Aku benar-benar tidak bisa memahami istriku. Segala perbuatannya sangat tidak
terduga. Jika dia mengendarai mobil atau kendaraan lain, jangan sesekali kaget jika
dia tiba-tiba bermanuver tajam tanpa suatu alasan. Kamu heran? Aku sebagai
suaminya saja heran.
Aku bertemu dengannya di suatu agenda rapat organisasi waktu kami masih muda
dulu. Dia terlihat pendiam dan memandang sekeliling dengan tatapan bosan, sesekali
juga menguap. Terlihat lemah namun, semakin kesini aku semakin tau dia tangguh.
Jujur saja, bahkan setelah menikah selama bertahun-tahun aku tidak benar-benar bisa
memahami istriku.
Aku menyentuhnya, tentu saja. Sebagai kebutuhan biologis yang wajar. Namun kami
tidak memiliki anak. Itu adalah kesepakatan diantara kami, dan dia menerima saja
tawaranku agar tidak memiliki anak. Sejujurnya, aku takut. Ketakutan tak berdasar
yang menghalangi dan membayangiku.
Sekarang istriku sedang beres-beres rumah. Ku lihat wajahnya yang sayu, ku lihat
matanya juga sayu. Harusnya ia bahagia menikah denganku, bukankah itu keinginan
yang paling ia damba kendati ia tahu aku tidak mencintainya? Ia sedang merapikan
sofa, menyapu lantai, pandangannya kosong. Aku tidak mengerti kenapa ia begitu
kosong. Ingin aku membantunya, namun sudahlah. Aku terlalu lelah.
Aku rebah, perlahan merogoh bantal. Dibawah bantal ada lipstick istriku. Aku
membukanya hanya agar tahu warna apa yang sering dipakai. Ya, aku tidak tahu
warna, merk, ataupun bentuk lipstick kesukaan istriku. Nomor 13, sedikit kecoklatan
rupanya. Cantik dipoles di bibirnya memang. Aku terlalu lama abai. Biarlah. Aku
taruh lipstick itu di meja riasnya. Kacanya berdebu, aku mulai menghela nafas. Kapan
sekiranya ia dan aku pernah berkaca di kaca ini? Seingatku sudah bertahun-tahun.
Pantas buram. Aku tidak ingat.
Aku mulai memandang sekeliling, ke rak biasa buku-buku istriku tertata disana. Aku
mendekat untuk melihat, tidak jadi tidur. Aku lupa bahwa disini ada rak yang berisi
buku-bukunya. Apa yang kira-kira dia sukai?
‘dia suka John Steinbeck, oh ada Haruki Murakami. Aku bahkan tidak tahu kalau dia
juga suka Camus dan Voltaire. Dia suka karya klasik sastra Indonesia juga rupanya’
gumamku meraba tiap punggung buku disana. Aku tiba-tiba teringat sore itu istriku
menunjukkan buku Albert Camus padaku. Dia bercerita bagaimana cara
mendapatkannya, dia juga menyoroti masalah sampulnya yang lumayan bagus
daripada edisi terjemahan sebelumnya. Aku tersenyum, mungkin inilah yang
dimaksud. Sayang, aku tidak ingat itu kapan. Buku ini toh sudah menguning.
Pertanda lama sekali.
Aku membuka buku yang lain. Dari halaman ke berapa, sebuah foto terjatuh dari
sana. Fotoku yang bahkan aku lupa kapan dia ambil dengan kamera polaroidnya. Dia
menggunakan foto sebagai pembatas buku. Itu sudah biasa, aku tersenyum.
Mengembalikan foto itu ke sela-sela buku. Istriku sudah khatam membaca buku ini,
dan aku sangsi dia akan membaca lagi.
Aku tidak pernah mencintainya, tapi dia mencintaiku. Aku tidak mengenalnya, tapi
dia mengenalku. Dengan baik. Aku mulai bertanya, apakah suami istri diluar sana
juga mengalami kondisi seperti kami?
Aku melihat istriku lagi, masuk. Dia membawa beberapa kain yang hendak dijahit.
Aku tak pernah membeli baju lagi setelah menikah dengannya. Tangannya terampil
menjahit berbagai model baju yang aku inginkan. Sedang dia hanya memakai pakaian
yang itu-itu saja. Tidak cantik, tidak menarik, tapi tidak juga jelek. Hanya pas saja
untuknya.
‘kau mau menjahit baju itu? Model kemeja yang kemarin ya’ ujarku
‘ya. Aku akan membuatkan satu baju dan satu celana untukmu. Model kemarin kan?’
‘aku ingin mencintaimu dik, dengan cinta suami kepada istri. Dengan sebaik-baiknya
pelayanan suami terhadap istri. Ingin aku menjunjungmu dik, ingin aku mengakuimu
dik. Aku berusaha dan akan berusaha’
Seperti biasa, air mata yang kau sembunyikan toh akhirnya tumpah juga. Ah, aku
tidak tahan sebenarnya. Aku tidak ingin menyakitimu. Aku bingung kamu terluka
karena apa.
‘ini adalah konsekuensi dan kompromi. Toh sudah kamu lakukan ini sejak jauh-jauh
hari’ jawabmu menghapus air matamu sendiri. Aku memelukmu, membiarkanmu
terisak tapi aku juga tidak bisa menenangkanmu. Entahlah, aku bingung sekali.
