Anda di halaman 1dari 9

KERJA KERAS SEORANG IBU

Siang dengan panasnya terik matahari tak mampu mencegah Ibu tua itu
untuk tetap bekerja. Dia terus bekerja tanpa menghiraukan panas teriknya
matahari siang demi mendapatkan nafkah. Dari jauh terlihat sosok wanita tua
renta sedang membersihkan kandang domba milik tetangga sebelah. Setelah
suaminya meninggal dunia dialah yang harus bekerja setiap hari mencari nafkah
untuk menghidupi keluarganya. Meskipun sudah hampir berusia tujuh puluh tahun
namun semangat Ibu itu tak pernah padam.

Ya, dialah Ibu Yasmin. Ibu Yasmin tinggal di sebuah desa terpencil. Ibu
Yasmin memiliki dua orang anak yang cantik jelita. Seorang anaknya bekerja di
sebuah perusahaan ternama di kotaku. Sekalipun demikian dia tak pernah
memberikan seperser pun hasil kerjanya kepada adik dan Ibunya. Gadis itu
bernama Anti. Berbeda dengan adiknya yang kira-kira berumur tujuh belas tahun.
Setiap hari dia membantu sang Ibu untuk melakukan perkerjaan yang bisa
dikerjakannya dan tentunya menghasilkan upah untuk mencukupi biaya makan
mereka sehari-hari. Dia sayang terhadap Ibunya sehingga kemana pun Ibunya
pergi ia pasti mengikutinya. Mengingat usia Ibunya yang sudah tidak muda lagi
dia tidak membiarkan Ibunya pergi sendirian untuk melakukan pekerjaan apapun.
Tina adalah sosok gadis yang cantik jelita. Selain parasnya yang sangat ayu dia
juga memiliki watak yang baik. Banyak pemuda yang terpaut akan kecantikannya,
namun Tina tidak merespon salah satu pun dari mereka.

