Anda di halaman 1dari 3

Petualangan Sehari

Pagi itu tidak seperti biasanya, pagi yang selalu sibuk dengan rutinitas kuliah dan tugas yang
sangat membosankan. Pagi itu aku awali memulai perjalanan untuk menikmati keindahan
alam bersama kesendirian, berdialog dengan sunyinya malam yang, bertabur bintang,
mendengarkan suara air hujan yang jatuh membasahi setiap jejak langkah kehidupan.
Rasanya indah dalam bayangku.

Setelah shalat subuh dan sarapan pagi, aku meriksa kembali barang bawaan yang telah
disiapkan di malam hari sebelumnya. setelah itu, aku berpamitan kepada kedua orang
tuaku, untuk pergi ke sebuah desa di kecamatan bonti, kabupaten sanggau.

Untuk sampai ke kecamatan bonti, aku menggunakan alat transportasi motor roda dua. Ya
kalau tiga itu becak mwehehe.

Selama diperjalanan aku sangat menikmati sekali, sehingga aku banyak berkhayal tentang
indahnya tempat yang akan ku kunjungi itu. Sekitar pukul 01.00 WIB, aku sampai di
kecamatan bonti, memang perjalan itu terasa sangat melelahkan karena, memakan waktu
sekitar 5jam lebih diperjalanan.

Setiba di tempat tujuan, aku bertemu dan dihampiri oleh seorang bapak-bapak yang
ternyata asli penduduk kecamatan itu. “dek mau ke mana?” ucap bapak separuh baya itu,
“ini pak, saya mau ke desa empodis, apakah bapak tahu? kalau tahu tolong antarkan saya”.
Dengan tarif yang agak murah, mengamini keinginaku untuk sampai di desa empodis.

Perjalanan tidak membosankan, bapak yang sering disebut “kang Maman”,


memberitahukan akan keindahan desa yang berada di kecamatan bonti tersebut, pak
maman menceritakan tentang, riam pemandian, dan bukit bakmunt, yang penuh akan
keindahan dan legenda tersebut. serta masyarakat yang masih menjunjung tinggi nilai adat
dan istiadatnya.

45 menit pun berlalu. Sampailah saya, di desa yang pertama tahu, setelah browsing
beberapa waktu lalu, tentang surga tersembunyi di kecamatan bonti. Udara dingin
menyambut kedatanganku. sampai-sampai kemeja flanel tebal pun tidak bisa menahanya.
“Terima kasih pak, telah mengantarkan saya ke sini”. sambil menyodorkan uang atas tarif
yang pak Maman sebutkan tadi. “sama-sama jang, kalau mau ke desa tersebut, ujang harus
berjalan melewati jalan itu”. Sambil telunjuknya mengarahkan kepada jalan setapak yang,
tepat berada selokan kecil yang airnya teramat sangat jernih. “iya pak, terima kasih”.

Segeralah kaki ini menyusuri setapak demi setapak jalan tanah yang di tunjukan pak maman
tadi. Sungguh indah perjalanan ini karena, disuguhi pemandangan alam yang menyejukan
mata. Terlihat menjulang tinggi, bukit bakmunt, sungai mengalir seakan berbisik “inilah
ciptaan keindahan tuhan yang harus kau syukuri”. Trek jalan terjal yang di sisi pinggirnya
adalah jurang, tepat di dasar jurangnya adalah sungai, jadi aku harus hati-hati
melangkahkan kaki yang sudah mulai lelah ini. Aku ikuti terus petunjuk arah jalan yang di
tempelkan pada pohon damar berusia ratusan tahun itu.

Selang waktu beberapa lama akhirnya aku sampai di sebuah desa bernama Empodis.
Rumah-rumah sederhana sangatlah indah karena, berpadu dengan kandang ternak dan
kolam ikan milik warga. Kedatanganku disambut ramah oleh mereka. Senyum dan sapa
diberikan ketika aku berpapasan dengan warga, meski aku belum mengenal mereka. Kaki ini
dihentikan langkahnya setelah, melihat hamparan luas rumput hijau dan pohon pinus yang
berderet memanjang. Nampaknya tempat itu cocok membangun kemah untuk, tempat
tinggal sementara.

Tenda yang di bawa di tas carrier, tidak lama pun saya dirikan. Perut pun terasa lapar,
sehingga bekal yang dibawa tadi habis di makan dengan beberapa suap saja. Tiba-tiba
datang seorang pemuda berpakaian khas dayak, dia bertanya akan izin untuk mendirikan
tenda di tempat itu. “permisi bang, apakah abang sudah mempunyai izin mendirikan tenda
di tempat ini?”. Dengan senyum ramahnya pemuda misterius itu bertanya. “maaf bang, saya
belum tahu akan harus izin berkemah di tempat ini”. Pemuda itu menjelaskan bahwa,
tempat tersebut adalah tempat berkemah yang biasa dijadikan tempat camp untuk
menjelajah desa Empodis oleh para wisatawan. Tapi tuturnya tahun ini selalu sepi,
dikarenakan wisatawan lebih suka menyewa penginapan yang disediakan penduduk desa.

