Anda di halaman 1dari 9

Perbedaan Cerita Kakakku dan Ceritaku

Kak Nisa menundukkan kepalanya dengan lesu. Nasi diatas piring itu tak
dimakannya. Aku heran, mengapa akhir-akhir ini, kak Nisa tidak mau makan.
Ku coba mendekatinya dan bertekad untuk bertanya padanya,
“Kakak kenapa? Kok, nasinya tidak dimakan? Bukankah itu makanan
kesukaan kakak?” Aku duduk disamping kak Nisa dan melihatnya yang hanya
memainkan sendoknya saja.
“Dek,” Kak Nisa menoleh ke arahku
“Sebenarnya, kakak lagi ada masalah” Kak Nisa melanjutkan
pembicaraannya, aku yang sedang bingung, terkejut mendengar ucapan yang
keluar dari mulut kakakku yang duduk di bangku kelas 2 SMA itu.
“Tia, kakak punya seorang teman, namanya Sarah. Dia sangat baik padaku.
Aku selalu ditraktirnya. Tapi, saat hari Minggu pagi, ayah menyuruhku
membersihkan gudang. Aku meneleponnya dan mengajaknya untuk
membantuku. Namun, apakah kau tahu apakah jawaban Sarah itu?”
“Maaf, Nis. Emmm.. hari ini aku sedang sibuk” kak Nisa menirukan gaya
temannya itu, kak Sarah.
“Padahal, saat aku bertanya pada Toni tetangga Sarah, yang juga seorang
temanku, memberitahuku bahwa apa yang dikatakan Sarah itu bohong. Dia
hanya menonton kartun anak-anak dan sedang bersantai di pagi itu. Aku
kecewa padanya.” Kak Nisa melanjutkan ceritanya yang panjang lebar dengan
muka yang tampak lesu.
“Tapi, sepertinya aku merasa telah mempunyai teman yang lebih baik. Dia
selalu menemaniku dan selalu ada saat aku butuh, meskipun aku kurang
akrab padanya dan kurang menganggapnya sebagai sahabatku. Namun dia
sangat baik padaku. Namanya Nita. Mungkin, itulah yang dinamakan sahabat
sejati.” Kak Nisa yang tadinya murung dan lesu, tampak ceria kembali.
Aku juga mempunyai seorang sahabat, dia selalu ada untukku, senang dan
sedih. Namanya Azizah. Dia cantik dan tergolong murid yang pintar di
kelasku.
“Kakak.....” Aku menoleh pada kakakku,
“Ya??” Kak Nisa menyahut dan tersenyum padaku.
Aku berdiri mendekatinya, “Boleh tidak jika aku mengikuti cara kakak
itu?” kataku penuh harap, kakak menoleh padaku dengan bingung, “Maksud
kamu?”
Aku berpikir, apakah kakakku itu akan memperbolehkan. “Aku juga
mempunyai seorang sahabat, namanya Azizah. Dia sangat baik padaku.
Bolehkah aku mengikuti cara kakak untuk membutikan apakah Azizah
sahabat sejati atau seperti teman kakak yang bernama Sarah itu. Aku ingin
membuktikannya dengan menyuruhnya untuk membantuku membersihkan
gudang di Minggu pagi.” Aku menunjukkan foto sahabatku Azizah kepada
kakakku.
“Ya. Kau boleh melakukannya. Tapi....” Ucapan kakakku itu terputus
karena aku langsung menyahut, “Tapi apa?!”
“Tapi jika ayah memberimu kesempatan untuk membersihkan gudang....
Hehehe” Kakak beranjak dari tempat duduknya dan berlari ke kamarnya
meninggalkanku.
Kakakku memang begitu, selalu saja iseng padaku. Aku hanya diam. Aku
berpikir apakah rencanaku akan berhasil dan apakah Azizah seperti kak
Sarah, teman kakakku itu yang ternyata bukanlah seorang sahabat sejati. Atau
memanglah sahabat sejati sepeti kak Nita, yang selalu ada unuk kakakku
meskipun kakakku tak terlalu menganggapnya sebagai sahabat.
Tetapi, aku tetap berpikir positif tentang Azizah. Aku yakin, Azizah adalah
sahabat sejati seperti kak Nita, bukan seperti kak Sarah.
Hari-hari terus berlalu, begitupun dengan hari Minggu, tetapi ayah tak
