Anda di halaman 1dari 4

PENJUAL IKAN

Oleh: Yessa Yuliana

Sepekan yang lalu seorang penjual ikan berhenti di depan rumahku, tampak ibu-ibu
bergegas menghampiri penjual itu tidak luput akupun ikut melihat bahan pokok apa saja yang
di bawanya. Tetapi ia tak membawa ikan ataupun bahan pokok untuk keperluan memasak. Ia
hanya membawa satu kantong plastik hitam besar dan memberikan isinya kepada sepuluh
orang. Setelah itu, ibu-ibu tersebut meninggalkan penjual ikan sambil membawa bungkusan
kain putih dan bergegas masuk kerumah.

“Bagianku mana mang?” pintaku kepada penjual ikan. Ia hanya menatapku tanpa
bicara lalu seakan seluruh tubuhku ditatapnya. “Besok” jawab penjual ikan sambil tersenyum
setelah itu bergegas pergi dengan motor bututnya. Tanpa sadar keadaan komplek kembali
sepi, hanya tertinggal aku sendiri. Tiba-tiba terdengar suara panggilan khas “Alifaaaaaaa”
jerit wanita yang tidak lain adalah ibuku sendiri. Tanpa pikir panjang aku bergegas masuk
kerumah.

“Ngapain pagi-pagi buta udah keluar rumah, bukannya kamar sendiri diberesin ini
malah keluyuran” bentak ibuku sambil menunjuk kamarku. “Loh bukannya ibu tadi suruh
Alifa pergi keluar beli ikan”.

Mendekat

“Ngigau ni anak, kapan ibu suruh? sambil mencubit pipi Alifa.

“Iya, Ibu yang suruh terus Alifa kedepan ada penjual ikan. Anehnya tu penjual ikan
gak bawa apa-apa cuma ngasih bungkusan putih kepada sepuluh orang” aku berusaha
menyakinkan ibuku bahwa ia benar-benar menyuruhku. Respon Ibu hanya diam dengan
ekspresi cemas ia menyuruhku kembali ke kamar. Ini mencurigakan seakan-akan itu tidak
untuk diketehui dan ibuku tau segalanya. Siapa penjual ikan itu, kenapa ibu-ibu disini seakan
menunggu kedatanganya, lalu apa isi bungkusan putih itu. Pikiranku hanya timbul
sekumpulan pertanyaan yang ingin jawabannya.

****

Ini hari senin, siapa yang tidak membenci awal hari dalam satu minggu. Sungguh
melelahkan, sebab hari seninku diisi dengan jadwal mata kuliah yang begitu banyak. “Aduhh,
aku berdoa Pak azral gak masuk, amin” aku memohon begitu keras semoga saja keajaiban itu
terjadi. “Memangnya kenapa, lagian bapak itu kasih tugas gampang kok” ujar Zahra dengan
nada santai.

“Aku tau, tapi hari ini begitu padat mana ngantuk lagi. Ibuku menyuruh membeli ikan
di pagi-pagi buta. Setelah itu, dia bilang tidak menyuruh padahal aku lagi bayangin nikah
sama anak tetangga”

Zahra tertawa

“Aku rasa kau berjalan kerumah anak tetangga itu, sungguh indah dilamar dengan
ikan” Zahra tertawa lepas begitu puas ia mengejek ku. Tapi mungkin ada benar juga, begitu
semangatnya menikah dengan anak tetangga aku tidur sambil berjalan tapi malah bertemu
penjual ikan.

Lalu beberapa menit kemudian ketua kelas mengumumkan, bahwa semua mata kuliah
ditiadakan, sebab para dosen ada rapat jurusan. Aku yang begitu mengharapkannya amat
sangat senang, jadi aku bisa pulang cepat setelah itu kembali tidur.

“Tetapi untuk mata kuliah Jurnalistik dan Bahasa Melayu ada tugas yang perlu
dikerjakan dan besok harus sudah selesai” ujar ketua kelas dengan lantang. Menurutku itu
tugas gampang, waktu berjalan 24 jam jadi banyak ruang untuk mengerjakannya, aku kira
tidak salah memilih jurusan ini sebab tugasnya tidaklah terlalu berat dan aku akan mengisi
waktu dengan tidur.

