suara adzan terdengar makin
jelas.

“Kita berhenti dulu sebentar. Dengerin adzan dulu,” kataku menghentikan langkah
Baried, Azis dan Yayak. Keempat sahabatku berhenti, diam, dahi mereka berkerut,
pandangan mereka jauh ke bawah gunung.

“Mana kedengeran suara adzan di puncak gunung kaya gini, Vi,” Baried memecah
keheningan. Seketika dia melangkah diikuti Azis dan Iin.

“Iya, aku denger suara adzan, kamu juga denger kan, Yak?” kataku meyakinkan
mereka. 
Heran, Yayak tidak menjawab sepatah katapun. Dia mendekat ke tempat aku
berdiri. Aku masih mendengar suara itu, sangat jelas. “Ayo, sebentar lagi sampai di
bibir kawah” ajak Yayak.

Aku tidak mengerti mengapa tidak seorang pun yang mendengar suara adzan duhur
itu. Diselimuti rasa penasaran aku melangkah mengikuti jejak yang ditinggalkan
Yayak. Aku memaksa mendahuluinya saat langkahnya terhenti untuk
menungguku.

“Aduh!” terdengar Baried berteriak. Sesuatu terjadi padanya.

“Kenapa?” tanyaku khawatir.

“Gak papa, mataku kemasukan pasir,” Baried menjelaskan sambil mengucek


matanya. Azis mencoba membantu dengan meniup mata Baried. Sekali dua kali
hingga berkali kali tidak berhasil. “Udah, gak papa, dah agak mendingan…” kata
Baried. Meskipun bilang sudah agak mendingan, tapi matanya masih merah dan
dia masih terus mengedip-ngedip cepat.

Debu yang menggangu mata Baried sepertinya bukan debu biasa. Karena
konsentrasi tertuju pada mata Baried, kami tidak menyadari kabut datang dengan
sangat cepat. Kabut yang bergerak tertiup angin sangat jelas. Angin kencang
bergemuruh menyergap.

“Cepat berlindung di batu itu,” Yayak berteriak sambil menunjuk ke sebuah batu
besar 20 meter di atas posisi kami. Azis dan Iin berjalan menunduk menahan
keseimbangan. Angin bisa menerbangkan kami setiap saat.

“Cepat!” teriakku.

Angin berhembus semakin kuat. Awan bergerak cepat bersimpangan arah. Badai!
Azis dan Iin masih terus berusaha merapat di batu besar yang ditunjuk Yayak. Batu
itu cukup besar dan aman untuk berlindung kami berlima. Aku, Baried dan Yayak
masih berlindung di batu yang tidak terlalu besar sambil terus memperhatikan
langkah Iin dan Azis dengan cemas. Kami akan bergerak menyusul mereka setelah
mereka mencapai tempat yang aman.

Aku melihat Azis mulai kelelahan, berkali-kali dia terpeleset hingga satu sisi
sandalnya terlepas dan jatuh ke dasar cerukan yang tidak terlalu dalam. Dengan
beban carier yang semakin berat tertiup angin, Iin harus menuntun langkah Azis.
Tangan Azis menggenggam tangan Iin dengan kuat. Ketakutan mulai membayang
di wajah Indo-Arabnya. Melihat keadaan ini kami segera menyusul. Yayak
mengambil langkah di depan untuk membuka jalan. Dia berjalan menyilang ke
kanan dan membuat jejak menyerupai anak tangga dengan sepatunya.

“Ikuti jejak!” katanya keras.

Aku dan Iin mengikuti Yayak sementara Baried membantu Azis di belakang. Kaki
Azis terluka. Setibanya di batu besar, aku dan Iin memeriksa luka di kaki Azis.
Kami tahu balutan yang kami berikan hanya akan bertahan sebentar, tapi hanya itu
yang bisa kami lakukan.

“Biar, tar dibungkus pakai plastik aja deh...” kata Azis menyadari sebelah
sandalnya hilang. 

Kami saling pandang mendengar perkataan Azis. “Sandal aja lepas, gimana plastik,
hancur kali…” Baried menimpali.

“Sepatu kamu bisa dikeluarin nggak, Ried?” tanyaku.

Baried dengan tegas menggeleng. “Aku taroh di paling bawah, harus bongkar
carier dulu!” 

“Puncak masih jauh, Yak?” aku memastikan. “Kita tetep harus bergerak kan? Kita
ga mungkin selamanya diam di sini.”
“Pasti, 10 meter di depan kita sampai bibir kawah, kita ambil jalan ke kanan
sampai di Tugu Surono. Disana lebih luas dan landai,” Yayak memberikan arahan.

Semoga angin ini cepat mereda, harapku dalam hati. Kami masih diam menunggu
badai melemah. Kami tahu kami sudah terjebak, tapi kami akan berusaha untuk
lepas dari jebakan angin dan kabut gunung ini. Kami tidak tahu apa jadinya kalau
batu ini tidak ada.

Menjelang pukul setengah satu siang angin melemah dan kami memutuskan untuk
segera menjangkau Tugu Surono. Tidak seperti yang kami bayangkan, 10 meter
terasa sangat jauh— medan berpasir dan lereng yang sangat curam, ditambah
kelelahan dan kedinginan. Sepuluh meter harus dilalui dengan perjuangan, napas
mulai tersengal akibat kadar oksigen yang menipis.

Kali ini Iin di depan, dibelakangnya ada aku, Baried, Azis dan Yayak. Kami tiba di
bibir kawah yang terselimuti kabut. Kalau saja hari cerah, kami bisa menikmati
keindahan dan luasnya kawah Gunung Slamet. Kami melanjutkan langkah ke
kanan menuju Tugu Surono. Meskipun jalan yang kami lalui cukup landai tapi
kami tidak bisa berjalan dengan tegak. Selayaknya angin di puncak gunung, angin
masih berhembus cukup kencang. 

“Allohu Akbar!” teriak azis begitu kami sampai di Tugu Surono, puncak tertinggi
Gunung Slamet.

Kami berkumpul, merebahkan diri sesaat, bersandar di Tugu Surono yang tidak
terlalu tinggi. Mengabadikan yang sudah diperjuangkan, Azis mengeluarkan
kamera poketnya. Dan beberapa gambar menjadi saksi pendakian kami di Gunung
Slamet.

“Pesta puncak…” Iin mengeluarkan roti tawar lengkap dengan selai kacangnya dan
sebotol Fanta merah. Ajakan yang menyenangkan. Disela-sela menikmati pesta
puncak, sesuatu menarik perhatianku. Aku melihat sisa pembakaran dan sampah
yang berserakan.

Mungkinkah ada yang mendirikan camp di puncak ini? batinku tidak percaya.
Sangat jarang bahkan tidak pernah ada pendaki yang nekat mendirikan camp di
puncak gunung, di titik tertinggi apalagi. Terlalu berbahaya. Angin bisa
menerbangkan mereka setiap detik. Dingin akan dengan mudah menyerap panas
tubuh mereka, artinya ancaman hypothermia sangat besar.

Rasa heran dan tidak percaya masih menyelimuti benakku. Belum terjawab bahkan
belum sempat kutanyakan pada Yayak, pendamping pendakian ini, tiba-tiba angin
bertiup sangat kencang membawa hawa dingin yang menusuk. Pasir berterbangan
menyisakan perih di kulit ari. Badai datang lagi, dan kali ini bukan main-main.
Kami segera mengemasi barang – barang. Azis yang sedang berpose di bibir
kawah secepat kilat menuju ke arah kami di Tugu Surono, begitu juga dengan
Baried. Aku dan Iin siap dengan carier di punggung, sementara Yayak masih sibuk
mengeluarkan tali rescuenya.

“Jalan ke kanan, turun!” kata Yayak memimpin. Aku dan Iin berjalan sesuai
petunjuk.

“Kanan!” kataku berulang.

Kepanikan membuat Iin berjalan sangat cepat, jauh di depanku. Kabut datang
sangat tebal menghalangi pandangan. Jarak pandang sangat dekat. Kuhentikan
langkahku, aku tidak mau kabut ini menyesatkan.

“In, berhenti!” teriakku. Aku berharap suaraku terdengar olehnya diantara gemuruh
yang menderu. Tidak berapa lama, Baried muncul mengejutkanku.

“Azis sama Yayak mana?” tanyaku. Aku tidak mau ada yang terpisah.

“Belakang,” jawab Baried singkat.


“Kita tunggu mereka,” kataku.

“Iin mana? Aku susul dia ya…” Baried berjalan lagi untuk mencari Iin.

“Begitu bertemu Iin, kalian stop, berhenti!”

Selang tidak lama, Azis muncul bersama Yayak. Mereka mengikat diri dengan tali
kernmantel yang tidak begitu panjang. Lega melihat mereka datang.

“Ikat tali ini ditubuhmu, tali ini yang akan menyatukan langkah kita. Kita gak akan
terpisah,” kata Yayak.

Tanpa pikir panjang aku meraih ujung tali dan mengikatkan di tubuhku. Angin
sangat tidak bersahabat, kabut semakin tebal, gelap dan pasir kerikil terus
menghujani langkah kami. Pelan, tertatih dan terus berusaha untuk menemukan
posisi Iin dan Baried. Peluit sesering mungkin kami bunyikan sebagai alat
komunikasi. Kami melangkah dalam diam, tidak ada yang bersuara. Wajah dan
bibir kami bergetar kencang menahan dingin dan rasa perih. Angin menderu di
kedua telinga.

“Hoi…!” terdengar teriakan dari arah depan. Itu suara Iin dan Baried. Kami segera
menuju arah suara mereka. Kerjasama yang bagus, Baried dan Iin rupanya telah
mengikat tubuh mereka dengan frusik yang selalu kami bawa. Tali 1 meter itu
telah menyatukan mereka. Kami berkumpul utuh kembali. Saatnya memulai
perjalanan untuk turun menuju Bambangan.

Yayak berjalan di depan, mencari jalan turun ke Bambangan.

“Tanah berpasir ke kanan,” katanya memberi petunjuk pada yang lain.

Kami terus ke kanan, menemukan tanah berpasir yang cukup landai, dan
mengambil ke kanan lagi. Namun, tiba-tiba Yayak menghentikan langkahnya.
Kami semua ikut berhenti. Kekhawatiran kembali menyapa pikiran kami.
“Kenapa, Yak?” Azis memberanikan diri bertanya. Yayak tidak menjawab sepatah
kata pun. Pastinya situasi ini membuat kami kebingungan dan tidak mengerti.
Tidak biasanya Yayak seperti ini. Dia selalu memberikan jawaban dan penjelasan
yang menenangkan kami.

Yayak mengeluarkan peta dan kompasnya. Tapi dia melipat kembali peta itu dan
segera menyimpannya di dalam tas kecilnya.

“Kita ambil jalan mana, Yak?” kali ini Baried ambil suara. Lagi-lagi tidak ada
jawaban. Kondisi ini membuat kami frustasi.

“Yak, ngomong dong, kenapa sih?” kataku menahan emosi, mendesak Yayak
untuk bicara. Aku sendiri bisa gila kalau Yayak bertingkah seperti itu. Seburuk
apapun semua harus dikatakan.

Iin mengunci mulutnya, matanya nanar menatap kabut yang menyelimuti


ketinggian ini, bibirnya bergetar menahan dingin, hingga akhirnya dia merebahkan
tubuhnya ke tanah berpasir yang basah. Iin memeluk erat lututnya berharap
kehangatan akan menenangkan galaunya.

“Yak, kita kehilangan jalan ya?” Azis menerka.

“Ngomong dong, kamu ga lihat kondisi Iin seperti itu? kalau kamu diam dan kita
semua diam berdiri di sini, bisa mati kedinginan tau!” Baried tampak emosi
menanggapi aksi diam Yayak.

Kudekap Iin, berharap dia bisa bangkit lagi. Sekedar berbagi kehangatan dan
mengikis kegelisahan.

“Kita istirahat dulu… Di bawah ada cerukan, mungkin disana ada air.” Akhirnya
Yayak bersuara meskipun kalimat yang dia katakan bukan jawaban yang kami
harapkan.
Sampai di cerukan, tali yang mengikat tubuh kami lepaskan agar lebih leluasa
istirahat. Kuhempas carierku sekedar memberi napas pundakku. Iin melepaskan
carier dan memeluknya erat, Azis memuaskan diri dengan minum air dari cerukan,
Baried membongkar isi cariernya dan mengeluarkan sepatu untuk Azis. Yayak
kembali mengeluarkan peta dan kompasnya. Kami coba untuk tahu posisi kami
dipeta, barangkali itu akan membantu kami menemukan jalan turun ke
Bambangan.

“Orientasi medan di cuaca berkabut mana bisa, Yak…” terdengar suara dari atas
cerukan. Itu suara Yudi, pendamping tim Kaliwadas II. 

Satu persatu teman-teman dari Kaliwadas II muncul dari balik kabut tebal.
Kemudian mereka bergabung istirahat di cerukan yang sempit. Puncak Gunung
Slamet menjadi lebih ramai, tidak sesepi saat kami hanya berlima. kedatangan tim
Kaliwadas II membangkitkan semangat kami lagi. Emosi yang sempat mewarnai
tim pun mencair, semua kembali tenang, meskipun kekhawatiran tersesat dan
terjebak badai di puncak gunung tetap saja menghantui.

Setelah mengobrol singkat, akhirnya aku dan Doni sepakat untuk membawa tim ini
bergabung, jalan bersama-sama.

“Kita tidak bisa melanjutkan perjalanan dengan cuaca seperti ini. Jalan untuk turun
saja kita tidak tahu, bagaimana bisa lanjutkan ke Bambangan,” Yudi membuka
rencana.

“Tapi kita juga tidak bisa buka camp di sini,” Yayak menimpali. Kemudian mereka
terdiam. 

Kami pun tidak tahu apa yang harus dilakukan dalam situasi seperti ini. Ini
pendakian pertama kami di Gunung Slamet. Dan sepertinya tidak ada seorang pun
dari kami yang pernah mengalami situasi terjebak badai di puncak gunung dan
tidak tahu pasti jalan untuk turun. Itu masalahnya.
“Kita coba jalan lagi, siapa tahu jalan turun itu kita temukan,” Hakim, pendamping
lain tim Kaliwadas II menyampaikan pendapatnya. Kami menyetujui pendapat itu.
Cerukan sempit berair itu kami tinggalkan, langkah kami merapat satu sama lain.
Tidak ingin terpisah dan tertinggal sendirian, kami paksa mulut ini untuk bicara
dan sekedar berbagi cerita, apapun agar kesunyian tidak lagi mewarnai ketinggian
gunung ini. Agar gemuruh tidak terlalu mengganggu pendengaran kami.

Kami jalan ke kanan, terus ke kanan sampai suatu ketika langkah kami terhenti di
sebuah tanah berbatu yang agak datar. Seketika kami semua diam, kami saling
pandang, beberapa batu nisan memoriam terpasang di sana. Bulu kuduk kami
berdiri, kami tidak menyangka langkah ke kanan dan terus ke kanan membawa
kami ke kompleks memoriam ini.

“Jalan lagi yuk,” Agni, salah satu anggota tim Kaliwadas II menarik tanganku
menjauh dari memoriam yang berada tepat di depan kami. Aku mengikuti
ajakannya. Rupanya hal serupa juga terjadi pada Iin, Azis dan teman – teman lain.