pernah menyuruhku untuk membersihkan gudang. Aku menyandar ke
tembok yang berada di sampingku. Aku menyerah.
Sampai pada hari Minggu itu, aku mencari ayahku. Tapi aku tak juga
menemukannya. Oh ya, aku ingat. Biasanya, di hari Minggu begini, ayahku
selalu membersihkan kandang ayam miliknya. Aku pergi ke halaman
belakang. Ya, disitu memang ada ayahku yang sedang membersihkan kandang
ayamnya.
Aku memanggil ayahku yang sedang membersihkan kandang ayamnya
yang sudah tampak kotor.
“Ayah?” Aku menghampirinya
“Iya, Tia. Ada apa?” Ayahku menghentikan pekerjaannya dan menoleh
padaku
“Bolehkah pagi hari ini aku membantu ayah membersihkan gudang?”
Kataku sambil mencabuti rumput kecil disampingku
“Ya, Tia. Tentu saja kau boleh membantu ayah membersihkan gudang.
Sepertinya, gudang itu telah kotor dan sudah tak tertata lagi.” Ayah tersenyum
padaku
“Waaah.....benarkah?! Bolehkah aku mengajak sahabatku untuk
membantuku?” Aku terbelalak senang
“Tentu saja, sayang.” Ayah mengusap-usap kepalaku. Aku senang dan
berterima kasih pada ayahku karena telah mengizinkanku untuk
membersihkan gudang bersama Azizah.
Waktu menunjukkan pukul 06.22 AM. Aku akan menelepon Azizah saat
jarum jam yang pendek menunjukkan angka 8 dan jarum jam panjang
menunjukkan angka 12. Waktu tersisa 1 jam 38 menit lagi. Rasanya lama
sekali, aku tidak sabar. Sampai aku terkantuk-kantuk.
Sampai pada akhirnya, tepat pukul 08.00 AM yang aku tunggu-tunggu,
aku langsung meraih HandPhoneku diatas meja belajarku, mencari-cari
nomor Azizah di kontakku. Aku terburu-buru, mencari namanya pada inisal
A.
“Yaa...ini” Buru-buru aku menekan tombol telepon, menunggu jawaban
dari Azizah. Aku benar-benar dalam keadaan gugup.
Tiba-tiba......
“Halo?” Sapa Azizah
“Halo. Ini Azizah, kan?”
“Iya, benar. Kau Tia, kan? Ada apa kau meneleponku, Ti?” Terdengar suara
Azizah yang agak terputus-putus karena jarak antara rumahku dan rumah
Azizah sangatlah jauh.
“Iya, ini Tia. Bisakah kau membantuku membersihkan gudang di rumahku
pagi ini? Tampaknya gudang di rumahku itu sangat kotor dan tak tertata lagi.
Sepertinya berat sekali jika dikerjakan seorang diri, apalagi aku kan kurus
begini” Aku mulai mengatakan keinginanku sambil melihat tubuhku yang
kurus kurang berisi ini.
“Hahaha...kau ada-ada saja, Ti. Emmmm...tapi...gimana yaa...” Azizah
menjawab dengan penuh kebingungan
“Emm..pagi ini...aku...aku sibuk, Ti. Mungkin, di hari lain, aku bisa
membantumu. Mmm..maaf ya....” Azizah menolak permintaanku karena
alasan sibuk
“Huuuh...harus kerja sendiri dong. Ya sudah, Azizah, tidak apa-apa kok.
Mungkin aku bisa mengerjakannya sendiri” Aku langsung menutup teleponku
dengan perasaan yang sangat kecewa.
Sahabat yang selama ini aku anggap baik, sejati, senang susah akan selalu
ada. Namun, harapanku itu tenggelam sia-sia. Aku tak percaya, sungguh tak
percaya. Azizah bukanlah sahabat sejati lagi bagiku.
Mataku mulai melebar, seperti hendak meneteskan butiran-butiran putih
kecil. Perlahan-lahan, tangisku mulai menjadi jadi. Aku sesegukan.
Tiba-tiba ada seseorang yang mengagetkanku, “Haaaaaa....!!!!” Aku
terkejut. Aku betul kenal dengan suara itu. Kak Nisa. Suaranya yang keras itu
membuat telingaku sakit. Aku benar-benar kesal sekali. Orang yang sedang