“Aku tau ekspresi itu” dengan alis mengeryit Zahra menunjuk wajahku

“Kau tau isi jiwaku. Ouh Zahra, kau adalah lubuk hatiku yang tersambung dari tali-
tali baru setelah itu…entah la yang pasti kau tau” senyumku kearah zahra. Aku bergegas
pulang menuju rumah kesayangan, sesampainya terlihat penjual ikan yang berhenti di depan
rumahku tidak salah lagi itu dia. Aku menghampirinya dan melihat daganganya seperti yang
kukira ia tidak membawa apapun selain kantong plastik hitam besar. “Ini untukmu” sambil
memberikan bungkusan putih kepadaku. “Loh, bukan ikan?” aku bigung dengan tingkah
penjual satu ini, apa maksudnya kain putih itu belum sempat berterima kasih kali ini ia
menghilang. Suara knalpot motornya saja tidak ada “Ajaib, apa dia malaikat?” dengan
ekpresi bigung aku masuk kedalam rumah.

“Apa itu?” tanya Ibuku sambil menghampiriku

“Ini dikasih penjual ikan, kainnya bagus dan tebal seperti sutra saja” ujarku
Terlihat Ibu dengan ekspresi terkejut dan seakan takut melihat balutan kain putih ini. Aku
mengelus kain ini dan tentu saja teksturnya sangat lembut. Aku serasa tenang dengan
kesejukan kain ini, tiba-tiba kain tersebut menyusuri seluruh tubuhku aku terbalut dengan
kencang dengan kain ini. Aku meronta, meminta pertolongan ibu. Aku menatapnya, tapi Ibu
tak bergeming ia hanya menatapku dengan raut sedih. Napasku sesak, aku tak bisa bergerak
kain ini seakan mengguburku dalam balutan putih, pandanganku mulai hilang dengan sekuat
tenaga aku meronta sekali lagi dan meminta pertolongan kepada ibuku. Tetapi Ibu tetap saja
menangis keras, ia tak menolongku, tidak ada harapan lagi aku bakal mati. Perlahan
pandanganku memudar dan aku hilang kesadaran.

“Apa itu pas?, ikan-ikanku menunggumu untuk memberi makan. Mereka kelaparan,
mereka butuh umpan, mereka membutuhkanmu. Balutan putih, cantik untukmu” tertawa
keras sambil memegang bahu Alifa.

“Sinting, penjual ikan cabul pergi kau, pergi!. Ibu tolong aku, tolonggg…” Aku
berteriak dengan keras dan terbangun dari tempat tidur. Aku dirumah sakit, tanpa pikir
panjang aku bergegas ingin keluar. Tiba-tiba seorang suster datang, ia terkejut melihatku dan
berlari keluar melihat situasi itu aku bigung apa yang sebenarnya terjadi.

Seorang dokter masuk, lalu memeriksa keadaanku. Aku terdiam, masih membaca dan
mengingat situasi yang terjadi. “Ibu saya dimana dok” tanyaku kepada doker itu. Ia terdiam
sambil memasang ekspresi cemas ia bertanya padaku “Siapa namamu”

“Alifa dok, kenapa dokter bertanya seperti itu seakan saya hilang ingatan saja. Saya
Cuma mau tau dimana ibu saya dok” pintaku dengan keras. Sepertinya para dokter sudah
tidak waras, aku bertanya yang pasti dia malah bertanya yang lain.

“Alifa saya tidak nyakin apa memori kamu sudah kembali seutuhnya. Kamu sudah
lima bulan terbaring di rumah sakit ini”

“Lima bulan? cepat sekali, lalu apa-apaan perut besar ini. Apa aku banyak makan
sampai punya perut buncit, seperti polisi korup saja” sambil tertawa aku melihat dokter yang
membuat raut aneh. Itu ekspresi kasihan, aku mengingat kembali kapan itu terjadi bukankah
aku sudah mati apa ini alam baka dengan keras aku mengingat kembali. Ibu dimana dia, apa
ibu masih menangis melihat anaknya tersiksa aku memukul kepalaku dengan keras
memaksanya untuk mengingat. Ternyata tidak ada, aku hanya tau kain balutan putih, ibu
menangis, dan terakhir rumah sakit.
-TAMAT-

Anda mungkin juga menyukai