Anda di halaman 1dari 20

Disuatu hari ketika aku terbangun dari tidur nyenyakku, aku mendengar suara burung

berkicau sangat ramai sekali menandakan bahwa cuaca dipagi hari ini sangat cerah,
ditambah dengan pantulan sinar matahari yang menembus kaca hingga dinding
kamarku itu, aku semakin yakin bahwa cuaca di pagi hari ini sangat cerah dan bagus.

Akupun terdiam, lalu berfikir dan telah menyadari bahwa hari ini adalah hari minggu,
begitu menyadari bahwa hari itu adalah hari minggu rasanya sangat senang dan
gembira sekali, karena dihari minggu ini tidak ada kegiatan belajar disekolah.

Seketika itu, akupun tiba-tiba ingin memejamkan mata kembali dalam tidurku seolah-
olah ingin menghabiskan hari minggu dengan tertidur dikamar sambil menikmati
hangatnya tempat tidurku yang terkena pantulan cahaya matahari.

Ketika aku sedang asik memeluk guling dan sudah siap untuk mulai memejamkan mata
kembali ditempat tidurku yang hangat ini, tak lama kemudian aku mencium harum-
harum masakan ibuku yang sangat mengubah selera.

Tak banyak berfikir lagi yang tadinya ingin memejamkan mata kembali setelah mencium
aroma-aroma masakan ibu, akupun langsung terbangun dari tempat tidurku lalu
meminum satu gelas air putih mineral dan menuju kekamar mandi untuk cuci muka dan
gosok gigi.

Setelah selesai mencuci muka dan menggosok gigi, akupun langsung menuju ke dapur
untuk memastikan benar atau tidak ibu yang memasak masakan yang aroma
masakannya itu dapat mengubah selera, semuapun terjawab oleh senyuman ibu yang
sangat manis.

Sesudah dari dapur sambil menunggu masakan ibu matang dan siap disajikan dimeja
makan, akupun langsung menuju ruang TV untuk menonton TV serial kesukaanku yaitu
Spongebob Squarpants, setelah beberapa menit menonton, lalu terdengar suara ibu
yang memanggil-manggil namaku.

Tak banyak tingkah lagi akupun langsung bergegas menuju ibu diruang makan dan
menyantap masakan-masakan ibu yang sangat enak sekali bersama keluarga tercinta.
Tiba-tiba akupun mendengar suara temanku yang menghampiri rumahku untuk
mengajak berputalang dihari minggu.

Bertualang di Hari Minggu


pixabay.com
Akupun langsung membukakan pintu rumahku sambil bertanya kepada teman-
temanku:
aku:”mau pada kemana nih pagi-pagi udah nyamper kerumah”?
teman:”ayo kita berpetualan”.

Takbanyak kata lagi akupun langsung mengambil sendal japit sambil meminta izin
kepada ibu untuk bermain dan berpetualang bersama teman-teman.

Sepanjang perjalanan aku mulai penasaran banget, sebenernya kita ini mau
berpetualang kemana. Eh ternyata teman-teman yang lainnya pun belum tau akan
kemana berpetualang pada hari minggu ini yang penting jalan aja katanya, hehe parah
yah mereka mah.

Daripada jalan-jalan ngga jelas kitapun mampir kerumah Indra yang kebetulan didekat
rumahnya itu terdapat danau, kedatangan kita itu bukan hanya sekedar mampir biasa
tetapi kita mempunyai rencana yaitu mengajaknya untuk bermain bersama.
Ketika kami ajak dia untuk bergabung bermain bareng bersama kami, diapun senang
sekali dan sangat semangat untuk bergabung dan bermain bersama kami.

Ada salah satu dari teman kami yang mengusulkan begini “Daripada kita berpetualang
ga jelas mending mancing aja yuk dirumah kamu ndra? Gimana? Eh ternyata usulannya
itu di terima oleh pemilikrumah itu, berhuntung sekali sih kami jon usulan mu diterima,
hehe.

Mancing Ikan di Danau

memancing di danau (situgunung.com)


Pada akhirnya kitapun berangkat untuk memancing ikan di danau, setelah beberapa
menit jalan menuju danau kitapun sampai di danau tersebut, ternyata perjalanan dari
rumah Indra menuju danau itu tidak membutuhkan waktu yang lama.

Sesampainya di danau tersebut kamipun langsung mengeluarkan peralatan untuk


memancing yang telah dibawa dari rumahnya Indra.
Pada akhirnya sebagian rombongan ada yang berpencar dan ada yang tetap bergabung
dalam rombongan untuk memancing ikan, sekitar 1jam lebih memancing ikan kamipun
mulai letih, Karena cahaya matahari yang semakin menyorot itu akhirnya kita
memutuskan untuk mengakhiri mancing ikan ini

Pengalaman Mandi di Sungai.

mandi di sungai
Setelah tadi memutuskan berhenti memancing ikan, kamipun berjalan mencari tempat
untuk berteduh sambil berisitahat, ditengah perjalanan salah satu teman dari kami
melihat sungai yang jernih dan bersih dan teman yang melihat sungai itupun langsung
melompat kedalam sungai tersebut.

Kita semua kaget dan terdiam sejenak ketika melihat reaksi lompatan teman saya ke
sungai itu, namun tak lama kemudian melihat teman saya yang asik berguyang di
perairan sungai yang jernih itu, kami langsung menyusul untuk melompat kedalam
sungai itu, dan akhirnya kami semua mandi di sungai bersama.

