Anda di halaman 1dari 58

KATA PENGANTAR

Puji dan Syukur selalu saya panjatkan kepada


Tuhan Yang Maha Esa karena limpahan rahmat dan
karunia-Nya, saya mampu menyelesaikan novel dengan
judul "Kehidupanku". Novel ini berkisah tentang seorang
anak yang berjuang hingga menjadi wanita dewasa
yang sukses, mandiri, dan bahagia dengan segala
perjuangan dan kerja kerasnya dalam mencapai segala
cita-citanya.
Saya menyadari bahwa tidak ada satupun
manusia yang ada di muka bumi ini yang tidak pernah
berbuat kekeliruan dan kesalahan. Untuk itu, saya
memohon agar para pembaca berkenan memberikan
masukan-masukan demi meningkatkan kualitas agar
kedepannya semakin mampu menghasilkan karya-karya
terbaik dan demi membuat para pembaca semakin puas
dengan hasil karya saya.
Demikian novel ini saya buat, semoga dapat
memberikan manfaat serta menambah wawasan para
pembaca. Terimakasih.

Tanggerang, 10 Januari 2022

Annisa Chailifa S.

1
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR...................................... 1

DAFTAR ISI .................................................. 2

Masa Lalu Diriku ........................................... 3

Kedatanganku Di Jakarta .............................. 5

Aku Dan Adikku........................................... 18

Beranjak SMA ............................................. 31

Kesedihan berbuah kebahagiaan ................ 45

BIODATA PENULIS .................................... 55

2
“KEHIDUPANKU”

Masa Lalu Diriku


Bahagia tidak selalu diawali dengan bahagia pula.
Awal cerita yang sedih pun masih mampu menjemput
kisah bahagia di ujung ceritanya. Sesuai dengan
peribahasa bersakit-sakit dahulu bersenang-senang
kemudian. Peribahasa tersebut benar adanya karena
bahagia itu perlu diperjuangkan. Setiap kebahagiaan
setiap makhluk di muka bumi ini mempunyai sudut
pandangnya masing-masing. Dan setiap makhluk
mempunyai waktu yang tepat untuk menjemput
kebahagiaannya masing-masing. Kebahagiaan
layaknya seperti perahu kertas yang kita lepas di air
lepas, mengalir melewati panjang sungai hingga
menemukan pelabuhan terbaik sebagai tempat
berpulang. Banyak rintangan dan tantangan yang harus
dihadapi perahu kertas, dan tidak sedikit perahu kertas
melebur ke dalam air dan pupus harapan. Kehidupan
pun mempunyai alur yang sama dengan perjuangan
perahu kertas menuju pelabuhan. Penuh harapan,
semangat, rintangan, dan keikhlasan.

Sebuah rumah sederhana tampak dari luar


seharusnya menggambarkan sebuah keluarga kecil
dengan kehangatan kasih sayang. Namun, tidak bisa
ditampik bahwa apapun yang terlihat dari luar tidaklah
sama dengan yang ada di dalam. Sebuah rumah
sederhana dengan keasriannya menyimpan kesedihan
dari dalam rumah. Hal inilah yang selalu dirasakan oleh
3
Annisa kecil. Kesedihan dalam rumah ini yang selalu
membuat Annisa kecil gagal mengembangkan
senyumnya setiap pagi. Kesedihan dalam rumah ini
yang selalu membuat Annisa kecil selalu tampak
murung menghadapi hari.

Setiap pagi, Annisa selalu dibangun dengan


keributan. Teriakan dan tangisan telah menjadi
alarmnya yang tidak pernah absen untuk
membangunkannya. Tidak lain dan tidak bukan,
keributan ini ialah berasal dari orang tuanya sendiri.
Kesedihan tidak ditanggung oleh Annisa sendiri. Annisa
mempunyai seorang adik bernama ashifa. Keributan
demi keributan selalu terjadi di rumahnya. Ibunya selalu
menangis di pojok kamar setelah dibentak dengan
teriakan ayahnya sendiri. Segala kejadian yang terjadi di
depan matanya menjadi bentuk trauma tersendiri bagi
Annisa dan Ashifa. "Ibu jangan mengetuk pintuku
dengan menangis, aku tidak mau Ibu menangis", lirih
Annisa.

4
Kedatanganku Di Jakarta
Malam ini rutinitas di rumah kembali terulang, apa
lagi kalau bukan keributan yang tiada hentinya. Tidak
hanya sekali dua kali, keributan ini terjadi berulang kali.
Keributan dengan teriakan ayah dan tangisan ibu
menjadi trauma tersendiri untukku. Keributan ini selalu
dipicu oleh masalah ekonomi keluarga. Hidup yang
semakin susah, semua yang serba tidak murah menjadi
pemantik keributan di rumah ini dan itu selalu terjadi.
Lalu, apa yang haru ku lakukan? Tidak ada dan tidak
punya daya. Aku dan adikku ashifa hanya bisa
menangis sesenggukan di pojok kamar sambil memeluk
diri sendiri, seolah kesedihan hanya ditujukan pada
mereka berdua dari jutaan mahkluk yang ada di dunia
ini.

Bruukk, suara dentuman kursi yang ditendang


ayah ke dinding menggema di telinga kami berdua. Ku
tutup telinga ku dengan kedua tangan ku, berharap aku
tidak pernah mendengar apapun di malam ini.

"Kamu bisa gak sih, ngerti nyari kerja itu susah.


Jangan karena kamu yang bisa bekerja, kamu bisa
semena-mena dengan suami mu," Bentak Ayah.

"Dari segi mana aku bertindak semena-mena


sama kamu mas, semua uangku aja kamu yang
pegang," suara Ibu melemah, tidak sekeras suara ayah
yang menggelar ke setiap sudut rumah.

5
"Tinggal kasih uang aja dari tadi susah banget
ya?", Minta bapak dengan pemaksaan yang tiada
hentinya.

"Buat apa sih mas, aku kerja itu buat kebutuhan


rumah bukan buat biayain kamu yang tidak jelas
membawa uang kemana", lirih ibu.

"Kamu gak kasian sama anak-anak, huh," tambah


Ibu dengan nada mengeras.

"Itu urusan kamu yah, aku gak peduli, sini dompet


mu!"

Ayah memaksa mengambil uang dari dompet ibu


dan merampas semuanya. Ibu tidak mampu berkutik
lagi, hanya bisa menangisi hal paling tidak pantas untuk
ditangisi. Perlakuan Ayah kepada Ibu selalu seperti ini,
tidak pernah berubah.

"Kaka, aku takut," tampak dari wajah Shifa kalau


ia benar-benar ketakutan.

Aku tidak boleh terlihat lemah dan menangis


cengeng di hadapannya, karena itu pasti akan semakin
membuatnya takut. Aku peluk adikku dengan hangat.
Berharap malam yang buruk ini cepat berlalu dan tidak
akan pernah ia temui lagi. Aku tuntun adikku untuk naik
ke kasur dan membiarkannya terlelap.

6
"Kasihan adikku, Ia terlalu kecil untuk melihat ini
semua Tuhan," lirih Annisa di samping adiknya yang
berhasil tertidur pulas.

Kucoba untuk tidur, namun mata ini tidak bisa


terpejam. Pikiranku melayang kemana-mana.
Bagaimana Ibu? Bagaimana Ayah? Dan bagaimana
adikku? Semua semakin terlihat nyata bahwa jika terus
begini, aku seperti tidak punya harapan masa depan
lagi. Kucoba untuk bangkit dan beranjak ke luar kamar,
daripada terus menerus merenung tidak karuan di
dalam kamar.

Kondisi di luar kamar sangat kacau dan


berantakan. Kursi yang terbalik, vas bunga yang pecah
dan tirai gorden yang lepas dari tempat seharusnya.
Mataku menelusuri sekeliling rumah, tidak tampak Ibu di
sini. Ku coba ketuk pintu ibu, satu kali tidak ada sahutan,
dua kali sama. "Apakah Ibu sudah tertidur?" Bisikku
dalam hati. Ku ketuk pintu kamar ibu untuk yang ketiga
kalinya, tidak ada sahutan juga.

"Sudahlah, aku tidak ingin menggangu ibu,


mungkin Ibu sudah tertidur," ucapku dalam hati. Ku
hapuskan niatku untuk pergi ke kamar ibu dan balik
arah untuk kembali ke kamar dan berharap bisa tertidur
kali ini. Baru beberapa langkah aku meninggalkan
kamar ibu, aku mendengar gagang pintu kamar ibu
mencoba untuk membuka. Ternyata ibu belum tertidur,
mata Ibu sembab, rambutnya acak-acakan dan terlihat
sekali bahwa raga Ibu sudah sangat lelah dan letih.
7
Bagaimana tidak, ibu banting tulang bekerja di siang
hari dan sesampainya di rumah semua hasil kerja keras
dirampas oleh Ayah. Tekanan batin, mungkin itulah
yang dirasakan oleh ibu saat ini. Kutatap mata sendu
ibu, terlihat banyak kesedihan di sana. Ku hampiri Ibu
dan kupeluk ibu erat. Tak terasa air mata ini mengalir
kembali tanpa dapat dicegah.

Ibu menuntunku masuk ke dalam kamar ibu.


Sepertinya Ibu mengetahui aku sedang tidak dapat tidur.
Ibu peluk aku erat dan Ia usap rambutku lembut. Aku
sebenarnya bingung harus berbuat seperti apa, aku
tahu ibu sedang rapuh, tapi ibu berusaha kuat
dihadapanku.

"Kenapa nak? Kamu gak bisa tidur?" Suara ibu


lembut sekali, aku berjanji tidak akan membuat nya
menangis seperti yang dilakukan ayah pada ibu dan
kami semua.

"Iya Ibu, aku gak bisa tidur Bu." Ku eratkan


pelukan ku pada ibu karena aku merasa tidak ada
tempat paling hangat dan paling nyaman dari seluruh
tempat yang pernah ku datangi di dunia.