Tina berlari-lari bagaikan kijang mas. Rambutnya diekor kuda. Tasnya


berayun-ayun. Lucu dan manis. Tina memang lucu dan manis. Tubuhnya yang
ramping berisi, begitu lincah jika dipandang. “Tina!!!” Sebuah teriakan
menggema dari arah belakang dapur rumah mereka. Kepalanya menoleh ke arah
belakang hendak mencari asal suara yang memanggilnya. Tak terlihat siapa-siapa.
Tapi baru saja Anti mau melangkah lagi, teriakan kembali menggema. “Tina!!!”
Suaranya mirip Anti sang Kakak Tina. Tina melangkah lagi dan teriakan itu
kembali menggema. “Tina!!!” Tina semakin penasaran. Ia menoleh lagi. Matanya
yang hening meneliti dengan seksama. Tiba-tiba dari bilik kamar, menyembul
wajah wanita yang dikenalnya. “Ternyata benar dugaanku” bisik hati Tina.
Dengan perasaan takut Tina mendekati Kakaknya.
“Hendak kemana kamu?” bukankah hari ini hari minggu? Tuh ada baju
kotor di kamar sebaskom, cuciin. Jangan tahunya keluyuran mulu.” Tina yang
tadinya punya rencana untuk mencari uang tambahan nggak jadi ke luar. Dia takut
membantah perintah Kakaknya. Tina selalu ingat akan pesan Ayahnya yang telah
pergi. Ketika sedang bersedih, Tina ingat Ayahnya. Dulu ketika Ayahnya masih
hidup dia selalu dimanja. Bahkan ketika si Anti memarahinya dia akan dibela oleh
sang Ayah. Hal inilah yang membuat Tina selalu rindu dimanja oleh Ayah. Meski
hari itu dia gagal membantu Ibunya untuk mencari uang tambahan namun dia
tetap saja tak mau menyerah dalam usahamya. Hari ini adalah untuk yang kedua
kalinya ia bekerja di ladang pak Toni. Pak Toni adalah tetangga mereka yang
berbaik hati memberikan ladangnya untuk mereka tempati mencari kehidupan.
Dengan penghasilan itulah dia bisa membantu Ibunya untuk memenuhi kebutuhan
mereka sehari-hari. Hari itu Anti berangkat ke kantornya setelah menyuruh
adiknya untuk mencuci pakaian yang telah menumpuk. Namun adiknya
mengingatkannya untuk pamitan terlebih dahulu kepada Ibunya sebelum
berangkat kerja. Anti malah acuh tak acuh meninggalkan adiknya yang tengah
mencuci pakaian.
“Ibu kan lagi kerja di sana, ngapain diganggu. Pamit tidak pamit sama
saja.” Sahut Anti. “Kakak kan bisa temuin Ibu sebentar. Tak ada salahnya jika
Kakak berpamitan kepada Ibu.” “nggak usah ngatur Kakak. Aku itu lebih tahu
dibanding kamu.” “aku tahu Kakak lebih pandai dibanding aku, Kakak lebih tahu
dibanding aku. Tapi wajar jika aku menasihati Kakak.” Bisik Tina dalam hatinya.
Tak berapa lama kemudian sang Ibu pulang dengan membawa makanan untuk
makan malam mereka. Tina sangat senang karena hari itu Tina bisa makan
bersama sang Ibu meskipun hanya dengan lauk alakadarnya. “makan yang banyak
ya nak, maaf Ibu hanya bisa memberikan kalian makanan seperti ini” “alah..
emang Ibu nggak pernah bisa berikan yang terbaik buat kami. Ibu hanya bisa
memberikan makanan itu-itu saja. Saya bosan dengan makanan ini.” “tolong
Kakak hargain hasil kerja Ibu. Makanan ini sudah lebih dari cukup. Harusnya
Kakak bersyukur masih ada yang mau mencari makanan untuk kita.”
“sudah makanannya dihabiskan. Nanti Ibu cari uang lebih banyak lagi
untuk membeli makanan yang lebih enak. “aku turut membantu ya bu. Aku mau
Ibu jangan terlalu lelah. Seharusnya kami yang menggantikan Ibu untuk bekerja.
Mencari nafkah terlalu sulit untuk Ibu kerjakan. Ibu sudah tua.” “terima kasih nak
sudah mau membantu Ibu”. “Ibu sudah makan?” “iya nak” Hari berganti hari
kondisi sang Ibu pun semakin lemah. Tapi dia tetap bersikeras untuk bekerja.
Sehingga suatu saat Ibu sakit. “Ibu istirahat saja di rumah nanti Tina yang cari
uang” ucap Tina. “Nggak usah nak Ibu masih kuat kok. Kak Anti mana? sudah
pulang kerja? kalian sudah makan? “Ibu tidak usah khawatir. Sekarang Ibu
istirahat saja” “alasan aja tuh sakit, kerja aja terus cari uang nggak usah pura–pura
sakit.” “Ya ampun kak, Ibu itu lagi sakit. Tidak mungkin dia berbohong. Tidak
ada untungnya Ibu membohongi kita. Kakak tidak lihat apa wajah Ibu pucat.