Air sungai yang saangat jernih dan bersih ini membuat rasa lelah dan rasa haus kamipun
ilang dengan sendirinya, saking asiknya berguyang sambil bercanda tawa bersawa yang
teman-teman tak terasa bahwa kita sudah 30 menit lebih mandi disungai.
Memang cuma sebentar, tapi meskipun cuman mandi sebentar badan kamipun sudah
mulai kedinginan sekali. Akhirnya kami memutuskan untuk mnyudahi mandi disungai ini
dan berencana untuk menghangatkan badan yang kedinginan.

Makan-Makan di Sawah

makan-makan disawah (ahsanfile.wordpress)


Setelah mandi disungai kamipun beristirahat dibawah pohon, sebagian dari teman-
teman kami adayang membuat api, adayang memanjat pohon kelapa, dan sebagian
lainnya ada yang membersihkan ikan yang hasil tadi mancing di danau.

setelah semuanya sudah siap, kamipun siap-siap untuk membakar hasil memancing di
danau tadi yaitu membakar ikan dengan peralatan dan bumbu ala kadarnya yaitu kecap
manis, mengapa hanya kecap? karena hanya kecap dan korek api saja yang kami bawa.
Sebenernya gambar diatas itu hanya ilustrasi biasa, kalo ngeliat gambar yang
sebenernya sih menyedihkan sekali, udah ikannya gosong yang cuma dialasi dengan
daun pisang. Untung nya foto itu udah ngga ada, jadi terpaksa saya mengambil foto itu
dari mbah google, hehe.

Setelah selesai bakar-bakar dan makan ikan kamipun langsung melanjutkan perjalanan,
ditengah perjalanan kami menemukan petani semangka yang sedang memanen
semangkanya, ternyata salah satu teman kami ada yang menghampiri petani tersebut.

Membantu Petani Panen Buah Semangka

www.deherba.com
Kita semuapun langsung menyusul teman kita yang telah duluan menghampiri petani
tersebut, ya kami mendatangi petani buah itu hanya sekedar main-main biasa sih, tanpa
berharap untuk diberi buah semangka oleh petani buah itu.

Ternyata ketika kami hendak akan melakukan perjalanan menuju pulang kerumah
masing-masing, kami disuruh membantu untuk mengumpulkan semangka-semangka
yang telah dipetik untuk dibawa ke saung penyimpanan.

Berhubung waktu sudah mulai memasuki sore, dan cuacapun sudah tidak mulai
mendukung membuat petani itu khawatir akan turunnya hujan.
Kamipun langsung membantu petani, dan mengangkut semua semangka yang baru saja
dipanen oleh petani buah itu dengan dibantu petani-petani lainnya, setelah semua
tugas kami selesai kmaipun langsung duduk dan beristirahat sejenak dilingkungan
saung tempat penyimpanan buah itu.

Tak lama kemudian petani buah itu datang menghampirikami dengan membawa
potongan-potonganbuah semangka yang barusaja dipanen olehnya, dan petanipun
berkata demiakan:

Petani:”Nak ambilah semangka ini, dan makanlah untuk kalian, anggap saja ini sebagai
ucapan terimakasihku atas kebaikan kalian”

Kami:”sebelumnya terimakasih pak atas kebaikan bapak ini terhadap kami yang telah
sunkan untuk memberikan buah semangka ini untuk kami”

Sesudah makan buahsemangka, berhubung waktu sudah menunjukan pukul 15:30 WIB,
kamipun memutuskan untuk pamitan kepada pak petani dan pulang kerumah masing-
masing.

Bermain Sepak Bola di Kampung Halaman


bermain bola di kampung (www.pulangkerja.com)
Ketika sedang dalam perjalanan pulang, ditengah perjalanan kami melihat suatu
kelompok lainnya yang sedang bermain sepak bola dilapangan, takbanya bincang lagi
saya dan yang lainnya pun ikut bergabung dalam permainan itu.

Tak terasa waktu pun sudah menunjukan pukul 17:00 WIB, dan aku pun mengakhiri
permainan bola tersebut, karena pantulan cahaya matahari yang tadinya memancarkan
sinar yang begitu cerah sudah mulai meredup, itu tanda hari sudah menjelang sore.

Setelah itu saya memutuskan untuk kembali pulang ke rumah masing-masing untuk
bersih-bersih dan mandi, kalo tidak bersih-bersih dan mandi bisa-bisa kena marah oleh
ibu, hehe.

Itulah kisah diatas yang telah saya tulis mengenai pengalaman pribadi saya sendiri
ketika masih diusia dini, masa-masa kecil yang menyenangkan rasanya ingin kembali ke
masa seperti itu lagi, dimana hanya bermain dan bermain tanpa harus memikirkan suatu
beban pikiran.
Semoga dengan cerita singkat saya ini bisa bermanfaat bagi teman-teman semua,
apabila ada salah-salah dan penyampaian kata, saya pribadi memohon maaf yang
sebesar-besarnya.

