Anda di halaman 1dari 6

Legenda Putri Duyung Cerita Rakyat dari Sulawesi Tengah

Nyam, ikan ini lezat sekali, kata si Sulung. Ibu tersenyum mendengar ucapan anaknya. Mereka
sekeluarga memang jarang makan ikan. Sehari-hari, suaminya hanya menanam ubi dan jagung di
ladang, itulah yang mereka makan.
Cerita Rakyat Sulawesi Tengah
Bu, boleh aku tambah ikannya lagi? tanya si Tengah. Boleh saja, Nak. Makanlah sampai
kenyang, jawab Ibu sambil menyuapi si Bungsu.
Sang Ayah diam saja. Ia tak menduga anak-anaknya begitu suka pada ikan hasil tangkapannya
itu. Nanti ia akan pergi lagi ke laut, siapa tahu ia mendapat ikan lagi. Bu, aku pergi dulu ya.
Sisakan satu ekor ikan untuk makan siangku nanti. Sesudah ke ladang, aku akan ke laut sebentar.
Siapa tahu aku bisa mendapatkan ikan, pamitnya pada ibu. Ibu mengangguk mengiyakan dan
berangkatlah ayah ke ladang.
Setelah Ayah pergi, Ibu membereskan rumah. Ia menyimpan sisa ikan dan nasi ke lemari makan.
Ketiga anaknya asyik bermain. Mereka berkejar-kejaran dan berteriak-teriak dengan riang. Ibu
itu tersenyum melihat tingkah laku anak-anaknya. Dalam hati ia bersyukur, hari ini bisa
memberikan sedikit makanan enak pada mereka.
Hari menjelang siang ketika si Bungsu merengek. Bu, aku lapar. Aku mau makan nasi don ikan
seperti tadi pagi, katanya. Rupanya ia lapar setelah lelah bermain dengan kedua kakaknya. \
Jangan Nak, lebih baik kau makan ubi rebus saja. Ayo, sini Ibu ambilkan, jawab Ibu.
Tidak mau Bu, aku mau makan nasi dan ikan, rengek si Bungsu lagi. Kali ini ia merengek
sambil menangis. Tapi Ibu tetap bersikukuh. Ia tak mau memberikan ikan itu pada anak
bungsunga. Ia tahu benar tabiat suaminya, jika sudah berpesan, harus dilaksanakan.
Karena permintaannya tak dikabulkan, maka si Bungsu menangis berguling-guling di tanah.
Sambil meraung-raung, Ibuuu, aku laparrrr. Teriak si Bungsu.
Tak tega melihat keadaan itu, akhirnya Ibu mengalah. Ia menyuapkan nasi dan ikan pada si
Bungsu. Si Sulung dan si Tengah yang melihat adiknya makan ikan, ikut meminta pada Ibu.
Mereka pun makan ikan sisa dari Adiknya yang bungsu.
Apa yang terjadi kemudian? Ya, tak ada lagi secuil ikan pun untuk Ayah. Ikan yang disimpan Ibu
habis tak bersisa. Apa boleh buat, aku akan menjelaskannya pada suamiku nanti, kata Ibu
dalam hati.
Sang Ayah pulang dari laut. Kali ini ia tak berhasil mendapat ikan seekor pun. Ia sangat kesal,
apalagi ubi di ladangnya juga dirusak babi hutan.
Istriku, aku sangat lelah dan lapar. Tolong siapkan makan siangku, pintanya pada Ibu. Lho,
mana ikan sisa sarapan tadi? Bukankah aku sudah bilang untuk menyisakan satu untukku?
tanyanya ketika melihat istrinya hanya menghidangkan ubi rebus.
Iya Bang, aku tadi sudah simpan. Tapi apa boleh buat, anak-anak lapar dan minta makan lagi.
Akhirnya ikan itu habis dimakan mereka, jawab Ibu. Apa? Teganya kau melakukan ini pada
suamimu? Aku bekerja keras seharian dan kau menghabiskan semua ikan yang kutangkap
dengan susah payah? teriak suaminya.
Ibu hanya terdiam, ia paham benar watak suaminya yang pemarah. Ia minta maaf dan berjanji
akan menuruti pesan suaminya. Tapi berulang kaii ibu meminta maaf, sang suami tetap saja
mengomel dan menghardiknya dengan kata-kata yang tak pantas. Hati ibu sakit sekali, sehingga
ia memutuskan untuk meninggalkan rumah. Ya, ia tak tahan lagi pada perlakuan suaminya.
Keesokan paginya, ketika ketiga anaknya bangun, mereka bingung mencari ibunya. Ayahnya
hanya mengedikkan bahu ketika mereka bertanya ke mana ibunya.