"Shifa dimana kak?" Ada nada khawatir dari


ucapan ibu.

"Shifa tidak apa-apa Bu. Tadi dia sudah ku temani


tidur hingga lelap sekali." Ucapku sambil berusaha
tersenyum.

8
Aku tahu ibu khawatir dengan anak-anaknya
perihal kejadian tadi. Karena bagaimanapun keributan
orang tua yang didengar anaknya akan berefek pada
mental sang anak. Aku berusaha tersenyum, berharap
ibu juga bisa ikut tersenyum bersamaku dan melupakan
kejadian malam ini seolah tidak pernah terjadi apa-apa.
Memang benar, hal ini memang sering terjadi, tapi hal
yang sering terjadi tidak menjadi jaminan itu adalah
suatu hal yang bagus jadi kebiasaan. Hal ini bahkan
cukup berdampak buruk dengan terus menimbulkan
trauma yang kembali datang.

"Kak, kejadian yang tadi jangan kakak pikirkan ya!


Ibu tidak kenapa-kenapa kak, kakak tidak perlu khawatir
ya kak". Ucap Ibu sambil mengusap rambutku lembut.

"Ibu, maaf ya Bu, kakak gak bisa bantu Ibu


banyak, aku,.." ucapan ku dipotong ibu.

"Sutt,, jangan seperti itu kak, Ibu tidak kenapa-


kenapa kak, kakak tidak perlu merasa bersalah ya, ini
bukan salah Kaka," potong ibu, ibu kecup keningku agar
membuatku lebih tenang.

Terbesit dalam pikiran ku untuk pergi saja dari


rumah ini, perlakuan Ayah yang semena-mena terhadap
ibu semakin membuatku tidak betah untuk tinggal di
rumah ini lebih lama lagi. Tapi aku tidak tahu harus
bagaimana dan apakah ibu juga mau untuk
meninggalkan rumah ini. Bagaimanapun juga aku tahu,
Ibu juga sangat menyayangi Ayah walaupun sikap ayah
9
sudah seenaknya dengan ibu. Hal itu pun sama dengan
ku dan mungkin juga Shifa, adikku. Kami semua
sebenarnya pun menyayangi ayah, karena
bagaimanapun juga ayah akan tetap menjadi ayah kami
dan itu tidak bisa berubah dan diubah. Namun, keadaan
seperti ini, membuat ku tidak tahan untuk tetap di rumah.
Teriakan yang tidak pernah absen setiap hari dan
tangisan yang selalu datang menjadi alasan terbesit nya
hal ini dalam benakku.

"Ibu, kenapa tidak kita tinggalkan saja rumah ini


Bu?" Ucapku hati-hati aku takut ibu marah dengan
ucapanku.

"Kenapa kak, kenapa kakak tiba-tiba berpikir


seperti itu?" Ucap Ibu terkejut. Aku sudah menduga
pasti hal ini akan membuat ibu terkejut dengan
ucapanku yang terkesan tiba-tiba.

"Bukan begitu maksudku Bu, aku hanya ingin Ibu


dan Shifa tidak menangis lagi setiap, kasihan Ibu dan
Shifa". Ucapku pelan

"Memangnya kita mau pergi kemana kak? Lalu,


Ayah kamu nanti bagaimana? Dan jangan lupa, kamu
dan Shifa juga masih sekolah kak?" Tegas ibu.

"Kita bisa ke Jakarta Bu, ayolah Bu. Kita bisa


tinggal di rumah nenek untuk sementara. Semoga
dengan kita ke ibu kota bisa merubah nasib kita Bu."
Ucaku bersemangat.

10
"Kalau Ayah, nanti kalau ayah mau menyusul kita
Ia juga bisa sendiri Bu. Untuk sekolah kami berdua,
kami bisa lanjutkan di sana Bu." Tambahku dengan
semangat.

"Kita pikirkan lagi nanti ya kak, ini bukan sesuatu


yang mudah diputuskan loh kak." Ucap ibu.

Aku mengerti dan sangat paham karena tentu saja


hal ini bukanlah suatu hal yang mudah bagi ibu, dan
juga bagi aku dan mungkin Shifa. Ku biarkan ibu
merenungkan dan memikirkan kembali ucapanku. Aku
kembali ke kamar ku lagi dan mencoba untuk tidur. Ku
tinggalkan ibu di kamarnya supaya ibu juga bisa
beristirahat.

Pagi buta sekali aku terbangun dengan keributan


di luar kamar, kudengar suara Ayah ada di situ. "Ayah
sudah datang," ucapku dalam hati. Tidak perlu
ditanyakan lagi alasan terjadinya keributan di luar
karena apa, sudah jelas pasti tidak jauh dari yang
namanya masalah duit. Aku tidak mau ikut campur kali
ini, setelah beranjak dari tempat tidur aku langsung
mandi dan bersiap untuk pergi ke sekolah.

Setelah aku selesai menyiapkan semuanya, aku


keluar kamar dan duduk di meja makan untuk sarapan.
Di meja makan sudah ada ayah di sana, ayah
tersenyum kepada ku, bagaimana pun juga ayah adalah
seorang ayah yang menyayangi anak-anaknya. Hanya

11
saja perlakuannya yang terkadang tidak dapat dicerna
nalar.

"Ayah, kemarin malam Ayah pergi ke mana?


Ucapku memulai pembicaraan, karena akan terasa
sangat canggung jika aku hanya berdiam saja tanpa
menyapa ataupun sekedar basa-basi belaka. Ibu
sepertinya sedang sibung di dapur menyiapkan sarapan.

"Ayah tidak kemana-mana kak, kemarin cuma ke


tempat teman ayah sebentar," ucap ayah, entah
berbohong atau benar tidak ada yang tahu.

"Kak, gimana di sekolah? Hari ini ada tugas apa?"


Ucap ayah basa-basi.

"Baik-baik saja Ayah, tidak ada tugas yah."


Ucapku singkat

Tidak lama dari itu ibu datang dengan membawa


nasi goreng, akhirnya kemudian diam dan melanjutkan
dengan sarapan. Tidak ada canda tawa apalagi bicara.
Diam dengan pikiran masing-masing. Setelah selesai
sarapan, aku langsung berpamitan kepada ibu dan ayah.

"Bu, kakak berangkat sekolah dulu ya." Ucapku


sambil mencium punggung tangan ibu dan dibalas ibu
dengan anggukan.

"Yah, aku berangkat," ucapku singkat.

12
"Belajar yang pintar ya kak," ucap ayah, aku
hanya membalas dengan anggukan.

Di sekolah berjalan seperti biasanya, tidak ada


yang berbeda ataupun spesial. Hanya belajar, istirahat,
belajar dan pulang. Hari ini aku lebih banyak diam,
mungkin karena suasana hati yang tidak baik dari
kemarin malam, membuatku diam saja hari ini. Tidak
ada keinginan untuk melakukan apapun.

Saat pulang ke rumah, rumah terlihat sepi. Ayah


tentu saja tidak berada dalam rumah. Ibu sepertinya ada
di dalam kamar sedang menidurkan Shifa. Aku
langsung ke kamar ganti baju dan keluar kamar untuk
makan siang sebentar, lalu ku pergi bermain hingga
sore

Saat sore aku pulang ke rumah, kondisi rumah


sangat tidak wajar. Berantakan seperti diacak
seseorang. Mungkin kejadian tadi malam terulang
kembali. Aku tidak berani bertanya kepada ibu tentang
apa yang terjadi sampai rumah berantakan seperti ini.
Aku diam saja hingga malam datang dan aku memilih
untuk tidur lebih cepat. Berharap dapat hidup tenang,
damai, bahagia tanpa keributan walau hanya sebatas
dalam dunia mimpi.

Aku terbangun oleh usapan lembut di keningku,


sudah bisa kutebak pemilik tangan ini. Aku coba
membuka mata, ku jumpai wajah ibu di hadapanku. Ku
lihat jam dinding yang ada di kamarku menunjukkan
13
pukul empat dini hari. Kulihat lagi di samping tempat
tidurku sudah ada dua koper dan tas ransel seperti
orang yang mau bepergian jauh.

"Ibu?" Satu kata yang mamiu kuucap, karena


kebingungan ku, kenapa harus dibangunkan saat masih
subuh seperti ini dan koper ini untuk apa?

"Kak, kita berangkat ke Jakarta ya, pagi ini. Kita


akan berangkat ke terminal dan pergi ke Jakarta pagi ini
ya kak." Ucap ibu pelan, seperti detektif yang sedang
melakukan misi rahasia.

"Beneran Bu,.kita jadi ke Jakarta?" Tanyaku


dengan nada menggebu-gebu.

"Iya kak, kita akan tinggal di rumah nenek


sementara, ibu, kakak dan Shifa, kita akan berangkat ke
Jakarta nak." Ucap ibu lirih sambil memeluk ku.

Aku tahu hal ini pasti berat untuk ibu. Aku pun
juga begitu, perasaan ku campur aduk antara senang
dan sedih, aku bingung. Aku senang karena dengan aku,
ibu, dan Shifa di Jakarta berharap kehidupan kami akan
lebih baik lagi. Dan sedihnya karena harus
meninggalkan ayah sendiri disini, dan kami pergi pun
secara diam-diam.

Aku pun segera bersiap-siap, sedangkan ibu


membangunkan Shifa yang masih tertidur pulas. Pukul
lima pagi kami berangkat ke terminal. Pagi hari seperti
ini terminal sudah ramai dipenuhi banyak orang. Ada
14
yang mau berdagang, ada yang mau berangkat kerja
dan ada yang seperti kami mau pulang ke kampung
halaman. Terminal menjadi tempat bertemu dan
berpisah. Tempat menanti dan dinanti. Tempat ini
menjadi saksi bisu suka duka sebuah perpisahan dan
pertemuan. Kini, aku akan meninggalkan kota ini, kota
Tanggerang. Menitipkan segala cerita sedih untuk tetap
dikubur di kota ini. Dan membawa kenangan yang
rasanya tidak bisa dibuang untuk tetap ikut
mengembara di Jakarta nanti.