Selamat membaca teman-teman 

Masak-Masakan
Setelah menonton TV kegiatanku biasanya bermain, sendiri atau
bersama teman. Jika sendirian, aku bermain bongkar pasang.
Kadang membuat rumah-rumahan dari tanah atau batu atau
bantal-guling. Kadang bermain masak-masakan dari pelepah
pisang dan membuat kue dari campuran tanah dan air, kemudian
dipanggang alias dijemur di bawah terik matahari hingga kering.
Berbagai bentuk dan macam kue berhasil kuciptakan, hanya
bermodal air dan tanah, kreatif bukan?! Ah… andai laku dijual,
sudah jadi juragan kue aku sekarang.
Untuk masak-masakan biasanya aku melibatkan pisau untuk
mengiris bahan-bahan yang terdiri dari pelepah pisang dan daun-
daun tanaman. Tapi, jika Bapak melihatnya, ia akan melarang
dan menasehatiku panjang lebar bahwa anak kecil tidak boleh
mainan pisau, bahaya kalau teriris. Sekali lagi, semuanya hanya
masuk telinga kanan keluar telinga kiri untuk anak bebal seperti
ku. Nasehat dan peringatan Bapak tak pernah kugugu. Akibatnya,
jariku kerap kali teriris pisau (benar kata Bapak). Belum sembuh
luka di jari telunjuk, datang luka teriris yang baru, muncul di jari
tengah. Belum sembuh luka yang di jari tengah, muncul yang
baru di kelingking. Begitulah, hingga banyak hansaplast yang
menghiasi jari-jariku.
Hal macam itu tak sedikitpun membuat jera, meski perih saat
darah mengalir dari jariku yang teriris. Saat tanganku teriris, aku
menangis, kemudian bersembunyi di dalam lemari pakaian,
merintih, menahan, takut ketahuan Bapak. Ibu ku yang peka,
segera menyadari, membimbingku keluar dari lemari dan
membalut lukaku dengan perban atau hansaplast. Kemudian,
mengajakku berbaring, mengipasiku, atau kadang meniupi jariku
yang di perban, dan memintaku untuk tidak menangis lagi.
Sebenarnya aku menangis bukan karena sakit. Ah… rasa sakit
macam ini sudah biasa. Aku menangis karena takut dimarahi
bapak.
Aku menatap wajah ibuku, memelas dan berkata, “Ojo
diomongne Bapak ya Buk! (jangan bilang ke Bapak ya Bu!)”.
Ibuku mengangguk pelan.
“Janji ya!”, aku memastikan.
Ibuku mengangguk lagi.
Kemudian, perlahan-lahan kupejamkan mataku, tertidur. Air
mataku telah mengering. Dalam kelonan (dekapan) ibu, aku
merasa tenang. Tiupan ibu ke jemariku yang terluka, begitu
menyejukkan. Semuanya terasa tenteram. Sebenarnya aku tak
pernah bisa menyembunyikan luka teriris itu dari Bapak. Meski
Ibu tak pernah mengadukannya. Perban di tanganku itulah yang
selalu berucap tanpa kata pada Bapak, memberitahu bahwa
sekali lagi anaknya tak mengindahkah nasehat-nasehatnya.

Bermain di Lapangan
Hampir tiap hari, aku bermain dengan teman-teman kampungku.
Mereka ada banyak sekali. Kadang mereka membuatku tertawa,
kadang menangis. Tapi semuanya bagiku indah, semua yang aku
lakukan bersama teman-teman kampungku.
Kami punya tempat-tempat favorit untuk bermain. Kami biasa
bermain petak umpet, gobak sodor, kasti, beteng, atau patung-
patungan di tanah lapang yang terhampar di depan rumah teman-
teman kampungku. Semuanya seru, apalagi kalau sudah main
kasti, Bapak-bapak dan Ibu-ibu penonton menyoraki dan kadang
tertawa terbahak-bahak melihat aksi kami. Sejatinya, permainan
kasti adalah memukul bola yang dilempar lawan sejauh-jauhnya,
tapi yang kami lakukan adalah melempar pemukul sejauh-
jauhnya. Begitulah, permainan itu tak pernah serius, tapi cukup
untuk memuaskan hati kami. Setidaknya kami pernah mencoba
permainan Jepang itu, meski acak-kadut kami tak peduli, yang
penting semuanya Happy.
Bermain di Sawah
Tak jarang juga kami menyatu dengan alam, dengan tumbuh-
tumbuhan dan hewan. Meski siang-siang, terik matahari, panas,
kami tak peduli. Kami adalah sahabat matahari, tak ada yang
perlu di takuti.
Salah satu kegiatan kami adalah membuat perangkap ikan di
parit-parit tengah sawah. Menggiring ikan-ikan kecil masuk ke
dalam perangkap. Berteriak senang saat mendapati perangkap
terisi dengan ikan-ikan kecil (meskipun sebenarnya yang kami
dapat saat itu adalah kecebong-kecebong). Memasukkannya
dalam kantong plastik, bergantian memegangnya,
memandanginya yang bergerak gesit dalam air, dan bernyanyi
riang menapaki pematang sawah yang becek. Ah… hal
sesederhana itu, mampu membuat hati kami berbunga-bunga.

