Anda di halaman 1dari 3

WAKTU YANG TERABAIKAN

Karya : Muhammad Fria Fachrama Sumitro, SMA Negeri 4 P. Siantar

Terlalu banyak hal yang membuat mu menangis dan menderita. Tak ada satu pun hal yang
membuat mu bahagia. Bahkan, waktu pun tidak mengizinkan ku untuk melakukannya. Dia selalu
menghalangi ku dengan berbagai hal. Dia egois. Dia telah merampas semuanya dari kita. Dia
juga telah membuat kita tidak bisa bersatu lagi.

Sekarang, aku begitu rindu akan hadirnya hari esok. Hari di mana sang surya bersinar
cerah. Hari di mana senyummu datang sebagai penyemangat hati yang sedih. Hari di mana kita
bisa mengenang kembali kejadian yang telah berlalu. Dan hari di mana Ibu terus menemaniku.
Namun, hari-hari itu sudah menghilang. Yang tersisa hanyalah kenangan pahit yang ku buat dan
ucapan manis yang Ibu ucap.

“Untuk apa kamu sukses kalau pada akhirnya kamu melupakan keluarga mu ?”

Kalimat yang Ibu lontarkan itu terus terngiang di pikiran ku. Itulah untuk terakhir kalinya
kau menasehati ku. Dan juga untuk terakhir kalinya aku menemuimu. Aku yang waktu itu pulang
ke kampung halaman langsung kau sambut dengan ceramahanmu.

Masa kecil hidup di pedesaan tidaklah mengenakkan. Terlebih lagi di tempat aku
dilahirkan. Aku hanya tinggal di sebuah rumah gedeg, rumah sederhana yang dindingnya terbuat
dari anyaman bambu. Malam hari hanya ditemani dengan lampu teplok yang redup-redup.

“Memiliki Ayah dan Ibu yang hanya melengkapi penderitaan saja.” sering sekali aku
berpikir seperti itu.

Berpikir bahwa masa depan tidak akan cerah di pedesaan, aku pun memutuskan menjadi
anak rantau. Merantau entah kemana, yang pastinya ke negeri orang. Meminta doa restu dari Ibu
agar sukses di masa hadapan. Awalnya luntang-lantung di sana, tapi akhirnya berhasil juga.
Sepucuk surat pun ku kirimkan kepada orang di kampung, menyatakan bahwa aku berhasil di
negeri orang.

“Ibu gak ngerti. Ini aku lakukan demi Ibu, demi keluarga ! Cukuplah aku sengsara di masa
kecil ku. Aku gak mau terus hidup sengsara. Aku gak mau terus hidup di rumah gedeg kayak
begini.”
Aku melihat raut wajahmu tiba-tiba berubah. Langsung murung dan kau memalingkan
wajahmu dari ku. Keriput yang ada di wajahmu itu menambah keperihan yang kau rasakan.

“Salahkah jika Ibu merindukan mu ?” tanya Ibu dengan suara lembutnya. “Ibu cuma mau
kamu sering pulang. Soalnya, kamu akhir-akhir ini sudah jarang jenguk Ibu.” lanjutnya.

“Ibu, kan, bisa telepon aku. Ibu gak perlu khawatir. Aku bisa jaga diri di sana.”

“Mungkin suatu saat, kamu mengerti apa yang Ibu rasakan.”

Ibu kemudian langsung pergi meninggalkan aku sendiri di kursi panjang yang sudah usang.
Dia langsung masuk ke kamarnya dan entah melakukan apa. Tak tahu kenapa, pada waktu itu
aku merasa seperti aku tidak mengenali Ibu. Dan benar, aku memang tidak mengenal Ibu.
Buktinya, aku terlalu sibuk dengan semua urusan yang ku lakukan di perantauan hingga
melupakan Ibu yang sendirian di kampung. Aku bahkan sama sekali tidak mengingat Ibu.
Padahal yang Ibu inginkan hanyalah aku tetap terus bersamanya. Sejak kepergian Ayah 2 tahun
lalu, dia seperti orang yang diasingkan. Terus sendirian di rumah.

