Anda di halaman 1dari 4

E ntah apakah aku menyesal atau bahagia sekarang?

Aku bingung, meskipun sekarang adalah hari


pernikahanku.

M
emang! Banyak orang bilang, hari-hari seperti ini sangat langka dan
bersejarah. Tapi, aku tidak tau apa itu benar atau tidak. Hembusan angin
mulai menggelitiki malamku. Burung-burung malam terus ersiul merdu
sambil bercengkraman di ranting-ranting pohon. Begitu juga sang rembulan
yang tersenyum manja memancarkan cahaya ke agungan tuhan, pandanganku tertuju keluar
kamar menyapu semua pepohonan yang menjulang tinggi di seberang jalan sana, embun
pagi mulai jatuh bercucuran menyebar luas di pucuk dedaunan termuda. Aku yang tengah
duduk di kursi kayu spesialku, tengah bingung memikirkan apa yang telah terjadi padaku
sekarang. Malam ini rasanya berbeda, tidak seperti malam yang lainnya. Meskipun aku sudah
lama tinggal di rumah ini, tapi malam ini beneran beda suasananya.
“Tok-tok-tok…” suara ketukan pintu dari luar.
“Mas Ilyas, ini saya, bikini the hangat!”
Jantungku langsung berdegup kencang mendengar suara Nur Asizaah, lebih tepatnya
adalah istriku.
“Iya, taruh saja di meja depan kamar.” Sahutku agak keras.
Walaupun sebenarnya aku ingin mengambilnya langsung dari tangannya lalu memandangi
mata karabnya dan lesung pipinya yang begitu manis sampai madu malu menyainginya,
namun aku lebih malu dan belum punya keberanian untuk berhadapan langsung dengannya
meskipun istriku. Lalu aku segera keluar kamar untuk melihatnya apakah masih ada atau
tidak.
“Huh…mungkin sudah turun ke kamar bawah?” gumamku setelah di luar.
Kemudian aku segera mengambil teh yang dibuatnya lalu mencicipinya dan oh ternyata
rasanya pas banget seperti kesukaanku.
“Tapi dari mana ia tau kalau aku suka teh hangat rasa jahe?” Gumamku penasaran.
Setelah masuk lagi ke kamar, yang semakin menjadi tanda tanya di otakku, lalu aku
membaringkan tubuhku di atas kasur, yang terasa lelah, sejurus kemudian aku sudah tertidur
lelap. Tampias pagi mulai tampak perlahan. Menerobos masuk ke sela-sela kamarku, aroma
pagi masih tercium khas perawannya masih utuh belum tersentuh oleh tangan-tangan nakal
manusia. Namun aku telah lama bangun, sengaja memang aku tidak tidur lagi abis sholat
menunggu pagi. Pagi ini rasanya malu banget untuk turun kamar. Karena jika nanti aku turun
pasti aku ketemu sama dia, tapi rasa laparku memaksaku untuk turun. Akupun mengalah dan
turun juga. Tiga menit kemudian aku telah sampai di lantai bawah dan aku hendak duduk di
meja makan. Namun saat aku mau duduk,
“Mas Ilyas, barang-barang di dapur sudah habis, jadi saya masih belum masak apa-
apa.”suara yang tiba-tiba menghilangkan rasa laparku mendengar suaranya.
“Ya udah, tidak masalah, bentar lagi kita ke pasar beli kebutuhan dapur.” Aku balik badan
dan sekilas menatap wajahnya, namun ia sedang menunduk.
“Ya sudah kalau gitu, saya ganti baju dulu.” Lilinya agak serak.
Lalu dia berbalik dan hendak berlalu dari hadapanku.
“Dik Nur,” panggilku lalu menghentikan langkahnya.
“Iya, ada apa mas?”
“Oh, gak, cuman mau bilang makasih tehnya semalam.”
“Iya, sama-sama.”