Anti berlalu dari hadapan mereka. Setelah merampas upah hasil kerja
mereka. Beginilah sikap Anti terhadap adik dan Ibunya. Setiap hari setelah pulang
kerja Anti mengambil upah yang telah mereka dapatkan. Padahal mereka sudah
menyiapkan itu untuk membeli kebutuhan mereka setiap hari di dapur. Sikap Anti
membuat Ibunya menangis. Setiap hari sang Ibu selalu berdoa agar diberikan
petunjuk untuk menghadapi anaknya yang sangat angkuh itu. Tak terasa ternyata
air mata Ibu Yasmin menetes. Dia menangis terisak mengingat sikap putrinya
terhadapnya. Andai saja Tina tidak menemaninya mungkin dia akan sangat sedih.
“Ibu kenapa? maafin sikap kak Anti ya bu. Tina janji akan selalu ada menemani
Ibu di sini. Ibu jangan sedih lagi. Ada Tina di sini. Tina sayang Ibu.” ucap Tina.
Anti tidak pernah mempedulikan perasaan sang Ibu. Seakan–akan tidak
mempunyai seorang Ibu. Pagi itu seakan tidak bersahabat, cuaca mendung. Anti
yang sementara mencicipi makanannya terlihat buru–buru. Jarum jam
menunjukkan angka 1. Itu tandanya Anti harus lebih mempercepat kegiatannya
pagi itu. Belum sempat dia berangkat meninggalkan rumah tiba–tiba dia kembali
lagi. Ternyata dia lupa membawa berkas–berkas yang telah dikerjakan dan
disediakannya semalam. Dengan suara keras sambil berteriak memanggil Ibunya.
“Ibu! Ibu!” dengan nada kesal. “Mana sih Ibu.” Dia kembali memanggil
Ibunya dengan suara yang lebih keras lagi. “Ibu!! Ibu!!” Seketika ke luarlah Ibu
Yasmin dari dalam rumah.”ada apa nak? belum berangkat kerja?” ucap Ibunya.
“gimana sih Ibu ini. Dari tadi aku teriak–teriak manggil nggak nyahut juga. Ada
berkas di mejaku tolong Ibu ambil. Cepatan Anti lagi buru–buru nanti nggak
dapat angkot.” “Ini nak, berkasnya. Hati–hati di jalan ya nak!!! “Masih banyak
bawel lagi sini berkas ku.” merampas berkas dari tangan sang Ibu lalu beranjak
pergi. Pak Toni yang melihat dan mendengar semuanya merasa sangat kasihan.
Dia tidak pernah membayangkan akan nasib Ibu Yasmin. Beruntunglah Ibu
Yasmin masih memiliki seorang anak yang baik hati yang senantiasa
menemaninya. Tina yang bekerja di ladang pak Toni tak pernah merasa lelah
mengerjakan tugasnya. Dia membantu Ibunya mengerjakan pekerjaan di ladang
pak Toni. Kadang–kadang pak Toni membiarkan mereka mengambil ranting–
ranting kayu yang ada di kebun milik pak Toni itu. Bahkan kadang–kadang pula
dia memberikan upah tambahan untuk mereka karena telah membantu.

Tina pulang ke rumah dengan wajah yang berseri–seri. Dia membawa


buah pisang dari kebun pak Toni yang diberikan setelah kerja tadi.
“Selamat sore Ibu. Ibu sendiri di rumah?”
“Sore anakku. Iya”
“Kak Tina ke mana, bu?”
“Kak Tina berangkat kerja”
“Ini Ibu, aku bawa buah dari rumahnya pak Toni. Tadi dia memberikanku buah
ini. Dimakan ya Ibu”
“Iya nak”
“Aku pulang, bukain pintu Tin. Berat nih”
“Sebentar kak.” Ucap Tina dari dalam rumah.
“Aku terima gaji dan beli beberapa lembar baju untuk kalian. Aku malu melihat
kalian memakai baju compang–camping. Seperti orang gila saja.”
Dengan nada agak congkak Anti berlalu menuju kamarnya sambil bersiul-siul.
Apa yang dikatakan Anti benar. Selama ini Tina dan Ibunya hanya menggunakan
baju compang-camping sementara Anti memakai baju yang terbilang cukup
mahal. Ibunya yang mendengar perkataan Anti tadi merasa sedih. Tak ada
senyuman yang tersungging dari bibirnya. Seperti dia merasa tersinggung dengan
perkataan anaknya. Tina tidak dapat berkata apa-apa. Penghasilannya tidaklah
cukup. Tina merasa iba melihat keadaan Ibunya yang selalu tersakiti dengan
perkataan Kakaknya. Tina kecewa karena tidak dapat berbuat apa-apa. Dia takut
untuk membantah Kakaknya. Kali ini Anti yang menyiapkan makanan untuk
mereka santap di malam hari. Tidak seperti biasanya dia melakukan hal ini. Ada
gerangan apa ini. Tina yang sedari tadi melihat kakaknya dari bilik kamar
merasakan ada sesuatu yang aneh. Namun dia tak berani mengganggu kakaknya
yang sedang menyiapkan makan malam mereka. Dengan segera dia menghampiri
Ibunya dan menceritakan apa yang telah terjadi.Ibunya hanya tersenyum
mendengar penuturan anaknya. Dalam hati dia berkata, mungkin ini adalah
pertanda baik dari yang maha kuasa. Aku yakin Tuhan tidak pernah tertidur dan
tidak akan pernah meninggalkan umatnya yang sedang mengalami kesusahan.
Mungkin dengan cara inilah Tuhan menunjukkan kasihinya dan bantuannya serta
cara menjawab doa-doa ku yang selama ini selalu ku panjatkan.

