Anda di halaman 1dari 3

TUGAS BAHASA INDONESIA

Cerita Sejarah

XII MIA 1
Marvel Yonanta Setyawan (19)
Peh Pulo

Libur semester 1 kelas sebelas, aku dan teman temanku pergi ke sebuah pantai di Blitar.
Pantai itu adalah Pantai Peh Pulo, sebuah pantai yang berjarak 89 KM dari Kota Kediri. Pantai
itu memiliki penilaian yang cukup baik di berbagai laman rekomendasi wisata. Katanya, Pantai
Peh Pulo merupakan pantai yang masih terjaga kelestariannya. Memutuskan untuk pergi berlibur
bersama kesana, kami berencana untuk menginap barang semalam. agaknga mencari suasana
yang berbeda menjadi tujuan kami.

Pagi itu kami bertujuh sudah berkumpul di rumah temanku, untuk berkemas barang
barang kami agar lebih praktis. Tak lupa dua tenda, kompor portabel, juga perbekalan kami
persiapkan. Selepas dhuhur, kami pun berangkat, menaiki 3 motor vario dan satu cb150r, menuju
Blitar melalui jalur dalam. Jalan yang kami lalui begitu unik. Jalan itu merupakan jalan yang
hanya dicor tanpa menggunakan aspal, meliuk liuk layaknya ombak yang sudah menunggu kami.

Perjalan ‘berombak' kami memakan waktu sekitar 3 jam, sebelum akhirnya kami sampai,
di Pantai Serang. Yap. SERANG. Saat itu sudah pukul empat sore, dan seperti kalian kira, kami
salah mengambil belokan. Setelah beristirahat dan bertanya dimana pantai tujuan kami
sebenarnya kepada penduduk setempat, kami pun melanjutkan perjalanan. Pantai Serang dan
Pantai Peh Pulo agaknya hanya di pisahkan oleh sebuah bukit yang hanya bisa di lewati oleh
motor kopling. Alhasil, kami harus memutari jalan lain untuk sampai kesana. Bukan hanya itu,
jalan yang harus kami lalui untuk sampai kesana, cukup menarik. Jalan cor yang kesemua
permukaannya hampir ditutupi oleh tanah. “Semoga hujan tidak turun malam ini.” kataku dalam
hati.

Semakin dekat dengan destinasi, semakin aku khawatir. Ini bukan lagi terjaga
kelestarianya, tapi memang belum terjamah manusia. Motor yang kami kendarai tak lagi
menyentuh cor, melainkan tanah lempung yang syukur, masih kering. Motor diparkir, dan tenda
pun didirikan. Sengaja tenda kami agak menjorok ke laut, agar kami dapat dininabobokan oleh
deburan ombak. Awalnya kami mengira ombak takkan menjorok begitu dekat ke tenda. Setelah
masak dan makan, kami membuat minuman hangat untuk menemani malam dingin hari. Saat itu
sedang musim penghujan, jadi angin laut malam itu sedikit bermanja.

Pukul sebelas, saat kami akan beristirahat di dalam tenda, salah satu dari kami tiba tiba
panik. “rek ombak e nyedek e, gede sisan” katanya. Kupikir, ombak pasang malam itu memang
cukup ngeri, mengingat sedang tren bencana tsunami di pantai pantai selatan jawa. Awalnya
kami hanya santai mendengar kepanikan salah satu kawan kami itu, tapi setelah berkian kali ia
membawa bawa nama kejepangan itu, kami memindahkan tenda kami agak jauh dari pantai.

Tenda kami pindahkan ke bukit rerumputan dekat dengan area parkir. Amanlah tenda
kami, saatnya untuk merehatkan penat. Tapi, alam sepertinya menjawab ketakutanku. Hujan
turun. Untung saja tenda kami sudah dipasangi penutup tahan air. Namun sialnya, kami lupa
untuk membuat parit di sekitar tenda untuk air mengalir. Alhasil, air hujan meresap di bagian
bawah, tempat kami tidur. Ceroboh kami lagi, kami tidak menyewa matras tahan air. Hujan di
luar, banjir di dalam. Air menggenang cukup tinggi. Beberapa dari kami dapat kembali
melanjutkan tidur karena penat, beberapa lain mulai tadarus. Hujan lebat, ombak laut yang
mengamuk, dan danau buatan menghiasi kedua tenda kami.

Dengan terpaksa, kami ‘mengungsi' ke mushala yang ada disana. Hangat, bersih, dan
nyaman. Bukan, bukan itu yang ada disana. Melainkan mushala berdebu tanpa penerangan, yang
agaknya dibersihkan setahun dua kali. Minimal lebih baik dari dua tenda berdanau kami, batinku.
Seakan menyadari kehadiran kami, hewan hewan kecil penunggu mushala itu bereaksi. Tungau,
nyamuk, semut, dan entah hewan apasaja yang ada disitu. Sungguh nikmat tuhan mana yang
engkau dustakan. Kami mulai rindu dengan kasur empuk dan kamar hangat.

Setelah subuh, kami baru kembali ke tenda basah kuyup kami. Seluruh isi tenda, basah
seluruhnya. Untung saja pakian dan perbekalan sudah di amankan terlebih dahulu oleh salah satu
temanku. Setelah membuat sarapan dan menjemur barang barang basah, kami kembali ke bibir
pantai. Memang, Pantai Peh Pulo masih sangat terjaga kelestarianya. Pagi itu para nelayan juga
enggan melaut, karena cuaca semalam yang teramat buruk. Pasir putih bsrsih, air yang masih
jernih, memanjakan setiap pasang mata yang memandang. Setelah puas, kami pun berkemas.

Perjalanan pulang tak semudah keberangkatan kami. Jalan cor yang kusebut tadi, berubah
menjadi kubangan lumpur. Motor kami sudah seperti kerbau, roda rodanya berlumur, sampai
sampai hitamnya ban tertutup sempurna oleh lumpur. Perjalanan satu jam serasa berjam jam
lamanya. Sungguh, aku ingin pulang. Bersusah payah kami mendorong motor yang terjebak
lumpur, bahkan ada salah satu temanku yang jatuh dan seluruh badannya terkena lumpur.
Akhirnya, setelah maraton lumpur yang cukup melelahkan, kami berhasil mencapai jalan cor.

Tak ambil pusing soal motor dan kaki yang berlumur, kami langsung melanjutkan
perjalanan menuju blitar terlebih dahulu untuk mengisi bahan bakar ‘kerbau kerbau' kami,
sembari membasuh diri dan beristirahat barang sejenak. Setelah dua jam beristirahat,
melanjutkan perjalanan ke kediri bermotivasi kasur empuk cukup mudah. Mungkin kami akan
kembali ke pantai itu, bukan dalam waktu dekat pastinya, dan dengan perlengkapan yang lebih.

Anda mungkin juga menyukai