“Kalian tunggu di sini, aku coba cari jalan,” Hakim mengalihkan perhatian kami.
Tidak ada sahutan, hanya anggukan dari Yayak dan Yudi.

“Yak, mau tidak mau kita harus buat camp di sini. Sudah lewat jam 2 siang, kabut
semakin tebal. Badai ini terlalu beresiko untuk dilalui.”

“Iya, kita cari tempat yang agak terlindung. Dan jangan di sini. Tapi kita tunggu
Hakim datang, mungkin dia menemukan jalan”.

“Gimana, Kim?” tanya Yayak dan Yudi bersamaan begitu Hakim datang. Dari
rautnya terlihat jelas, dia tidak menemukan petunjuk jalan untuk turun.

“Nol. Terlalu bahaya untuk gambling turun. Kita dirikan camp di sini,” jawab
Hakim.
“Jangan disini, teman-teman udah ketakutan liat memoriam yang tersebar kaya
gini. Kita cari tempat lain.”

Kami tinggalkan kompleks memoriam dan semua kejadian yang memaksa sekian
banyak nama itu terukir di nisan dan terkubur di ketinggian sedingin ini.

Akhirnya kami menemukan tanah datar berbatu. Tidak cukup luas untuk
mendirikan 3 tenda selayaknya. Terpaksa, kami hanya mendirikan dua tenda, satu
untuk tim Kaliwadas II, satu untuk tim Baturaden II. Badai masih saja
menerbangkan pasir dan bebatuan. Semakin sore, badai semakin kuat berhembus,
gemuruh menyambut hari yang beranjak gelap.

Azis mengeluarkan tenda dari dalam cariernya. Berpacu dengan tiupan angin yang
menghempas kain tenda membuat kami kesulitan membentangkan untuk
dipasangkan frame. Satu tenda kapasitas 4 orang itu memaksa kami untuk
mengerahkan semua tenaga.

“Carier masukkan dulu!” kata Yayak.

Aku dan Iin segera mengikuti perintah Yayak, carier kami masukkan ke dalam
tenda sekedar pemberat. Setelah semua carier masuk, frame penyangga mulai kami
pasang. Malang, angin terlalu kuat untuk di lawan, frame hancur dan tak bisa lagi
digunakan.

“Don, ada tenda lagi nggak? Tendaku framenya hancur!” kataku keras pada Doni
yang masih sibuk dengan tendanya. Gemuruh angin membuat kami harus
berteriak.

“Ada satu tapi cuma kapasitas 2 orang!” balasnya.

“Ried, kamu ambil tenda satunya,” kataku kemudian.

Baried membongkar isi cariernya. Tenda itu tersimpan agak kedalam, sehingga
cukup menyulitkan. Aku tahu tenda Baried terlalu kecil untuk menampung kami
berlima ditambah dengan carier sebesar ini. Tapi apa boleh buat, hanya itu yang
tersisa.

Pukul setengah tiga sore. Langit gelap dan angin bertiup semakin keras. Kami
terdiam di dalam tenda, tidak ada cerita. Semua sibuk menata badan karena tenda
yang terlalu kecil. Hembusan angin menggoyang tenda kami, frame tenda meliuk
terasa seperti cambukan menghantam tubuh. Carier yang digunakan untuk
menahan frame tenda agar tetap berdiri rupanya terlalu ringan. Beberapa kali carier
yang kami tumpuk itu jatuh membuat ruang tenda menjadi semakin sempit dan
menyiksa.

“Kita atur lagi cariernya,” aku mencoba membuyarkan pikiran kalut dan
kegelisahan sahabat-sahabatku. Aku tahu pikiran mereka barangkali tidak terlalu
berbeda dengan pikiranku. Ketakutan dan kekhawatiran mereka pastinya juga tidak
jauh seperti apa yang aku takutkan.

Carier kami tata mengisi masing-masing sisi tenda, dan untuk menahan frame agar
tidak patah, kami duduk di atas carier menyudut di sudut tenda. Posisi yang sangat
menyiksa.

“Ole…le…!” terdengar teriakkan dari tenda Doni. Kami membalasnya dengan


teriakan yang sama.

“Jaga komunikasi ya!” teriak Hakim.

“Sip!” teriak Yayak.

Semakin waktu bergerak mendekat malam, cuaca semakin buruk. Angin tidak
hanya membawa terbang pasir dan bebatuan, air pun dia bawa membasahi tanah
tempat kami mendirikan camp darurat. Gerimis diikuti hujan yang cukup deras.
Situasi bertambah buruk ketika Azis mulai ngomel tidak karuan, penyesalan telah
mengikuti pendakian ini. Baried dan Iin merapatkan tubuh dan lututnya mencari
kehangatan. Aku dan Yayak hanya saling pandang melihat kondisi mereka.
Sesekali aku bersenandung lagu badai pasti berlalunya Chrisye, seolah bertanya
pada alam kapan badai ini akan berlalu, mencoba meyakinkan diri sendiri dan
orang-orang di sekitarku kalau badai pasti berlalu. Walau aku sendiri tidak tahu
kapan.

“Masak… masak… buat hiburan!” Yudi kembali berteriak dari dalam tendanya.
Aku melirik jam di tanganku, setengah enam sore. Sepertinya Azis kecapekan
ngomel, dia terlihat tidur, atau tepatnya memaksa untuk bisa tidur. Aku dan Iin
menyiapkan makan malam.

Terlalu sulit untuk bisa memasak nasi dengan paraffin. Kami tidak mungkin
memasak di luar tenda, semua aktifitas dilakukan di dalam tenda, dan asap paraffin
terlalu berbahaya untuk pernapasan kami.

“Kita masak yang praktis aja, Vi,” kata Iin menyadari keterbatasan dan kesulitan
untuk memasak sempurna. Aku mengangguk setuju. Kompor disiapkan untuk
memanaskan air. Yayak membantu menyalakan api dengan batang koreknya.
Berkali dicoba sampai batang korek itu habis, kompor masih belum menyala. Kami
menghela napas panjang menahan emosi dan frustasi.

“Kita coba lagi,” kataku.

“Udah deh, kelamaan, langsung dimakan aja mienya,” kata Baried tiba-tiba sambil
merebut mie instan dari tangan Iin.

“Kok gitu sih, Ried,” protes Iin.

“Daripada makin kelaparan ngurusin kompor, langsung dimakan aja. Begini juga
enak.”

“Iya, tapi kalau bisa dimasak kan bisa lebih kenyang.”


“Mau kenyang? Kaya gini caranya…” Baried menuangkan bumbu mie instant,
kemudian mencampurnya di dalam bungkus kemasan. Dia ambil mie mentah itu,
memakannya dan sesaat kemudian dia mengambil air minum, meneguknya sampai
habis. “Kenyang!” katanya mengakhiri.

“Kalau kaya gitu makannya, yang ada bukan kenyang, tapi kembung,” gumam Iin.

Kami semua merasa putus asa. Kompor tak lagi bisa menyala, suhu di ketinggian
ini seolah telah membekukan dan menyumbat aliran dari tabung gas. Terpaksa,
kami makan mie instant itu mentah-mentah.

“Zis, makan dulu.” Iin membangunkan lelap Azis.

Azis dengan cepat menerima mie instant mentah yang dibagikan Iin. Kami tidak
tahu akan sampai kapan kami bertahan. Bekal makanan cadangan sudah digunakan
kemarin. Hanya tersisa makanan ringan dan bahan minuman, dan segelas beras sisa
cadangan kemarin. Kalau besok hari cerah, sisa bekal itu masih cukup dan kami
masih bisa bertahan sampai di Bambangan. Aku terus berdoa dan berharap hanya
untuk malam ini saja menunggu pagi di puncak Gunung Slamet.

Aku mulai putus asa. Angin telah memorakporandakan tenda kami. Panci berisi air
yang sedianya akan kami masak, tertiup angin dan tumpah membasahi alas tenda.
Kedinginan yang menusuk. Mencoba untuk terus terjaga meski lelah dan kantuk
menyiksa. Meskipun tidak nyaman, Iin, Azis dan Baried coba memaksa untuk
merebahkan diri dan tertidur.

“Tidur aja, Vi,” Yayak menyarankan. Sepertinya dia memperhatikan aku yang
menguap menahan kantuk berkali-kali. Aku menggeleng, aku tidak akan
membiarkan dia terjaga sendiri. Kami coba menghalau sepi dengan berbagi cerita
seadanya.

“Kesampaian juga keinginanmu ngecamp di puncak...” katanya membuka obrolan.


Aku tersenyum, teringat rencana pendakian yang aku susun sebelum presentasi
kesiapan pendakian.

“Iya, ya… ternyata kaya gini rasanya ngecamp di puncak nunggu sunrise,” kataku
malu-malu, karena aku kemarin coba mempertahankan rencana dan keinginanku
untuk bisa melihat sunrise di puncak gunung sepagi mungkin. Sunrise yang
sempurna.

“Terus kenapa kemarin mau disarankan ngecamp di bawah?” tanya Yayak


menyelidik.

Pertanyaan yang tidak penting, pikirku. Aku tahu alasanku tidak akan memuaskan
Yayak. Jawabanku bukan jawaban logis seperti yang dia harapkan. Semua berawal
dari mimpi. Mimpi yang mengganggu tidurku di dua hari sebelum hari pendakian.
Masih jelas tergambar cerita mimpi itu. Di mana aku dan beberapa orang teman,
yang aku tidak begitu jelas siapa, melakukan perjalanan ke suatu desa yang sangat
terpencil. Ketika kami akan memasuki desa tersebut, tiba-tiba terdengar suara
gemuruh. Penduduk desa berlarian. Kami tidak tahu apa yang terjadi. Kami terus
melanjutkan perjalanan kami. Mimpi itu hanya sampai disitu, tapi berulang dengan
cerita yang sama. Sempat terbersit mimpi itu ada hubungannya dengan pendakian
ini, diyakinkan lagi dengan cerita Pak Heri tentang wingitnya hutan Gunung
Slamet dan gemuruh dari puncak gunung.

Tapi aku tidak pernah menceritakan mimpi itu. Rencana pendakian tetap berjalan
hingga tiba di puncak gunung ini. Seharusnya kemarin aku mendengarkan hatiku!
Seharusnya kemarin aku ceritakan mimpiku, bukan menyimpannya dalam hati dan
membawanya dalam perjalanan ini. Seharusnya! Seharusnya aku bisa menahan
Azis yang memaksa naik lebih dulu, setelah Doni melarang kami untuk ke
puncak...

“Vi, kok malah ngelamun sih…” suara Yayak mengejutkanku.

“Hujan sepertinya makin deras,” kataku datar. “Setengah sebelas,” lanjutku. Pagi
masih terlalu lama untuk dinanti. Kurasakan jaketku mulai basah, air hujan
meresap masuk dari kain tenda. Iin terbangun dari tidurnya, diikuti Azis dan
Baried.

“Waduh, basah semua,” kata mereka hampir bersamaan.

Frame tenda yang semula ditahan oleh tubuh Baried rupanya patah, air dengan
mudah masuk ke dalam tenda. Kami coba untuk bertahan, duduk berjongkok di
atas carier, air hujan sudah menggenang di dalam tenda. Tengah malam yang
menyiksa. Kami sudah tidak kuat lagi menahan frame tenda yang semakin kuat
menghantam pundak dan bahu kami. Satu persatu frame itu patah, pecah, hancur
dan ambruklah tenda kami.

“Ole… le… Yud, Kim!!” Yayak berteriak memanggil Yudi dan Hakim. Tenda
Doni terlihat sunyi. “Rescue!!” teriak Yayak lagi. Azis dan Baried mencoba
menahan kain tenda dengan tangan mereka, sedikit memberi ruang untuk bertahan.
Tidak terdengar sahutan.

“Tenda hancur, Rescue!” akhirnya kami semua berteriak. Samar samar terlihat
nyala lampu senter dari tenda Doni. Suara riuh menggema di tengah kegelapan dan
gemuruh suara angin. 

“Ok, kalian pindah!” suara Hakim memberikan jawaban.

Satu per satu kami keluar tenda. Hawa dingin menusuk menyisakan rasa perih.
Angin berhembus sangat kuat, kami harus berjalan membungkuk agar tidak
terhempas oleh angin. Gelap yang pekat membuat kami kesulitan menemukan
letak pintu tenda. Beberapa kali kami berjalan memutari tenda. Berjalan malam
tanpa alas kaki, diterjang angin, menahan dingin, dengan pakaian yang basah.
Lengkap sudah penderitaan kami.

“Don, senter di pintu!” teriakku. Doni dan Hakim segera mengarahkan senter
mereka kearah pintu dan kami berhasil masuk bergabung dengan tim Kaliwadas II.
Malam ini kami lalui dengan berdesakan di satu tenda yang seharusnya hanya
untuk 6 orang.

Seharusnya aku mendengarkan semua yang diisyaratkan alam. Aku hanya bisa
menahan perih dalam hati melihat keadaan sahabat-sahabatku. Agni mulai merintih
karena magnya kambuh, Adi membungkus tubuhnya dalam sleeping bag menahan
pusing dan mual, Andi juga mulai demam dan bicara semaunya. Stress dan
kelelahan yang menyatu.

Ketika malam tiba, di saat setiap mata coba untuk terpejam meskipun tidak bisa
terlelap, hanya ada tetes-tetes bening air mata kerinduan, kesakitan, dan
keputusasaan.

Senin, 12 Februari 2001

Entah akan mampukah bertahan menunggu hingga tiba saatnya melangkahkan kaki
dan melanjutkan perjalanan untuk pulang. Iya pulang… hampir seminggu rumah
penuh kehangatan itu aku tinggalkan untuk sekedar menggapai puncak Gunung
Slamet dan mendapatkan status keanggotaan. Aku mulai merindukan rumahku,
ibuku, bapakku, adik dan semua orang yang barangkali sedang menunggu
kepulanganku. Terlambat pulang tidak lagi bisa dihindarkan. Jumat telah berlalu,
hari ini tidak lagi 9 Februari, lihatlah pergelangan tanganmu dan perhatikanlah,
hari telah berganti.

Dan masih seperti kemarin, badai belum juga mereda. Dua belas orang masih tidak
bisa bergerak keluar, kecuali dengan berat dan engan untuk sekedar buang air.
Frame-frame penyangga tenda mulai hancur satu demi satu, bahkan pintu tenda
tidak lagi bisa ditutup rapat. Entah masih cukupkah persediaan makanan untuk
melalui detik demi detik hingga badai ini mengijinkan kaki-kaki kecil ini
melangkah, menemukan arah jalan yang bisa membawa kami turun. Arah yang
benar, bukan seperti kemarin yang hanya berputar-putar tidak tentu arah. Bahkan
tali penuntun dan pemersatu itu pun tidak bisa menyatukan langkah untuk
bersama-sama menemukan jalan. Badai ini terlalu berat untuk dilalui. Apalagi
kondisi beberapa kawan mulai terserang gejala hipotermia, waktu untuk pulang
harus tertunda lagi. Memang harus dilalui barangkali badai panjang ini.