Menangkap Capung
Di sawah-sawah yang membentang luas, kami mencari ciplukan
(buah yang berbentuk bulat sebesar kelereng, berwarna hijau bila
mentah, dan berwarna coklat bila masak, rasanya amat manis).
Sering juga kami menangkap capung dan belalang, berlomba
mengumpulkan sebanyak-banyaknya. Inilah salah satu keahlian
kami, menangkap capung dan belalang yang terkenal gesit,
dengan tangan kosong, dengan jurus yang mengejutkan, bagi
hewan berkaki enam itu. Kami memiliki keahlian menangkap
capung dan belalang, tak peduli yang sedang terbang di udara
atau yang hinggap di ranting-ranting dan pucuk daun tanaman,
kami bisa menangkapnya, tanpa jaring.
Salah satu temanku memasang kuda-kuda, siap menangkap
buruan. Ia berdiri, mematung. Tangannya direntangkan, dengan
telapak tangan terbuka ke atas. Matanya berputar-putar mencari
capung yang terbang ke udara, berharap ada yang mau lewat di
atas kepalanya. Tuhan mengabulkan permohonannya. Tak berapa
lama, seekor capung bermanuver di samping tubuhnya. Naik.
Menukik. Terbang lagi. Dan akhirnya terbang melesat di atas
kepala temanku itu. Dengan cepat, secepat kilat, kedua telapak
tangan itu bertemu “puk” menangkup, capung itu dapat sekali
tepuk, hebat bukan. Manusia diciptakan dengan kelebihan
masing-masing. Kami diciptakan dengan kelebihan menangkap
serangga.
Ada yang lebih hebat lagi, beberapa temanku bahkan bisa
menangkap capung yang sedang terbang di udara bagai
menangkap gelembung balon. Mereka hanya tinggal meloncat,
melambaikan tangan, capung dalam genggaman, luar biasa. Aku
hanya bisa berhasil melakukan itu sekali dua kali, selebihnya
gagal.
Meski aku tak begitu mahir menangkap capung yang sedang
terbang di udara, aku mahir menangkap capung yang sedang
hinggap di ranting atau pucuk daun. Jika ada capung yang
hinggap, mataku fokus, tanganku mengambil ancang-ancang
beberapa cm di samping buruanku. Setelah aku merasa
waktunya tepat (naluri pemburu mode on), aku menggerakkan
tangan mendatar, cepat, pasti, sepersekian detik, capung
tertangkap. Shock, capung itu terkejut dengan keadaannya
sekarang, sayapnya terikat oleh dua jari manusia, tak bisa
terbang. Capung itu menggeliat, memberontak. Percuma.
Aku memasukkannya ke dalam plastik yang telah dilubangi kecil-
kecil agar capung di dalamnya bisa bernafas. Capung itu
berputar-putar, mencari jalan keluar. Percuma. Cukup lama.
Putus asa.
Aku mengamati capung yang terdiam itu. Bola matanya yang
bundar dan besar berputar-putar. Sungguh lucu. Warna tubuhnya
sungguh menawan, di dominasi warna biru cemerlang, berbelang
kuning. Sayapnya bening, berwarna-warni, bagai warna pelangi
saat memantulkan sinar matahari, sungguh cantik.
Aku duduk, sibuk memandangi capung tangkapanku. Tak peduli
dengan perlombaan menangkap capung itu. Satu capung dalam
genggaman, itu sudah cukup.
Capung itu mengepak-ngepak. Lemah. Entah mengapa aku
kasihan. Ia terlihat pasrah, matanya tak lagi berbinar, sayu. Ia
semakin lemah. Oh… aku tak ingin kalau capung ini sampai mati.
Makhluk cantik ini tak boleh mati, tak boleh mati karenaku. Aku
teringat kata Ibu, kalau aku tak boleh menyiksa binatang, dosa.
Oh… Tuhan, apa yang sedang aku lakukan?
Akhirnya aku memutuskan. Kuambil capung itu dari plastik,
kujepit sayapnya dengan jariku. Kuangkat ke atas. Ku bebaskan
ia. Sayapnya mengepak, sejenak linglung, terbangnya terseok-
seok, namun dengan cepat ia menyeimbangkan tubuhnya,
terbang ke atas, dan seakan menoleh ke arah ku, berkata
“Terima Kasih”. Aku melambaikan tangan dan membalasnya
“Sama-sama” (jangan pernah meremehkan imajinasi anak-anak,
mereka pengkhayal yang hebat).
Kemudian, capung itu melesat, gesit, ke angkasa, tak terlihat.
Aku menatap takzim kepergiannya. Aku merasa lebih bahagia.
Beberapa saat kemudian, temanku menghampiriku, bingung,
melihat tanganku yang kosong.
“Ndi kinjeng mu? Gak entuk belas? (Mana capungmu? Tidak
dapat sama sekali?)”, tanyanya heran.
Aku tersenyum dan berkata, “Sepertinya kita tidak usah
berlomba menangkap capung lagi”.
Aku menunjuk plastik yang dipegang oleh temanku. Tiga ekor
capung berebut tempat dan oksigen di dalamnya. Sambil
memasang wajah serius aku kembali berkata, “Kalau mereka
mati, arwah mereka akan menghantuimu tiap hari”.
Temanku bergidik, sambil tersenyum datar ia berkata, “Ah…
enek-enek ae awakmu (Ah… ada-ada saja kamu)”.
Aku hanya tersenyum, melangkah pergi.
Di belakangku temanku itu buru-buru membuka plastiknya. Tiga
ekor capung terbang. Bebas. Langit menyambutnya.
Hari-hari berikutnya aku rindu menangkap capung. Kenikmatan
dan ketegangan menangkap capung menyergapku. Aku juga ingin
melihat keindahan warnanya. Akhirnya, jika tidak tahan, aku
menangkapnya, hanya melihatnya sebentar, lalu melepaskannya
lagi.
Berbeda dengan capung, belalang mudah ditangkap. Bagi kami
mereka tak terlalu gesit. Tapi kami tak begitu suka menangkap
belalang. Selain tak ada kenikmatan saat menangkapnya (karena
terlalu pasif, tak banyak bergerak, tak ada tantangan), belalang
juga sering buang kotoran dan cairan bau saat di tangkap.
Alhasil, kami harus cuci tangan bersih-bersih.
Semenjak itu, aku tak pernah menangkap capung dan belalang
lagi. Aku cukup bahagia melihat mereka terbang sesuka hati,
kesana-kemari, menghias angkasa. Ternyata yang seperti itu
lebih indah, melihat mereka bahagia. Tak ada yang lebih bahagia
melebihi kebebasan bukan?!.