sedih seperti ini, malah dikagetkan. Kan, menambah kekecewaan dan
kekesalan orang saja.
Aku segera menghapus butiran-butiran putih kecil itu dari pipiku sebelum
aku berbicara pada kak Nisa.
“A..aa...ada a..apa, kak..kk..kauu..mengagetkanku..sss..sajaa” Aku menoleh
sembari menjawab dengan suaraku yang agak aneh ini.
Kak Nisa heran melihat mataku yang tetap berkaca-kaca dan suaraku
yang sesegukan serta hidungku yang tampak merah ini, “Eh, kau kenapa, Ti?”
Kak Nisa mengusap-usap kepalaku
“Kau sakit?” Kak Nisa mulai mengecek apakah aku sedang sakit atau tidak
“Hey...kau tidak sakit. Tubuhmu tak panas. Lalu, kau kenapa, Ti?” Kak Nisa
duduk disebelahku dan memelukku. Aku tak mau dipeluknya. Dia telah
menambah kekecewaan dan kekesalanku saja. Aku langsung melepas
pelukannya itu.
Aku ragu-ragu untuk menceritakan apa yang baru saja terjadi.
“Ayolah, dek. Cerita saja. Kakak pasti bantu kamu kok. Kamu jangan
menangis lagi. Katanya, sudah jadi anak pintar. Lagian kan, kamu sudah kelas
5 SD” Kak Nisa tersenyum dan memegang kedua pipiku.
“Tidak ada apa-apa kok kak. Aku sedang flu saja. Pagi hari ini cukup
membosankan juga. Aku capek.” Suaraku sudah mulai membaik.
“Loh, katanya kamu mau membersihkan gudang bersama Azizah pagi ini.
Mana?” Kak Nisa bingung
“Tidak jadi.” Kataku ketus
“Kenapa?”
“Tidak tau lah kak” Aku mulai menghentikan percakapanku dan aku
segera pergi ke kamarku. Namun, tiba-tiba, kak Nisa menarik tanganku.
Langkahku terhenti.
“Tia, coba ceritakan pada kakak. Jangan ragu dan jangan takut.” Kak Nisa
tersenyum.
Aku mulai tenang. Aku duduk disamping kak Nisa. Perlahan, aku mulai
menceritakan semuanya pada kak Nisa dengan perasaan yang masih saja
kecewa, “Huh,, ternyata sahabatku Azizah yang selama ini aku anggap sahabat
sejati ternyata bukanlah sahabat sejati lagi. Aku sangat kecewa dan kesal
padanya. Dia juga menolak untuk membantuku karena alasan sibuk!”
“Tia, kau tidak boleh berpikiran negatf tentang Azizah. Belum tentu apa
yang kau pikirkan itu benar. Ceritaku dan ceritamu ini berbeda. Jadi, carilah
dulu berita yang pasti.” Kak Nisa memainkan rambutku yang ikal ini.
Aku diam dan berpikir sejenak. Apa yang kak Nisa katakan memang ada
benarnya juga. Tapi, apakah perbedaan cerita kak Nisa dan ceritaku ini? Aku
masih tidak tau jawabannya
Lagian, mengapa saat Azizah menjawab, dia seperti orang yang
kebingungan mencari alasan. Mungkin, Azizah memang sengaja berbohong
dan lelah untuk membantuku, apalagi di hari Minggu pagi yang
membosankan ini. Biasanya, kuhabiskan untuk tidur seharian dan menonton
televisi acara kesuaanku, apabila tak ada kegiatan yang benar penting.
“Sudahlah, lebih baik kau minta maaf saja pada Azizah. Sudah kubilang,
bahwa cerita kakak dan ceritamu ini berbeda” Kak Nisa meninggalkanku.
Aku heran dengan apa yang baru saja kak Nisa katakan.
Esok harinya di sekolah, aku tak lagi duduk bersama Azizah, tidak lagi
berbicara bersama Azizah, dan ke kantin tidak bersama Azizah juga. Aku
memusuhinya. Dia teman yang sangat pelit.
Jika aku berpapasan dengannya, aku hanya memalingkan mukaku dan
segera menghindar darinya. Namun, Azizah makin mendekatiku, aku tetap
saja menjauhi dan menghindarinya. Tampaknya, hari-hariku ini terasa bosan
tanpa ada lelucon lagi dari Azizah yang memanglah pandai untuk menghibur