Perjalanan dari kota Tangerang Selatan ke ibu


kota Jakarta tidaklah lama hanya memakan waktu
kurang lebih delapan jam. Kami berangkat
meninggalkan kota ini, kota Tanggerang yang selama ini
menjadi tempat ku tumbuh besar hingga sekarang dan
aku akan kembali ke kota kelahiran ku. Kami berangkat
bersama orang-orang yang mempunyai tujuannya
masing-masing. Satu jam kemudian, kami tiba di kota
Jakarta. Hari yang cerah dan bisingnya kemacetan kota
Jakarta menyambut kedatangan kami dengan sambutan
hangat. Kami menjajakkan kaki setelah lama sekali tidak
ke kota ini, segala rasa rindu rasanya sudah dapat
terobati.

Tidak butuh waktu lama kami segera menuju


rumah nenek, setiap perjalanan Shifa sangat antusias
melihat jalanan yang ramai dan banyak bangunan tinggi.
Aku berharap dengan kami di sini bisa membuat
keluarga kami menjadi lebih baik lagi. Kedatangan kami

15
di Jakarta sangat mendadak, dan ibu bilang ibu tidak
sempat mengabari keluarga kami di Jakarta. Tentu saja,
nenek akan kaget dengan kedatangan kami yang tiba-
tiba ke Jakarta dengan membawa koper dan tas seperti
orang yang mau pindah rumah. Entah respon seperti
apa yang akan ditunjukkan oleh nenekku dan alasan
apa yang akan di katakan oleh ibuku nanti.

Kami pun akhirnya sampai di kediaman nenek.


Tempat yang selalu kami rindukan di kota ini. Rumah ini
sepi sekali karena memang nenek hanya tinggal
bersama kakek di rumah ini. Saudara ibu memang ada
di kota ini, tapi mereka juga tidak setiap hari ada di
rumah ini. Ibu membawa bawaan koper dan tas dari
taksi ke rumah dan aku menggendong adik. Terlihat
langkah ragu-ragu ibu saat menuju ke pintu rumah ini.
Pasti sangat sulit bagi ibu untuk mencoba menjelaskan
tentang apa yang sebenarnya terjadi. Ibu ketuk pintu
rumah nenek dengan hati-hati.

"Assalamualaikum," ucap ibu dengan segala


kekhawatiran.

"Wa'alaikumsalam, siapa? Sebentar ya," ucap


kakek, suara serak yang menandakan bahwa kakek
sudah semakin menua.

Cekrekk, pintu rumah terbuka. Ternyata yang


dijumpai pertama bukanlah kakek melainkan nenek.
Nenek tertegun melihat kami datang bertiga dengan
barang bawaan yang penuh seperti orang mau
16
pindahan, yang sebenarnya memang sedang pindahan.
Kakek yang sedang duduk di kursi ruang tamu dengan
koran di tangannya dan kopi yang menemaninya juga
ikut tertegun dan langsung menghampiri kaki bertiga.
Kami yang datang tanpa kabar pasti membuat kaget
mereka.

"Nak, kamu ke sini, cucuku Annisa, Shifa," ucap


nenekku gembira dan sedikit terharu karena memang
kami sudah lama tidak ke sini dan ini menjadi obat untuk
rindu itu. Nenek mengambil Shifa dari gendonganku.

"Kenapa nak tiba-tiba ke sini tanpa mengabari


terlebih dahulu," tanya kakek, akhirnya pertanyaan ini
sudah keluar. Ibu hanya menunduk, mungkin perlu
waktu untuk bisa menjelaskan semuanya. Nenek seperti
bisa membaca suasana dan pikiran ibu dan langsung
mengalihkan pembicaraan.

"Yasudah, nanti aja ceritanya. Ayo kita masuk yuk,


let's go!" Ucap nenek berusaha gembira, walau pasti
banyak pertanyaan yang menghinggapi benaknya.

17
Aku Dan Adikku
Hari sudah beranjak malam, ibu sudah
menyiapkan masakan untuk makan malam. Kami
segera berkumpul di meja makan, mengelilingi makanan
yang dari baunya saja sudah tampak sangat lezat.
Suasana makan malam begitu hangat. Aku sangat
merindukanmu suasana ini. Dulu, waktu di rumah
sangat jarang bisa makan malam bersama. Sekarang,
akhirnya aku bisa merasakan lagi bagaimana
kehangatan sebuah keluarga dengan saling berbincang,
bercanda, mengukir senyum dan tawa. Walaupun masih
terasa kurang karena di sini ayah tidak ada, entah
sedang apa ayah saat ini. Apakah ayah berniat untuk
mencari kami atau membiarkan kami untuk
meninggalkannya saja.

"Emm, nak, ibu boleh nanya sesuatu?" Ucap


nenek hati-hati, sepertinya aku sudah bisa menebak
apa yang ingin ditanyakan oleh nenek. Seketika
suasana menjadi hening. Shifa yang sedari tadi
bercanda dengan kakek juga jadi ikut terdiam.

"Iya Bu, ada apa?" Balas ibu, sebenarnya ibu pun


aku rasa sudah bisa menebak. Namun, ibu sepertinya
berdalih untuk pura-pura tidak tahu apa yang mau
ditanyakan oleh nenek.

"Apakah benar kamu dan suami mu sedang


bertengkar?" Ucap nenek melanjutkan pertanyaannya
yang di awal tadi. Ibu terlihat meneguk air liur, mencoba

18
menyiapkan jawaban terbaik agar semua mengerti
keadaan yang sebenarnya dan tidak menimbulkan salah
paham.

"Ibu, boleh tidak kalau aku nanti bicaranya sama


ibu tidak di hadapan anak-anak?" Ucap ibu sangat pelan,
hampir seperti cuma memberikan kode kepada nenek.

Nenek membalas dengan memberi anggukan


tanda setuju. Aku diam saja, walaupun aku tahu maksud
kode ibu apa tapi tidak apa, apa yang dikatakan ibu
benar. Bagaimanapun juga aku dan Shifa masih tidak
layak untuk mendengar permasalahan rumit seperti ini.

"Ayo, lanjutkan makan! Kenapa semuanya jadi


diam?" Ucap nenek sambil bergurau. Kami pun
melanjutkan makan kembali dengan canda dan tawa.

Aku dan Shifa sangat mengantuk sekali, mungkin


karena pengaruh kelelahan setelah perjalanan dari
kampung ke sini yang lumayan bikin badan remuk. Kami
sampai tertidur di sofa saat menonton kartun di televisi.
Kakek menertawakan tingkah kami yang memaksa
untuk tetap nonton kartun padahal mata saja sudah
tidak sanggup membuka.

"Kalian ini, mata kalian saja sudah tidak bisa


terbuka, bagaimana mau menonton?" Ucap kakek
mengejek kami. Nenek hanya bisa geleng-geleng
kepala melihat kelakuan kakek dengan cucu-cucunya.

19
"Ya sudah, tidak usah dipaksa kak, yuk sini ibu
antar tidur ke kamar. Shifa nanti juga ibu gendong ke
kamar," ajak ibu kepada kami. Akhirnya karena rasa
kantuk yang sangat berat, aku tidak punya alasan lagi
untuk menolak ajakan ibu.

"Baik Bu, huahhwwa," jawabku sambil menguap,


dibalas tawa dan gurauan dari kakek.

"Annisa, awas mulutnya kalau kelebaran dibuka


bisa kemasukan cicak loh," gurau kakek, aku langsung
menutup mulutku.

Lalu, kami langsung beranjak ke kamar bersama


ibu. Kamar ini adalah kamar ibu dulu saat masih tinggal
di rumah ini. Aku akan tidur di kamar ini bersama Shifa,
sedangkan ibu tidur ke kamar sebelah, kamar tante dulu.

"Ibu temani di sini dulu ya, sampai kslisn tidur,"


ucap ibu sambil mengecup keningku dan kening Shifa.

"Terimakasih Bu," ucapku dan disambung oleh


Shifa, "timasii Bu," ucap dia cadel.

Kami akhirnya mencoba untuk memejamkan mata.


Tidak lama ada seseorang yang masuk ke dalam kamar
dengan langkahnya yang pelan dan semakin mendekat.
Sepertinya yang masuk ke dalam kamar adalah nenek,
aku tetap memejamkan mataku, aku ingin tahu apa
yang ingin dibicarakan nenek dengan ibu.

20
"Bu," ucap ibu kaget melihat kedatangan nenek ke
kamar. Nenek tersenyum dan duduk di sisi pinggir
tempat tidur yang lain.

"Nak, ibu bolehkan tahu tentang apa yang


sebenarnya terjadi?" Ucap nenek, ibu mana di dunia ini
yang bisa membiarkan anaknya larut dalam
permasalahan.

"Iya Bu, aku sebenarnya tidak apa-apa Bu, hanya


karena aku kasian dengan anak-anak harus ikut
menanggung masalah ini dan terseret pada masalah ini.
Jadi, aku bawa mereka pergi ke Jakarta agar mereka
juga dapat hidup sedikit lebih tenang dan sekolahnya
tidak terganggu. Sebenarnya aku tidak kepikiran untuk
pergi ke Jakarta dan membawa anak-anak pergi Bu,
tapi Annisa tiba-tiba kepikiran untuk ke sini." Ucap ibu
panjang lebar. Sebenarnya itu pun belum menjelaskan
mengenai apa yang sebenarnya terjadi, akar
permasalahan yang menyebabkan mereka harus pergi
dari sini.

"Masalah? Masalah apa yang kamu maksud nak?"


Ucap nenek semakin bingung karena masih tidak
menemukan benang merah dari permasalahan ini lagi.