‘Janganlah berjalan di depanku aku mungkin tak dapat mengikuti. Janganlah pula
berjalan di belakangku aku mungkin tak dapat memimpin, tetapi berjalanlah
seiring bersamaku dan jadilah sahabatku…’ Kalimat dari Albert Camus yang
kemarin kujadikan tema makalah filsafat manusiaku terlintas di tengah kepasrahan
dan keputusasaan yang kian menjadi.

Benar, kita harus terus bersama, tidak ada yang boleh jalan sendirian. Kita harus
satukan hati untuk tetap bertahan. Tidak ada lagi yang akan merintih sendirian,
tidak boleh ada pertengkaran, tidak akan ada lagi yang merasakan lapar kehabisan
makan. Tangan kecil ini siap untuk berbagi kehangatan kawan.

Tidak lagi dalam lindungan tenda dan balutan sleeping bag, hanya berlindung di
antara bongkahan batu dan cerukan, mimpi-mimpi buruk mulai menghantui setiap
kepala. Khawatir dan putus asa (barangkali) menjadi sesuatu yang wajar dalam
kegelapan dan hantaman badai ini. Menghitung detik demi detik berharap pagi
akan segera datang.

Pekat masih menyelimuti tanah Slamet, matahari hanya tampak seperti bola
keputihan, tanpa memberikan kehangatan yang bisa menggantikan dingin ini meski
untuk sesaat. Pasir dan kerikil masih asyik berlarian, sesekali menabrak makhluk-
makhluk asing yang menggigil kedinginan. Sakit, tentu, tapi semua hanya bisa
dirasakan sendiri, bukan saat yang tepat untuk mengumbar keluhan. Bertahan dan
terus bertahan untuk bisa melalui badai dan menemukan hari yang berlangit biru
itulah satu-satunya yang bisa dilakukan.

Jumat telah berlalu di belakang. Kurang lebih 90 jam tubuh kurus ini
mempertahankan hidupnya dalam balutan badai bersama sahabat. Akankah dia
mampu untuk tetap seperti beberapa hari ini, sampai (barangkali) akan datang pada
mereka pertolongan dan akankah malaikat–malaikat kehidupan memihak pada
mereka yang bersembunyi dan berlindung dalam sempitnya cerukan ini?
Entah. Aku sendiri mulai dijamah kedinginan yang hebat, sesak membuatku tidak
mampu lagi tersenyum dan membagi hangat tanganku pada kawan-kawanku.
Menangis dan terus menguatkan diri itulah yang bisa kulakukan untuk menanti
pagi. Aku harus bisa lalui dingin ini. Aku... tidak... boleh... kalah…

“Ya, kamu harus bisa bertahan untuk menanti datangnya pagi. Kamu telah lalui
puluhan jam di sini, dan kamu mampu sampai detik kedinginan tertinggi ini.
Yakinlah, kamu harus bisa bertahan, jangan menyerah hanya untuk menunggu
esok hari.” Tidak tahu suara dari mana itu, tapi aku mendengarnya dengan jelas.
Dan aku akan bertahan…

***

Tim Kaliwadas I

Menjelang pukul sepuluh pagi badai mulai melunak walaupun sebenarnya


terhitung masih bertiup kencang. Situasi ini membuat tim Kaliwadas I yang
dipimpin Iis lupa pada keputusan dan kesepakatan untuk tidak melanjutkan
perjalanan menuju puncak, melainkan turun melalui jalur Baturaden.

“Melihat badai kemarin, aku khawatir kalau kita memaksa tetap lanjutkan ke
puncak,” kata Dodo di tengah tengah makan pagi. Dodo adalah salah satu
pendamping di pendakian ini. Selain Dodo anggota lain adalah Masrukhi.

“Memang kenapa, Mas?” tanya Dewi ingin tahu.

“Ya aku khawatir aja kalau badai datang lagi. Mungkin kita terjebak di tengah
perjalanan, mungkin juga terserang mountain sickness, hypothermia, tersesat, jatuh
atau kejadian lain yang diluar perkiraan kita…” kata Dodo memberikan penjelasan.
Dewi hanya manggut - manggut mengiyakan. Walau sebenarnya dia juga tidak
tahu bagaimana kondisi di puncak, bagaimana gejala mountain sickness atau
hypothermia. Dia hanya tahu sebatas teori seperti yang tertulis di diktat pendidikan
dasar. “Tapi kalau misalnya kita gagal sampai puncak, pasti kalian kecewa” Dodo
menambahkan.

Tim yang terdiri dari Gentur, Dewi, Bregas, Fauzan, Dodo dan Masrukhi itu
akhirnya bertekad untuk melanjutkan perjalanan menuju puncak. Badai tidak lagi
datang sampai batas waktu yang mereka perkirakan meski kabut masih saja
menyelimmuti lereng Gunung Slamet. Dengan perbekalan lampu senter sebagai
pedoman dan penerang jalan menembus kabut, serta peluit satu-satunya alat
komunikasi.

Dalam perjalanan setiap orang melindungi diri mereka dari hempasan badai.
Bregas mengenakan jaket dilapisi ponco yang diikat dengan tali rafia dipinggang,
Iis menggenakan baju lengan panjang dan dilapisi ponco yang juga diikat di
pinggang, Dewi melapisi pakaiannya dengan raincoat, Gentur mengenakan jaket
dan dilapisi dengan raincoat yang sudah tidak waterproof ditambah dengan helm
yang dibawa dari rumah untuk melindungi kepala dari rontokan batu, Fauzan
menggenakan dua lapis celana raincoat dan melapisi bajunya degan raincoat yang
masih waterproof, Masrukhi mengenakan celana pendek dan melapisi bajunya
dengan raincoat, demikian juga dengan Dodo—hanya bedanya raincoat Dodo
dipastikan sudah tidak waterproof.

Entah mengapa waktu itu mereka kembali memutuskan untuk melanjutkan


perjalanan ke puncak, padahal mereka sudah memutuskan untuk turun, namun
semuanya terjadi begitu saja. Mungkin juga karena ego yang terlalu besar untuk
mencapai puncak. Atau kekhawatiran tidak akan diterima menjadi anggota karena
gagal melakukan pendakian wajib? Entahlah. Yang pasti mereka memantapkan diri
untuk menyentuh puncak Tugu Surono di ketinggian 3432 mdpl.

Beberapa saat setelah meninggalkan batas vegetasi mereka berhenti sejenak untuk
mengisi botol minum yang telah kosong dari air di cerukan. Masrukhi berjalan di
depan dan sesekali hilang dari pandangan tertutup kabut, dengan peluit dan
teriakan mereka menyuruhnya berhenti. Sementara seperti perjalanan sebelumnya,
Dodo berjalan paling belakang.

Sejak meninggalkan ceruk di mana mereka mengambil air, angin kembali bertiup
dengan kencangnya disertai hujan yang datang dari arah samping. Badai datang
kembali, bahkan lebih dahsyat. Seketika semua mulut terkunci. Semua dengan
kedinginan yang menyusup begitu hebat dan pikiran yang barangkali tidak lagi
sama. Jari-jari perlahan kaku, otot-otot wajah sulit digerakkan karena kedinginan.
Sering terjadi batu yang mereka injak rontok dan berjatuhan mengancam
keselamatan anggota tim yang berjalan di belakang. Beruntung jika hanya kerikil
yang berlarian lepas, tapi ketika batu sebesar kepala mulai rontok dan menghantam
batuan yang lain hingga melenting, siap menghantam kepala mereka... begitu
mengerikan.

Kejadian ini membuat mereka berjalan sangat hati-hati dan pelan. Berjalan
bergantian, satu berjalan naik yang lain diam di tempat yang aman dari longsoran.
Di situasi yang tidak menyenangkan ini, tiba-tiba Masrukhi terpeleset. Beruntung
dia mampu menghentikan proses jatuh itu sehingga tidak melorot jauh ke bawah.

Setibanya di bibir kawah mereka melanjutkan perjalanan menyusuri bibir kawah


ke arah kanan menuju Tugu Surono (puncak tertinggi). Tiba di Tugu Surono,
meluapkan rasa syukurnya Gentur bersujud diikuti oleh Iis, Dewi, Fauzan dan
Bregas. Sayang kebahagiaan itu tidak berlangsung lama. Dodo datang dengan
tergopoh-gopoh mengabarkan kalau Masrukhi tidak mampu lagi berjalan dan
berada di bibir kawah. Rencana foto di puncak untuk mengabadikan moment di
Tugu Surono lenyap bersama deru angin yang kian menjadi.

Gentur, Bregas dan Fauzan kembali turun. Masrukhi sudah tidak mampu berjalan
bahkan merangkak pun sudah sangat kepayahan. Dengan kekuatan yang masih
ada, Masrukhi berjalan dengan dipapah Bregas dan Fauzan, sementara Gentur
membawakan cariernya. Dengan susah payah Fauzan dan Bregas membawa
Masrukhi untuk bergabung dengan yang lain di Tugu Surono. Di bayang-bayangi
kawah yang mengangga di kiri mereka, setiap saat badai bisa saja melempar tubuh
mereka ke dalamnya. Mereka masih berjuang, sementara Iis dan Dewi bersama
Dodo sedang mempersiapkan tenda sebagai perlindungan darurat.

“Sepertinya Masrukhi terserang hypothermia,” begitu kata Dodo.Tanpa bantahan


dan tanpa diskusi lebih panjang, pertolongan skin to skin harus segera diberikan.
Dengan sisa panas tubuh yang masih ada, Bregas mendonorkan panas tubuhnya
untuk Masrukhi. Suasana semakin mencekam, sesekali Masrukhi mengigau.

“Ambil kanan… kanan…” begitu-begitu saja kalimat yang diucapkan Masrukhi


saat mengigau. Barangkali alam bawah sadarnya masih terbawa ketika mereka
masih berada di bibir kawah. Hypotermia yang menyerang Masrukhi cukup serius,
dia tidak bisa merespon apapun. Teman-temannya sampai terpaksa menamparnya
saat dia menunjukkan tanda-tanda akan tidur. Dia tidak boleh tidur, sedetik pun!

Badai belum mereda. Angin semakin liar mengirimkan hawa dingin ke dalam
tenda. Gentur memaksakan diri untuk keluar dan membongkar satu tenda yang
masih rapi tersimpan dalam carier. Di tengah hujan pasir dan hantaman badai
gunung, Gentur berhasil melapisi tenda dengan tenda yang lebih besar, dia juga
berhasil membawa pudding hungkwe yang rencananya akan disantap saat pesta
puncak. Suhu dalam tenda sedikit lebih hangat karena angin tidak lagi masuk.
Masrukhi juga menunjukkan kondisi yang mulai membaik, dia sudah bisa
merespon ucapan teman-temannya meskipun apa yang dikatakan tidak pernah
berhubungan dengan apa yang teman-teman bicarakan. Untuk sedikit mengganjal
perut, Iis memberanikan diri menyuapi Masrukhi. Dengan kadar lemak, tepung dan
gula yang ada pada hungkwe mereka berharap Masrukhi sedikit mendapat tenaga.
Meskipun mereka tidak berharap berlebihan itu akan membuatnya pulih dan
mampu melanjutkan perjlaanan ini. 

Nampaknya setelah makan pudding, Masrukhi teringat rencana pesta puncak yang
direncanakan. Dalam keadaan setengah sadar berulang kali Masrukhi meminta
Coca-cola. Jelas saja mereka tidak menuruti keinginannya mengingat suhu yang
terlalu dingin untuk seorang penderita hypothermia. Bahkan botol Coca-cola itu
mereka biarkan utuh dengan segelnya, tidak tersentuh sama sekali.
Lambat laun kesadaran Masrukhi membaik. Kalimat dan ucapannya mulai terarah.
Bahkan beberapa kali dia mengucapka kata-kata dalam bahasa Tegal yang
terdengar sangat menggelikan di telinga teman-temannya. Usaha dan penantian di
puncak Tugu Surono tidak sia-sia. Masrukhi sudah mulai bisa bercanda lagi.

“Sepertinya suhu tubuh Masrukhi mulai pulih. Kita tidak bisa berlama-lama di sini.
Kita harus segera tiba di batas vegetasi hari ini juga. Kita akan mendirikan camp
disana untuk memulihkan suhu tubuh dan tenaga kita, sebelum turun melalui jalur
Bambangan,” usul Dodo yang langsung mendapat persetujuan teman-teman yang
lain.

Rasa lelah dan kedinginan menghantui setiap anggota tim. Tapi mereka harus
bergerak dan mengemasi barang-barang untuk melanjutkan perjalanan turun ke
batas vegetasi. Di luar perkiraan, ketika teman-teman siap melanjutkan perjalanan,
rupanya Masrukhi belum mampu mengangkat cariernya sendiri. Gentur mendekat
dan membantunya mengangkat carier sementara yang lain sudah berjalan perlahan
di depan. Masrukhi mencoba untuk berjalan, tapi kondisi fisiknya belum seratus
persen pulih, kakinya belum kuat untuk menopang berat tubuh dan cariernya,
jalannya sempoyongan dan terseok seperti orang mabuk.

“Do! Lebih baik kita ngecamp lagi, Do. Supaya dia bisa istirahat. Kalau begini
caranya, kita maksain turun, kita bisa bunuh dia, Do!” suara Fauzan memecah
kepayahan di antara gemuruh angin.

“Iya, kita akan buka camp lagi,” jawab Dodo tegas.

Iis, Dewi dan Bregas yang sudah berjalan beberapa meter di depan dipanggil
kembali. Tenda mereka dirikan di tempat sama. Angin bertiup lebih hebat—
bahkan tenda yang mereka dirikan terlipat hingga sudutnya bertemu. Carier mereka
masukkan lebih dulu untuk mengganjal kerangka tenda agar tidak patah. Setelah
tenda didirikan angin masih saja menghajar tenda mereka, terpaksa mereka harus
duduk di atas carier dan menahan goncangan kerangka tenda dengan punggung.
Semua terjaga, duduk di sudut tenda sementara Masrukhi berada di tengah di mana
posisi dirasa paling hangat dan terlindung.

Waktu terus berputar, tapi hari masih sama. Sepanjang siang mereka berjuang
menghadapi badai, terjatuh terseok, dua kali mereka harus mendirikan tenda
darurat karena teman mereka terserang hypothermia. Mereka coba untuk bersabar
dan terus berdoa sebisa mungkin. Mereka tidak bisa menjalankan sholat dengan
selayaknya, karena tidak bisa bergerak lebih leluasa selain meringkuk dan
berjongkok untuk menghadap Tuhan. Mereka hanya berharap besok hari dapat
melanjutkan perjalanan untuk pulang.

Akhirnya pagi datang . Udara dingin membuat mereka malas untuk segera
membongkar tenda. Beberapa saat lamanya pagi mereka lalui dengan bermalas-
malasan di dalam tenda sambil mengumpulkan energi yang terkuras seharian
kemarin. Satu demi satu perlengkapan mereka benahi dan saat packing pagi itu
mereka menyadari beberapa barang yang mereka letakkan di luar tenda hilang.
Mungikin diterbangkan oleh angin. Tanpa menghiraukannya, mereka bergegas
lanjutkan perjalanan menuju Bambangan.

Untuk pertama kalinya Dodo berjalan paling depan. Kabut masih menyelimuti dan
angin masih cukup kencang—meski tidak sekencang kemarin. Satu satunya
pedoman yang mereka jadikan penunjuk jalan adalah sampah.

