Pada zaman dahulu kala, hiduplah sebuah keluarga yang terdiri dari ayah yang merupakan
seorang pedagang, ibu, dan seorang anak gadis yang cantik dan baik hati bernama Bawang
Putih. Mereka hidup bahagia hingga saat sang ibu mengalami sakit keras dan membuatnya
harus pergi untuk selamanya.
Ibu : “Bawang Putih, ingat baik-baik pesan ibu…. (menahan batuk). Ibu ingin setelah ibu pergi
nanti, kau tetap patuh pada ayahmu, tetaplah menjadi anak yang pandai dan penuh sopan
santun. Hingga kelak kau dewasa, menikahlah dengan seorang pemuda yang baik… Ibu akan
selalu mendoaknmu, nak…”
Bawang Putih : “Ibu jangan bicara demikian, ibu akan tetap bersama kami hingga aku dewasa
nanti. Ibu akan menyaksikan aku menikah…”
Ibu : “Ibu juga menginginkan hal yang sama denganmu, namun ibu tidak bisa melakukan itu
semua, nak… maafkan ibu… (menghembuskan nafas terakhir)”
Bawang Putih : “Ibu…. (menjerit). Jangan tinggalkan aku bu, aku ingin terus bersama ibu. Ayah…
(menoleh ke arah sang ayah) jangan biarkan ibu pergi, Ayah. Minta ibu untuk tetap tinggal
bersama kita, Ayah… (sambil menangis).”
Ayah : “Ibumu sudah pergi anakku… Ibumu telah terbebas dari rasa sakitnya. Ia sudah bisa
tenang sekarang… (mencoba menenangkan sambil menahan tangis).”
Pemakaman telah dilakukan dan sepekan pun berlalu, namun kesedihan masih begitu tampak
di raut wajah Ayah dan anak ini.
Ayah : “Ayah akan pergi berdagang dahulu. Sudah sepekan Ayah meliburkan diri. Sesedih
apapun kita tetap harus melanjutkan hidup, nak… Ayah berangkat. Jaga dirimu baik-baik di
rumah. Ayah akan segera pulang.”
Perasaan Bawang Putih masih terus dibalut rasa sedih akan kehilangan ibunya. Hal ini membuat
Ibu dari Bawang Merah yang merupakan seorang janda merasa kasihan kepadanya. Ia sering
mendatangi rumah Bawang Putih setiap kali Ayah Bawang Putih pergi berdagang. Ia datang
untuk membantu Bawang Putih mengerjakan pekerjaan rumah atau sekedar menemaninya
saja.
Ibu Bawang Merah : “Bawang Putih kau tidak boleh terlalu lelah, sini Ibu bantu mengerjakan
pekerjaanmu.”
Bawang Putih : “Eh… terima kasih, Bu. Ibu sangat baik kepadaku dan Ayah. Ibu selalu
membantu kami.”
Ibu Bawang Merah : “Aah kamu, jangan berkata begitu. Kita ini kan tetangga jadi harus saling
membantu. Bawang Merah juga selalu ingin bersamamu agar kamu tidak kesepian lagi.”
Keesokan harinya…
Bawang Putih : “Ayah, sebelum Ayah pergi apakah aku bisa bicara dengan Ayah sebentar?”
Bawang Putih : “Ayah tahu bahwa Ibu Bawang Merah selalu membantuku mengerjakan
pekerjaan rumah kita. Bawang Merah juga sering menemaniku bermain. Bukankah mereka
keluarga yang baik, Ayah?”
Ayah : “Tentu saja anakku. Mereka telah sangat baik kepada kita.”
Bawang Putih : “Aku ingin memiliki Ibu seperti Ibu Bawang Merah dan saudara seperti Bawang
Merah, Ayah…”
Ayah Bawang Putih terus memikirkan keinginan putrinya itu. Ia merasa Bawang Putih perlu
memiliki keluarga kembali agar ia tidak kesepian. Hingga tiba hari dimana Ayah Bawang Putih
menikahi Ibu Bawang Merah dan mereka pun tinggal dalam satu rumah.
Ibu Bawang Merah : “Bawang Putih…. (berteriak). Apa yang kamu lakukan? Mengapa meja ini
masih berantakan? Ayahmu sudah selesai sarapan sejak tadi.”
Bawang Putih : “Ma.. maafkan aku, bu… Aku tadi sedang mandi dan belum sempat
membersihkan meja ini.”
Ibu Bawang Merah : “Ah, dasar anak pemalas. Alasan saja yang selalu kau ucapkan.”
Bawang Putih baru mengetahui sifat asli dari Ibu tiri dan saudara tirinya itu. Ia kerap mendapat
siksaan dan selalu diberi pekerjaan yang berat setiap kali Ayahnya telah berangkat untuk
berdagang.
Tak lama setelah pernikahan kedua orang tuanya itu, Ayah Bawang Putih mengalami sakit dan
akhirnya meninggal dunia. Tinggallah Bawang Putih tanpa ayah dan ibu kandung di sisinya
namun ia terus mematuhi perintah ibu tiri dab saudara tirinya dengan harapan mereka akan
menyayanginya dengan tulus.
Pagi ini seperti biasa Bawang Putih mendapat tugas mencuci pakaian di sungai. Ia begitu
semangat mencuci pakaian hingga tanpa sadar salah satu pakaian ibunya hanyut. Ketika henda
pulang ia baru menyadari bahwa jumlah pakaian ibunya berkurang.