Diajaklah aku kepada kepala desa setempat untuk mengisi surat perizinan yang tidak terlalu
rumit buatku. Kepala desa yang baik hati tersebut, menceritakan akan penampakan seekor
“babi hutan” yang turun ke arah tempat kemah tadi, beberapa hari yang lalu. Namun cerita
pak kades pun tak membuat aku takut akan berkemah di sana, karena aku tidak niat
mengganggu, jadi aman saja pikirku. setelah itu aku kembali ke tempat perkemahan tadi.

Resleting tenda pun aku kunci dengan gembok karena, aku akan menjelajah menuju curug
yang, menjadi salah satu spot indah desa pasir tugu, Dengan menyusuri trek jalan tanah
berbatu. Memang perlu tenaga ekstra, karena trek yang tidak mudah di lalui. Akan tetapi
perjalanan itu dibayar dengan keindahan hutan hujan alami yang langsung berada di kaki
bukit bakmunt.

15 menit berlalu, sampailah di riam pemandian. Dengan membayar karcis masuk sebesar Rp
2.000,- aku puas sekali dengan panorama alam indah, ciptaan sang ilahi. pengunjung tidak
terlalu ramai, saking sedikitnya bisa dihitung dengan hitungan jari saja. “Brrrr” setelah air
menyentuh kaki ini, rasanya dingin seperti air es. Aku tarik nafas dalam-dalam, dan
hembuskan perlahan, “hmmmmm”, ini lah ketenangan yang selama ini aku impikan, dekat
dengan alam, menikmati anugrah yang di berikan sang pencipta, tidak hentinya mulut ini
bersyukur kepadanya.

Melihat pengunjung lain dengan senangnya berenang di tepian riam pemandian, Rasanya
aku ingin melompat, berlari dan berteriak “aku adalah burung yang ingin terbang bebas di
langit sore” sembari tubuh ini menghempas air terjun yang jernih dan dingin itu. Akan tetapi
aku tidak membawa baju pengganti karena, aku lupa membawanya di tenda tadi. Jadi aku
hanya memasukan kaki ini ke dalam air yang mengalir dari riam ke sungai yang tidak dalam
tapi lumayan deras. waktu tidak terasa sudah hampir gelap. aku putuskan untuk kembali ke
perkemahan untuk istirahat. Sebelum pulang aku membeli kayu bakar yang ada di warung,
sekitar air terjun.

Di perjalanan kembali ke tenda, aku hanya ditemani langit jingga, dan suara burung yang
ingin kembali ke sarangnya. Terasa puitis sekali ketika keadaan itu, diimbangi dengan,
lantunan lagu “Ibu pertiwi” dari suaraku yang agak fals itu mwehehe.

Terlihat dari kejauhan ternyata di sebelah tendaku sudah ada yang mendirikan tenda baru.
Ternyata tenda itu milik seorang mahasiswi seumuranku, yang bernama Rinjani, namun dia
tidak sendirian, dia ditemani temannya yang bernama Sarah dan Aldo. “Sendirian aja mas?”,
tutur wanita manis berkerudung hijau tua itu, dia adalah Rinjani. “iya nih, karena kawan
yang lainnya sibuk kerja sama kuliah”, jawab singkatku.

Waktu shalat maghrib pun datang, kami pun bersiap-siap untuk menunaikan shalat maghrib.
setelah mengambil air wudhu di pancuran yang tidak jauh keberadaanya dari tenda. kami
menunaikan shalat maghrib berjamaah di alam terbuka ditemani dengan, matahari yang
mulai menghilang yang menyisakan keheningan dan suara jangkrik yang merdu, hal itu
menambah khusunya shalat kami.

Akhirnya kami putuskan untuk memasak bersama. Setelah logistik makanan masing-masing
di kumpulkan, Rinjani dan Sarah mulai memasak, di atas api kompor portable yang mereka
bawa. Sedangkan aku dan Aldo sibuk dengan api unggun yang kayu bakarnya aku beli tadi.
“Akhirnya mateng juga nih, ayo kita makan malam”. ucap Rinjani dibarengi ketawa yang
cukup khas yang, mengingatkanku kepada seseorang. “Ayo makan! udah laper nih gua dari
tadi, ayooo serbu!”. sembari tangan Aldo tak hentinya membagikan nasi kepada kami. “Eh,
lauknya seadanya yah, maaf juga kalau makanannya kurang enak, maklum amatiran hehe”.
tutur Sarah yang ternyata adalah pacarnya Aldo. Kami berempat makan malam dengan
lahap dan sangat kenyang.

Anda mungkin juga menyukai