Anda di halaman 1dari 2

Kicaungkil

Aku mulai berpikir, untuk apa aku menanam rindu yang kemudian akan layu? Aku tertawa
ganjil, untuk apa aku menabur rindu dan untuk kemudian aku cungkil? Kamu ini memang setan.
Kamu ini memang bajingan. Kamu adalah orang yang berhasil membuatku berayun diantara
harapan dan keputus asaan. Ya hanya kamu, Tuan.
Sebenarnya aku tak hendak bermelankolis ria. Buat apa mendramatisir kenangan atau suasana?
Toh momentum itu juga telah lewat dan sudah tidak berarti apa-apa. Memang, itu sebuah situasi
dimana aku belum mengenal tuan absurd itu. Ah, kenangan berkelebat lagi.
Kamu adalah manusia mudah dan juga susah. Aku menepuk kepalaku lagi, berpikir bahwa
memang manusia tidak bisa ditebak walau sudah saling kenal. Terkadang cerita dan kisah
memang harus berakhir dalam sebuah terka.
Jarak, kamu sekarang sudah paham? Bukannya kamu memang sudah paham dan sudah bisa
menaklukkannya? Yang belum bisa kamu buat takluk adalah waktu. Kamu selalu kekurangan
waktu yang seakan tidak pernah cukup dan tidak pernah menunggu. Aku tertawa ganjil. Kita
adalah dua sisi kebalikan. Aku kesal dengan jarak, namun punya waktu. Sementara kamu kesal
dengan waktu, namun bisa menaklukkan jarak tanpa muskil.
Jika aku mendengar rentetan kisahmu wahai tuan, aku semakin tak sabar dan tak tahan. Kamu
luar biasa buta walau mengaku sudah merasa. Sedang aku, luar biasa kelewat membuka mata
hingga kebablasan menerka dalam terka. Dalam sebuah perkamen bergulung-gulung, isinya
adalah kebingunganku yang semata mengurung. Tuan, kamu ini sebenarnya manusia atau
jelmaan?
Aku bertanya padamu tuan, pada bayanganmu yang kamu tinggalkan lalu. Bagaimana mungkin
aku berharap jawab padahal wujud adamu sendiri bungkam? Ah tuan, aku semakin gamang
dengan keadaan. Tak elok mendahului takdir bukan? Ya sudah aku duduk diam saja sambil
memakan pisang goreng. Eh, kamu suka pisang bukan? Apakah kamu mau satu? Biasanya kamu
tidak menolak tawaran.
Hujan turun tuan, lihatlah keluar jendela dan dengarkan rintiknya. Keluarlah dan tadahkan
tangan. Tampung tetes yang menetes, kamu suka hujan bukan? Mari kita nikmati hujannya tuan.
Aku akan mengambil kursi dan cangkir-cangkir kopi. Mari cerita tentang hujan dan rindu yang
tak reda, atau kisah tentang perasaan yang fiksi, mari beralih pada konflik negeri dan ambisi
diwarnai mimpi-mimpi. Sambil menunggu pelangi, atau kilat yang sesekali menyambar bumi.
Kamu lihat tuan, sekarang aku berani menulis banyak ungkapan. Bandingkan denganku
dihadapanmu yang hanya bisa diam kehilangan kata, kehilangan istilah, kehilangan segalanya.
Bahkan aku kehilangan diriku sendiri. Sekali lagi ku tanya, mungkinkah kamu manusia ataukah
jelmaan?
Aku tidak mencintaimu layaknya aku mencintai Tuhan. Aku tidak melayanimu layaknya aku
melayani raja dan kaum bangsawan. Aku tidak menyayangimu layaknya aku menyayangi barang
kesayangan.
Aku melihat Tuhan dalam dirimu, aku melihat segala pesona dan persona menyatu menjelma
matamu, aku menyayangimu karena kamu manusia. Wujud yang sama dan setara. Bukan sebagai
apa-apa.
Tuan, boleh aku memintamu pada Tuhan?
Jarak dan waktu, aral yang melintang, apa lagi yang hendak ditaklukkan? Wajahmu mengembun
lagi tuan, dalam daun jendela tanpa kaca. Aku tidak mau bertanya kenapa. Semua sudah jelas
bahwa kita sama-sama belum searah. Namun, tanpa tanya dan jawab kamu sudah tahu kalau
arahku akan selalu menuju mata angin dimana kamu selalu mengorbit disana. Nanar tatapanmu
melihatmu, nanar tatapanmu melihatku. Nanar dan sama-sama belum benar.
Tentang campuran rasa, mungkin belum teraduk sempurna. Tentang kisah yang belum lengkap,
ya mungkin belum waktunya sampai di titik puncak. Hidup ini memang penantian, dan kita
sama-sama menanti. Kita tidak kemana-mana.
Mari tuan, kalahkan semuanya. Kalahkan waktu walau kamu belum mampu. Kalahkan jarak
walau aku tak jua kunjung bergerak. Ah, aku menangis, aku teriris, sial. Selalu saja ada cinta
yang dikalahkan oleh waktu.
Jadilah ranting kekasih. Jadilah pohon, kayu, awan, embu, daun, api atau matahari. Jadilah
apapun kekasih, jadilah apapun selain rasa sedih.
Sampai sekarang aku masih belum merdeka dari rindumu yang selalu ku rawat-rawat dan awet-
awet.
Tuhan, boleh aku meminta Tuan?

Anda mungkin juga menyukai