Mungkin ke laut untuk mencari ikan untuk kalian. Bukankah kalian sangat menyukai ikan?
jawab sang Ayah tak peduli. Lalu, ketiga anak itu pergi ke laut.
Mereka berteriak-teriak memanggil ibunya, Ibuuu Ibuu Ibu di mana? Si Bungsu lapar, ia
mau menyusu.
Tiba-tiba, muncullah ibu dari arah laut lepas. Ia membawa beberapa ekor ikan di tangannya. Ia
segera memeluk ketiga anaknya dan menyusui si Bungsu. Pulanglah kalian, bawa ikan ini untuk
makan slang kalian, katanya setelah selesai menyusui. Ibu tidak ikut pulang? tanya si Sulung.
Nanti Ibu akan menyusul kalian, jawabnya singkat. Lalu ia kembali ke tengah lautan.
Ketiga anak itu pulang sambil membawa beberapa ekor ikan. Si Sulung memanggang ikan itu
untuk lauk makan siang mereka. Sudah sore, Ibu belum juga pulang. Ketiga anak itu bertahan
menunggu ibunya hingga larut malam, tapi Ibu tak juga pulang. Akhirnya mereka tertidur,
sedangkan sang Ayah tak peduli sedikit pun dengan keadaan istrinya.
Keesokan harinya, ketiga anak itu kembali ke laut. Mereka memanggil-manggil ibunya. Ibu
disini Nak, kemarilah kalian. Terdengar suara Ibu menjawab panggilan mereka.
Ketiga anak itu terkejut melihat ibunya. Wajahnya memang wajah ibu mereka namun badannya
sungguh mengerikan. Badannnya penuh sisik dan tidak berkaki. Si Ibu memiliki ekor sama
persis seperti ikan.
Si Bungsu menangis keras melihat ibunya, ia bahkan menolak untuk di susui.
Si Sulung marah. Kau bukan ibu kami, kau pasti ikan yang mencelakai Ibu kami. Ibu ibu
dimana ibu? teriak si Sulung.
Percayalah Nak, aku ini ibumu. Ibu berubah Seperti ini karena bertekad untuk tinggal di laut.
Ibu sudah tidak tahan dengan perlakuan ayah kalian. Si Ibu mencoba menjelaskan. Namun
ketiga anaknya bergeming. Mereka malah meninggalkan ibunya dan pulang kerumah. Hati
wanita yang saat ini berubah wujud menjadi manusia setengah ikan sangat hancur. Ia tidak
menyangka keputusannya akan memisahkannya dengan anak-anak yang sangat dicintainya. Ia
hanya bisa menangis dan kembali ke laut. Sejak saat itu dia dikenal dengan nama ikan duyung.
Karena kecantikannya banyak juga orang yang menyebut Putri duyung.
Pesan moral dari Cerita Rakyat Sulawesi Tengah : Legenda Putri Duyung untukmu adalah
janganlah menyakiti hati orang lain. Berhati-hatilah dalam mengambil keputusan supaya tidak
menyesal di kemudian hari.

Asal Usul Pohon Sagu dan Palem


Alkisah, di daerah Donggala, Sulawesi Tengah, hidup sepasang suami-istri
bersama seorang anak perempuannya. Mereka tinggal di sebuah rumah tua
yang terletak di pinggir hutan Dolo. Hidup mereka sangat miskin. Untuk
memenuhi kebutuhan sehari-hari, mereka mencari buah-buahan dan hasil
hutan lainnya yang tersedia di sekitar mereka.
Semakin lama sang Suami pun merasa bosan hidup dengan keadaan seperti
itu. Akhirnya, timbullah niatnya ingin membuka lahan perkebunan yang akan
ditanami dengan berbagai jenis tanaman palawija dan sayur-sayuran. Suatu
hari, ia pun menyampaikan niat baiknya tersebut kepada istrinya.
Dik! Bagaimana kalau kita berkebun saja? Aku sudah bosan hidup seperti ini
terus, ungkap sang Suami.
Alangkah senang hati sang Istri mendengar rencana suaminya. Ia merasa
bahwa suaminya akan berubah untuk tidak bermalas-malasan bekerja.
Bang, kita mau berkebun di mana? Bukankah kita tidak mempunyai lahan
untuk berkebun? tanya sang Istri.
Tenang, Dik! Besok Abang akan bertemu juragan dan meminjam uang untuk
modal, jawab sang Suami.
Baiklah kalau begitu, aku setuju kata sang Istri.
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke rumah juragan.
assalamualaikum juragan
walaikumsalam ada apa pagi pagi datang kemari?
pasti mau pinjam uang kan
maaf juragan saya benar benar membutuhkan bantuan juragan
baiklah apa yang bisa saya bantu?
saya benar benar membutuhkan uang untuk modal membuka lahan
kan sudah saya bilang!! Dasar orang miskin taunya hanya meminta minta
saya minta maaf atas kelakuan istriku tadi, jadi ini sedikit uang
terimakasih banyak juragan nanti pasti saya kembalikan