"Sebenarnya, aku dan suamiku sering bertengkar


Bu, hampir setiap hari. Permasalahan selalu saja
karena masalah ekonomi Bu, aku harus banting tulang
setiap hari. Sedangkan suamiku cuma bisa marah-
marah dan kami selalu bertengkar setiap hari karena
21
kebutuhan setiap hari yang lagi-lagi tidak bisa dipenuhi
Bu." Ibu bercerita sambil menangis terisak. Ibu
menundukkan kepala, rasa sedih dan rasa malu yang
bergelayut karena tidak mampu menyelesaikan masalah
rumah tangga sendiri.

Aku masih bisa mendengarkan apa yang ibu dan


nenek bicarakan. Karena aku pun belum bisa tertidur
sejak nenek masuk ke dalam kamar tadi. Aku berusaha
terpejam, namun tidak bisa. Ditambah lagi dengan rasa
penasaran ku pada apa yang ingin dibicarakan oleh ibu
dan nenek.

"Nak, kenapa kamu tidak pernah bilang masalah


ini kepada ibu. Ibu bisa saja bantu kamu walaupun tidak
banyak, tapi bisa saja mengurangi beban yang kamu
tanggung nak," balas nenek, ada nada kesedihan di
ujung sana.

"Tidak apa-apa Bu, aku cuma kasian pada anak-


anak itu aja. Aku sendiri, tidak apa-apa Bu, ibu jangan
khawatir dengan aku Bu," ucap ibu mencoba bersikap
kuat, karena ibu tidak ingin membuat nenek menjadi
semakin kepikiran dengan masalah kami.

"Suami kamu tahu nak, kalian ada di sini?" Tanya


nenek. Aku sebenarnya juga tidak tahu, apakah ayah
mengetahui atau tidak keberadaan kami. Karena
kemarin saja keberangkatan kami terjadi sangat
mendadak dan aku tidak sempat menanyakan apa ayah
mengetahuinya.
22
"Tidak Bu, dia tidak tahu," ucap ibu sambil geleng-
geleng kepala. Sudah terjawab pertanyaan ku yang juga
membuatku penasaran.

"Ya sudah, kalian istirahat ya, tenangkan pikiran


kamu, esok kamu mau mencarikan sekolah untuk
Annisa kan?" Ucap nenek

"Iya Bu, terimakasih Bu sudah mengerti aku,"


ucap ibu yang berakhir dengan pelukan hangat dari
nenek.

Aku mendengar kata sekolah, berarti aku akan


melanjutkan sokolah di sini. Aku semakin bersemangat
dan tidak sabar untuk hari esok untuk mencari sekolah
baru. Aku akan mempunyai teman baru, suasana
sekolah baru dan aku berharap semuanya dapan
berjalan dengan baik. Aku, ibuku, dan Shifa dapat hidup
dengan tenang kembali. Kami akan berjuang kembali
menata hidup baru di ibu kota dari titik nol kembali. Aku
pejamkan mataku segera agar aku bisa bangun lebih
awal dan bersiap lebih awal untuk mencari sekolah baru.

Akhirnya, hari yang dinanti-nanti telah tiba, hari ini


aku akan mencari sekolah baru bersama ibu. Aku
senang sekali, menurutku sekolah adalah tempat terbaik
menemukan teman terbaik. Selama aku di Jakarta, aku
belum memiliki teman untuk bermain. Biasanya aku
hanya bersama Shifa main di dalam rumah. Aku hari ini
harus bersiap lebih awal, aku langsung bergegas mandi
dan setelah mandi aku langsung menuju meja makan
23
untuk sarapan bersama ibu, nenek, dan kakek.
Sedangkan adikku masih tertidur pulas di dalam kamar.

"Halo kakek, halo nenek!" Sapaku semangat.


Sepertinya hari ini aku merasa semangat sekali.

"Wah cucu kakek sudah siap aja nih pagi-pagi,


semangat sekali," seru kakek.

"Annisa semangat pasti karena mau cari sekolah


baru kan," ucap nenek menebak. Tentu saja tebakan
nenek itu benar.

"Wah, nenek benar, nenek bisa membaca pikiran


ya?" Ucapku sambil terkikik.

"Oh iya, ibu kemana Nek?" Tanya ku dengan


nenek, karena sejak aku keluar dari kamar aku belum
menemui ibu.

"Itu ibu kamu sedang masak di dapur, kamu


tunggu aja ya, bentar lagi kita sarapan," ucap nenek,
aku bakas dengan anggukan.

"Tidak sabar banget sih cucu kakek," gurau kakek


kepadaku sambil mencubit pipiku. Aku sampai meringis
kesakitan karena cubitan kakek

Setelah sarapan selesai, aku dan ibu segera


bersiap-siap untuk pergi ke halte, kami rencananya mau
berangkat dengan menggunakan bus saja. Shifa tinggal
bersama nenek karena jika Shifa ikut bersama kami

24
nanti Shifa akan rewel. Seperti yang kita tahu, Jakarta
pasti akan sangat macet dan panas apalagi kami naik
bus pasti akan berjejal di dalam bus. Jadi ibu
memutuskan agar Shifa tetap di rumah bersama nenek.

Selain mendaftar sekolah untukku, ibu juga berniat


untuk mencari pekerjaan di sini. Ibu ingin melamar
pekerjaan di beberapa toko di Jakarta. Ibu tidak bisa
terus menerus bergantung pada nenek dan kakek. Ibu
berpikir harus mencari penghasilan tambahan untuk
memenuhi kebutuhan kami. Gaji pensiun yang dimiliki
kakek tidak akan cukup untuk digunakan memenuhi
kehidupan kami.

Aku dan ibu akhirnya menaiki bus, hari ini seperti


biasa Jakarta sangat macet karena banyak orang yang
pergi untuk bekerja dan ke sekolah. Di dalam bus juga
dipenuhi oleh banyak penumpang, bahkan ada yang
sampai berdiri.

Jarak sekolah yang ingin kudatangi dari rumah


nenek adalah sekitar 2 km. Tidak terlalu jauh dan tidak
juga dekat. Setelah kami sampai di sana. Ibu langsung
menuju ke ruang guru. Ibu mengisi data untuk
pendaftaran dan pembayaran untuk bsju dan buku.
Guru di sini ramah dan menyambut kami dengan baik.
Sekolah ini adalah sekolah negeri bukan sekolah
swasta, sehingga pembayaran sekolah lebih murah
daripada di sekolah swasta. Aku juga tadi sempat
berkeliling mengelilingi sekolah dan melihat lihat ruang

25
kelas. Aku akan mulai bersekolah minggu depan di hari
Senin.

Setelah semua urusan pendaftaran sekolah


selesai, aku dan ibu menaiki bus lagi. Tujuan
selanjutnya adalah ke tempat ibu ingin melamar kerja.
Matahari semakin naik dan hari semakin menuju siang.
Bus seperti biasa berdesak-desakan kursi penuh semua
dan yang berdiri pun tidak sedikit, sehingga semakin
menambah gerah. Sekitar lima belas menit kemudian,
kami telah sampai di tempat yang ingin dituju. Di sana
berjajar toko-toko dengan berbagai macam jualan
dagangan. Ibu menuju salah satu toko di sana. Aku ikut
membuntuti ibu dari belakang.

"Nak, ibu masuk dulu ya, kamu tunggu di sini,"


ucap ibu kemudian ibu segera berbalik dan masuk ke
dalam sebuah toko.

Punggung ibu sudah menghilang masuk ke dalam


toko. Toko ini terlihat sangat ramai banyak orang keluar
masuk silih berganti. Toko-toko lain pun sama ramai
oleh para pembeli padahal hari ini masih hari kerja
apalagi hari libur pikirku. Aku duduk di salah satu kursi
di depan toko yang sepertinya sengaja disediakan untuk
para pembeli. Tidak lama dari itu ibu kembali.

"Bagaimana Bu hasilnya?" Ucapku penasaran,


walaupun aku belum tahu bagaimana sistem melamar
kerja tapi aku rasa itu bukanlah suatu hal yang mudah.

26
"Alhamdulillah Kak, ibu diterima langsung di sini
tanpa harus interview lagi," ucap ibu bahagia, aku pun
ikut senang dan antusias mendengar kabar baik dari ibu.

"Kapan ibu mulai bekerja di sini?" Tanya ku


kepada ibu.

"Ibu sudah bisa mulai bekerja esok kak, doakan


semoga esok lancar ya kak," ucap ibu dan ku balas
dengan anggukan semangat.

Toko ibu searah dengan jalanku menuju sekolah


baruku nanti. Sepertinya aku akan berangkat sekolah
bareng dengan ibu berangkat bekerja. Setelah ini tidak
ada tujuan lagi, jadi aku dan ibu memutuskan untuk
langsung pulang ke rumah nenek. Kasian nenek yang
jika ditinggal lama mengurus Shifa di rumah. Urusan
hari ini sudah selesai, tinggal menjalani hari-hari esok
yang tidak tahu akan ada apa lagi nantinya. Akhirnya
setelah perjalanan panjang kami sampai di rumah
nenek, lelah sekali hari ini harus turun naik bus,
berdesak-desakan ditambah lagi cuaca di luar yang
sangat panas dan kondisi Jakarta yang selalu macet.

Rupanya Shifa sedang tidur siang di kamar. Kakek


dan nenek sedang menonton televisi di ruang tengah.
Saat kami datang dan menyampaikan bahwa semua
urusan hari ini lancar dan berjalan baik. Nenek juga
sangat senang dengan diterimanya ibu bekerja di toko
itu, setidaknya hal itu dapat membantu ibu.

27
"Annisa nanti hari Minggu kita pergi buat
persiapan sekolah nanti ya?" Ajak nenek, tentu saja hal
ini di respon antusias aku.

"Beneran nek? Nenek tidak bohong kan? Janji ya


nek!" Ucap Annisa meyakinkan.