“Kita ikuti sisa-sisa sampah. Biasanya sampah akan banyak berserakan di


sepanjang jalur pendakian,” begitu kata Dodo memberi pentunjuk.

Mula-mula jalan yang mereka lalui cukup jelas meski tersamar oleh kabut, hingga
suatu ketika mereka harus berjalan naik dan itu membuat mereka ngos-ngosan.

“Lho, Do! Kita kan mau turun, kok malah naik lagi?”

Mendengar pertanyaan itu Dodo menghentikan langkahnya dan kembali turun


bergabung dengan teman-teman yang mengikutinya di belakang.
“Tur, dirimu di depan, nyari jalan!” kata Dodo kemudian. Tanpa pertanyaan dan
bantahan Gentur berjalan di depan dan mulai membantu Dodo untuk mencari jalan.

Keduanya jalan turun mengikuti sampah yang berserakan hingga pada suatu saat
mereka menyadari sampah sudah tidak mereka temui, mereka tidak lagi berjalan
mengikuti sampah tapi mereka mencari sampah… dan mereka tidak lagi
menemukan petunjuk itu.

“Do… Tur.. berhenti…!” terdengar teriakan dari belakang. Seketika Gentur dan
Dodo menghentikan langkah. “Masrukhi sakit!”

“Bawa turun ke sini, di cerukan..!” Dodo menanggapi teriakan itu. Cerukan, iya itu
satu-satunya tempat yang dirasa paling terlindung dari hembusan angin yang
terlalu kuat.

“Nggak bisa, Mas,” jawab Iis kemudian. Sesaat tidak ada lagi suara.

“Tur dirimu naik, bantu mereka. Aku sudah tidak kuat lagi…” kata Dodo lirih tapi
cukup jelas terdengar di telinga Gentur. Ada ragu yang berlayut di mata Gentur
dengan apa yang baru saya didengarnya.

‘Aku tidak kuat lagi…’ ulang Gentur dalam hati. Ada rasa yang mengganjal di
benak Gentur. Dan itu membuatnya tidak begitu bersemangat untuk naik dan
melihat kondisi Masrukhi. Egonya mulai bermain detik itu.

Karena dia senior dan pendamping, pastilah dia kuat, batin Gentur lagi. Tanpa dia
tahu, rupanya Dodo terserang kram otot. Dodo menyandarkan tubuhnya di batuan
cerukan sementara Gentur menemui teman-temannya untuk memberikan bantuan.
Di tengah perjalanan dia bertemu Dewi.

“Wi, kamu temani Dodo. Dia ada di cerukan situ,” kata Gentur memberi petunjuk.
Dewi Tidak menjawab apapun selain terus berjalan mengikuti petunjuk Gentur.
Di tempat lain, carier Masrukhi sudah berada di dasar jurang. Fauzan dan Bregas
sekuat tenaga menahan tubuh Masrukhi yang hampir terjatuh. Dia mulai mengigau
lagi, kata-kata yang dia ucapkan sudah tidak terbaca. Masrukhi terserang
hypotermia lagi, dan sekarang lebih parah. Posisi yang nyaris masuk jurang dan
keadaan lereng yang curam ditambah kondisi fisik yang telah terkuras membuat
usaha membawa Masrukhi ke dalam cerukan sulit dilakukan.

Di antara himpitan batuan Gunung Slamet, tiupan badai dan keinginan untuk
menyelamatkan seorang sahabat, terdengar suara rombongan pendaki lain. Hanya
suara. Dan dari suara itu menunjukkan rombongan itu tidak terlalu jauh dari posisi
mereka.

“Tolong…!” teriak Gentur meminta tolong. Beberapa kali dia berteriak kearah
rombongan itu, tapi sepertinya tidak ada seorang pun yang membalas. Tidak
kehilangan akal, Gentur meniup peluit sekeras kerasnya. Berharap kali ini isyarat
itu terdengar dan pertolongan akan datang.

Tidak sia-sia, samar-samar Gentur mendengar rombongan itu memberi jawaban,


tapi sayang tak seorangpun yang mendengar dengan jelas apa jawaban rombongan
itu. Untuk memperjelas komunikasi dan meminta bantuan, Dewi berusaha
mendekati rombongan itu.

Tidak berapa lama, salah satu anggota rombongan mendatangi mereka di cerukan.
Saat itu kondisi fisik dan mental mereka sangat menurun. Kondisi tempat yang
miring, sempit dan tidak rata membuat mereka tidak bisa mendirikan tenda untuk
menolong Masrukhi. Satu-satunya yang bisa menghangatkan dia hanyalah sleeping
bag. Masrukhi berada di pangkuan Dodo dan Iis. Pendaki itu memeriksa kondisi
Masrukhi yang mulai mengerang kesakitan. Kemudian pendaki itu meminjamkan
jaket merahnya untuk dipakai Masrukhi.

“Jalur pendakian di sebelah mana, Mas?” tanya Gentur pada si pendaki.

“Disebelah kanan, tapi dari sini bisa juga turun, nanti di bawah ketemu,” jawabnya.
“Teman-temanmu bisa dibawa kesini nggak, Mas?” tanya Dodo.

“Teman-teman saya sudah berada di batas vegetasi, Mas. Oiya, carier Mbak Dewi
yang mana ya?”

Mereka tidak mengerti maksud jawaban si pendaki. Spontan mereka tunjukkan


carier Dewi dan pendaki itu segera menyandangnya di punggung. Dewi akan turun
bersama rombongan pendaki itu.

Bayang tubuh Dewi dan sekelompok pendaki tersapu kabut, menghilang di balik
bebatuan puncak Gunung Slamet. Seperginya mereka, Gentur, Bregas dan Fauzan
masih berusaha menolong Masrukhi. Tetapi belum sempat jaket pinjaman itu
melindungi tubuh Masrukhi, tangan Masrukhi bergerak. Seolah ada yang ingin dia
gapai. Tidak berlangsung lama, tangan itu perlahan melemas dan tidak bergerak
sama sekali. Sekejap sunyi mengercap diantara mereka. Hanya terdengar suara
deru angin dan bebatuan yang bertumbukan dengan batuan lain.

“Kalau Ruki meninggal, berarti dia meninggal di pangkuanku,” kata Dodo. Rasa
tidak percaya, sedih, dan bermacam rasa lain berkecamuk di benak mereka. Tapi
mereka sadar, mereka tidak boleh larut dalam situasi ini. Mereka harus tetap
berjuang dan mencari jalan keluar.

Dengan berat mereka tinggalkan Masrukhi dan tetap menyelimutinya dengan


sleeping bag lalu dilapisi ponco. Mereka tidak mampu membawanya serta.

“Itu sleeping bagnya nggak kita bawa sekalian aja, Do?” tanya Fauzan melihat
mereka meninggalkan sleeping bag untuk selimut Masrukhi.

“Nggak usah, siapa tahu nanti dia bisa bertahan,“ jawab Dodo. Sebuah harapan dan
doa terucap dari bibirnya. Sekali lagi tidak ada bantahan atau apapun untuk
mempertanyakan pendapatnya.
Tim yang tersisa hanya 5 orang; Dodo, Gentur, Fauzan, Iis, dan Bregas. Di tengah
perjalanan hujan turun. Akibatnya jalan yang mereka lalui berubah menjadi aliran
air. Jalur yang menjadi sungai itu menjadikan batu yang mereka injak jadi sangat
licin—apalagi kemiringan medan yang curam. Tiba-tiba Fauzan terpeleset dan
jatuh tergelincir sepanjang jalur yang telah dialiri air. Badannya terperosot hingga
berpuluh meter bahkan hilang dari pandangan keempat temannya. Serta merta,
Gentur, Iis, dan Bregas mempercepat langkah untuk mengejar Fauzan.

Fauzan mereka temukan diam terduduk dalam genangan air dengan kondisi yang
basah kuyup. Beruntung dia tidak cedera dan mampu berjalan lagi. Namun di luar
perkiraan, dan tidak terpikirkan oleh Gentur, Iis maupun Bregas… mereka
kehilangan kontak dengan Dodo saat melakukan pengejaran Fauzan. Rupanya
Dodo kurang cepat mengikuti pergerakan ketiga sahabatnya.

Tersisa empat orang yang masih bisa dalam jangkauan komunikasi. Mereka
berharap Dodo baik-baik saja dan akan segera menyusul.

“Lihat, kalian bisa lihat. Kita sudah dekat dengan batas vegetasi...” teriak Gentur
sambil menunjuk di kejauhan. Samar samar terlihat deretan pohon-pohon perdu.
Keempat sahabat itu mempercepat langkah untuk segera sampai di batas vegetasi.
Dengan tertatih dan memaksimalkan tenaga yang masih tersisa Iis dan Gentur
bergegas mendirikan tenda di tanah yang sedikit miring, namun masih cukup untuk
berdiri satu tenda ukuran kecil. Sementara itu Bregas yang menemani Fauzan
berjalan juga mulai kepayahan. Hingga tenda didirikan mereka belum terlihat,
padahal jarak mereka tidak terlalu jauh. Tercekat sesaat mendapati Bregas yang
jalan kepayahan seorang diri meninggalkan Fauzan, Iis memberanikan diri kembali
jalan ke atas untuk menjemput Fauzan.

“Bertahanlah, Zan, tenda tidak jauh dari kita….” Menahan galau yang amat angat,
Iis memberikan semangat atau setengah memohon pada Fauzan.

Kondisi Fauzan jauh menurun, dia sudah sangat kesulitan untuk berjalan,
merangkak pun terasa berat untuknya. Sementara di dalam tenda Gentur
melakukan pertolongan semampunya untuk Bregas.

“Ayo, tinggal beberapa meter lagi, Zan…” kata Iis sambil menunjuk tenda, seolah
dia ingin menunjukkan bahwa dia tidak sedang menghibur Fauzan dengan
mengatakan tenda sudah dekat.

Tenda kapasitas 4 orang itu bergoyang tak karuan tertiup angin, sesekali batuan
menghantam, tapi di sini lebih baik daripada di puncak kemarin.

“Tur, bantu aku!” teriak Iis meminta pertolongan.

Fauzan tidak bisa bergerak lebih jauh lagi. Tubuh dan cariernya sudah menyatu
dengan tanah. Mengendongnya jelas tak mungkin Iis lakukan. Ukuran tubuh Iis
terlalu kecil untuk bisa menggendong Fauzan yang notabene seorang atlet renang.
Tidak ada sahutan dari dalam tenda. Hati Iis makin risau. Pun dia tidak bisa
membiarkan Fauzan semakin lama berada di titik ini. Iis melepaskan carier dari
tubuh Fauzan dan menghempaskannya ke tanah. Sekuat tenaga, Iis menyeret
Fauzan ke dalam tenda.

“Is, keluarkan sleeping bagmu, sepertinya Fauzan terserang hypothermia,” kata


Gentur.

Bregas tidak banyak bicara, meski dia memang pendiam, tapi diamnya kali ini
berbeda dengan biasanya. Dia juga tidak memberikan bantuan apapun. Tubuhnya
meringkuk di pojok tenda, wajah putihnya terlihat pucat.

“Aku akan bagi panas tubuhku ke Fauzan,” kata Gentur kemudian. Entah kalimat
itu ditujukan untuk siapa. Saat itu juga, Bregas mulai muntah-muntah. Kelelahan
yang sudah terlalu.

“Santai kawan, kalau kita masih punya semangat hidup, kita pasti selamat kok.,”
kalimat itu berulang kali diucapkan Iis. Dia tidak peduli ada tanggapan atau tidak.
Hari makin gelap. Tidak banyak yang bicara, hanya Iis yang masih sanggup untuk
keluarkan kecerewetannya dengan mengulang kalimat yang sama. Kelegaan mulai
menyelinap di tengah gelapnya malam. Fauzan mulai membaik. Tapi kelegaan itu
sirna seketika saat Fauzan bisa bicara meski pelan dan terdengar agak kurang jelas.

“Dodo mana?” tanyanya lemah.

Tidak ada yang mampu menjawab pertanyaan itu. Iis dan Gentur hanya saling
pandang. Sesaat mereka bersamaan menatap Bregas yang masih belum bergerak di
pojok tenda.

“Gas, kamu sakit?” tanya Fauzan lagi. Bregas menggeleng pelan.

“Aku hanya butuh istirahat sebentar kok…” Jawaban itu terdengar sangat lirih.

Meski rasa perih dan nelangsa menghantui suasana hati keempat sahabat itu, tapi
mereka tidak ingin memanjakan rasa itu. Serta merta mereka membangunkan
keberanian dan semangat untuk hidup di tengah ketidakpastian ini. Ketidakpastian
untuk selamat, ketidakpastian nasib Masrukhi dan Dodo, ketidakpastian bantuan
yang dicari oleh Dewi, ketidakpastian kondisi Bregas dan Fauzan, ketidakpastian
apakah mereka mampu bertahan dan keluar dari lingkupan badai dan jalan tanpa
arah ini.

“Kalau saja kemarin peta itu terbawa…” gumam Bregas mengejutkan. Rupanya
sepanjang hari ini, itu yang mengganggu pikirannya. Ya, pedoman jalan dan jalur
pendakian Gunung Slamet yang seharusnya bisa menjadi penuntun arah bagi
perjalanan tim Kaliwadas I tertinggal di kos Bregas. Terakhir kali peta itu mereka
pelajari bersama, jalur mana yang akan mereka gunakan untuk naik dan turun.
Kontur yang begitu rumit dan hampir sama jelas tidak terekam dalam ingatan
mereka, altimeter yang seharusnya juga bisa membantu untuk menentukan
diketinggian berapa mereka sekarang juga hilang, begitu juga dengan kompas.
Yang mereka ingat hanya jalur naik dari Desa Kaliwadas, Kabupaten Bumiayu,
turun di Desa Bambangan, Kabupaten Purbalingga, itu saja! Lalu bagaimana
mereka bisa keluar dari dataran tinggi sebesar Gunung Slamet, hutan lebat sesubur
ini tanpa benda itu?

“Sudah lah Gas, jangan diingat dan diungkit lagi…” kata Iis. Dia masih sibuk
mengaduk bubur survivalnya. Paduan tepung terigu, esteemje rasa coklat yang
dicampur dengan sedikit air, jadilah bubur rasa coklat dengan sedikit nuansa
hangat rempah jahe. Tenda sekecil itu terlalu sempit untuk keempat sahabat itu
bergerak leluasa. Gentur masih memaksimalkan pembagian panas tubuhnya pada
Fauzan, sementara Bregas tertunduk lemas meringkuk di balik jaketnya yang
lembab. Ada isak yang coba dia sembunyikan.

“Gas, makan dulu. Aku buat bubur coklat,” tanpa ragu Iis menyuapi ketiga
sahabatnya. Iis yang biasanya jutek, galak dan keras kepala sedetik itu terlihat
begitu keibuan, manis dan memancarkan kehangatan yang luar biasa didalam
tenda.

“Zan, Gas… kalian harus makan lebih banyak biar kalian bisa jalan lagi…”
katanya kemudian, merayu. Sesekali dia coba tersenyum, “kita pasti bisa” itu yang
terbaca dari senyumnya.

“Eh Is, gigimu kok hilang satu?” selidik Gentur mendapati ada yang kurang dari
barisan gigi putih Iis. Iis mengangguk dan tertawa kecil.