Mencari Telur Dalam Jerami


Selain bermain di sawah, kami biasanya mencari telur dalam
jerami. Kegiatan ini sangat seru. Hanya saja kami tak bisa
menikmatinya setiap hari. Hanya waktu-waktu tertentu, pada
musim ayam-ayam betina bertelur. Pak Poh (panggilan bagi
kakak Ibuku) memiliki peternakan ayam. Peternakan itu berada
tak jauh dari lapangan tempat bermain kami. Area peternakan itu
besar, tapi ayam ternaknya tak begitu banyak. Sehingga ayam-
ayam itu dibiarkan bebas tanpa di masukkan ke dalam kandang-
kandang kecil. Pak Poh membuat sebuah “rumah” bagi ayam-
ayam itu. Lengkap dengan jerami yang tebal dan berundak
sebagai alas serta atapnya. “Rumah” ayam itu setengah terbuka.
Yang dibatasi dinding hanya bagian belakang, samping kiri, dan
samping kanan. Rumah itu digunakan ayam-ayam untuk tidur,
berteduh, dan bertelur. Jika musim bertelur tiba, Pak Poh
memanggil kami, dan membagikan keranjang kecil pada kami. Ia
meminta kami untuk mengambil telur-telur yang ada di tumpukan
jerami di “rumah ayam” itu. Kami menerima tawaran Pak Poh
dengan senang hati. Kami berlomba mengumpulkan telur-telur.
Berhati-hati, jangan sampai menginjak telurnya. Jangan sampai
telurnya pecah, sayang.
Kami mencari dengan jeli, sampai ke sela-sela, ke sudut ruangan,
siapa tahu ada ayam yang termarjinalkan di dalam kelompoknya,
tak punya tempat, terpaksa bertelur di sudut ruangan. Kasihan.
Setelah keranjang-keranjang kami terisi telur, kami
memberikannya kepada Pak Poh. Pak Poh tersenyum, berterima
kasih. Membawa telur-telur itu ke dalam, untuk ditetaskan.
Sebagai imbalannya kami mendapatkan sekeranjang jagung
untuk dibakar dan dimakan bersama-sama. Ah… betapa
nikmatnya.
Di Sepanjang Rel Kereta Api
Sore hari, biasanya kami habiskan untuk berkejar-kejaran di
padang rumput yang di atasnya membujur rel kereta api.
Berlarian kesana-kemari. Memetik dan mengumpulkan bunga-
bunga liar yang menghiasi padang rumput bersama teman-teman
perempuan.
Kemudian menyelipkan bunga itu di rambut masing-masing.
Menonton para teman lelaki yang beradu layang-layang dengan
anak kampung sebelah. Menyoraki memberi semangat. Berteriak
“Yach” bila layangan teman kami yang putus, dan berteriak “Yes”
bila layangan lawan yang putus.
Berjingkat-jingkat dan melambai-lambai jika kereta api lewat, tak
jarang penumpang dalam kereta melemparkan sebungkus keripik
dan balas melambai. Ah… kereta api yang lewat sesingkat itu,
mampu membuat kami saling berbagi dengan penghuni dunia
yang lain, berbagi keceriaan dan rizki. Sungguh, bagaimana bisa
aku melupakannya.
Permainan dan canda tawa kami harus berakhir saat  Ibu-ibu
kami, dari kejauhan memanggil-manggil nama kami, meneriaki
kami untuk pulang. Kami berjalan beriringan, pulang. Keringat
membasahi baju kami, bau kecut, bau matahari. Saat perjalanan
pulang dari padang rumput, kami harus melewati pematang
sawah, meloncati parit kecil, dan hup, mendaratlah kami di tanah
belakang rumah-rumah kami (tepatnya rumah-rumah teman
kampungku, karena rumahku masih 500 meter lagi dari situ). Aku
menggandeng tangan adikku, berjalan pulang, menghampiri Ibu
kami yang telah menunggu di depan gang. Aku melewati ibu-ibu
dan nenek-nenek yang berbaris, duduk di tiap-tiap anak tangga
depan salah satu rumah, saling pijet-pijetan atau petan-petanan,
senang. Bertemu juga dengan Bapak-bapak yang pulang dari
merumput, memarkir sepeda, memanggul karung penuh rumput,
lelah. Semua itu adalah satu dari sekian panorama yang tak
dapat kujumpai di kota, tempatku tinggal dewasa ini.
Waktunya Minum Susu!
Selesai mandi, dua gelas susu sapi rasa vanilla, sebut saja
Dancow, telah siap di atas meja. Satu untukku dan satu untuk
adikku. Seperti biasa aku berlari keluar rumah dengan segelas
susu di tanganku, adikku mengikutiku dari belakang. Aku
menoleh ke arahnya, tertawa licik, ia pun demikian. Kami
berkonspirasi, ah tidak, tepatnya aku merencanakan sesuatu dan
adikku setuju. Dan konspirasi ini telah terjadi beberapa kali,
berhasil.  Ibuku berteriak-teriak di belakang kami, “Mau
kemana? Minum susunya, jangan lari-larian!”.
“Kami minum di luar”, jawabku tanpa menoleh. Ibu lagi-lagi
percaya (Benarkah?).
Sampai di teras, aku berhenti. Menoleh pada adikku yang telah
berada di sampingku, tersenyum licik, adikku pun demikian. Aku
melangkahkan kaki, mendekati salah satu tanaman, pohon
bonsai. Dengan anggun, kuangkat segelas susuku dan
menuangkannya ke dalam pot bonsai yang terletak setinggi
dadaku itu. Cairan putih itu mengalir meresap ke dalam tanah,
cepat. Tak berapa lama kemudian, cairan putih yang kedua
mengalir, meresap ke dalam tanah, tak secepat yang pertama.
Cairan putih kedua itu dari gelas susu milik Adikku. Kami berdua
saling pandang, tersenyum puas. Konspirasi selesai. Sejauh ini
berjalan dengan lancar.
Kami masuk ke dalam rumah, memperlihatkan dua gelas yang
telah kosong kepada Ibu, tersenyum bangga, dan berkata,
“Wis tak mimik buk (sudah aku minum Bu)”
“Pinter”, ucap Ibu sambil mengelus rambut kami, tapi tiba-tiba
ibu menggandeng tangan kami dan mengajak kami ke teras.
Astaga, menuju pohon bonsai yang baru bersendawa karena
habis minum susu itu.
Jejak-jejak cairan putih itu masih membekas, terlihat jelas. Kami
ketahuan. Konspirasi gagal.
Ibu menggeleng-geleng kepala, lalu berjongkok menatap kami
berdua, bergantian, berkata, “Kalian yang minum atau pohon
bonsai ini yang minum susunya?”
Kami diam. Sudah jelas. Pohon itu yang meminum susunya,
kenapa Ibu masih bertanya juga.
Ibu melanjutkan, “Wah… wah… begitu ya ternyata caranya. Kalau
begini, pohon bonsai ini yang gemuk. Lain kali minumnya harus di
depan Ibu”.
Kami diam. Mendengarkan (benarkah?).
Ibu mendesah pelan, melanjutkan, “Susu itu tidak boleh di buang-
buang. Ibu dan bapak bekerja cari uang biar bisa beli susu buat
kalian. Jadi lain kali tidak boleh begini lagi, mengerti?”. Ibu
menasehati.
Kami berdua mengangguk pasrah, tak berani membantah karena
telah berbuat salah.
Tapi akhirnya mulutku berucap juga, “Habis rasanya gag enak
buk, kayak mau muntah”. Adikku menggangguk setuju.
“Kalau biasa minum nanti jadi gag terasa kayak muntah lagi.
Makanya susunya harus diminum, biar terbiasa sama rasanya”.
Aku tak mengerti. Kalau tak enak, ya tetap tak enak. Akhirnya
aku hanya mau minum susu kalau dicampur dengan sedikit kopi,
atau susu rasa coklat, atau susu tanpa dicampur air (Nah, yang
terakhir ini yang paling nikmat).