Seusai menyiapkan makan malam itu, Anti beranjak menuju kamarnya.


Kelihatannya dia sangat lelah. Mungkin di tempat kerjanya tadi terlalu banyak
kerjaan sehingga seperti itu. Ibu Yasmin masuk ke dalam kamar melihat anaknya
yang sedang tertidur. Sebenarnya Ibu Yasmin hendak membangunkannya tapi dia
merasa tidak tega melihatnya. Akhirnya Ibu Yasmin kembali ke ruang tamu untuk
melajutkan kegiatannya yang sempat tertunda karena anaknya. Semenjak Ibu
Yasmin sakit-sakitan Tina lah yang menjadi tulang punggung mereka. Kendati
demikian Tina tak pantang mundur. Dia tetap bersabar menjalani kehidupannya
bersama oran–orang yang dicintainya. Entah sampai kapan perjalanan hidup
mereka seperti ini. Nasib malang menimpa Anti setelah berangkat kerja.
Kendaraan yang ditumpanginya melaju dengan sangat cepat sehingga
menyebabkan kecelakaan. Hingga saat itu dia tidak sadarkan diri. Tak satu pun
penumpang yang selamat kecuali dia. Kepala Anti terbentur sehingga
menyebabkan pendarahan di bagian kepalanya. Tempat kecelakaan tersebut jauh
dari rumah warga sekitar. Ketika dia meminta berteriak meminta pertolongan
tidak ada satu pun yang datang menolongnya. Semakin lama suara itu semakin
mengecil hingga akhirnya tak sadarkan diri.
Pada saat yang bersamaan pak Toni hendak pergi ke ladangnya untuk
melihat tanaman padinya dan melewati daerah dimana Anti mengalami
kecelakaan. Namun dia berhenti sejenak ketika melihat ada sosok wanita yang
sepertinya dia kenal. Pak toni mendekati wanita itu yang ternyata putri Ibu
Yasmin yang telah lama bekerja di tempatnya. Dia membantu Anti untuk bangun
dari tanah dan memapahnya ke pondok terdekat. Dengan segera pak Toni
menghubungi warga di dekat desa itu untuk membantunya membawa Anti ke
Puskesmas terdekat. Dalam perjalanan pak Toni berpikir apa yang menjadi
penyebab sehingga mobil tersebut mengalami kecelakaan dan bagaimana pula
hanya wanita itu yang bertahan dan dapat dikatakan selamat dari marabahaya
yang menimpanya. Sepertinya Anti mulai sadarkan diri. Ketika dia terbangun, dia
melihat ada beberapa orang di dekatnya. Salah satunya termasuk pak Toni. Dia
ingin bangun tetapi suster tidak mengizinkannya. Dia hanya diperbolehkan tidur.
Anti yang melihat pak Toni segera bertanya.
“Ada apa ini? Saya ada di mana?”
“Kamu ada di Puskesmas nak. Mobil yang kamu tumpangi tadi mengalami
kecelakaan dan kamu berhasil selamat dari marabahaya tersebut.”
“Apakah adik dan Ibuku tahu kejadian ini?”
“Baru saja anak Bapak pergi ke rumahmu untuk memberitahukan perihal
kecelakaan ini.”
“Terima kasih Bapak sudah mau menolong saya.”