hatiku ini.
Aku heran, mengapa dengan Azizah. Apakah dia telah menyadari
kesalahannya itu dan telah mengetahui bahwa pakah dia telah menyadari
kesalahannya itu dan telah mengetahui bahwa telah memusuhinya.
Sepulang sekolah, aku langsung berbaring diatas tempat tidur tanpa
mengganti seragam sekolahku terlebih dahulu.
Kak Nisa datang menghampiriku, “Tia, apakah kau sudah minta maaf pada
Azizah?” Kak Nisa duduk disamping aku berbaring.
Aku tak menjawab pertanyaan kak Nisa . Kak Nisa membentakku, “Tia!!!”
buru-buru aku bangun dan menjawab, “Mmm...mmmm... belum, kak”
“Loh? Kenapa?” Kata kak Nisa
“Biarkan saja, kak. Biar dia saja yang lebih dulu meminta maaf padaku, kan
dia yang salah” Aku menjawab
“Tia, lebih baik kau meminta maaf saja. Daripada kau kehilangan sahabat
sejatimu itu, Azizah” Kak Nisa meninggalkanku.
Dalam hati, aku berpikir, bahwa Azizah bukanlah sahabat sejati lagi
bagiku. Masa ada sahabat yang tidak mau membantu sahabatnya, padahal di
hari itu, Azizah sedang bersantai juga.
Tapi, aku juga berpikir semoga saja aku bisa meminta maaf padanya,
meskipun bagiku, aku tak salah.
Aku mengampiri ayahku di ruang tengah, “Ayah, aku tidak jadi
membersihkan gudang pagi ini. Mungkin satu mingu lagi.”
“Iya, Tia. Tidak apa-apa, biar ayah suruh kak Nisa yang membersihkannya”
Ayah yang sedang membaca koran, tersenyum padaku.
“Terima kasih, ayah”
Aku segera masuk ke dalam kamarku, menunggu hari esok yang akan
cerah dan ceria kembali.
Akhirnya, hari yang kutunggu telah tiba. Aku mencoba mendekati Azizah.
Azizah hanya tersenyum
“Mmm.... Azizah, aku minta maaf padamu karena belakangan ini, aku
menjauhi dan memusuhimu” Kataku bersalah
“Hahaha, iya Tia. Tidak apa-apa kok. Aku tau perasaanmu. Aku juga ingin
minta maaf, kemarin aku tak bisa membantumu karena ibuku sedang sakit.
Ayahku sedang pergi keluar kota untuk melanjutkan usahanya, meskipun
kecil-kecilan. Jadi, aku harus menjaga dan merawat ibuku. Maafkan aku
Azizah. Aku telah bersalah padamu” Azizah tersenyum.
“Iya, tidak apa-apa. Ternyata apa yang aku pikirkan selama ini adalah
salah” Aku tersenyum pada Azizah.
“Hahaha, kata kak Nisa, kemarin meneleponku, kau pernah berpura-pura
sedang sakit flu, padahal kau selesai menangis. Kalau kau sedang sakit flu, biar
aku belikan obat nanti” Tawa Azizah itu mencairkan suasana.
“Hahaha, aku malu saja pada kak Nisa jika aku bilang bahwa aku
menangis. Aku kan sudah besar, masa aku nangis sih” Aku menambahkan
Seru rasanya bisa tertawa lagi bersama Azizah yang lucu dan kocak ini.
Ternyata, Azizah memanglah sahabat sejati. Aku kembali bersahabat
dengan Azizah, aku sangat senang. Benar saja kata kak Nisa. Andaikan saja,
dari dulu aku langsung meminta maaf padanya, pastilah tidak akan terjadi
permusuhan diantara aku dan Azizah.
Sekarang, aku tahu apa perbedaannya. Tentu, kalian juga tahu kan apakah
perbedaan cerita kakakku dan ceritaku ini?
Dalam hati, aku berpikir, lain kali aku tidak akan berprasangka buruk lagi
kepada orang lain, dan aku tidak boleh ragu untuk meminta maaf dan
memaafkan orang lain supaya tidak terjadi kesalapahaman dan pertengkaran.
Teman-teman juga, ya......

TUGAS BAHASA INDONESIA


(MEMBUAT CERPEN)
NAMA KELOMPOK:

1) HERLIANA NOVIANTI (13)


2) LANA SABRINA (14)

Anda mungkin juga menyukai