Malam yang sunyi dengan angin yang dingin seraya menemani dua anak kecil berusia 6 tahunan yang
sedang menikmati keindahan bintang.
“Kinan, kalo udah gede mau jadi apa?” Feri bertanya sambil menatap Kinan.
“Kalo aku mau jadi pilot!” 
“Yang jadi pilot itu kan laki-laki, kamu kan perempuan! Mending kamu jadi perawat aja deh! Jadi
perawat nenekku.”
“Aku maunya jadi pilot! Aku nggak mau jadi perawatnya nenek kamu!” Kinan memonyongkan bibirnya ke
depan, “Emangnya kamu mau jadi apa?”
“Aku mau jadi orang yang berguna di dunia ini. Bisa nyenengin Mamah, Papah, Nenek, kamu pasti besok
juga bangga punya temen kayak aku.”
“Ok, janji ya kamu bakal ngebanggain aku? Awas kalo boong!” kata Kinan sambil menggepalkan
tangannya.
“Iya deh, kamu juga janji ya akan terus sama-sama aku sampe gede… jadi aku bisa buktiin ke kamu kalo
aku bisa jadi yang terbaik…” Feri tersenyum pada Kinan lalu keduanya sama-sama mengangkat
kelingking mereka, “Oh iya, kamu mau nggak jadi pacar aku? Jadi… kita akan terus bareng sampe gede
nanti… kayak Mamah sama Papah aku….”

“Okey, kita pacaran yah…” Kinan menggenggam tangan kecil Feri.