“Itulah kewajiban kita sebagai manusia, kita harus saling membantu orang lain
ketika mengalami musibah. Kita hidup di dunia tentunya membutuhkan orang
lain.”
“Iya pak. Maafkan saya atas semua kesalahan yang pernah saya perbuat terhadap
Bapak baik itu yang saya lakukan dengan sengaja maupun tidak. Saya malu ketika
bertemu Bapak. Apalagi setelah Bapak menolong saya. Selama ini saya sudah
keterlaluan kepada Bapak. Maukah Bapak memaafkan semua kesalahan saya?”
“Bapak sudah memaafkanmu nak. Beristirahatlah, semoga lekas sembuh. Bapak
tinggal sebentar, saya masih punya urusan.”
“Baiklah pak, sekali lagi terima kasih atas bantuannya.”
Orang-orang yang turut mambantu Anti ke luar dari ruangan itu. Tak lupa juga
Anti mengucapkan terima kasih kepada mereka.

Anti tersedu-sedu menangis dalam kesendiriannya merenungi apa yang


telah diperbuatnya selama ini terhadap orang-orang di sekitarnya terlebih kepada
Ibu dan adiknya. Selama ini dia tidak pernah menghargai orang lain. Ketika
bertemu di jalan pun Anti hanya menunjukkan wajah angkuhnya, tak ada senyum
persahabatan dari bibirnya. Hampir semua orang di desanya tidak suka
kepadanya. Hanya saja jika bukan demi Ibu Yasmin warga sekitar tak akan
membantunya. Ibu Yasmin adalah orang yang baik hati, sekalipun tidak
mempunyai apa-apa. Dia selalu membantu orang-orang di sekitarnya
semampunya. Selang beberapa waktu krmudian datanglah orangtua Anti dan
saudarinya untuk menjenguknya. Ibunya datang dengan wajah yang berlinangan
air mata, begitupun dengan Tina adiknya. Anti terharu dengan kedatangan
mereka.
“Masih adakah kasih untukku? Mengapa mereka begitu baik padahal aku sudah
berbuat jahat kepada mereka.” bisik Anti dalam hati.
Ibu Yasmin yang tersayang datang menghampiriku dan memelukku erat seraya
berkata.
“Nak kamu kenapa? Apa yang telah terjadi kepadamu?”
“Saya tidak apa-apa bu, ini hanya luka biasa saja. Ibu tak perlu
mengkhawatirkanku.”
“Bagaimana bisa Ibu tidak khawatir melihatmu terbaring lemah seperti ini.
Mengapa bukan Ibu saja yang mengalami ini semua. Ibu tidak berguna bagi
kalian. Ibu hanya bisa membuat kalian menderita. Maafkan Ibu nak.” Dengan
perasaan terharu Anti memeluk Ibunya dengan erat dan semakin erat.
“Ibu aku yang bersalah. Aku yang telah menyusahkan kalian. Semestinya aku
yang mencari makan untuk kalian. Aku yang harus memenuhi semua keutuhan
itu. Aku menyesal iu. Selama ini aku sudah berlaku semena-mena terhadapmu, tak
pernah menghargai Ibu. Masihkah Ibu menganggapku seorang anak? Aku anak
durhaka Ibu.”
“Jangan berkata seperti itu nak. Itu tidak pernah membencimu. Semua yang
berlalu biarlah berlalu. Ibu akan selalu menyayangi kalian. Ibu sayang kalian
berdua. Jangan berlarut-larut dalam kesedihan yang telah terjadi, tengoklah masa
depanmu dan jangan ulangi itu lagi. Jadikanlah semua itu sebagai pelajaran yang
berharga untuk menatap hari depan.” ucap Ibu Yasmin. “Kasihmu begitu tulus
padaku Ibu. Aku bangga memilikimu. Engkau tidak pernah membalaskan semua
kesalahanku. Meskipun aku selalu berlaku kasar terhadapmu engkau masih mau
menerimaku dalam hatimu.”
“Kakak nggak usah nangis lagi, kita sayang sama Kakak. Jangan nangis lagi ya,
kak.”
“Terima kasih Tina. Kakak juga saying adek.” Balas Anti