Sepulangnya ia dari rumah juragan, ia pun menyusuri hutan dan


menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan lahan perkebunan.
Sementara itu, sang Istri bersama anaknya menunggu di rumah sambil
menyiangi rerumputan yang tumbuh di pekarangan rumah.
Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan sambil membawa buahbuahan untuk persiapan makan malam mereka. Istrinya pun menyambutnya
dengan penuh harapan. Usai menyuguhkan minuman, sang Istri bertanya
kepada suaminya.
Bang, bagaimana hasilnya? Apakah Abang sudah mendapat pinjaman dan
menemukan tempat yang cocok untuk dijadikan lahan perkebunan?

Iya, Dik! Abang sudah menemui juragan dan menemukan sebidang tanah
yang subur, jawab sang Suami.
Mendengar jawaban suaminya, sang Istri merasa gembira. Ia berharap
dengan adanya pekerjaan baru tersebut kehidupan keluarga mereka akan
menjadi lebih baik suatu hari kelak.
O iya, Bang! Kalau Adik boleh tahu, di mana letak lahan itu? sang Istri
kembali bertanya.
Letaknya tidak jauh dari rumah kita, jawab sang Suami.
Syukurlah kalau begitu, Bang! Kita tidak perlu berjalan jauh untuk
mencapainya. Lalu, kapan Abang akan memulai membuka lahan? tanya
sang Istri.
Kalau tidak ada aral melintang, besok Abang akan memulainya bersama
ojo, jawab sang Suami dengan penuh keyakinan.
Beberapa saat kemudian, hari sudah mulai gelap. Sang Istri pun menyiapkan
makan malam seadanya. Usai makan malam, keluarga miskin tersebut
beristirahat setelah hampir seharian bekerja. Anaknya kemudian datang dan
memijat bahu bapaknya yang kelelahan
pak, aku mau pergi kekota sama teman teman
buat apa nak?
mau pergi jalan jalan dengan teman
maaf nak, bapak belum punya uang
yasudah pak tidak apa apa

Keesokan harinya, pagi-pagi sekali sang Suami berangkat ke hutan sambil


membawa parang dan cangkul. Sesampainya di tempat yang akan dijadikan
lahan perkebunan, tiba-tiba muncul sifat malasnya. Ia bukannya membabat
hutan, melainkan duduk termenung sambil memerhatikan pepohanan yang
tumbuh besar dan hijau di hadapannya. Kemudian datanglah sahabatnya
yang bernama ojo.
kenapa kau hanya duduk duduk bukannya bekerja?
aku malas bekerja, kau saja sana
apa maksudmu?
aku bosan hidup miskin terus, istriku selalu mengomel dirumah
yang tabah aku saja yang sudah setua ini belum memiliki istri
ah kau ini
Tak lama kemudian datanglah juragan dan istrinya untuk melihat lihat hutan
selamat pagi juragan,bu
ya pagi, apa yang kalian berdua lakukan disini?

kami berencana untuk mengolah hutan ini pak


lalu kenapa kalian tidak mulai bekerja?
baik bu saya pergi dulu, mari juragan
lalu kamu kenapa masih disini? Kamu sudah dipinjamkan uang tapi malas
bekerja
apa hubungannya dengan anda? Toh nanti uangnya saya kembalikan
apa kamu bilang! Dasar tidak tau diuntung!
sudah hentikan, biarkan saja dia urus urusannya sendiri, maaf sudah
mengganggu