"Sepertinya Annisa takut dikecewakan nih," gurau


kakek yang dibalas tertawaan oleh satu rumah. Annisa
cuma bisa cemberut tanda membenarkan pernyataan
kakek.

Hari-hari berlalu sangat cepat, aku sudah


memasuki sekolah dan ibu juga sudah mulai bekerja.
Hari-hari berjalan dengan baik sesuai dengan harapan.
Aku mendapatkan teman baru di sekolah baru ini,
ternyata tidak sulit memulai pertemanan dengan mereka
seperti dengan apa yang dipikirkan. Aku harap
semuanya dapat berjalan baik-baik saja seperti
sekarang ini.

Hari ke hari, minggu ke minggu, bulan ke bulan,


akhirnya menjemput tahun ke tahun. Sekarang aku
sudah duduk di bangku SMP dan Shifa juga semakin
besar. Kalau ibu, ibu masih bekerja di toko waktu dulu
ibu melamar bekerja. Semakin hari kebutuhan semakin
bertambah di tambah lagi dengan Shifa yang semakin
besar sehingga kebutuhan kami pun semakin
bertambah banyak. Seperti anak-anak pada umumnya,
Shifa berada di tahap sedang manja-manjanya. Aku
mencoba untuk memberi pengertian kepada Shifa tapi
28
tidak merubah banyak, karena Shifa juga masih dibilang
anak-anak yang masih sulit untuk diberi pengertian.

Pada suatu hari saat aku dan ibu duduk


berkumpul di ruang tengah, tiba-tiba Shifa datang
bergabung bersama kami. Shifa merengek untuk minta
dibelikan mainan yang sama persis dengan yang dimiliki
oleh temannya.

"Ibu, aku mau beli mainan seperti yang mereka


punya Bu," rengek Shifa kepada ibu. Walau hari-hari
berjalan dengan normal. Namun, tidak bisa dikatakan
bahwa perekonomian kami serba berlebih. Gaji ibu
hanya cukup untuk mencukupi kebutuhan kami saja itu
pun kadang kurang dan tidak dapat ditabung.

"Nanti ya nak, kalau kita punya uang berlebih pasti


ibu belikan yang kamu mau. Sekarang pakai mainan
yang adik punya dulu ya," ucap ibu mencoba membujuk
Shifa.

"Kenapa harus nanti Bu? Aku malu kalau


mainanku cuma ituitu aja," paksa Shifa kepada ibu.

Aku cuma bisa diam saja karena aku pun tidak


bisa berbuat banyak. Aku mau sekali membantu ibu
bekerja untuk menambah penghasilan agar kebutuhan
kami yang lainnya juga dapat terpenuhi. Pada malam
harinya, saat di kamar aku mencoba untuk berbicara
dengan Shifa, walaupun Shifa masih terbilang kecil

29
untuk dapat mencerna nasehat dari aku, tapi aku harus
mencobanya.

"Shifa, ingat tidak kejadian tadi siang ketika Shifa


merengek dengan ibu?" Lalu dibalas anggukan oleh
Shifa. "Lain kali, nanti jangan seperti itu lagi ya dik, kan
kasian ibu dik, ibu sudah banting tulang bekerja keras
untuk memenuhi kebutuhan kita, kita tidak boleh
memaksa ibu seperti itu lagi ya," ucapku mencoba
menasehati Shifa pelan-pelan. Shifa cuma menunduk,
aku tahu pasti dalam hatinya juga terbesit rasa bersalah.

"Iya kak, lain kali aku janji tidak begitu lagi," balas
Shifa sambil mengacungkan jari kelingking tanda
berjanji.

"Kita berdoa saja ya, semoga suatu saat nanti kita


bisa mendapatkan apa yang kita inginkan ya," ucapku
sambil berharap, diikuti dengan anggukan Shifa.

30
Beranjak SMA
Aku mencoba untuk mencari ide berjualan untuk
mencari uang sebagai tambahan uang saku. Semoga
dengan itu dapat mengurangi beban ibu. Ibu sudah
sangat bekerja keras untuk kami sampai-sampai ibu
juga mencari tambahan dengan berjualan donat. Aku
mempunyai tabungan yang belum pernah aku pakai,
akhirnya aku buka tabungan itu dan uangnya aku
berencana untuk membeli hp. Aku rasa handphone
menjafi barang yang cukup penting sekarang ini dan
semoga dengan aku punya handphone dapat
memperlancar bisnis ku tadi dengan berbisnis online.

Benar saja, bisnis online ku berkembang pesat


dan jualan ku laku keras. Aku senang sekali, akhirnya
untuk pertama kalinya aku bisa menghasilkan uang
hasil jerih payahku sendiri. Ibu dan Shifa juga ikut
senang dengan perkembangan bisnis online ku. Aku
juga membelikan Shifa mainan yang dulu dia mau beli,
dia senang sekali akhirnya aku bisa melihat Shifa
tersenyum lepas.

"Oh iya Shifa, kakak punya hadiah nih buat kamu,"


ucapku sengaja ingin membuatnya penasaran.

"Hah, apa itu kak?" Disambut Shifa dengan wajah


berbinar. Shifa langsung mengambil paper bag yang
ada di samping ku dan membukanya tidak sabaran.

31
"Sabar Shifa nanti paper bag nya rusak lagi,"
ucapku cekikikan. Setelah kertas kadonya berhasil Shifa
tanggalkan, sudah terlihat lah hadiah apa yang
sebenarnya dimaksud oleh aku. Shifa sangat senang
sekali.

"Wah terimakasih banyak kak, sayang kakak,"


ucapnya sambil memelukku erat.

Ku jalani bisnis online itu sambil terus bersekolah,


karena bagaimanapun belajar dengan menuntut ilmu
adalah suatu hal yang penting yang tidak bisa
disepelekan.

Ketika asyik bercengkrama, tiba-tiba ada


seseorang yang sedang mengetuk pintu. Aku beranjak
dari ruang tengah untuk membuka pintu dan melihat
siapa yang datang. Setelah aku membuka pintu, orang
yang paling tidak ku sangka akan datang sekarang ada
di depanku. Aku bingung harus bagaimana dan aku
diam seribu bahasa.

"Kakak," ucapnya padaku.

"Ayah? Kenapa ayah ke sini?" Akhirnya satu


kalimat ini lolos dari mulutku.

"Mana ibumu kak? Mana Shifa?" Ucapnya sambil


menerobos masuk tanpa aku suruh harus masuk.

Di ruang tengah, sama halnya seperti reaksi


pertama ku tadi. Ibu sangat begitu kaget melihat siapa
32
yang datang ke sini. Sama halnya dengan Shifa. Shifa
yang biasanya cerewet sana-sini, sekarang hanya bisa
diam seribu bahasa, entah apa yang sedang dalam
pikirannya. Selang beberapa menit suasana rumah
hening. Ibu menyeret tangan bapak untuk pergi ke luar.
Shifa yang ingin ikut, aku tahan untuk tetap di dalam
rumah.

Ibu berbicara dengan bapak di teras, terdengar


sayup-sayup suara ayah dan ibu beradu mulut. Aku
percaya mereka pasti bisa menyelesaikan masalah
mereka dengan baik. Kedatangan ayah, di satu sisi
membuatku senang karena sudah cukup lama kami
pergi ke Jakarta dan selama itu pula kami tidak bertemu
ayah. Tapi, selain itu juga ada rasa takut, aku jujur saja
masih trauma dengan keadaan di rumah dulu sewaktu
kami masih berada di Tanggerang.

Tidak lama, ayah dan ibu masuk kembali ke dalam


rumah. Ibu berusaha tersenyum, mencoba untuk terlihat
baik-baik saja. Sepertinya sudah disepakati bahwa ayah
ikut tinggal di sini. Entah bagaimana reaksi nenek dan
kakek nanti ketika mereka sampai di rumah melihat
ayah berada di sini. Hari ini kebetulan, kakek dan nenek
sedang tidak ada di rumah karena sedang menghadiri
acara syukuran teman kakek.

Hari-hari berlalu sudah berlalu, kehadiran ayah di


sini disambut dengan baik dan ikhlas. Walau terkadang
tabiat ayah kadang muncul kembali seperti dulu, tapi
karena rumah ini adalah rumah orangtua ibu, ayah
33
merasa lebih segan. Kini ayah juga tahu kalau punya
bisnis online dengan penghasilan lumayan. Ini menjadi
alasan ayah untuk terus meminta uang padaku untuk
kebutuhannya. Aku sendiri tidak masalah, asalkan
bapak tidak membuat ibu semakin susah. Karena ayah
terus menerus seperti itu, aku sampai tidak bisa
menabung dan akhirnya semua tabunganku habis dan
aku tidak punya modal lagi untuk memulai bisnis online
lagi. Ditambah dengan langganan yang semakin
berkurang dan pembeli yang sangat sepi, akhirnya aku
memutuskan untuk berhenti berbisnis online.

"Kak, ayah minta uang dong buat beli rokok,


besok siang nanti ayah ganti," ucap ayah sedikit
memelas, aku bukannya tidak mau memberi. Tapi, aku
sendiri tidak punya uang sama sekali.

"Maaf ayah, Annisa sedang tidak punya uang


sama sekali yah, jualan kakak sepi sekali akhir-akhir
ini," jelas aku mencoba memberi pengertian kepada
ayah.

"Ini bukan alasan kamu saja kan kak? Kakak tidak


bohong dengan ayah kan?" Ucap ayah seperti tidak
percaya.

"Tidak ayah, aku tidak mungkin seperti itu yah.


Sekarang ini, aku kehabisan modal dan tabunganku
sudah habis semua, karena dari kemarin ayah juga
terus meminta uang aku kan yah," ucap aku sambil
terisak, aku tidak tahan lagi sampai-sampai aku
34
menitikkan air mata. Keributan di dalam kamar ternyata
terdengar ibu dari luar. Ibu segera masuk ke dalam
kamar.

