Anda di halaman 1dari 4

Puasa Pertama Bersama Zura

Mentari pagi menyinari bumi. Cahayanya masuk melalui celah jendela kamarku. Burung-
burung berkicau merdu disamping rumahku. Kicauan burung itu membangunkanku dari tidur
lelapku. Tak seperti biasanya aku bangun dengan semangat. Karena apa? Karena hari ini
sahabatku akan menemuiku. Namanya Zura. Dia adalah sahabatku yang paling riang. Setiap
bulan ramadhan ia mudik dari pulau jawa ke rumah neneknya yang berada tidak jauh dari
rumahku. Tapi sudah dua tahun ini dia tidak mudik karena Covid-19.
Toktoktok. Suara pintu diketuk.
“Assalamualaikum,” kata seseorang di luar rumahku.
“Siapa sih pagi-pagi udah ke rumah?” kataku sambil berjalan keluar kamar, lalu aku
menjawab salam itu, “Waalaikumsalam.” Akupun membuka pintu rumahku. Betapa terkejut dan
bahagianya aku ketika melihat Zura sudah ada di depan rumahku. Segera aku berlari
menghampiri dan memeluknya.
“Hei, pelan-pelan, Sarah, aku nggak bernapas,” kata Zura sambil berusaha melepaskan
pelukanku.
“Hehehe, maaf, Zura, aku rindu nian. Maklumlah, dua tahun ndak ketemu,” kataku.
“Apa kabar, Sarah? sehat-sehat kan?” tanya Zura.
“Aku sekeluarga sehat-sehat bae. Kek mana kabar kau sekeluarga?” tanyaku.
“Sama sepertimu, Sarah. Alhamdulillah kami baik-baik saja,” jawab Zura.
Aku mempersilahkan Zura masuk ke rumah. Kami mengobrol tentang semua yang telah
kami lalui selama dua tahun ini ditemani secangkir teh dan sekaleng biskuit. Setelah lumayan
lama mengobrol, aku mengajak Zura mencari ikan di Sungai Slingsing yang berada di belakang
rumahku.
“Zura, kita cari ikan yuk?” ajakku pada Zura.
“Pakai apa kita cari ikannya, sarah? Aku kurang pandai menggunakan pancing,” tanya zura
padaku.
“Kita dak pakai pancing, Zura. Kita pakai tangguk. Tau tangguk kan?”
“Haa? Tangguk?” tanya zura sedikit kebingungan.
“Tangguk tu alat tradisional yang dibuat dari anyaman bambu, sering dipakai untuk mencari
ikan disungai. Nanti kuajari cara memakainya,” jelasku pada Zura.
Kami pun berjalan kaki menuju ke sungai. saat sampai di sungai, ternyata air sungai tersebut
mulai surut. Aku mencari bagian sungai yang sedikit dalam. Biasanya disanalah ikan-ikan
bersarang.
“Sini turun, Zura. Kuajari pakai tangguk” kataku sambil menuju ke sungai yang lumayan
dalam sambil membawa tangguk. Zura mengikutiku dibelakang.
Setelah berada di air aku mengajari Zura cara menangguk ikan. Tak butuh waktu lama Zura
sudah pandai menggunakan tangguk itu. Hal ini dibuktikan dengan tertangkapnya seekor ikan
seluang. Zura tampak sangat bahagia melihat hasil tanggukannya.
“Horeee. Aku dapat ikan,” seru Zura kegirangan melihat ikan hasil tangkapannya.
“Alhamdulillah, Zura, sini kubantu masukin ikan di ember,” kataku sambil meletakkan ikan
di ember bekas cat tembok.
“Ayo kita cari lagi ikannya, siapa tahu dapat banyak,” kata Zura sambil kembali menangguk
ikan.
Kami pun melanjutkan menangguk ikan. Tak terasa ember yang berisi ikan hasil tangkapan
kami sudah hampir penuh. Aku pun segera mengajak zura pulang.
“Sarah, nanti ikannya mau dimasak apa?” tanya Zura padaku ketika perjalanan pulang.
“Mungkin ikannya mau dimasak tempoyak karena biasanya sahur pertama ibuku pasti
memasak tempoyak,” jawabku.
Sesampainya di rumah kami berikan ikan tangkapan kami kepada ibu dan ibu sangat senang
melihat ikan hasil tangkapan kami.
“Wah, banyak ya ikanya. Pandai sekali kalian menangkapnya,” puji ibu pada kami.
“Iya bu, Sarah yang mengajariku cara menangkap ikan,” kata Zura pada ibu.