“Tapi tetep cantik kan?” selorohnya kemudian, seolah ingin menghadirkan tawa
dari giginya yang tanggal satu. Bregas tersenyum, Fauzan menahan tawanya di
dalam sleeping bag. Gentur mencibir ambil menahan tawanya yang ingin meledak.

“Cewek satu ini memang gila, ditengah kondisi yang ga jelas kaya gini, hampir
mati pula, masih aja becanda...”

Perbekalan semakin menipis, kondisi fisik dan mental mulai terkikis. Gentur
merasa sudah saatnya bertindak lebih dari sekedar menunggu bantuan. Dia sendiri
tidak yakin bantuan yang dicari Dewi akan datang. Masih terbayang bagaiamana
ganasnya badai sepanjang hari kemarin. Gentur ragu Dewi bisa melewati badai itu
dan selamat tiba di Bambangan lalu berhasil mencari bantuan.

“Is, kalau kita berjalan menyamping ke kanan, ke selatan, kita pasti bertemu jalur
Bambangan,” kata Gentur suatu pagi, sambil terus berusaha membuat api dari sisa
bahan bakar dan sampah yang bisa terbakar.

“Kenapa bisa begitu?” tanya Iis mencari kepastian. Angin sudah tidak begitu
kencang, bahkan pagi ini begitu cerah. Matahari bersinar dan langit biru ini tidak
bisa disia-siakan. Meski Bregas dan Fauzan belum pulih sepenuhnya, tapi matahari
yang menghangatkan tenda mereka cukup memberi semangat untuk bertahan.

“Kamu ingat, Masrukhi kemarin pernah bilang kalau jalur pendakian ada di
sebelah kanan. Dan hal yang sama juga dikatakan pendaki yang kemarin kita
temui…”

“Tapi itu kemarin, ketika kita masih di atas. Tapi sekarang kita sudah di batas
vegetasi. Aku sendiri tidak yakin kalau kita masih sejalur dengan posisi terakhir
kita saat masih bersama Masrukhi, Dodo, Dewi dan pendaki itu…” suara Iis
melemah saat menyebut nama ketiga sahabat yang entah di mana dan bagaimana
nasib mereka saat ini. “Oiya, Tur… apa tidak lebih baik kita coba cari Dodo, selagi
cuaca baik.”

Kening Gentur berkerut, tak mengerti bagaimana menanggapi usulan Iis.

“Iya kita naik ke atas lagi,” Iis coba meyakinkan.

Untuk beberapa lama mereka terdiam, sibuk dengan pikiran masing-masing.


Sesekali Iis menatap ke atas puncak Gunung Slamet. Berharap dia akan melihat
Dodo berjalan ke arah mereka, meski dengan langkah yang kepayahan atau
merangkak sekalipun... Iis terus berharap.

“Aku kurang sepakat, Is. Kali ini aku menolak usulanmu…”


“Kenapa?” tanya Iis setengah berteriak. “Kita ga bakal tahu kondisi Dodo kalau
kita ga coba cari dia lagi, Tur. Bahkan kita ga tahu kondisi terakhir dia, kita semua
meninggalkan dia untuk mengejar Fauzan. Kita ga bisa meninggalkan dia begitu
aja kan? Kita harus temukan dia. Mungkin saja dia masih hidup, dan kemarin dia
berlindung di cerukan, atau pagi ini dia sedang jalan ke arah kita, atau….”

“Is, tenanglah...” pinta Gentur, sedikit memaksa.

Iis masih terus berharap. Berharap Dodo selamat, berharap Gentur mau mencari
Dodo ke atas.

“Is, kamu lupa, kita disini tidak hanya berdua. Ada Fauzan dan Bregas yang juga
membutuhkan keberadaan kita. Mereka masih butuh perawatan dan pengawasan,
kita ga bisa meninggalkan mereka, meski hanya untuk ke atas sebentar…”

“Kita bisa berbagi tugas kan? Kau yang keatas cari Dodo, aku yang jaga mereka di
sini…”

“Is, lebih baik kita selesaikan masak dulu. Mereka butuh tenaga lebih dari kita.”
Gentur mengalihkan pembicaraan. Setengah hati Iis menyelesaikan bubur
berasnya. Tidak ada bahan makanan lain selain seperempat beras dan dua bungkus
mie instan.

“Selesai makan, kita bicarakan lagi bagaimana baiknya,” kata Gentur kemudian.
Acara makan pagi hari itu terasa sangat menyiksa batin Iis. Sekali lagi dia harus
menyuapi Bregas dan Fauzan karena mereka masih lemas untuk bergerak.
Sementara Gentur bermain dengan pikirannya di luar tenda. Masih terngiang di
telinga dan pikiran gentur, ‘jalur pendakian ada di sebelah kanan’. Itu artinya
dengan bantuan cahaya matahari dia bisa sedikit terbantu untuk menentukan arah.
Aku hanya butuh jalan ke selatan, batinnya meyakinkan dirinya sendiri.

“Is, kamu benar. Kita nggak bisa selamanya diam disini…”


“Iya, kita harus mencari Dodo,” Iis menyahut dengan harapan yang lebih. Dia
mulai merapikan kembali alat masaknya, mengepaknya ke dalam kantung makan.
Sepatu lapangan juga sudah dia kenakan, dan dia melapisi jilbab birunya dengan
jilbab parasut agar lebih hangat. Meski matahari mulai tampak, tapi hawa dingin
gunung masih terasa.

“Tidak, kita tidak akan ke atas. Kita akan ke bawah.”

“Maksudnya?” Iis menghentikan kegiatannya sesaat.

“Is, kamu sadar nggak kalau kita telah bergeser…”

“Iya aku tahu itu, lalu kenapa?”

“Kita telah bergeser dari posisi yang akan dilaporkan Dewi, itu juga kalau Dewi
selamat sampai Bambangan…”

“Tur, kita harus yakin kalau Dewi akan berhasil, kita akan selamat, kita cari Dodo
sambil kita menunggu pertolongan. Dewi pasti berhasil, Tur…!”

“Seberapa yakin kalau Dewi akan berhasil dan pertolongan akan segera datang?”
kata Gentur mempertanyakan keyakinan Iis. Iis terdiam, dalam hatinya pun dia
tidak seyakin itu.

“Kalau pun Dewi selamat dan berhasil mencari pertolongan, aku tidak yakin
mereka akan menemukan kita. Posisi kita bergeser jauh dari terakhir kita bertemu
dengan pendaki itu, Is. Dan yang akan dilaporkan Dewi adalah posisi terakhir kita,
ketika Dewi masih sama-sama kita. Itu yang membuatku tidak yakin pertolongan
akan segera datang…”

Kedua sahabat itu tertunduk dengan sesekali menengadah ke langit-langit


menyembunyikan tangis yang tidak tepat untuk dikeluarkan. Tangis hanya akan
menambah berat langkah dan melemahkan, pikir mereka.

“Is… Tur…” terdengar suara Bregas memanggil lirih kedua sahabatnya. Seketika
Iis dan gentur melesat masuk ke dalam tenda. Didapatinya Bregas yang sedang
memeluk Fauzan erat. Wajah Fauzan putih pucat. Suasana mendadak kalut.
Kehangatan sinar matahari tidak lagi bisa dirasakan. Sekujur tubuh Fauzan dingin,
matanya juga terpejam. Iis coba menampar wajah Fauzan tapi tidak ada perubahan
yang berarti. Bregas merapatkan pelukannya. Dia tahu benar, kondisinya belum
sepenuhnya pulih, tapi dia tidak mau terus menerus diam melihat kedua temannya
kerepotan mengurus Fauzan dan dirinya.

“Zan…!! Bangun! Buka mata kamu!” teriak Gentur keras dengan terus menampar
wajah Fauzan. Satu jam dua jam terlewati dengan usaha menyelamatkan nyawa
seorang sahabat. Mereka tidak mau kehilangan lagi. Sudah cukup mereka
menyaksikan kepergian Masrukhi, kehilangan jejak Dodo yang sampai siang tidak
juga ada yang bisa diharapkan. Dimana dia sekarang, selamat atau tidak, hanya
Tuhan yang tahu.

“Is, kita harus secepatnya membawa Fauzan dan Bregas turun…” kata Gentur
setelah Fauzan menunjukkan tanda-tanda membaik. Bregas masih menemani
Fauzan di dalam tenda. “Iya, aku tahu kondisi Bregas tidak sebaik yang dia
tampakkan tadi. Aku tahu dia memaksa dirinya untuk bertahan dan membantu
Fauzan, dan aku tidak yakin akan sampai kapan dia mampu bertahan dan
menyembunyikan rasa sakitnya… Salah satu dari kita harus ada yang bergerak
turun, Is.”

“Kenapa kita tidak turun sama-sama Tur?”

“Tidak, kondisi Bregas dan Fauzan tidak mungkin kita ajak jalan. Apalagi jalan
yang akan dilewati belum jelas, semua masih dalam perkiraan dan bermain dengan
naluri. Coba-coba. Trial and error. Itu hanya akan menyiksa mereka dan…
memperlambat perjalanan. Aku akan turun duluan.”
“Kamu yakin?” Iis menanggapi. Tidak ada sanggahan atau bantahan. Keinginan Iis
untuk mencari Dodo rupanya melemah, meski harapan masih saja ada di hatinya.

“Iya, aku akan turun lebih dulu,” jawab Gentur yakin. Tapi tanpa sepengetahuan
Iis, jauh di dalam hati Gentur, dia tidak sepenuhnya yakin bahwa jalur yang akan
dilewatinya nanti adalah jalur yang benar menuju Bambangan atau menuju desa
terdekat. Dia juga tidak yakin dia akan berhasil.

‘Aku juga tidak yakin akan sampai Bambangan hari ini juga, mungkin aku harus
bermalam di tengah hutan, atau bisa jadi aku malah tersesat,’ kata gentur dalam
hati. Dia Tidak berani mengungkapkan apa yang dirasakannya pada Iis, karena dia
tidak mau Iis melarangnya jika dia tahu dia ragu dengan langkah yang akan
ditempuhnya.

Tanpa menunggu lebih lama, Gentur mengganti pakaian lembabnya dengan sisa
pakaian kering yang masih ada. T-shirt lengan pendek, celana panjang yang
dipalisi dengan celana raincoat milik Fauzan. Melihat Gentur hanya memakai tshirt
tipis tanpa dilapisi dengan yang lain, Iis memberiikan flannel lengan panjangnya.
Sesaat gentur ragu untuk menerimanya karena Iis pasti juga membutuhkkannya

“Pakailah, aku bisa bertahan di dalam tenda,” Iis menjawab keraguan Gentur.

Melengkapi perjalanan, Gentur membawa parang dan ponco yang masih ada di
dalam carier Fauzan.

‘Fauzan tidak akan membutuhkan ini, mereka akan terlindungi di dalam tenda
hingga pertolongan datang,’ pikir Gentur sambil terus mengemasi beberapa barang
yang akan dibawanya. Tidak luput dari ingatannya, Gentur mengambil jam Fauzan
dan memakainya di tangan kiri. ‘Kompas di jam ini akan membantuku keluar,’
batinnya yakin. Segenggam permen diberikan Iis, sekedar teman perjalanan.

“Kalian tunggu saja disini, aku akan segera mencari pertolongan,” pesan Gentur
sebelum berlalu, meninggalkan Iis, Bregas, dan Fauzan.
“Hati-hati, Tur…”

Setengah sepuluh pagi, mengawali perjalanan seorang diri menjelajah hutan


mencari pertolongan, Gentur melangkahkan kakinya sebentar ke utara, berharap
dia melihat ada jejak sampah atau jalan setapak. Tidak membuahkan hasil. Sampah
yang dia temui adalah sampah dari kelompoknya sendiri, sampah sisa masak
semalam dan tadi pagi. Tapi tidak serta merta Gentur kecewa dan patah semangat.
Niatnya untuk segera menemukan peradaban dan memdapatkan pertolongan
membara di jiwanya. Potongan tali raffia yang masih tersisa dia kumpulkan untuk
perbekalan membuat bivak jika harus bermalam di perjalanan. Satu setengah liter
air diambil dari cerukan sebelum akhirnya tubuh kurus itu hilang di balik
rerimbunan pohon hutan.

Di kedalaman hutan, Gentur masih terus berjalan mengikuti alur dari cerukan
tempat dia mengambil air. Langkahnya terhentui ketika yang dihadapinya adalah
patahan, jurang yang sangat dalam menganga. Gentur berbalik arah dan kembali ke
cerukan. Mengambil arah ke selatan kemudian turun. Lagi-lagi patahan yang
ditemuinya. Dia tidak mau berbalik arah lagi. Melihat patahan yang menghadang
langkahnya tidak terlalu dalam, dia memutuskan untuk climdown hingga ke dasar
jurang. Sesampainya di dasar, dia melanjutkan perjalanan turun. 

Di sebelah kirinya ada aliran sungai, dan di seberang lembah adalah punggungan
yang sangat besar, sementara di sebelah kanan, menunggu jurang yang dalam dan
lebar. Gentur yang berjalan seorang diri merasa dirinya sangat kecil dihadang oleh
bahaya yang bisa datang kapan saja.

Dengan sangat hati-hati, Gentur berjalan di bibir jurang sebelah kanan, sesekali dia
berjalan bolak balik untuk orientasi dan memilih jalur yang dirasanya mudah.
Lagi-lagi punggungan yang dilewati habis dan dia kembali berhadapan dengan
jurang.

‘Jalur pendakian ada di sebelah kanan,’ Itu saja yang teringang dan
membimbingnya berjalan. 

Gentur kembali menuruni lembah di sebelah kanan punggungan yang


mengantarnya ke jurang terdalam, lalu berjalan ke kanan menuruni lembah dan
naik ke punggungan di seberang. Vegetasi mulai rapat seingga dia gunakan
parangnya untuk membuka jalan. Ada yang terlupakan olehnya, dia lupa membuat
tanda jalan, Iis pasti akan kesulitan menyusulnya karena jalan yang dilewati tidak
melulu jalur yang sama.

‘Ah, semoga kau tetap menunggu di tenda Is, Gas…’ katanya dalam hati
menyadari kealpaannya.

Punggungan demi punggungan dilewati, tidak ada jalan setapak yang ditemui
Gentur. Dia harus menggunakan parangnya untuk membukan jalan. Suatu ketika
parang yang dia gunakan terlepas dari gagangnya dan jatuh ke dalam belukar yang
rapat seperti teranyam. Dengan kerepotan dia mencari mata parangnya. Sial.
Pencariannya sia-sia. Dengan sedikit jengkel dia melempar gagang parangnya jauh
ke dasar lembah.

“Kamu gak ada gunanya lagi tanpa pasanganmu!” umpatnya.

Belukar yang lebat beberapa kali membuat gentur terperosok. Tanah yang dia pijak
rupanya berupa tumpukan belukar yang tebal. Tidak ada parang, perjalanan ini
akan menemukan kesulitan akan sangat menguras tenaga. Berbekal kompas milik
Fauzan, Gentur memilih melangkahkan kakinya ke tenggara. Hatinya berbunga
setiap kali kabut tersibak menunjukkan padanya dataran rendah yang jauh.