Setiap hari Tina menjaga Kakaknya. Anti tidak mengizinkan Ibunya untuk
berjaga. Hari itu terlihat senyum bahagia dari wajah mereka. Anti mengganggu
Tina ketika sedang tertidur. Kadang-kadang jika ada tamu yang datang menjenguk
Anti, dia selalu mengganggu Tina karena kebetulan yang datang menjenguk
adalah laki-laki yang sudah lama mengagumi Tina.
“Mau datang jenguk yang pasien atau yang nungguin nih.” Anti berkata seraya
merayu adiknya. Tina yang duduk di sampingnya menjadi tersipu malu, wajah
manisnya berubah menjadi merah bak kepiting yang baru saja direbus. Begitulah
kehidupan mereka sehari-hari selama berada di rumah sakit. Tak ada lagi tangis
yang terlihat dari raut wajah mereka. Sang Ibu yang melihat merasakan bahagia
yang sangat mendalam. Tak pernah terpikirkan bahwa kisah perjalanan hidup
mereka akan seperti ini. Keesokan harinya Anti memutuskan untuk ke luar dari
puskesmas untuk menghirup udara segar di desanya. Mereka pulang dengan rasa
bahagia. Dalam perjalanan tak sedetik pun Anti melepaskan Ibunya. Dia selalu
memeluknya. Kadang-kadang ketika Anti melihat Ibunya kelelahan dia mencoba
merayu Ibunya untuk beristirahat sekalipun Ibunya mengatakan bahwa dia tidak
lelah. Meskipun demikian Ibu Yasmin tetap menuruti anaknya untuk beristirahat
di sebuah warung untuk menikmati makan siang yang disajikan. Anti menyuapi
Ibunya ketika makan. Orang-orang yang melihatnya turut bahagia dengan
berubahnya Anti maka mereka tidak akan melihat Ibu Yasmin lagi tertatih-tatih
untuk mencari biaya hidup mereka.
Anti yang dulunya pemalas kini menjadi tekun. Setiap pagi dia bangun
untuk menyiapkan sarapan sebelum berangkat ke tempat pak Toni untuk bekerja.
Perusahaan yang dia tempati bekerja dulu sudah bangkrut sehingga tak ada pilihan
lain untuk tetap bekerja di ladang pak Toni. Anti pergi bekerja bersama dengan
Tina. Ibu Yasmin ingin ikut tetapi kedua anaknya melarangnya untuk bekerja.
Sebelum berangkat Tina dan Anti berpamitan kepada Ibunya sambil berkata. “Ibu
jaga kesehatan ya. Jangan lupa makan siang. Obatnya ada di meja. Kami
berangkat kerja dulu. Setelah pulang nanti Anti bawain buah-buahan. Ibu nggak
usah kerja apa–apa.”
“iya nak. Hati–hati ya kerjanya. Jangan berantem lagi. Ibu sayang kalian.”
Anti dan Tina bergantian menyalami Ibunya. Mereka pergi dengan hati gembira.
Tak berapa lama kemudian mereka kembali ke rumah dengan membawa buah–
buahan. Anti ingin membahagiakan dan menepati janjinya kepada Ibunya. Setiap
harinya mereka selalu tertawa bersama. Mereka menjalani hari berikutnya dan
seterusnya dengan penuh sukacita dan damai.

Anda mungkin juga menyukai