"Ada apa ini mas? Kamu minta uang lagi sama


kakak? Ini nih pakai uang aku aja," ucap ibu sambil
mengeluarkan beberapa lembar uang dan
memberikannya kepada ayah. Setelah itu, ayah
langsung pergi meninggalkan kami di dalam kamar.

"Maafkan ayah ya kak," ucap ibu mencoba


menenangkanku dan memelukku.

Terlihat Shifa ikut mengintip di balik pintu kamar,


wajah Shifa menunjukkan kesedihan. Aku sekarang
memang tidak bisa bantu banyak karena bisnisku yang
sudah hampir tidak ada kemajuan. Aku tidak punya
sumber penghasilan tambahan lagi.

Ketika malam, tiba-tiba Shifa bicara denganku

"Kak, kayaknya aku mau jualan online seperti


kakak dulu," ucap adikku tiba-tiba.

"Bagus itu dek, tapi modalnya kakak tidak bisa


bantu karena semua tabungan kakak sudah habis.
Kamu sudah punya modalnya dek?" Ucapku pada
adikku.

"Iya kak, aku punya tabungan yang ku sisihkan


dari uang sakuku yang diberi ibu dan yang diberi kakak."

35
Akhirnya adikku mulai berjualan online, sudah tiga
bulan lebih dia berkutat dengan bisnis barunya.
Keuntungan yabg didapatkan pun juga sangat lumayan
untuk menambah uang jajannya. Tapi lagi-lagi setiap
kita dititipkan rejeki pasti ada saja ujian yang harus
dihadapi. Sekarang yang memanfaatkan uang dari
adikku tidak hanya ayah, tapi tanteku saudara dari ibu
juga ikut bergantung pada adikku.

Seperti hal nya aku, adikku sekarang juga tidak


punya alasan untuk menolak apapun yang diminta tante
dan ayahku. Jika diingat kondisi dulu saat kami sedang
dalam keadaan terpuruk, tidak punya sama sekali.
Tanteku tidak ada sedikitpun menolong kami, padahal
tanteku bisa terbilang cukup mampu dan berkecukupan.
Sekarang tanteku sering meminta uang kepada adikku
dengan alasan untuk bayar hutang padahal tanteku
pergi jalan-jalan.

"Nis, Tante minjam uang sedikit dong buat bayar


SPP anak Tante bisa ya?" Ucap tanteku dengan santai.

"Maaf Tante, aku tidak bisa Tan, aku sudah tidak


punya uang lagi," ucap aku menjelaskan.

"Begitu ya? Kalau begitu biar Shifa aja deh, kamu


kan sekarang punya bisnis online dan Tante dengar
usaha kamu lanacar banget," ucap tante.

Aku sebenarnya sangat kesal dengan sikap tante


yang seperti itu, tapi bagaimanapun juga Tante masih

36
memiliki ikatan darah dengan kami, tidak akan tega
kami untuk menolaknya. Tidak hanya ayah, sekarang
tante pun ikut ikutan berusaha menghabiskan uang hasil
jerih payah kami. Kami hanya bisa pasrah dan ikhlas
dengan semua ini.

Hingga sekarang ini kami sudah menghabiskan


beberapa tahun kami tinggal di Jakarta. Saat ini
akhirnya aku sudah duduk di bangku SMA, aku sudah
memasuki masa remaja dimana kata orang masa
remaja adalah masa-masa emas. Tapi menurutku,
semakin dewasa aku semakin takut dengan masa
depan, takut dikecewakan oleh harapan dan ekspektasi.
Kebutuhan pun semakin bertambah hari ke hari, aku
berniat untuk berjualan lagi di sekolah. Aku mencoba
searching di internet untuk menemukan ide berjualan
yang bagus dan tidak memakan modal yang banyak.

Saat aku sedang asyik searching di internet, tiba-


tiba Shifa masuk ke dalam kamar.

"Sedang apa kak? Serius sekali keliatannya,"


ucap Shifa mencoba membaca raut wajah kakaknya.

"Ini, kakak berniat untuk berjualan lagi di sekolah


tapi kakak masih bingung mau jualan apa, kamu punya
ide?" Jawabku kepada Shifa, siapa tahu Shifa punya ide
yang brilian yang bisa aku gunakan.

"Hmm, kayaknya aku tahu kak ide jualan apa yang


bagus," ucap Shifa dengan wajah berbinar.

37
"Apa itu dek?" Balasku tidak sabar.

"Buka jasa cetak polaroid aja kak, itu lagi trend


juga di kalangan remaja. Kata mereka sih astetik gitu,
aku juga kemaren niat untuk buka jasa itu," jelas Shifa
panjang lebar.

"Wah, bagus itu. Kita bareng aja promosinya biar


keuntungannya kita bagi dua aja nanti." Aku semangat
sekali ingin memulai bisnis ini, semoga dapat membawa
keuntungan yang lumayan untuk kami.

Kami semangat sekali memulai bisnis polaroid ini,


kami sudah membuat akun khusus untuk
mempromosikan jasa cetak polaroid kami. Akhirnya
Shifa mempromosikan polaroid di sekolahnya dan aku
mempromosikan polaroid untuk sekolah ku. Jasa cetak
polaroid kami laku keras. Hampir semua orang yang
ada di sekolahku mengenali ku sebagai penjual jasa
cetak polaroid.

Keuntungan yang didapat lumayan cukup banyak,


cukup untuk memenuhi kebutuhan kami. Polaroid
memang sedang menjadi trend di kalangan remaja,
sehingga ini menjadi waktu yang pas untuk kami
memasarkan jasa polaroid kami.

Bisnis polaroid kami berkembang pesat dan hal ini


sudah tercium oleh ayah. Ayah kembali dengan tabiat
awalnya, karena bagaimanapun juga ayah tetap ayah
kami. Ayah tiba-tiba membujuk kami untuk mengkredit

38
sebuah mobil dengan berdalih agar kami lebih mudah
untuk kemana-mana. Sedangkan menurut kami, kami
belum membutuhkan itu.

"Kalian berdua kan sudah punya penghasilan


sendiri, menurut ayah uang kalian lebih baik digunakan
untuk mengkredit mobil," ucap ayah membujuk kami

Menurut ayah dengan mengkredit mobil kami


dapat melakukan investasi sehingga uangnya tidak
hanya habis untuk kebutuhan sendiri.

"Ayah, menurutku kami belum terlalu memerlukan


sebuah mobil, kami bisa kok kemana-mana dengan
kendaraan dan itu tidak masalah," ucap Shifa.

"Aku pikir juga begitu yah, sebaiknya uang itu


kami tabung saja untuk keperluan sekolah kami
nantinya, tidak lama lagi kan aku sudah mau
melanjutkan pendidikan ke perguruan tinggi dan Shifa
juga akan memasuki SMA pasti membutuhkan dana
yang tidak sedikit yah," ucap aku dengan hati-hati, aku
berharap ayah tidak marah dengan pilihan kami.

"Bagaimana yah, tidak apa-apa kan? Kami begini


agar kami nanti merepotkan ayah sama ibu yah,"
tambah Shifa.

"Terserah kalian saja kalau begitu, kalian lebih


tahu apa yang terbaik untuk kalian," pasrah ayah.

39
Bisnis polaroid kami berjalan dengan baik,
promosi untuk jasa kami juga tetap dijalankan. Selain,
aku berfokus pada bisnis aku juga tetap mementingkan
pendidikan. Aku punya mimpi untuk dapat melanjutkan
ke jenjang kuliah di perguruan tinggi ternama di kota
istimewa Yogyakarta. Itu yang mengharuskanku untuk
membagi badan untuk belajar lebih keras lagi agar
namaku dapat termasuk dari deretan siswa yang masuk
list siswa yang lulus SNMPTN. Harapan ini menjadi
harapan terbesarku di tahun ini.

"Tringg," suara notifikasi DM Instagram masuk,


akhirnya fokusku yang sedang menulis di buku harian
ku beralih ke handphone. Ku buka akun Instagramku,
seperti biasa ini adalah pesanan untuk cetak polaroid.

"Ananta Fatih Gibran," aku mengeja nama pemilik


pesanan polaroid di malam ini. "Nama yang bagus,"
ucapku dalam hati. Tiba-tiba niatku yang ingin langsung
mencetak polaroid nya beralih untuk menscroll
handphone. Jari-jari tanganku membawa ku untuk
stalking tentang seorang Ananta Fatih Gibran.

"Kenapa ya? Setiap kali aku menyebut namanya,


rasa sukaku pada sebuah nama ini semakin bertambah
ya?" Ucap Annisa pelan. Beruntung di dalam kamar
hanya ada dia sendiri, jika ada adiknya pasti dia akan
tanya-tanya hal yang tidak jelas.

Kulihat akun Instagram, ternyata dia adalah


seorang atlet basket. Sudah ketebak dari foto-foto yang
40
dikirimnya untuk dicetak adalah foto-foto dirinya yang
sedang bermain basket dan beberapa fotonya sedang
bertanding, bahkan beberapa kali ada foto dirinya
dengan medali emas. Aku saja kagum hanya dengan
melihat foto-fotonya, apalagi orangtuanya pasti sangat
bangga punya anak dengan segudang prestasi seperti
ini.

"Tringg" Suara notifikasi lagi, ternyata ini masih


dari orang yang bernama Ananta.

"Fotonya kalau sudah selesai, antar ke kelas aja


ya di kelas 12 IPS 2", ujarnya di chat DM Instagram.

Aku kaget, ternyata dia satu sekolah denganku,


bahkan kami satu angkatan. Tapi, kenapa aku sangat
asing dengan nama ini, bahkan aku tidak tahu kalau dia
salah satu pemain basket di sekolah aku.

Pesanan polaroid sudah siap dikemas, keesokan


harinya aku akan mengantarkan pesanan ini kepada si
empunya. Setibanya di sekolah, aku sempat bertanya
kepada teman sebangku aku.