Kemudian ia melanjutkan jalannya, dan aku pun segera ke kamar untuk ganti pakaian.
Setelah selesai memakai hem biru dan celana hitam, aku duduk di atas motorku menunggu
istriku. Tiba-tiba suara pintu terdengar dibuka lalu aku respon menoleh dan ternyata bidadari
memakai gamis hijau dan kerdung pink yang keluar. Aku hanya mangut-mangut
memerhatikan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Dan bahkan ia hampir membunuhku
dengan senyumnya.
“Kenapa mas, ga cocok ya bajunya?”
“Kamu cantik banget pake baju itu.”
“Apa mas?! Saya ga dengar.”
“Oh, gak, cocok kok.” Kemudian ia langsung duduk di belakangku tanpa berpegangan
kepadaku, motorku langsung meleset kencang. Mengitari jalan yang damai, ga ada satupun
dari kami yang mau buka bicara. Sampai akhirnya ada jalan yang bergelombang.
“Pelan-pelan mas.” Suara Dik Nur takut seraya memegang pundakku.
“Pegangan aja kalau gitu, takut jatuh entar.” Balasku agak serak karena ada di atas motor.
“Apa mas? Ngomong apa barusan?”
“Lebih baik pegangan takut jatuh entar.” Jelasku.
Kemudian ia langsung memelukku setelah mendengar perkataanku karena takut.
Kemudian rasa hangat menyelubungi tubuhku, rasa hangat yang belum aku rasakan ketika
bersama perempuan lain. Rasa hangat yang semakin menyihir diriku dan terus menjalar ke
seluruh urat nadiku dan tanpa kurasa waktu begitu cepat berlalu. Kami sudah sampai di
pasar. Sebenarnya aku pengen mengehentikan waktu ketika itu juga. Aku masih ingin lebih
lama berdua dengannya. Namun aku tak bisa. Akupun segera sadar dari dunia khayalku yang
tak pasti ini. Aku terus berjalan mengitari lorong-lorong pasar tradisional bersama Dik Nur,
istriku. Sampai akhirnya berhenti di depan orang penjual daging.
“Bi, daging sapi satu kilonya berapa?” tanya Dik Nur kepada Bu Soidah penjual daging.
“Kalau satu kilonya 45 rbiu. Kenapa? Mau beli berapa kilo?” jawab Bu Soidah.
“Kok mahal banget sih bi, gak boleh diskon?” tawan Dik Nur.
“Ya udah, karena buat adek yang cantik ini saya kasih diskon 10% dah.” Jelas Bu Soidah.
Aku yang sedari tadi berdiri membelai Dik Nur, lalu aku berbalik badan.
“Sudah beli dagingnya?” Tanyaku.
“Bentar lagi mas, masih mau bayar dulu.” Bu soidah yang melihatku spontan bertanya
kepadaku.
“Eh, Ilyas, siapanya kamu gadis cantik ini?” tanya Bu Soidah padaku.
Saat ia melihat aku yang bersama Dik Nur. Belum aku jawab pertanyaan Bu Soidah,
anaknya Bu Soidah balik nanya padaku yang sedari tadi hanya duduk menemani ibunya.
“Mas Ilyas, siapa cewe itu? Aku belum pernah lihat dia sebelumnya. Jangan bilang kalau
dia itu pacar kamu.” Tanya Indah anaknya Bu Soidah agak jutek.
“Em…ini…” jawabanku menggantung karena gugup. Seraya aku melihat ke Nur. Asizah
yang hanya diam seribu kata.
“Oh, ini bi, mas Ilyas ini sepupu saya. Saya baru datang dari kampung seminggu yang lalu.”
Nur Asizah buka bicara.
Membuatku jadi lega, Bu Soidah mangut-mangut saja, tapi Indah ia terus menatap sinis
kepada Nur Asizah, tiba-tiba datang Mamat teman sekantorku, menepuk pundakku dari
belakang.
“Hey Yas, lagi ngapain sini?”
“Oh, kamu Mat, ini lagi beli daging.” Terangku.