“Oh gitu. Oh iya, Sarah. Ibu minta tolong beliin tempoyak di kampung sebelah ya. Tadi ibu
udah cari di warung dekat sini ternyata udah abis, mau ya bantu ibu?” pinta ibu.
“Tentu saja kami mau bu, tapi kami mandi dulu ya” kataku pada ibu. Setelah mandi kami
segera berpamitan pada ibu.
Jarak kampungku dengan kampung sebelah lumayan jauh. Jalannya pun belum diaspal.
Jalannya berupa tanah merah dan kerikil. ketika turun hujan menjadi licin dan susah dilewati.
Ketika panas jalanan menjadi berdebu dan membuat mata perih. Sudah 3 hari ini tidak turun
hujan. Jalanan pun menjadi berdebu.
"Coba kalo jalannya dibenerin, pasti kita nggak akan susah melewatinya," gerutuku
"Sudah, syukuri saja yg ada, lagian kan kita tidak boleh mengeluh," kata Zura
"Iya-iya," kataku.
Ketika sedang mengobrol dengan Zura, tiba-tiba motorku melindas batu kerikil yang
berukuran agak besar. Sepeda motorku oleng. Aku tak dapat mengendalikannya. Aku dengar
teriakan Zura sebelum akhirnya kami terjatuh di tengah jalan.
“Aduh, kakiku sakit,” kata Zura kesakitan.
“Maaf, Zura. Aku nggak lihat batu kerikinya,” kataku.
“Nggak papa, Sarah. Aku baik-baik saja kok, kamu ada luka nggak?’ tanya Zura
“Kakiku lecet dikit tapi nggak apa-apa kok aku masih bisa membawa motor,” jawabku.
Aku dan Zura berusaha menegakkan motor yang terjatuh lalu melanjutkan perjalanan.
Setelah melalui perjalanan panjang kami pun sampai di kampung sebelah. Kami segera
membeli tempoyak pesanan ibu dalam jumlah banyak untuk stok di rumah.
Malam harinya aku dan Zura pergi ke masjid untuk melakukan salat terawih pertama dibulan
ramadhan tahun ini. Meski kaki kami terluka akibat kejadian siang tadi kami tetap semangat
menjalankan ibadah salat terawih. Saat salat terawih banyak anak kecil yg berlarian sana sini. Itu
membuat suasana menjadi berisik, bahkan ada pula yg bermain kembang api.
"Hei, jangan bermain di masjid, nanti yg lain terganggu," kataku. Anak-anak itu hanya diam
tak menjawab.
"Sudahlah nggak usah dihiraukan, mereka itu hanya anak-anak," kata Zura menenangkanku.
Aku pun mengangguk setuju. Salat terawih pun berjalan dengan khusyu’ walau masih ada
beberapa anak yang membuat keributan.
Saat perjalanan pulang, di desaku mati lampu. Untung saja aku dan Zura membawa senter.
Malam ini Zura tidur di rumahku karena ia ingin sahur pertama bersamaku. Begitu sampai di
rumah kami pun langsung tidur karena takut kesiangan. Kami tidak ingin ketinggalan momen
sahur pertama.
***
Samar-samar kudengar suara orang membangunkanku. Ternyata itu ibuku.
“Nak, ayo bangun. Ayo kita sahur, ibu sudah menyiapkan tempoyak ikan,” kata ibu sambil
mengusap kepalaku. Aku pun bangun dan segera membangunkan Zura.
“Hmm, sedap sekali aroma tempoyak ini” kataku ketika sudah sampai di ruang makan.
“Ayo Sarah dan Zura kita makan sahur. Jangan lupa baca niat puasa ya,” kata ibu.
“Iya. Bu,” jawab kami kompak. Kami pun memakan tempoyak ikan dengan lahap.
“Bagaimana keadaan luka di kaki kalian? Mudah-mudahan tidak terluka parah ya” kata ibu.
“Nggak apa-apa kok, Bu. Kami hanya terluka sedikit,” kataku.
“iya, Bu, tadi malam sudah kami obati. Terimakasih, Bu, sudah menyajikan makanan seenak
ini,” kata Zura.
Kami pun menikmati makan sahur dengan penuh syukur. Kami bersyukur masih bisa
bertemu bulan ramadhan tahun ini. Ditambah lagi dengan hadirnya sahabatku. Aku menjadi
bertambah semangat menjalankan puasa tahun ini.

Anda mungkin juga menyukai