"Din, kamu tahu tidak dengan anak kelas IPS 2,


namanya itu hemmm, Ananta Fatih Gibran?" Tanyaku
pada Dina, karena sejujurnya memang aku penasaran
dengan orang ini. Jujur saja, melihat mukanya aja aku
rasa tidak pernah melihat.

41
"Ananta Fatih Gibran, hemm kayaknya aku tahu,
dia anak basket kan?" Tanya Dina kubalas dengan
anggukan, sepertinya Dina mengetahui tentang dia.

"Dia itu orang misterius banget Nis, pokoknya


orangnya bisa terbilang sangat introvert gitu. Kamu pasti
tidak akan menemukannya di kantin kalau jam istirahat
karena itu bukan tempatnya, kalau mau cari dia
tempatnya adalah di kelas atau di perpustakaan.

"Pantas aja, kemarin dia mau cetak polaroid di


tempat ku dan minta diantarkan ke kelas, aku bingung
kenapa harus ke kelas kan biasanya kebanyakan minta
diantarkan ke kantin aja sekalian, ternyata orang begitu
ya," ucapku setidaknya ini bisa mengurangi rasa
penasaran ku.

Jam istirahat tiba, aku memutuskan untuk


langsung ke kelas IPS 2 dan membiarkan Dina jalan
duluan ke kantin. Aku menyusuri lorong kelas,
sebenarnya aku melawan arus, kebanyakan siswa pasti
tujuannya ke kantin, sedangkan aku mau tujuannya
adalah ke kelas.

Akhirnya sampai juga di depan kelas IPS 2, aku


mencoba mengintip dari depan pintu, mencari-cari
orang yang dimaksud. Kelas terlihat sepi, tapi masih
ada beberapa orang yang masih tetap berada di kelas.
Aku bingung yang mana orang yang bernama Ananta
Fatih Gibran.

42
"Maaf, kamu tahu yang mana orang yang
bernama Ananta Fatih Gibran?" Tanyaku pada salah
satu anak kelas IPS 2 yang mau keluar.

"Oh Nanta itu dia duduk di ujung yang pake


hoodie putih, sedang membaca buku dia," jelas anak itu.

"Oh itu makasih ya,"

Setelah itu aku langsung memasuki kelasnya dan


berjalan ke pojok kelas.

"Hai ini Nanta ya? Kamu kan kemarin yang pesan


cetak foto polaroid di tempat ku?" Ucapku padanya.
Posisinya tidak berubah dan matanya tetap fokus
menatap buku tebal itu.

"Iya, taruh saja di atas meja." Ucapnya dan


kembali lagi ke dunianya. Aku masih belum beranjak
pergi karena dia belum membayarnya, bagaimana bisa
aku tinggal pergi begitu saja. Sepertinya dia baru peka
kalau aku masih berdiri di posisi ku tadi dan belum ada
niatan untuk beranjak pergi.

"Kenapa?" Akhirnya dia menurunkan buku tebal


yang menutupi wajahnya dari tadi. Ternyata dia
terbilang lumayan cukup tampan dengan hidung
mancung, bibir tipis, alis tebal dan mata tajam.

"Em, eh anu maaf itu kamu belum bayar


pesanannya." Ucapku gugup, "Aduh kenapa pakai

43
acara gugup segala," marahku dalam hati pada diri
sendiri.

"Oh maaf ya," ucapnya singkat, jelas padat. Dia


berdiri untuk mengeluarkan uang dari dompet. Aku
dibuat terbengong untuk kedua kalinya, tubunya sangat
tinggi jika aku hitung-hitung mungkin sekitar 185cm. Dia
sangat raksasa untuk aku yang hanya mempunyai tinggi
153 cm, aku berdecak dalam hati.

Setelah dia memberikan uangnya, aku langsung


pergi meninggalkan kelas 12 IPS 2. Aku langsung
menyusul Dina yang sudah berada di kantin.
Sesampainya di kantin, ku temui Dina sedang lahap
memakan bakso. Aku langsung duduk di sebelahnya
tanpa izin.

"Bagaimana Nis, anaknya ganteng kan?" Ucap


Dina langsung nyeletuk.

"Apaan sih Din, tidak biasa aja," ucapku, padahal


pernyataan dalam hati dengan ucapan di mulut berbeda
180 derajat. Dia itu tidak ganteng tapi ganteng banget,
tapi sayangnya anaknya kulkas, dingin banget.

"Tahu tidak Nis, dia salah satu anak terpintar di


sekolah ini juga," ucapan Dina yang ini kembali
membuatku melongo, bagaimana bisa aku tidak
mengenali orang seperti itu ada di sekolah ini.

44
Kesedihan berbuah kebahagiaan
Kejadian tentang sang pemesan polaroid yang
bernama Ananta Fatih Gibran sudah berlalu hingga
sudah 6 bulan sejak DM itu masuk di akun Instagram ku.
Aku sekarang sudah duduk di bangku kelas 12.
Tingkatan terakhir ku di SMA ini, nilai semester ini
adalah nilai terakhir yang menjadi pertimbanganku
untuk mendapatkan kursi sebagai lolos SNMPTN. Oleh
sebab itu aku belajar keras untuk mendapatkan nilai
terbaikku.

Sekarang aku mengurangi untuk berbisnis, biar


adikku saja sementara ini yang mengurus penjualan
polaroid. Aku tidak boleh menyia-nyiakan kesempatan
yang akan datang. Setiap malam aku belajar hingga
larut malam kemudian bangun subuh untuk belajar
kembali, hal itu telah menjadi rutinitasku.

"Kak, kalau belajar jangan terlalu diporsir ya


tenaganya, nanti kakak yang sakit. Ujian itu bukan
hanya kesiapan belajar yang dibutuhkan, tapi juga
kesiapan fisik dan mental kak, inget pesan ibu ya," ucap
ibu berpesan. Ibu memang menjadi penyemangat yang
terbaik untukku sekarang ini.

"Iya Bu, terimakasih banyak Bu." Ucapku. Aku


sangat sayang dengan ibu, aku berjanji pada diriku
sendiri tidak akan membuat dan membiarkan ibu
kecewa. Aku akan membahagiakan ibu, ayah, dan Shifa.

45
"Jangan lupa berdoa juga ya kak, ibu yakin kakak
pasti lolos di perguruan tinggi yang kakak impikan,"
ucap ibu, aku berharap harapan ibu ini menjadi doa
mustajab untukku.

Saat di sekolah, akhir-akhir ini aku lebih banyak


menghabiskan waktu di perpustakaan. Entah itu untuk
mengerjakan tugas, mengulang materi pembelajaran,
atau hanya sekedar membaca buku. Menurutku,
perpustakaan adalah tempat yang tepat untuk dapat
fokus belajar

Di perpustakaan aku sering melihat Nanta juga di


sini. Benar kata Dina kalau tempat favorit Nanta jika
tidak di kelas, pasti ada di perpustakaan. Kata Dina juga
Nanta adalah salah satu anak pintar di sekolah ini.
Hebat sekali, tapi tidak heran juga karena tempat
favoritnya saja adalah perpustakaan. Kami sering kali
berpapasan, tapi jangankan saling bicara, menyapa saja
tidak pernah. Dia itu kalau diibaratkan sebuah benda,
benda yang paling cocok untuk mendeskripsikannya
adalah kulkas, benda yang sangat dingin.

"Hei, melamun aja si Eneng," ucap Dina berhasil


membuatku kaget.

"Apaan sih kamu Din," balasku dengan nada


sedikit kesal.

"Jangan-jangan kamu lagi mikirin Nanta ya?"


Selidik Dina.

46
"Jangan bikin gosip deh, buat apa juga mikirin
kulkas, lebih baik belajar pastinya lebih bermanfaat
untuk masa depan," balasku kepada Dina.

"Ngomong-ngomong Nis, menurut kamu aku


cocok tidak kalau jadi psikologo?" Ucap Dina dengan
wajah seriusnya.

Aku terdiam sambil menyipitkan kedua mataku


seolah-olah sedang berpikir keras, "Menurut aku ya
cocok banget itu, apalagi kami sering salah baca pikiran
orang, kayaknya memang harus belajar lebih lagi kamu
Din tentang psikolog, nah jadi itu mungkin pilihan yang
tepat," jelasku panjang kali lebar.

Dina menatapku sinis setelah penuturan aku tadi,


"Kalau kamu Nis, kamu nanti ambil jurusan apa?"

"Aku sepertinya tertarik untuk jadi dokter Din, aku


mau ngelanjutin kuliah ke pendidikan dokter UGM
Yogyakarta," ucapku dengan penuh pengharapan.

"Wah, bagus sekali itu Nis, pokoknya apapun


nanti yang menjadi pilihan kita, semoga itu akan
menjadi yang terbaik dan kita diberi kelancaran dalam
setiap proses mencapainya."

"Aminn," ucap kami bersamaan. Semoga apa


yang harapkan dapat tercapai.

Hari menuju ulangan akhir semester semakin


dekat, hal ini membuat ku semakin gugup. Semester ini
47
adalah semester lima, semester terakhir dalam
penilaian SNMPTN. Aku harus belajar dua kali lebih
keras agar aku dapat lulus di pendidikan dokter UGM
melalui jalur SNMPTN. Pesaing yang memilih jurusan
yang sama denganku tidak sedikit, jadi aku harus
mempunyai nilai unggul agar mendapatkan posisi yang
aman.

Penilaian SNMPTN biasanya dinilai dari prestasi


akademik dan prestasi non akademik. Prestasi
akademikku lumayan baik dari kelas 10 SMA sampai
sekarang, hampir tidak ada nilai yang jatuh di setiap
semesternya. Aku optimis agar dapat masuk SNMPTN.
Hari yang ditunggu tiba, yaitu pengumuman nilai hasil
ujian akhir semester sekaligus pengumuman kelulusan
untuk pendaftaran perguruan tinggi melalui jalur
SNMPTN.