***
Lamunan Kinan buyar saat Nina, sahabatnya duduk di samping kirinya dan menawarkan segelas soft
drink.
“Lo nggak ada kuliah hari ini?” tanya Nina sambil meneguk soft drink-nya.
Kinan menggeleng pelan.
“Kok masuk sih?”
“Males di rumah, mending ke kampus aja.” 
Lama-lama keduanya diam...
“Nin, menurut lo janji masa kecil itu masih berlaku nggak sekarang?” Kinan menatap Nina dan berharap
ia mau memberi jawaban.
“Cie... teringat sama kisah masa kecil,” goda Nina menyenggol lengan Kinan.
“Gue serius nih, Nin! Masih berlaku nggak?”
“Nggak mesti, lagipula itu kan udah berlalu... eh, emang siapa sih yang lo maksud?”
“Temen kecil gue! Dia pernah janji, dia bakal ngebuat gue bangga kalo udah gede. Tapi... nggak lama
setelah dia ngucapin janji itu, dia ke luar negeri. Padahal dia sendiri yang nyuruh gue janji untuk selalu
sama-sama dia, eh malah dia yang ninggalin gue, bahkan dia itu nembak gue. Dengan seenaknya karena
masih kecil, gue jawab iya aja.” Kinan menceritakan masa kecilnya pada Nina sambil tersenyum sendiri.
“Oww... So Sweet. Terus selama pisah, komunikasi kalian masih nggak?”
“Nggak tuh. Namanya juga masih kecil, 6 tahun gila! Masa, sekecil gitu udah bisa ngirim gue e-mail?”
“Iya juga sih eh, gue masuk dulu ya? Ada kuliah nih. Bye,”
***
Kinan membawa nampan berisi bakso dan segelas orange juice untuk ia lahap karna perutnya sedari tadi
sudah minta untuk diisi. Dengan extra hati-hati ia membawa nampan itu, ketika Kinan hendak duduk,
bola basket melayang ke arahnya dan nampannya pun tumpah ke lantai. Kinan menganga dan mendesah.
“Aduh-aduh sori, gue nggak sengaja. Tiba-tiba bola basket... ”
“Stop-stop! Gue nggak butuh alasan, sekarang bersihin nih piring-piring! Awas kalo sampe nggak bersih!”
potong Kinan lalu memesan lagi menu yang sama dan dibawanya ke meja tadi. Dilihatnya cowok itu
sambil membersihkan kuah yang tumpah.
“Udah bersih! Asal lo tahu ya…”
“Oh, udah bersih yah? Thank deh. Udah untung lo nggak gue suruh ngganti nih makanan,” potong Kinan
lagi sambil melahap baksonya.
“Lo kira gue nggak mampu bayar semua makanan lo? Gue beli kantin ini pun sanggup! Sialan!” cowok itu
ngacir meninggalkan Kinan yang tersenyum puas.
Setelah jam kuliah Nina selesai, Kinan menghampiri bocah itu yang lagi ngobrol dengan seorang cowok.
“Hei!” sapa Kinan pada Nina, lalu tatapannya beralih pada cowok di samping Nina yang ternyata cowok
yang numpahin makanannya barusan.
“Lo lagi?” mereka hampir berbarengan.
“Lo kenal sama cowok ini?” Kinan beralih pada Nina yang tidak tahu letak persoalannya.
“Dia saudara tiri gue, namanya Eri. O ya Er, kenalin ini sahabat gue namanya Kinan,” Nina
memperkenalkan Eri pada Kinan.
“Kinan???” raut wajah Eri berubah saat mendengar nama Kinan.
“Kenapa? Lo kaget nama Kinan itu bagus?” Kinan tak mau kalah.
“Perasaan gue tadi nggak ngomong bagus? Aneh aja ada nama lucu,” jawab Eri.
“Sssstt… kalian kenapa sih? Udah pada kenal ya? Nan, ini loch yang namanya Eri yang waktu itu gue
ceritain. Mamahnya Eri itu Mamahnya gue sekarang. Dan dia baru aja pulang dari luar negeri trus
nglanjutin kuliah disini,”
Kinan hanya mengangkat bahunya, lalu duduk di sebelah kanan Nina.
“Eh, lanjutin yang tadi donk!” desak Nina pada Kinan.
“Yang mana?” 
“Cerita masa kecil lo!”
“Apa???” tiba-tiba Eri histeris dan menatap kedua cewek cantik itu.
“Urusan apa lo?” tanya Kinan galak.
“Geer amat sih lo! Eh, gue latihan dulu ya, Nin? Entar gue tunggu lo selesai kuliah deh.” Ucapnya pada
Nina.
Nina hanya tersenyum lalu beralih lagi pada Kinan, “Lo ada apa sih sama Eri?”
“Dia itu udah numpahin makanan gue tadi waktu di kantin! Nggak mau minta maaf lagi! Pake ngatain
gue segala!” Kinan menceritakan setengah sebal.
“Oh, itu sih biasa! Eri emang anaknya kayak gitu, katanya sih semenjak Neneknya meninggal, terus
ditambah lagi Papahnya selingkuh, ortu mereka akhirnya cerai dan nyokapnya menikah sama bokap gue.
Dia jadi sering ngerokok,”
“Gue nggak mikiirin!”
***

Nina berada di mobil Eri, keduanya hanya diam, bingung harus memulai pembicaraan apa. Nina juga
tidak begitu dekat dengan Eri. Baru juga ketemu satu minggu yang lalu
“Nin, Kinan itu sahabat lo?” Eri membuka pertanyaan.
“He-eh, dia temen gue sejak SMA.”
“Dia punya cerita masa kecil? Ha…ha… tadi gue denger awal-awalnya.”
Nina tertawa, “Iya, dia juga sempet nanya ke gue kalo janji masa kecil itu masih berlaku nggak sekarang,
terus katanya dia ditembak sama temen kecilnya itu,”
Tiba-tiba aja Eri nge-rem mendadak. Nina pun melongo, “Ada apa, Er?”
“Enggak!” Eri seperti menyembunyikan sesuatu.
“Lo udah kenal Kinan sebelum gue ya?” Nina menyelidik.
Eri diam, Nina pun semakin bingung dengan tingkah Eri.
“Lo kenapa sih, Er? Naksir sama Kinan ya? Tenang aja gue bantuin deh.”
“Bukan gitu, sebenernya……”
***

“KINAN!!!” Nina beteriak memanggil Kinan sambil berlari menghampirinya. semua orang pun menoleh
pada Nina. Kinan pun terkejut melihat tingkah sahabatnya ini.
“Kenapa sih lo?” 
“Nih liat, ada bingkisan buat lo! Cepet buka deh, siapa tahu aja dari temen kecil lo, ” Nina bener-bener
bersemangat menyuruh Kinan membuka bingkisan itu.
“Ngaco lo! Mana mungkin Feri bisa tahu kampus gue?” 
“Udah cepet buka,”
Perlahan-lahan Kinan membuka kado itu, di lihatnya sebuah pesawat-pesawatan kecil. Kinan tersenyum,
lalu ia mengambil memo yang berada di dalam kotak itu.