“Ada dataran rendah tapi mengapa tidak kulihat peradaban?” tanya Gentur
keheranan. Kenyataan itu membuatnya pesimis. Itu hutan dataran rendah. Artinya,
begitu tiba di kaki gunung, dia masih harus berjalan entah berapa kilometer, baru
bisa bertemu peradaban, itu juga artinya pertolongan tidak akan didapatkan hari ini
juga. Gentur menghentian langkahnya, membuka sebungkus permen.
“Sabar, kawan…” katanya pada diri sendiri.

Pagi telah lama berlalu, siang tak lagi terasakan panasnya karena lebatnya hutan
Slamet. Dari jam tangannya, Gentur mendapati hari sudah beranjak sore. Dia
bergegas memperpanjang langkahnya. Kemalaman pasti, tapi paling tidak selagi
masih bisa melanjutkan perjalanan. Tidak bisa mendirikan bivak di tempat yang
lebih aman, di lamanya perjalanan menembus hutan, Gentur menemukan kerangka
bivak—di dekatnya masih tampak nyata bekas arang pembakaran kayu. Sisa api
unggun. Penemuan ini membesarkan hati Gentur.

“Pernah ada yang bermalam di tempat ini..”

Gentur masih melanjutkan langkahnya, pohon dengan sayatan dia temukan. Jejak
itu semakin meyakinkan Gentur untuk terus berjalan dan berjalan. Jejak itu
menghilang menjelang maghrib. Gentur terhenti di lembah sempit yang dipagari
dua tebing curam. Ada aliran sungai di bawah. Dengan sangat hati-hati dia
bergerak menuruni lembah. Lereng yang curam membuatnya beberapa kali jatuh
melorot bermeter-meter. Untung dia masih bisa pegangan pada akar atau batang
pohon yang tumbuh di atasnya.

Mengikuti aliran sungai biasanya akan membawaya sampai di desa, pikirnya


menduga. Tapi malang, aliran sungai berair bening itu tidak mengantar Gentur ke
desa atau ke perkebunan penduduk, melainkan ke air terjun. Segera Gentur
berbalik arah, berjalan naik melawan arah aliran sungai. Malang kembali menimpa,
di depan matanya tebing air terjun menjulang tinggi. Tidak mungkin dia
memanjatnya.

Putus asa, dengan berbekal pengetahuan teknik hidup alam bebasnya, Gentur
memutuskan untuk mencari tempat yang landai dan terlindungi di bibir sungai. Di
sana dia akan mendirikan bivak dan bermalam.

Hari mendekat pada malam yang semakin gelap. Suara angin menderu. Semoga
badai tidak datang lagi, harapnya cemas, memandang sekelilingnya.
‘Maaf kawan, aku masih belum bisa keluar. Bertahanlah…’ suara hati Gentur
bercakap dengan sahabat-sahabatnya. Sementara dia merebahkan tubuh lelahnya di
dalam bivak beralas rumput dan berselimut sarung, sesuatu terjadi di atas.

“Zan, bertahanlah… Gentur sedang mencari pertolongan, bertahanlah…” Iis


memohon pada Fauzan yang mulai mengigau menyebut nama Dodo. Ada rintihan
rasa sakit yang sepertinya sudah tidak bisa lagi ditahan.

“Is, apa kita akan terus menunggu disini?” tanya Bregas kemudian.

Iis tidak tahu harus menjawab apa. Sungguh, dia pun ingin cepat pulang. Dia juga
ingin semuanya segera berakhir.

“Is, apakah kita harus meninggalkan Fauzan seperti kita meninggalkan Masrukhi
dan Dodo?”

Iis tertunduk mendengar semua pertanyaan Bregas.

“Gas, kita tidak mungkin membawa Fauzan turun bersama kita...” katanya
kemudian, membuat Bregas terkesima. “Besok pagi kita turun. Kita ikuti jejak
Gentur. Dia meninggalkan jejak sayatan di pohon untuk petunjuk...”

“Lalu Fauzan?”

“Terpaksa kita harus meninggalkannya disini. Tenda dan sleeping bag ini akan
melindunginya dari hawa dingin. Dia ga mungkin mampu berjalan bersama kita.
Biar dia menunggu di sini hingga pertolongan datang…”

Bregas menatap Fauzan yang tertidur dibalut sleeping bag. Iis merapikan jilbab
yang sudah berubah warna dan mengambil sebungkus mie instan untuk
dihancurkan dan dicampur dengan bumbu.
“Lumayan, sekedar untuk camilan,” katanya, sambil menyodorkan bungkusan mie
yang sudah berubah menjadi snack. “Tolong kamu jaga Fauzan, aku keluar
sebentar …”

“Mau kemana?”

“HIV... hasrat ingin vivis… hehe…” Lagi-lagi gadis itu membuat Bregas
tersenyum.

‘Beruntung aku bisa satu tim denganmu, Is,’ batin Bregas.

Beruntung Bregas tidak sendirian. Masih ada Iis dan Fauzan yang bisa diajak
bicara. Sementara Gentur... dia hanya seorang diri di tengah hutan.

Derasnya hujan yang turun mengubah tebing air terjun yang tadi sore kering
mendadak mengantarkan ratusan kubik air. Pelan tapi pasti bivak yang dibangun
Gentur mulai terendam dan memaksanya untuk segera menyingkir. Tidak ada lagi
tempat berlindung. Melanjutkan perjalanan sama juga bunuh diri.

Malam berjalan sangat lambat, penantian yang membosankan. Sebentar-sebentar


Gentur melirik jam, masih setengah sembilan malam. Pagi masih terlalu lama
untuk ditunggu, tapi apa daya tidak ada yang bisa dilakukan selain menunggu dan
memaksa diri untuk bisa tidur. Hanya bersandar pada batu dengan berkerudung
sarung mana bisa dia tertidur. Kalaupun tidur juga tidak untuk waktu yang cukup.
Kondisi ini membuat Gentur frustasi. Berulang kali dia mengumpat, tapi hanya
bisa dikatakannya dalam hati. Rupanya dia masih bisa berpikir tentang hal-hal
aneh yang sering terjadi di gunung. Dia tidak berani mengumbar umpatannya,
apalagi sekarang dia berada di tengah hutan dan sendirian.

Malam berlalu. Dengan kepala pusing dan mata sembab Gentur menemukan hari
sudah terang benderang. Jam di tangan menunjukkan pukul delapan pagi. Dia
segera bangkit meski pusing masih memberati kepala. Sebentar dia meregangkan
badan sebelum memulai perjalanan, yang mungkin akan lebih panjang dan
melelahkan. Lalu dia berniat mengemasi barang-barangnya, tapi rupanya air yang
semalam mengganggu bivaknya menghanyutkan beberapa barangnya. Shelter yang
aneh.

Dia memulai perjalanan ke selatan, berusaha naik ke punggungan yang cukup


terjal dengan bantuan akar pohon. Dengan kedua tangannya dia menerabas masuk
dan menyibak belukar dan pepohonan yang menghalangi jalan. Begitu sampai di
punggungan, mata Gentur berbinar melihat pohon arbei yang tumbuh subur.

“Lumayan bisa untuk ganjal perut,” katanya sambil terus mengunyah dan memetik
arbei untuk bekal tambahan di perjalanan.

Dari pengalaman perjalanan sebelumya Gentur merasa yakin kalau punggungan ini
akan berakhir dan mengantarnya ke jurang yang dalam. Tanpa berjalan lebih jauh
mengikuti punggungan dia memutuskan berjalan mengikuti aliran sungai.
Beberapa air terjun ditemui, tapi semua bisa dilewati dengan climdown, ya tentu
saja dengan mengambil jalur yang paling mudah. Untuk menghibur diri sendiri, dia
bernyanyi dan bersiul sebisanya di sepanjang perjalanan—bahkan dia menciptakan
lagu secara spontan. Curhat pada alam begitu barangkali lagunya…

Perjalanan di lembah membuat Gentur belajar banyak. Selain arbei, dia juga
mendapatkan bermacam begonia untuk makan siang. Tidak hanya itu, beberapa
binatang juga sempat mengejutkan langkahnya. Dia tidak berani memburunya. Dia
malah berpikir, jangan-jangan malah dia yang akan menjadi mangsa binatang
hutan.

Pukul setengah tiga sore, langit kembali menitikkan air kehidupan. Hujan bulan
Februari kembali menghentikan langkah Gentur. Raincoat mulai basah dan hutan
semakin gelap tertutup kabut. Dia menghentikan langkah dan bergegas membuat
bivak perlindungan. Sayang tali rafia yang masih tersisa tidak cukup panjang untuk
membentangkan ponco. Jadi dia mengumpulkan daun-daun yang cukup lebar yang
berserakan di sekelilingnya, ditambah dengan ranting pohon yang patah bersama
kanopi daunnya. Itulah bivak Gentur hari ini. 
Ponco dijadikannya selimut dan carier dia jadikan sleeping bag. Sepanjang malam
dia akan menunggu. Dua hari berlalu, Gentur masih belum bisa mencapai
perkampungan dan mendapatkan pertolongan untuk sahabat-sahabatnya. “Sabar
ya…” katanya berulang kali.

Malam merambat lebih lambat dari kemarin. Tiupan angin terdengar bergemuruh
disertai suara pohon-pohon tumbang. Kekhawatiran dan rasa takut mulai
menyelinapi pikiran.

“Habis deh kalau pohon itu menimpaku,” katanya pasrah. Di keparahan itu Gentur
teringat Dewi. “Semoga Dewi berhasil lebih cepat mendapatkan pertolongan…”
harapnya.

Ini hari ketiga Gentur berpisah dengan Iis, Bregas dan Fauzan.

Empat hari berlalu. Kalau Dewi selamat, seharusnya bantuan sudah datang, paling
tidak kalau aku tidak berhasil atau celaka, Iis dan Bregas masih bisa diselamatkan,
begitu juga Fauzan. Masrukhi dan Dodo juga bisa dibawa turun ke Bambangan…
Gentur membatin.

Perjalanan dimulai lebih pagi karena Gentur tidak mau terhadang hujan lagi di
tengah perjalanan. Masih menyusuri dan mengikuti arah arus sungai, tanjakan
sudah tidak terlalu banyak, jurang-jurang juga sudah tidak sedalam sebelumnya.
Hari ini dia berniat mengisi perutnya dengan tunas pohon palem yang dia temui,
tapi kemudian dia teringat kalau dia sudah tidak punya parang.

Gentur melanjutkan langkahnya. Hingga kemudian, di pertengahan siang,


hamparan ladang membentang di hadapannya. Dalam hati dia bersorak kegirangan.
Tapi saat itu juga kelelahan yang amat sangat menyergap di tubuhnya. Sebentar-
sebentar dia istirahat, barangkali karena hari ini perutnya sama sekali tidak terisi.
Di tengah ladang, dia menyempatkan mencabut ubi tanpa permisi. Begitu
ditemuinya jagung yang kuning menggoda, tangannya dengan cepat memetiknya.
Lagi-lagi tanpa permisi bilang minta pada pemiliknya. Kalau harus menunggu si
pemilik datang ke ladang, bisa pingsan duluan dia.

Ladang ini terlalu luas untuk dinikmati sendiri, apalagi kondisi Gentur yang mulai
kelelahan. Semakin dekat dengan peradaban, semakin bertambah loyo sekujur
tubuhnya. Beberapa petani yang dia jumpai kemudian tidak bisa memberiikan
informasi seperti yang diharapkan. Setiap kali Gentur bercerita kalau dia terpisah
dengan sahabat-sahabatnya, petani itu hanya bilang “Melas temen” (kasihan
sekali).

Tidak ingin membuang waktu di tengah ladang dan bercerita lebih banyak, Gentur
melanjutkan langkahnya, dan sekali lagi dia harus terjebak di hutan pinus.

“Berjalan dan terus berjalaaaannn, aku menemukan peradaban…” dendangnya


dengan suara lantang nan sumbang. Syair lagu yang pendek diulang hingga ratusan
kali, dan di pengulangan yang entah keberapa, langkah itu terhenti. Terdengar
suara deru mobil. Secepat kilat Gentur berlari mendekati arah suara, dan dia
temukan jalan aspal yang tidak begitu lebar. Sebuah kijang pick up melaju ke
arahnya...

“Allohu akbar! terimakasih, Tuhan! Allohu akbar!” Gentur menjatuhkan diri,


bersujud di atas permukaan aspal pecah, tidak berhenti memanjatkan syukur.

Tidak ada kalimat lain yang bisa Dewi ucapkan. Tubuhnya menggigil menahan
dingin dari amukan badai yang baru saja di lewatinya. Badai yang sama sekali
tidak pernah dia bayangkan. Badai yang telah memisahkan dirinya dari kelompok
pendakian... yang merenggut nyawa seorang sahabatnya...

Teman-teman pendaki yang menolong Dewi turun ke Bambangan sudah tidak


terlihat lagi. Terakhir mereka masih bersama-sama saat tiba di rumah Pak Kadus
Muheri, basecamp pendakian jalur Bambagan. Dan saat pagi datang dan Dewi
bangun dari kelelahannya, teman-teman itu sudah tidak ada lagi. Seorang diri dia
menunggu kepastian dari penduduk yang kemarin malam berangkat ke puncak
gunung untuk menolong sahabat yang tertinggal.

Sampai tengah hari, penduduk yang semalam mencoba melakukan pencarian


belum terlihat turun. Sejak Dewi tiba di Bambangan pada malam hari untuk
meminta pertolongan, malam itu juga SAR kampung yang terdiri dari penduduk
Bambangan melakukan pencarian. Sayang mereka tidak bisa mendekati target
seperti yang diceritakan oleh Dewi karena cuaca yang sangat buruk. Mereka
melanjutkan pencarian keesokan harinya.

Bersamaan dengan pencarian yang masih berlanjut, Dewi mencoba menghubungi


Jogja untuk mengabarkan kejadian ini. Dari desa Bambangan, Dewi terus menatap
puncak gunung yang tertutup awan hitam seperti payung. Dewi tidak tahu
bagaimana nasib Gentur, Iis, Bregas, Fauzan dan Dodo. Dia hanya berharap
semoga dia tidak terlambat.

Menjelang tengah hari, sekitar setengah dua belas siang, penduduk yang kemarin
melakukan pencarian terlihat turun menuju rumah Pak Muheri. Dewi berusaha
mencari sosok sahabat-sahabatnya diantar rombongan itu, tapi dia tidak
menemukan siapapun. Dia juga tidak melihat tandu yang membawa Masrukhi.
Kekecewaan dan rasa perih menyusup di relung hati. Dewi tertunduk, duduk lemas
di beranda rumah Pak Muheri dan terus menatap jauh ke puncak gunung.

Hujan kembali turun membasahi tanah Desa Bambangan. Desa yang tenang itu
mendadak riuh. Suara mobil dan radio komunikasi memenuhi udara. Operasi
pencarian dilakukan segera. Ratusan pendaki memenuhi beberapa rumah di Desa
Bambangan. Bukan untuk melakukan pendakian masal seperti yang sering
dilakukan. Sebuah ikatan persaudaraan dan rasa saling peduli yang membawa
langkah mereka ke desa ini. Rasa kehilangan dan terpanggil untuk membawa
kembali yang dikabarkan hilang membulatkan niat mereka untuk meninggalkan
semua kepentingan dan hiruk pikuk kota. Jogja berduka, diiringi doa dari
komunitas pencinta alam seluruh Indonesia.