Sementara itu, istri dan anaknya sedang menunggu di rumah dengan penuh
harapan. Sang Istri mengharapkan agar suaminya segera membuka lahan
perkebunan.
Anakku! Jika Ayahmu telah selesai membuka lahan perkebunan, kita bisa
membantunya menanam sayur-sayuran dan umbi-umbian di kebun, ujar
sang Ibu kepada anaknya.
Bolehkah aku ikut membantu, Ibu? tanya anaknya.
Tentu, Anakku! Ayahmu pasti sangat senang
membantunya, jawab sang Ibu sambil tersenyum.

jika

kamu

juga

ikut

Menjelang sore hari, sang Suami pulang dari hutan. Ia pun disambut oleh
istrinya dengan suguhan air minum. Setelah suaminya selesai minum dan
rasa capeknya hilang, sang Istri pun kembali menanyakan tentang hasil
pekerjaannya hari itu.
Bagaimana hasilnya hari ini, Bang?
Belum selesai, Dik! jawab sang Suami.
Keesokan harinya, sang Suami kembali ke hutan. Setiba di sana, ia pun
kembali hanya duduk termenung. Begitulah pekerjaannya setiap hari.
Begitupula jika ditanyai oleh istrinya tentang hasil pekerjaannya, ia selalu
menjawab belum selesai.
Oleh karena penasaran ingin melihat hasil pekerjaan suaminya, suatu siang
sang Istri menyusulnya ke hutan tempatnya bekerja. Sesampainya di tempat
itu, ia mendapati suaminya duduk termenung sambil bersandar di bawah
sebuah pohon. Alangkah kecewanya sang Istri, karena lahan perkebunan
yang diharapkannya tidak terwujud.
Bang! Mana lahan perkebunan itu? tanya sang Istri.
Mendengar pertanyaan istrinya itu, sang Suami bukannya menjawabnya.
Akan tetapi, ia segera bangkit dari tempat duduknya, kemudian langsung
pulang dengan perasaan marah. Rupanya, ia merasa tersinggung karena
istrinya menyusul ke hutan. Mengetahui suaminya marah, sang Istri pun
mengikutinya dari belakang.Sesampai di rumah, kemarahan sang Suami
semakin memuncak. Ia melampiaskan kemarahannya dengan membanting
barang-barang yang ada di dalam rumahnya. Sang Istri yang tidak menerima
kelakuan suaminya itu langsung berlari menuju ke hutan sambil menangis.

Sesampainya di tengah hutan, ia langsung menceburkan diri ke dalam


sebuah telaga.Sementara itu, sang Suami yang baru menyadari akibat dari
kelakuannya segera mengajak anaknya untuk menyusul istrinya ke tengah
hutan.
Ayo Anakku, kita susul Ibumu ke hutan! ajak sang Ayah sambil menarik
tangan anaknya.
Baik, Ayah! jawab anaknya.
Sesampainya di tengah hutan, tidak jauh dari hadapan mereka terlihatlah
sang Istri berada di tengah telaga. Tubuhnya sedikit demi sedikit menjelma
menjadi pohon sagu. Melihat peristiwa itu, ayah dan anak itu pun segera
berlari mendekati telaga.
Maafkan aku, Dik! Kembalilah! teriak sang Suami.
Ibu..., Ibu.... Aku ikut! teriak anaknya sambil menangis.
Kamu di sini saja, Anakku! Tidak usah ikut ibumu, sebentar lagi dia
kembali, bujuk sang Ayah.
Tidak Ayah! Aku mau ikut Ibu, kata anaknya meronta-ronta.
Sang Ayah terus berusaha membujuk anaknya agar berhenti menangis.
Namun, sang Anak tetap menangis dan bersikeras ingin ikut ibunya. Saat
sang Ayah lengah, si anak pun berlari dan terjun masuk ke dalam telaga.
Maka seketika itu pula, ia menjelma menjadi sebatang pohon sagu seperti
ibunya.Setelah melihat peristiwa itu, barulah sang Suami sadar dan
menyesali semua perbuatannya.
Maafkan aku, Istriku! Maafkan aku, Anakku! Aku sangat menyesal atas
semua perbuatanku kepada kalian, ucapnya sambil menangis berderai air
mata.
Berulang kali sang Suami meminta maaf kepada istri maupun kepada
anaknya. Namun, apa hendak dikata, nasi sudah menjadi bubur. Menyesal
kemudian tiadalah guna. Istri dan anaknya telah menjelma menjadi pohon
sagu. Ia pun tidak ingin hidup sendirian tanpa istri dan anaknya. Akhirnya, ia
pun ikut terjun ke dalam telaga itu. Ketika itu pula ia pun menjelma menjadi
sebatang pohon palem.

Anda mungkin juga menyukai