“ Eh masih inget gue nggak? Ehm, sekarang lo masih pengin nggak jadi pilot, Nan? Gue tunggu lo di atap
gedung kampus, sekarang!”

Kinan termenung, sebenernya ia sudah yakin kalo Feri lah yang mengirimkan semua ini. Siapa lagi yang
tahu kalo dirinya dulu ingin sekali menjadi pilot?
“Iya kan?” Nina mengagetkan Kinan.
“Eh, lo kok tahu kalo ini dari temen kecil gue?” 
Nina celingukan lalu menggaruk-garuk kepalanya, “Gue nggak tahu apa-apa kok,”
“Pasti ada sesuatu nih!” selidik Kinan.
“Nggak! Udah sana lo pergi ke atap,” 
“Tuh kan! Buktinya lo tahu isi suratnya Feri, hayo… lo pasti dalangnya ya?”
“Oppss… hehe… cepet!!!” Nina mendorong Kinan lalu meninggalkannya.
***
Kinan kini sudah berada di atas atap kampus, tapi tak ada siapa-siapa disini. Kinan cemberut,
harapannya pupus lagi untuk bertemu dengan Feri.
“Pasti Nina ngerjain gue, mana mungkin dia bener-bener dateng?” gumam Kinan hampir meneteskan air
matanya.
“Siapa bilang?” terdengar suara cowok yang membuat Kinan ingin berbalik dan mengetahui siapa yang
kini berada di belakangnya.
Namun, setelah Kinan berbalik, betapa kagetnya ia saat melihat seseorang yang sangat ia kenal berdiri di
depannya. Eri.
“Ngapain lo disini?” Kinan merasa dirinya telah dipermainkan oleh Nina dan Eri.
“Mau nemuin temen kecil gue, opps… salah, maksudnya mau nemuin pacar kecil gue!” jawab Eri yang
membuat Kinan menatapnya sengit.
“Lo pikir gue mau diboongin sama lo? Ini pasti kerjaan Nina kan? Dia pasti nyuruh lo untuk ngaku-ngaku
jadi Feri, biar gue seneng?”
“Nan, gue bener-bener nggak tahu kehadiran gue bisa buat lo seneng. Maafin gue yang dulu pergi
ninggalin lo, padahal gue punya janji untuk ngebuat lo bangga. Tapi gue pikir, udah nggak ada harapan
lagi untuk nge-raih cita-cita gue, karna… nenek, nyokap-bokap gue udah nggak ada yang bikin gue
ngebanggain mereka. Dan gue pikir, lo juga pergi ninggalin gue dan nggak inget lagi sama masa kecil
kita… tapi ternyata gue salah, lo masih setia nunggu gue, dan gue ngajak lo kesini biar bisa liat bintang
kayak dulu saat kita sama-sama ngucapin janji, meskipun ini siang tapi lo pasti bisa liat pesawat itu kan?”
tangan Eri menunjuk kearah pesawat yang melintas di atas.
Kinan tak menjawab, ia hanya menunduk.
“Dari awal gue denger nama lo, gue jadi inget sama Kinan kecil yang dulu selalu main sama gue, bahkan
waktu gue main sepak bola pun lo ikut-ikutan, meskipun jatuh!”
Kinan sadar, ia belum menceritakan semua ini pada Nina, jadi ia tak punya alasan untuk menuduh Eri
atau Feri yang bukan-bukan.
“Kenapa lo ke luar negeri?” suara Kinan bergetar.
“Nyokap sama Bokap cerai, dan gue disuruh ngikut Nyokap. Lo tahu kan gue sayang banget sama mereka
berdua? Pas gue tahu mereka bakal pisah, gue kalut banget, makanya gue nggak sempet pamit sama lo,”
“Lo Feri kecil gue?” Kinan menatap Eri mengelus wajahnya.
“Dan lo Kinan kecil gue?”
“Mana janjinya? Katanya mau ngebuat gue bangga?” tagih Kinan.
“Emmh, nih!” Eri mengeluarkan kristal berbentuk love dan bertuliskan ‘I LOVE YOU’.
Kinan melongo.
“Meski ini nggak bikin bangga, tapi ini bisa bikin lo melongo!”
“Enak aja!” Kinan memukul lengan Eri.
“ Eh, kalo dipikir-pikir kita sebenernya belum putus sejak umur 6 tahun lalu. Kita masih pacaran loh,”
“Emangnya iya? Dari dulu gue nggak pernah ngerasain pacaran sama lo,” 
Eri tersenyum.
“Hmmm… Jadi jawabannya apa?”
“I love you too,”
Mereka tertawa di sela-sela tangis, lalu Eri mendekap tubuh Kinan dan mengayun-ayunkannya. Di saat
itu juga, Nina datang sambil meniupkan terompet.
“Selamat ya? Ternyata Feri kecilnya Kinan itu Eri saudara gue! Kalo tahu gitu sih, gue kenalin Eri dari
dulu aja biar Kinan nggak ngelamun terus!”
Mereka bertiga tertawa lepas, mereka semua telah menemukan kebahagiaan disana.
***

Anda mungkin juga menyukai