Sementara itu, di stasiun Purwokerto yang sepi, pagi menggeliat. Ndaru, Wiwit,
Eri, Linda dan Iwan masih tertidur pulas di kursi stasiun. Sejak semalam mereka
bermalam di stasiun untuk kembali ke Jogja. Mereka telah berhasil menyelesaikan
pendakian mencapai puncak Gunung Slamet.

“Mas, bangun, Mas... mau dibersihkan.” Seorang lelaki setengah baya


mengguncang tubuh mereka. Barangkali karena kecapekan, mereka tidur sangat
pulas. “Mbak, bangun sudah siang.” kali ini Linda mendapat giliran. Dengan berat
dia membuka mata, tersenyum manis pada petugas kebersihan itu, dan berlalu
menuju mushola di sudut stasiun.

“Koran... koran… koran pagi, Mbak…” seorang penjaja Koran menyodorkan


beberapa surat kabar ke arah Linda.

Masih ngantuk kok disuruh baca koran, batinnya. Penjaja koran itu pun berlalu.
Linda kembali menemui teman-temannya yang masih juga belum bergerak, Ndaru
dan Wiwit sudah tidak kelihatan. Merasa tidak nyaman dengan pandangan lelaki
petugas kebersihan, Linda serta merta membangunkan Eri dan Iwan. Geliat rasa
malas membuai Eri dan Iwan. Masih dengan mata berat, kedua pemuda itu
menyandarkan tubuh di bahu kursi. Linda menarik tangan keduanya,
mendorongnya kearah mushola.

“Cuci muka sana, malu tau!” Eri dan Iwan menurut. “Teh hangat seger nih,”
gumam Linda kemudian seraya berjalan menuju satu warung makan di dalam
stasiun tidak jauh dari tempat mereka menumpuk carier yang lembab.

“Koran… koran… pendaki hilang di Gunung Slamet… koran… koran…” Lelaki


penjaja koran yang sama kembali mendekati Linda yang tidak terlalu menanggapi.
Teh hangat lebih dia butuhkan dari sekedar koran pagi.

Linda menikmati teh hangatnya ditemani mendoan yang super tipis dan agak basah
—mendoan khas bumi Banyumas. Dia melayangkan pandang matanya sejenak ke
luar warung, memastikan carier yang dia tinggalkan aman. Seorang lelaki tua
masuk ke warung tempat Linda menghangatkan harinya dengan secangkir teh.
Lelaki itu duduk tepat di depan Linda. Linda merasa terganggu dengan
kehadirannya. Dia pesan 4 bungkus minuman yang sama dan sebungkus roti basah
untuk teman – temannya. Saat menunggu pesanan itu, sesuatu menarik
perhatiannya...

Mata Linda terbelalak membaca headline surat kabar lokal yang dibentangkan si
lelaki tua. Berkali-kali dia baca ulang headline itu untuk meyakinkan matanya
tidak salah. Dengan jantung berdegup kencang Linda meninggalkan pesanan untuk
menemui teman-temannya yang tengah asyik memainkan batang rokok mereka.
Lelaki penjaja koran yang tadi dibiarkan mondar-mandir dihadapan mereka
dipanggil. Ndaru membeli beberapa koran dengan headline yang sama. Mereka
membaca dengan serius. Tidak ada komentar sampai akhir berita.

Linda, Eri dan Iwan tertunduk, membiarkan tubuh mereka jatuh di lantai stasiun.
Wiwit berlalu mencari wartel untuk memastikan berita itu, sementara Ndaru masih
terus membaca berita serupa dari beberapa koran yang dibelinya. Tidak berapa
lama, Wiwit kembali dengan mata berkaca-kaca.

“Kalian pulang ke Jogja, aku dan Ndaru akan kembali ke Bambangan,” dia berkata
pada teman-temannya.

***

Badai masih saja tidak mau beranjak dari puncak gunung. Dari desa Bambangan
awan di puncak terlihat bergerak memutar, tidak tentu arah. Hujan turun setiap hari
tanpa reda, petir menyambar menyisakan pilu yang tidak berkesudahan. Pencarian
masih belum membuahkan hasil. Fokus pencarian masih di sekitar lokasi terakhir
yang diinformasikan Dewi.

“Kita harus bentuk tim tambahan, jangan lupa masih ada dua tim yang melakukan
pendakian. Kita juga tidak tahu kondisi dan posisi mereka sekarang,” Wiwit
menyampaikan kekhawatirannya.
“Iya, kita akan bentuk 2 tim tambahan untuk menyisir jalur pendakian Baturaden
dan Kaliwadas. Semoga mereka masih ada di sekitar jalur pendakian itu,” kata
Dodi selaku penanggungjawab keseluruhan kegiatan ini.

Saat briefing berjalan, Gentur datang dengan menumpang ojek. Dewi yang sejak
tiba di Bambangan lebih banyak diam, melamun menatap nanar ke puncak gunung,
menyambut kedatangan Gentur dengan air mata yang tertahan. Semua orang yang
berada di rumah kepala dusun Bambangan menatap haru kearah Gentur. Mereka
memeluk Gentur dan mengucap syukur. Segelas susu hangat diantarkan untuk
memulihkan lemahnya kondisi fisik Gentur.

“Masrukhi sudah meninggal,” katanya pelan. Hening.

“Apapun kondisinya, kita harus membawanya pulang,” Alif menegaskan.

Operasi pencarian sudah berjalan tiga hari dan cuaca buruk masih saja
menghalangi tim pencari untuk mendekati lokasi seperti yang digambarkan oleh
Dewi dan Gentur. Sementara tim yang mencari lewat jalur Baturaden hanya
menemukan jejak tali rafia.

Cuaca sedikit agak membaik di hari Senin. Situasi ini digunakan oleh Tim
Baturaden II dan Kaliwadas II untuk melanjutkan perjalanan turun ke Bambangan.
Meskipun angin masih berhembus kencang tapi hujan sudah tidak lagi turun. Tapi
usaha itu tidak berjalan dengan sempurna, Agni mendadak terjatuh dan minta
ditinggalkan. Kondisi ini tidak bisa dibiarkan terjadi, sehingga di sebuah cerukan
yang berbentuk menyerupai lubang kunci mereka kembali berlindung untuk
merawat Agni.

Kejadian ini mengundang keprihatinan berbagai pihak, media massa dan elektronik
setiap saat mengabarkan perkembangan proses pencarian dan evakuasi. Belasan
tim diturunkan untuk menyisir semua jalur dan kemungkinan lokasi. Berpedoman
pada cerita Gentur, tim yang berangkat dari jalur Bambangan menemukan jejak
botol.

Tim terus melakukan penyisiran hingga tiba di batas vegetasi. Mereka melihat
sebuah tenda, persis yang digambarkan oleh Gentur. Tim merasa curiga karena
tidak terlihat adanya aktivitas atau suara sedikitpun. Begitu pintu tenda dibuka,
tidak ada Iis dan Bregas. Tim hanya menemukan Fauzan yang sudah meninggal.
Tim segera mengabarkan penemuan ini ke pusat pengendali operasi. Keheningan
kembali menyelimuti. Hanya terdengar suara gelombang radio yang kadang
terganggu oleh angin.

Medan yang berat dan cuaca buruk menghambat proses evakuasi Fauzan. Harus
menunggu bantuan agar bisa mengevakuasi Fauzan ke Bambangan. Tidak adanya
Iis dan Bregas di tenda itu menguatkan perkiraan tim bahwa Iis dan Bregas
melanjutkan perjalanan. Tapi karena kendala cuaca, tim memutuskan untuk tetap
berjaga di di posisi Fauzan sampai bantuan datang.

Pencarian untuk mengejar Iis dan Bregas pun dihentikan. Baru keesokan harinya
pencarian dilanjutkan dengan menghadang mereka dari bawah. Tim
diberangkatkan untuk melakukan pencarian Iis dan Bregas melalui Desa Serang.
Sementara itu pencarian Masrukhi masih terus dilakukan. Tim mencari disekitar
titik yang digambarkan oleh Dewi dan diyakinkan oleh Gentur, tetapi tim tidak
menemukan jejak apapun di lokasi tersebut.

Tim yang seharusnya mencari Masrukhi justru menemukan tim Baturaden II dan
Kaliwadas II di sebuah cerukan. Keadaan Adi semakin memburuk, kemungkinan
terserang hypothermia sehingga harus ditandu, dan Agni harus dipapah untuk bisa
berjalan. Tim pencari yang terdiri dari penduduk Desa Bambangan memberikan
bekal roti dan nasi untuk anggota tim Baturaden II dan Kaliwadas II.

“Tasnya ditinggal saja, nanti ada yang bawakan,” kata salah seorang anggota tim
pencari. 

Tanpa menunggu lebih lama, tim dievakuasi menuju Bambangan. Mendekati


plawangan cuaca membaik, matahari terasa lagi panasnya, langit biru tampak
indah memayungi jalur menuju Bambangan. Keindahan yang tidak bisa dinikmati
dengan sempurna karena tangis dan kehilangan tidak bisa jauh dari keseharian
operasi pencarian.

Sore hari setelah mendapat pertolongan dan pemulihan kondisi fisik di pos 4, tim
Baturaden II dan Kaliwadas II sampai di Desa Bambangan. Agni dan Adi segera
dibawa ke rumah sakit untuk mendapat pertolongan, sementara anggota tim yang
lain dievakuasi ke Purwokerto untuk segera pulang ke Jogja.

Pencarian masih berjalan. 14 Februari, yang katanya bertepatan dengan hari kasih
sayang, Iis ditemukan masih hidup tetapi terserang hypothermia. Lokasi penemuan
Iis yang berada di jurang membuat evakuasi tidak bisa dilakukan segera. Terpaksa
tim harus menunggu peralatan rescue datang. Dan di hari itu juga, Dodo ditemukan
meninggal. Tetapi karena saat ditemukan hari sudah sore, evakuasi tidak bisa
dilakukan. Semua menunggu.

Pertolongan evakuasi akhirnya datang. Fauzan dan Dodo dikembalikan ke Jogja


keesokan harinya setelah dilakukan visum dokter. Semua berduka. Mereka yang
kembali tidak lagi bisa bercerita. Iis satu-satunya yang bisa diharapkan, dia masih
hidup. Sebuah kekuatan untuk bertahan hidup yang membuatnya mampu bertahan.
Semua yang di Bambangan berharap Bregas juga akan ditemukan dalam keadaan
hidup. Karena sampai hari ke 7 sejak Dewi sampai di Bambangan, nasib Bregas
masih dalam tanda tanya. Mekipun masih hidup, Iis tidak bisa memberikan
keterangan apapun tentang Bregas, luka yang dialaminya membuat dia hanya bisa
terbata mengucap kata dan mengerang kesakitan. Usaha evakuasi dan pemulihan
kondisi terus dilakukan untuk Iis. Sampai pada suatu detik, di dini hari yang sunyi,
Iis menghembuskan napas terakhirnya. 

Kenyataan ini sangat menyakitkan untuk tim yang menemukan dan merawatnya.
Untuk beberapa saat mereka merasa frustasi, menyesal dan menyalahkan diri
sendiri karena tidak mampu menjaga Iis. Pun Tuhan sudah berkehendak lain, setiap
berita yang datang harus diterima dengan tegar meski rasa kehilangan tidak lagi
bisa tergambarkan. Iis meninggal, sementara Bregas dan Masrukhi masih belum
ada kepastian.

Operasi pencarian hilang di Gunung Slamet masih menjadi berita yang menyita
perhatian banyak pihak, mengingat waktu pencarian yang hampir satu minggu
tetapi dua korban masih belum ditemukan. Bantuan logistik terus berdatangan
untuk mendukung kelancaran pelaksanaan operasi. Mereka harus ditemukan dan
dibawa pulang.

Barulah pada 17 Februari, berita dari ketinggian 3020 mdpl bergema di pusat
pegendali operasi di desa Bambangan. Bregas ditemukan dalam keadaan
meninggal. Berselimutkan sarung dan berbalut jaket hitam, Bregas
menghembuskan napas terakhirnya. Satu demi satu mereka pergi. Sekuat tenaga
mereka menjaga napas dan bertahan hidup, namun badai tetap saja memisahkan
mereka dengan yang lain.

Empat orang sudah ditemukan dan diantarkan pulang dalam keabadian. Tersisa
satu sahabat yang masih terus dalam pencarian. Waktu operasi pencarian sudah
melewati batas perkiraan awal satu minggu dan Masrukhi masih belum juga
ditemukan. Penyisiran diputuskan untuk lebih rapat dengan lokasi yang lebih luas
mulai dari lokasi ditemukan Fauzan. Semua personil di kerahkan untuk
menemukan Masrukhi.

Berkekuatan 25 SRU di tengah kabut dan rintik hujan pencarian Masrukhi


dilakukan. Untuk kesekian kali kabut tebal menghadang tim sehingga pencarian
harus dihentikan. Penambahan jumlah SRU rupanya masih tidak seperti yang
diharapkan. Keberadaan Masrukhi menyisakan tanda tanya besar di benak setiap
orang yang terlibat dalam pencarian. Beragam anggapan bermunculan di
masyarakat yang mengikuti perkembangan kejadian ini, dan itu sangat tidak
menyenangkan.

Tekad untuk berhasil menemukan Masrukhi pun bulat. Pernyataan bahwa saat
ditinggalkan Masrukhi sudah meninggal mulai menemui bantahan. Ada yang yakin
bahwa Masrukhi sekarang masih hidup, adapula yang memastikan kalau saat
ditinggalkan Masrukhi sebenarnya masih hidup. Dia tidak ditemukan di lokasi
yang digambarkan Dewi dan Gentur jadi bisa saja Masrukhi mampu bertahan dan
bisa melanjutkan perjalanan. Terlalu banyak asumsi dan dugaan. Dari pusat
pengendali operasi diputuskan untuk menambah satu hari masa operasi.

Dan kebesaran Tuhan kembali datang, dari ketinggian 3400 mdpl, dikabarkan
Masrukhi telah ditemukan. Tangis haru pun pecah seiring berita kepergian yang
dikirimkan salah seorang anggota tim pencari. Semua yang berada di pusat
pengendali operasi, di dapur dan di sekitar rumah Pak Muheri berpelukan
mengucap syukur. Kelegaan yang sekian hari tidak pernah terasakan. Air mata
yang tertahan itupun jatuh. Sahabat telah kembali turun dari ketinggian puncak
Gunung Slamet. 

Epilog

Surat sahabat…

Dear : sahabatku yang telah mencapai puncak kedamaian abadi

Mengenangmu, membayangkan kamu ada di sini, di tengah acara pelantikan


malam ini. Seminggu yang lalu genap 8 tahun kamu pergi meninggalkan kami.
Kamu pergi begitu saja, tanpa pesan, tanpa berpamitan. Dan di indahnya malam
ini, di bawah naungan bintang yang berkilauan memenuhi hamparan langit yang
membentang luas, di terangi cahaya bulan purnama, di tengah hutan pinus dan
cemara. Manakala semua sahabat berkumpul dan bersenandung lagu tentang
alam dan persahabatan, aku ingat kamu, sahabat. Ada sesuatu yang hilang ketika
kutatap keindahan dan keakraban yang terjalin di tengah kesunyian Bambangan
malam ini.