"Nis, ayo kita ke mading, kata anak-anak nilai


sudah keluar Nis," ucap Dina sambil ngos-ngosan
sepertinya dia lari dari lantai bawah ke kelas.

"Hah, beneran?" Aku gugup bukan main. Mentalku


belum siap untuk melihat hasil yang selama ini aku
tunggu, tapi diriku penasaran dengan hasilnya.

Akhirnya aku ikut berlari di belakang Dina


menyusuri lorong dan menuruni tangga. Di depan
mading sudah dipenuhi dengan segerombolan anak-
anak kelas 12 dengan tujuan yang sama, yaitu ingin
mengetahui hasil ujian akhir semester. Di sana aku juga
48
melihat ada Nanta yang sedang melihat kertas daftar
nilai. Aku dan Dina mencoba mendekat ke sana, ikut
berjejal di antara kerumunan.

Setelah kami sampai di depan papan mading,


mataku langsung mencari namaku dari ratusan list
nama yang ada di sana.

"Nis, ini nama kamu ada di urutan kedua tertinggi


satu sekolah, kamu ada di bawah Ananta Fatih Gibran,
anak IPS 2," ucap Dina dengan nada setengah teriak
yang membuat kuping sakit, karena dia berteriak tepat
di sebelah telingaku.

Mataku berpindah ke atas di mana Dina


menunjukkan tadi, benar saja aku berada di posisi
kedua setelah manusia kulkas. Aku senang sekali,
akhirnya apa yang aku perjuangkan tidak sia-sia. Aku
beralih untuk mencari pengumuman daftar nama yang
lulus SNMPTN. Di daftar tersebut cuma ada 20 nama
siswa dari 235 siswa kelas 12 yang ada di sekolah ini.

"Nis, Alhamdulillah kita berdua masuk di seleksi


SNMPTN," ucap Dina bahagia, tidak hanya Dina aku
pun juga merasakan hal yang sama.

"Iya Din, selamat ya," ucapku.

Aku melihat ke sekeliling untuk mencari


keberadaan si kulkas, siapa lagi kalau bukan Nanta.
Tapi sepertinya, orang yang dicari sudah tidak ada di
sini, padahal tadi perasaan dia masih ada di sini. Aku
49
sebenarnya hanya ingin mengucapkan selamat karena
dia juga lulus seleksi SNMPTN dan tidak hanya itu ia
juga mendapatkan nilai tertinggi satu sekolah di atas
aku. Tapi ya sudahlah, aku tidak terlalu memaksakan
keadaan.

Aku tidak sabar untuk segera pulang dan


memberikan kabar baik ini kepada semua yang ada di
rumah. Pasti semuanya ikut senang mendengar kabar
ini. Akhirnya tidak satu beban sudah terangkat dari
bahuku. Aku akan ke Yogyakarta setelah lulus SMA
nanti dan memulai perjuanganku di sana dari nol.

Sesampainya di rumah, aku langsung mencari


keberadaan ibu. Ternyata setelah menelusuri seluruh
sudut ruangan. Ibu berada di dapur sedang memasak
msjan siang untuk kami semua.

"Ibu tahu tidak, aku punya kabar baik ini Bu," seru
ku pada ibu dengan nada sangat bahagia.

"Apa itu nak?" Ucap ibu penasaran.

"Ibu aku lulus seleksi SNMPTN Bu, untuk prodi


pendidikan dokter di universitas gadjah Mada di
Yogyakarta Bu," ucap aku dengan menggebu-gebu.

"Alhamdulillah selamat nak, ibu bangga sama


kamu nak," ucap ibu sambil memelukku. Aku terharu
sampai menitikkan air mata.

"Terimakasih Bu," ucapku sambil terisak.


50
Enam bulan telah berlalu dari pengumuman
SNMPTN kemarin, hari ini adalah hari keberangkatan ku
ke Yogyakarta untuk mengejar mimpiku selanjutnya.
Aku akan memulai perjuanganku seorang diri di sana.
Semoga aku bisa lulus cepat dan dapat langsung
bekerja, sehingga aku bisa membantu perekonomian
keluarga ku.

3,5 tahun telah berlalu, aku sudah menamatkan


pendidikan dokter di universitas gadjah mada dan aku
mendapat predikat cumlaude. Aku langsung mendapat
penempatan di salah satu rumah sakit di Yogyakarta
dan mendapatkan gaji yang lumayan.

Aku diterima dengan baik di tempat kerja baruku,


orang Yogyakarta memang selalu dikenal dengan
keramahannya. Begitu juga dengan orang-orang di
tempat kerjaku ini. Meskipun aku dinilai masih kurang
berpengalaman karena masih fresh graduate. Tapi
teman kerjaku dengan setia mengajariku tentang hal-hal
yang belum ku ketahui.

Suatu hari, saat sudah waktu istirahat kerja, aku


kembali ke mejaku untuk istirahat duduk sejenak. Sejak
pagi tadi aku mondar-mandir keluar masuk ruang IGD
untuk memeriksa setiap pasien yang datang. Bagian
rumah sakit yang ku nilai paling sibuk adalah IGD. Itu
yang menyebabkanku mengeluh jika aku mendapat
giliran untuk bertugas di bagian IGD. Saat sampai di
meja, aku menemukan sebuket bunga lili tergeletak
cantik di atas meja. Di antara bunga lili itu ada sebuah
51
kertas, bertuliskan "Selamat ya atas kelulusannya, dan
semangat kerjanya jangan ngeluh, tertanda si kulkas."
Seperti itulah persisnya tulisan yang terselip di bunga lili
ini.

"Mitha, kamu tahu tidak siapa yang menaruh


buket bunga ini di sini?" Ucapku mencari tahu ke teman
kerjaku yang mejanya ada di seberang mejaku.

"Aku kurang tahu itu Nis, soalnya aku juga baru


masuk ke ruangan tadi," ucap Mitha, membuatku
semakin bertambah penasaran, siapa "Si Kulkas" yang
dimaksud di kertas ini. Sebenarnya aku teringat dengan
manusia dingin yang bernama Ananta Fatih Gibran.
Tapi masa dia sih yang ngirim, aku saja tidak pernah
bertemunya kembali setelah perpisahan sekolah SMA
kemarin, itupun tidak saling bicara. Pertama kalinya aku
bicara dengan Nanta seumur hidupku adalah ketika aku
mengantarkan foto polaroid miliknya ke kelasnya, itu
saja dan itupun hanya dua tiga potong kata yang keluar
dari mulutnya.

"Tring, tringg, tringg," dering telepon


membuyarkan lamunanku yabg sibuk memikirkan siapa
pengirim bunga lili ini.

"Halo ibu, ada apa Bu?" Ucapku, dalam hati aku


terbesit tumben ibu menelpon biasanya jarang sekali.

"Begini nak, kerabat Kakek Minggu depan ada


yang mau datang ke rumah. Kakek berpesan agar kamu

52
bisa pulang ke rumah Minggu depan. Bagaimana nak,
ibu harap kamu bisa oulang ya nak." Ucap ibu, jujur saja
ini terlihat sangat mendadak.

"Baik ibu, tapi aku tidak bisa janji ya Bu, tapi akan
ku usahakan Bu," ucapku dengan jujur.

"Iya nak, tolong usahakan ya, ibu tutup dulu ya,


kamu baik-baik di sana," akhirnya sambungan telepon
terputus di seberang sana.

Minggu depan seperti permintaan ibu dan kakek


aku pulang ke rumah, aku berangkat Sabtu sore.
Akhirnya aku pulang lagi ke rumah yang selama ini aku
rindu kan. Aku penasaran ada apa dengan kerabat
Kakek karena sepertinya keluarga di sini sangat
menyiapkan semuanya dari makanan, membersihkan
rumah, bahkan ibu memintaku untuk memakai baju
yang bagus besok. Aku semakin tambah bingung.

Keesokan harinya orang-orang terlihat sibuk,


sedang aku masih snatai saja duduk di ruang tengah.
Dalam hatiku berkata, "Ada apa ya dengan orang-orang
hari ini?" Akhirnya tamu yang dibilang sangat istimewa
ini datang. Ternyata tamu ini sangat membuatku
tercengang bagaimana tidak di salah satu gerombolan
tamu yang datang ada seorang laki-laki yang kini sudah
tumbuh menjadi pria dewasa. Bertumbuh tinggi putih,
gagah, dan tentu saja sangat tampan, tapi sayangnya
dia kulkas. Siapa lagi kalau bukan seorang Ananta Fatih
Gibran.
53
Ternyata ini adalah sebuah acara lamaran,
lamaran aku dengan pria yang bernama Ananta Fatih
Gibran. Ini adalah sebuah perjodohan tapi hal ini tidak
aku ketahui sama sekali sebelumnya. Namun, Nanta
sepertinya sudah mengetahui hal tersebut dan pengirim
buket bunga lili Minggu kemarin adalah dari Nanta.
Tidak ada alasanku untuk meolak perjodohan ini,
akhirnya perjodohan kami berlabuh pada pernikahan
dan hidup bahagia.

SELESAI

54
BIODATA PENULIS

Penulis bernama asli Annisa Chailifa, mempunyai


nama pendek yaitu Annisa. Gadis ini kelahiran kota
Tanggerang tepat di tanggal 4 Juli 2004. Mempunyai
hobi berbisnis dan sudah memulai berbisnis sejak ia
duduk di bangku SMP. Sekarang ia tinggal di jl.
Pajajaran No. 56 dan duduk di bangku SMA. Bersekolah
di SMAN 6 Tanggerang Selatan. Annisa aktif dalam
kegiatan paskibraka di sekolahnya dan sering
berpartisipasi dalam kegiatan paskib yang
diselenggarakan sekolah. Kali ini Annisa mengeluarkan

55
sebuah karya tulis berupa novel yang berjudul
"Kehidupanku".
IG: @anissacs_
Email: annisasblaa@gmail.com

56
57

Anda mungkin juga menyukai