“Mas, udah beli dagingnya nih, mau beli apa lagi?” panggil Nur Asizah seraya bertanya.
“Yas, ini ini bukannya anaknya…” aku segera menghentikan perkataannya member sinyal
dengan memelototinya.
Kata-katanya masih menggantung.
“Anaknya siapa maksud kamu Mat?” tanya Indah penasaran.
Lalu aku segera menyambungnya.
“Maksudnya Mamat itu Nur Asizah ini anaknya paman saya.”
“Iya kan Mat?” sambungku lagi, lalu Mamat menarik tanganku.
“Ikut aku dulu Yas.”
“Mas Ilyas apa maksud semua ini?” Teriak Indah sebelum aku pergi.
Tapi aku tidak memedulikannya, aku hanya memandang Dik Nur.
“Dik Nur, tunggu di motor nanti kalau sudah, saya masih ada urusan bentar.” Sambungku
sebelum meninggalkan mereka dengan di selimuti rasa penasaran.
Setelah aku sampai di warung kopi memesan secangkir kopi susu.
“Yas, jelasin semua apa yang sebenarnya terjadi?”
“Oke baiklah.” Aku berhenti sejenak.
“Jadi begini ceritanya, sebulan yang lalu, orang tuanya Nur Asizah itu sakit parah. Semua
cara telah dilakukan untuk menyembuhkannya. Namun hasilnya nihil, sampai akhir Nur
Asizah menjual rumah ibunya itu, yang tak lain adalah bos kita Ibu Mariyana. Namun ibunya
tidak kunjung sembuh, dan akhirnya Bu Mariyana menyerah, lalu ia menyuruhku untuk
menikahi anaknya yang kita kenal adalah Nur Asizah, Bu Mariyana mohon-mohon padaku
agar mau menikahi anaknya dan mengurus perusahaannya. Setelah lama aku berpikir
akupun menerimanya, karena Bu Mariyana sangat baik padaku dan telah banyak
membantuku, setelah pagi kami menikah siangnya Bu Mariyana meninggal dunia.
“Innalillahi wa inna ilaihi rooji’uun.” Lirih Mamat.
Aku berhenti sejenak lalu aku melanjutkannya.
“Dan setelah itu, Nur Asizah saya bawa ke rumah saya karena rumahnya telah ia jual, dan
meskipun kami sudah menikah kami beda kamar karena saya masih canggung begitu juga
dengannya.”
Terangku pada Mamat, Mamat hanya mangut-mangut terharu kemudian aku teringat
sama Nur Asizah yang telah lama saya tinggal.
“Mat saya pulang dulu ya, kasian sama Nur Asizah nungguin lama.”
“Oh, ya udah, semoga kalian bahagia Ilyas.”
“Makasih ya Mat, kamu sudah ngertiin saya.”
Lalu sesampainy di motor tengah bengong sendirian, meskipun aku mengajaknya bicara
sepanjang jalan ia hanya terdiam. Setelah sampai di rumah, abis sholat ashar saya duduk
depan rumah lalu Dik Nur nyamperin saya.
“Mas Ilyas, siapa cewe tadi itu, pacar kamu yam as?” lalu aku tersentak kaget.
“Emangnya kenapa?”
“Jadi benar kalau cewek tadi itu pacar mas Ilyas?” tanyanya lagi dengan cemberut, aku
hanya diam melihat tingkahnya yang lucu.
“Kenapa emangnya, kamu cemburu ya?” candaku, lalu ia terbelalak mendengarnya.
“Ih gak!, siapa juga yang cemburu.” Aku hanya tersenyum.
“Apa sih mas ini.” Dia mencubit lenganku dengan manja.
“Awh! Sakit Dik.”
“Biarin.” Jawabnya nyebelin.
“Dulu, sebelum aku menikah Dik Nur, aku tidak tau apa itu cinta, tapi setelah aku menikah
denganmu aku baru tau apa arti cinta.” Aku memandang wajahnya yang semakin memerah.
“Dik Nur, aku cinta sama kamu.” Dia terus menunduk lalu ia mengangguk, artinya “Iya”.
“Yes…!” hatiku langsung berbunga-bunga.c

Anda mungkin juga menyukai