Kamu terlelap, dalam dekap. Nyenyak sekali. Istriku itu, tertidur lelap sekali. Aku
tidak tahu dia mimpi apa. Dulu dia pernah bercerita mimpi diserang baryonyx, sejenis
dinosaurus yang berkerabat dekat dengan spinosaurus, hanya saja bentuknya lebih
kecil. Dia juga pernah bermimpi aku berubah menjadi tyrex. Paginya, dia menjaga
jarak denganku dan selalu waspada kepadaku. Ekstrimnya, dia pernah mencolok
mataku dengan brutal saat tidur karena dia pikir dia tidur dengan megalodon.
Aku hanya geleng-geleng saja jika mengingatnya. Ah ya, yang ku ingat dari dirinya
adalah dia suka dengan film Jurassic.
Kami tidak pernah benar-benar saling mengenal kurasa. Aku menghela nafas, duduk
di depan meja riasnya. Memandang barang disana. Aku tidak tahu kapan dia
membelinya, seingatku dia hanya ijin ingin membeli barang-barang yang terpajang
disini. Ah, dia suka lipstick warna cokelat, dia tidak memakai perona pipi. Dan apa
ini? Ah parfum. Parfum wangi yang ku suka. Aku tidak tahu kalau dia punya. Aku
tidak tahu produk mandi kesukaanmu dik, sampo yang membuat rambutmu wangi
pun aku tidak tahu, sabun mandimu, atau sikat gigi dan odol yang kamu pakai. Aku
tidak tahu segalanya padahal kamu tahu segala yang aku pakai. Aku memandang
pada kaca buram, ‘dik kita ini memang tidak pernah benar-benar mengenal.
Sebenarnya aku dan kamu ini siapa?’
Kamu muncul dalam pantulan kaca. ‘apa. Bukan siapa.’ Kamu tersenyum, memegang
pundakku. Aku tertunduk. Untuk pertama kali aku tidak bisa memandangmu, kamu
sudah kuat ya. Lebih kuat daripada aku rupanya, apa yang mengubahmu?
‘banyak hal, kamu pasti tidak tahu. Toh aku juga tidak tahu kamu kan’ katamu
tergelak. Jangan tertawa, itu membuatku teriris.
‘kamu pasti lelah sekali’ katanya sambil memijat telapak kakiku. Aku mengerang
antara rasa sakit dan enak. Ku akui istriku piawai sekali dalam menyembuhkan lewat
pijatan.
‘ya dik, sedikit ke bawah. Ya itu. Aku sakit sekali. Tapi enak’
Kita? Dik, aku baru menyebut kita. Kata ganti yang sangat kamu damba dengar dari
mulutku. Ya dik, kita. Kita.
Aku berusaha. Dan akan berusaha bahkan masih berusaha. Sebenarnya kamu kuat
dan jauh lebih sabar dik, aku yang tidak punya waktu. Aku yang selalu beromong
kosong. Dik, kamu tahu? Tahun-tahun yang kita lalui, tahun-tahun yang berlalu,
tanpa kamu tanpa kita, menjadi luar biasa absurd dan kosong dik. Aku tidak
memperhatikanmu bersih-bersih, menghapus debu di foto pernikahan kita yang tidak
pernah terpajang, kamu selalu melihatnya dengan perasaan senang dan riang. Dik,
demi masa ini tidak cukup untuk menebus salahku, waktuku, dan waktumu. Apa yang
akan ku berikan di sisa penghabisan? Ketika aku tahu semuanya akan tamat dan
memang sudah tamat. Dik aku mulai bertanya banyak hal, berapa banyak
punggungmu menanggung rasa sakit? Berapa luas hatimu menampung rasa sakit?
Dik, aku rindu musik pengantar tidur yang kamu mainkan tiap tengah malam saat
semuanya terlelap. Sayup dan giris. Kalimba kesayanganmu seakan mengabarkan
kepada malam yang wingit bahwa ada duka yang wening. Ya dik, dukamu Abadan
abada, hanya saja kamu tidak pernah mengatakannya.
Dik, cinta memang tidak butuh tali dan kita sejak awal memang tidak terikat satu
sama lain. Tapi kita sama-sama berusaha. Aku berusaha mencintaimu dan kamu yang
berusaha melupakanku.
Aku melihat bayanganmu dan kenanganmu dalam rumah tua ini dik. Kamu begitu
hidup dan fiksi. Boleh aku meminta secangkir kopi? Sebagai upaya penghabisan
melepas pahit getir kenanganmu yang semakin hidup, yang semakin manis bahkan
ketika kamu tidak lagi hidup. Duduklah bersamaku memandangi kebun yang pernah
kita rencanakan tanam macam-macam, mari dik, kita memanen apa yang sudah
berbuah matang.
Kamu nyata atau fiksi sekarang? Apa bedanya? Kamu tanah atau tulang, apa
bedanya? Sekarang kamu jelas dik, kamu sangat jelas walau berbentuk bayang
semata. Kapan terakhir kali kita duduk berdua dan bicara banyak seperti sekarang
dik? Jelas kesunyian adalah bahasa kita. Dulu, sekarang, dan nanti.
Nomor HP : 081259950940