Aku benar-benar manusia yang bodoh. Aku terus-terusan membuang-buang waktu. Tak
ada sama sekali waktu yang ku sisihkan untuk wanita tua itu. Memikirkan bagaimana jika aku
kehilangannya saja tidak sempat. Aku baru sadar setalah kejadian ketika Deyarma menelepon ku.

“Aku sebenarnya takut ingin mengatakan ini, tapi aku harus bilang ke kamu.” kata
Deyarma, teman ku di kampung.

“Memangnya kenapa ? Ada masalah dengan Ibu ? Apa dia sakit ?”

Dia bisu sesaat. Aku mendengar dia seperti menahan sebuah tangisan. Dengan segenap
kekuatannya ia lalu memberanikan diri untuk berbicara, “Ibu sudah meninggal.”

Waktu serasa berhenti seketika sesaat setelah aku mendengar berita itu. Aku bahkan tidak
fokus lagi dalam segala hal. Aku tidak fokus lagi mendengarkan apa yang Deyarma katakan, aku
bahkan tidak fokus lagi berdiri. Kaki tiba-tiba terasa lemas dan aku langsung terlutut.
“Kenapa kamu sejahat itu ke ibu kamu sendiri, sih ? Kenapa kau hanya memikirkan
pekerjaanmu ? Ibumu selalu kesepian di rumah. Dia sering duduk termenung di teras. Ibu cuma
mau kamu memikirkannya. Selama ini, kamu gak pernah memikirkannya, kan ?” lanjutnya.

“Deyarma, kamu tidak berbohong, kan ?”

“Untuk apa aku berbohong ? Dan kalau misalnya kamu gak mau melihat Ibu, itu tidak apa.
Urusi saja pekerjaan mu di sana. Kamu mungkin memang gak layak untuk datang ke sini.”

Deyarma lalu langsung menutup telepon. Aku yang terlutut di meja kerja ku, kelihatan
seperti seseorang yang tiba-tiba terkena serangan kejiwaan. Teman-teman ku lantas melihat ku
dan kebingungan kenapa aku seperti itu. Tiba-tiba, seluruh ucapan-ucapan yang pernah Ibu
lontarkan langsung menyerbu ku.

“Haruskah aku lagi-lagi tidur tidak nyenyak karena selalu memikirkan kenyamananmu
ketika tidur ? Haruskah aku lagi-lagi tidak makan karena selalu memikirkan apa yang kau
makan di sana ? Jangan sampai perasaan yang awalnya mengira kau baik-baik saja di sana,
akhirnya menjadi perasaan yang berpikir bahwa kau tidak baik di sana. Aku tak mau seperti
itu.” Ucapan itu membuat ku serasa menghilang di dunia ini dan hanyut olehnya.

Dari situ, akhirnya aku menyadari bahwa aku telah memilih pilihan yang salah. Aku juga
sudah benar-benar memahami apa yang Ibu rasakan. Engkau tak memerlukan banyak hadiah.
Hanya hadirku, tatapan mataku dan senyum hangatku sudah cukup untuk hati mu itu.

Akhirnya, ku kirimkan sepucuk surat kepada Dia yang menguasai waktu. Agar aku tahu ini
semua kesalahan siapa. Namun, untuk apa aku melakukan itu ? Toh, Kau sama sekali tidak akan
membalas. Dan memang akulah yang harus disalahkan. Karena, selama ini terlalu sering lalai,
selama ini tak pernah memanfaatkan waktu yang ada, dan selama ini aku meremehkan sang
waktu.

Sampailah aku di sebuah titik di mana aku melihat diri ku sendiri memohon agar waktu
terulang kembali. Juga, agar aku bisa menjaga mu kembali.

Anda mungkin juga menyukai