Sahabatku yang paling cerewet, Iis… Sebagian hatiku terkikis setiap kali teringat
namamu juga wangi parfunmu yang selalu membuatmu bangga dan percaya diri
meskipun sebenarnya kamu belum mandi. Sampai sekarang, harum parfum kamu
masih tercium setiap kali aku datang ke Akuarium, sepertinya kamu ada di sana.
Wangi kamu menyebar menerobos di setiap celah semua sudut Gelanggang yang
dulu mempertemukan kita.

Sahabat, aku masih ingat saat pertama kali mengenalmu. Meskipun kamu lebih
tinggi 4 tingkat, tapi kamu tidak pernah mau di panggil dengan awalan Mbak.
Kurang akrab, katamu saat itu.

Is... kamu masih ingat Janu kan ? Iya cowok jangkung berkaca mata minus yang
selalu bikin keki dan sering bikinsebel kamu itu. Aku masih ingat betul, betapa
bingungnya kamu menghubungi untuk meminta komik sewaan yang dia bawa.
Hingga akhirnya komik itu balik ke tanganmu setelah sebulan lebih ada di
genggaman Janu, bahkan sempat kamu tinggal pulang ke Palembang. Dan
kejadian semacam itu nggak cuma sekali dua kali, tapi berkali-kali. Sampai aku
ikutan capek. Kalian sering banget kena denda sampai belasan ribu karena
terlambat mengembalikan komik-komik sewaan itu. Nggak tahu deh, Is, tuh anak
kenapa hobi banget bawa komik-komik sewaan kamu, padahal di rumah, koleksi
komiknya sekardus gedhe. Sejak seleksi calon anggota Mapagama, aku, kamu, dan
Janu selalu bersama, kayak udah kenal lama aja.

Entahlah, ada saja yang mengaitkan lidah kita untuk menciptakan kecerian di
sela-sela ketegangan mengikuti seleksi. Ada saja yang kamu lontarkan di tengah-
tengah rasa lelah dan bosan, bahkan kamu juga sering dan senang banget nyebut
Janu sebagai sephia-ku. Dasar jail banget deh lu…

Is... kini kamu sudah pergi jauh dari aku, Janu, juga dari sahabat-sahabat yang
lain. Kamu tinggalkan komunitas Bhezet juga kamu tinggalkan keluarga besar
Mapagama. Gelanggang tidak bisa kau injak lagi. Sejak kamu pergi, sejak
peristiwa Wajib Gunung 2001 kemarin, aku terkadang merasa sendirian dan
kesepian di Akuarium, apalagi Janu sudah tidak pernah lagi datang. Aku hanya
bisa berhubungan dengannya lewat e-mail atau ketemu dia di kampus. Katanya
sih mau menyelesaikan kursus bahasanya dan akan kembali ke Akuarium tahun
depan.

Is, kalau malam ini kamu ada di sini, kamu pasti akan tertawa mendengar keluhku
tentang sephia dan kamu juga bakal ngerjain aku sampai habis-habisan.

Is... aku tahu kamu tidak dapat membalas kalimat-kalimatku, tapi aku yakin kamu
mendengar semua ucapanku. Dan meskipun tanganku tidak dapat lagi menggapai
tanganmu, kamu pasti tahu kalau aku merindukanmu dan aku sedang mengenang
indahnya kisah cerita persahabatan kita yang hanya seumur jagung. Banyak
cerita yang tertulis di lembar persahabatanku tentang kamu, sejak seleksi calon
anggota baru, Gladimula, hingga Wajib Gunung bulan Februari 2001 lalu. Dan
satu kisah yang sangat aku sesalkan hingga kini, dan aku pun baru menyadari
kesalahan itu setelah aku mendengar kisah cerita yang sebenarnya dari orang
kepercayaanmu.

Is... kenapa dulu kamu tidak cerita padaku kalau kamu sayang dengan seseorang
yang justru kamu comblangkan untukku? Is, kalau saja dulu kamu cerita ke aku,
pasti aku tidak akan mencomblangkan kamu dengan seseorang yang justru nggak
pernah kamu sayangi.

Is... kamu pasti di sana merasakan, kalau orang yang sebenarnya kamu sayangi
senantiasa menanyakan cerita-cerita tentang kamu dan dia selalu merindukanmu.
Dia juga sayang kamu, Is.

Teringat kembali peristiwa Wajib Gunung Februari 2001. Is... aku senang banget
ketika mendengar kamu selamat dari maut yang menyelubungi perjalanan Wajib
Gunung kelompok yang kamu pimpin, Kaliwadas I. Meskipun kondisimu
dikabarkan kritis saat ditemukan, tapi aku yakin kamu mampu bertahan dalam
evakuasi dan perawatan. Di Akuarium yang siang itu sibuk berselimut duka, aku
menanti kedatanganmu kembali, aku siap menyambut kehadiranmu di tengah-
tengah mereka, dan kita akan menyanyikan bersama lagu Mahameru punya Dewa
19. Sayang, rupanya kebahagianku tidak lama berpihak. 5 menit kemudian berita
itu datang.

Matahari telah bersemayam di ragamu. Semua shock mendengar berita itu, Is.
Dan meski sempat dicegah untuk berangkat karena aku baru kemarin pulang dari
evakuasi, aku memutuskan untuk ikut berangkat bersama ambulans untuk
menjemputmu, membawamu pulang ke Yogya, ke Kampus Biru, ke Gelanggang.

Di kamar pemandian, aku tatap wajahmu yang tampak pucat, kurus dan lebih tua,
untuk yang terakhir kali. Aku tahu semua energi tubuhmu terkuras habis dalam
perjalanan panjang untuk mencari jalan keluar. Aku lihat mamamu membelai
wajahmu yang kini tertidur dalam damai dengan tabah, tegar dan rela. Sesekali
seorang wanita sebaya mamamu meneteskan air mata menatap kondisi mamamu
yang terus mengajakmu berbicara dan seolah meninabobokan tidur panjangmu.
Dan dengan tegas mamamu memastikan kalau beliau dalam keadaan sadar dan
rela. Mamamu melarang setiap sahabat yang berada di dalam ruangan menangis,
mamamu ingin mereka melepasmu dengan ikhlas.

Is... aku rasakan betapa beratnya menunggu bergantinya sang waktu sendirian di
tengah belantara hutan rimba dan hujan badai, sementara kamu tahu, sahabat-
sahabatmu tidak mampu lagi bertahan. Kamu tinggalkan mereka dalam matahari.
Kamu berjuang sendirian untuk keluar dari keterasingan, kebingungan, dan
ketakutan.

Is... malam ini aku teringat kembali padamu. Dan aku percaya kamu melihatku
dari dunia atas langitmu. Kedamaian telah membalut seluruh jiwamu seperti yang
kamu harapkan.

Is... ada bintang bersinar lebih terang di langit biru malam ini, iyakah itu kamu
yang sedang tersenyum melihat upacara pelantikan anggota muda malam ini..?

Sahabat dari rumah sebelah, Fauzan… Sahabat, baru sekali aku mendengar
namamu dan baru sekali juga aku melihat fotomu dalam sebuah surat kabar yang
mengabarkan tentang hilangnya pendaki dari Mapagama di Gunung Slamet.
Rupanya kamu menjadi penggembira tim Kaliwadas I saat itu.

Sahabat, aku tidak banyak tahu tentang kamu. Aku hanya tahu kamu dari unit
selam. Meskipun aku belum pernah bertemu langsung denganmu, tapi setiap kali
aku melihat sahabat-sahabatmu sibuk mempersiapkan tabung-tabung untuk
latihan selam, aku lihat kamu berada di tengah-tengah mereka. Seketika aku
sadar, kamu telah pergi meninggalkan mereka, begitu pula togamu. Baju
kebanggaan itu masih tergantung, belum tersentuh tubuhmu. 

Sahabat, kamu tidak dapat lagi ditemukan di Gelanggang.


Telah kamu temukan laut keabadian dan kini kamu sedang asyik menikmati
penyelamanmu di dasar laut biru. Bahkan telah kamu taklukkan istana dasar
lautnya dan kamu tabur benih kedamaian abadi di sana.

Sahabat juga seniorku, Masrukhi… Selama di Akuarium jarang sekali aku


bercakap denganmu. Aku juga tidak terlalu mengenalmu, yang aku tahu kamu
adalah pendamping tim Kaliwadas I dalam Wajib Gunung angkatan Bhezet 3318.

Satu kegiatan yang bisa mengingatkanku tentangmu hanyalah saat Gladimula 18.
Kamu banyak membantu calon anggota Mapagama termasuk aku. Pernah sekali
kamu menjadi pendamping kelompokku di lapangan. Sore itu hujan turun
membasahi tanah Jobolarangan, selesai SAR. Untuk sekedar berteduh dan
menghangatkan diri, mereka disuruh membuat bivak dari ponco. Ketika bivak
telah siap, kamu datang ke kelompok kami dan menyuruh kami makan semua
bekal yang masih tersisa. Saat itu bekal krackers yang ada di carierku masih utuh
4 bungkus. Untuk menghormati kamu, kami buka satu bungkus dengan harapan
bahwa kegiatan lapangan masih belum berakhir dan kami akan membutuhkan
makanan ini untuk besok hari. Ah…rupanya kami tersandung batu rencana kami
sendiri. Untuk kegiatan selanjutnya, yaitu survival, kami tidak diijinkan untuk
membawa banyak makanan. Bahan makanan yang kami bawa hanyalah sebatas
yang diberikan oleh panitia. Kalau saja kami tahu…

Sekarang kamu tak akan pernah lagi bisa bergabung di tengah-tengah ritual
penerimaan anggota baru, Gladimula… Dan akankah ada penggantimu yang akan
selalu memperhatikan adik-adiknya di lapangan. Aku percaya kamu selalu
memperhatikan langkah mereka di Mapagama dari puncak keabadian dengan
kedamaian yang sesungguhnya…

Sahabat juga seniorku, Dodo… “Oh betapa sempitnya Yogya” itulah kalimat
terakhir yang sempat aku dan kamu ucapkan sebelum perpisahan terjadi. Entah
mengapa, tiga hari sebelum keberangkatanmu mendampingi tim Wajib Gunung
Kaliwadas I, dunia terasa begitu kecilnya.

Di Akuarium kita ketemu, mau ke kamar mandi ketemu juga, e... di Mirota Kampus
pun ketemu, aku sedang menunggu bis dengan temanku kamu lewat di depanku
dan berhenti.
Pertemuan demi pertemuan terjadi tanpa di sengaja dalam selang waktu yang
hanya beberapa menit. Siang itu di tengah hiruk pikuk dan gerahnya kota Yogya,
kita hanya bisa tertawa menyadari kebetulan-ketidak sengajaan yang terjadi. Hari
itu kamu bilang kalau mau ke Sragen dengan temanmu;

“Mumpung masih ada waktu “ katamu. Aku tidak mengerti maksud dari kalimat
itu, yang aku tahu tiga hari lagi kamu harus berangkat mendamppingi perjalanan
Wajib Gunung tim Kaliwadas I dan kamu butuh waktu untuk mempersiapkan fisik
dan bekalmu. Aku pun tidak mengerti, kenapa kamu yakin banget untuk naik dari
jalur Kaliwadas padahal kamu belum pernah naik dari sana begitu pun dengan
anggota tim yang lain.

“Bosan lewat Baturaden. Pengen nyoba yang lain,” katamu memberii alasan.

Aku hanya bisa manggut-manggut mendengar penjelasanmu. Aku percaya kamu


bisa membawa tim Kaliwadas I hingga ke puncak dan menyelesaikan Wajib
Gunungnya.

Dodo... dari lima sahabat yang dinyatakan hilang, kamu pulang lebih dulu.
Tengah malam kamu tiba di Gelanggang. Mereka semua menunggumu sejak sore.
Mereka ingin menyambutmu, meski mereka tahu kamu tidak bisa berjalan sendiri
dan berlari dalam pelukan mereka. Kamu telah berbaring dalam damai ketika tiba
di Gelanggang. Tangis duka dan kehilangan pun tiak bisa mereka tahan.

Dodo... tengah malam itu juga kamu diantar pulang dalam pelukan keluarga.
Diiringi Himne Gajahmada jiwamu melangkah menjauh. Jalanan Yogya yang
malam itu sunyi kembali bergetar mendengar sirine ambulan yang membawa
tubuhmu. Mata-mata lelah di sepanjang jalan terjaga kembali, mereka keluar, ikut
melepas kepergianmu. Doa-doa kedamaian terucap untuk tidur panjangmu…

Sahabatku yang paling kalem, Bregas… Sahabat, harusnya kamu juga ada di sini
malam ini, seperti halnya Iis, Dodo, dan Masrukhi. Alangkah indahnya jika
mereka dapat merasakan keakraban malam ini bersama kamu juga sahabat-
sahabat yang pergi bersamamu.

Gas... Sesuatu yang tidak bisa aku lupa dari kamu adalah sifat kamu yang kalem
dan pendiam. Selama aku menjadi temanmu, sahabatmu di Akuarium, aku tahu
kamu adalah satu-satunya cowok pendiam bahkan paling pendiam aku pikir.
Pertama kali mengenalmu, aku masih sering salah memanggil antara kamu
dengan Toddy, tahu kan ? Kalian sekilas mirip banget, hanya bedanya ketika
sudah ngobrol baru kelihatan. Kamu senengnya ngomong pakai bahasa Indonesia
sementara Toddy lebih lancar dengan bahasa Jawanya.

Gas... aku nggak berani membayangkan kesendirian, kebosanan, ketakutan, dan


kelelahan yang kamu rasakan dalam cengkeraman hutan rimba dan hujan badai.
Kalaupun saat masih bersamamu Iis masih bisa membangkitkan semangat
hidupmu dengan cerewetnya, tapi apakah cerewetnya bisa mendobrak pribadimu
yang pendiam dan tertutup hingga kamu bisa bangkitkan keinginan hidupmu dari
dalam dirimu sendiri dan kalian bisa melangkah bersama.

Yah.. sudahlah. Kamu memang telah pergi menuju istana keabadian yang damai
bersama Iis, sahabat terbaikku yang cerewet, ditemani kakak-kakak terbaik kita,
Dodo, Masrukhi, dan juga Fauzan.
Sahabat, bukan saatnya aku menangisi dan mengungkit kepergian kalian.
Sekaranglah saatnya untuk mengenang indahnya persahabatan yang dulu pernah
terjalin diantara kita, memaknai setiap kejadian yang terjadi dan mengambil alih
semangat dan perjuangan kalian. Bersama sahabat di semua dunia, belajar
menghargai hidup dan persahabatan serta arti perjuangan dan pengorbanan.
Damailah jiwamu dalam puncak keabadian, Sahabat…

Quote:

“Ok, semua siap. Kita doa dulu sebelum berangkat... ” kata Teo, koordinator
pendakian.

Pendakian ini tidak sama dengan pendakian 8 tahun lalu. Pendakian ini adalah
perjalanan melepas rindu dan untuk sekedar mengingat peristiwa 8 tahun tragedi
Gunung Slamet yang merenggut nyawa 5 sahabat terbaik. Meneladani kedewasaan
mereka, melanjutkan semangat dan mewujudkan cita-cita yang terputus.

Anda mungkin juga menyukai