Anda di halaman 1dari 5

Kebudayaan Rural

Secara umum dan sederhana, masyarakat mengenal dua bentuk karakteristik wilayah, yaitu Desa
dan Kota. Desa dianggap sebagai suatu wilayah agraris dengan peri-kehidupan yang cenderung
tradisional, dan pengaruh kebudayaan yang cenderung kental. Kota, sebaliknya dianggap sebagai
wilayah yang non-agraris dengan peri-kehidupan yang serba modern, dan pengaruh kebudayaan
yang sudah tidak begitu lekat dengan masyarakat yang hidup di dalamnya. Walaupun begitu,
baik desa maupun kota sama-sama merupakan suatu wilayah/tempat konsentrasi penduduk
dengan segala aktivitasnya.

Dalam kajian sosiologi perkotaan (urban sociology) dikenal beberapa istilah penting, yakni: Kota
(city), Perkotaan (urban), Urbanisasi (urbanization) dan Urbanisme (urbanism). Kota dapat
diartikan sebagai suatu batasan wilayah administratif, Perkotaan sebagai suatu wilayah dengan
karakteristik dari Kota, sedangkan Urbanisasi dan Urbanisme sebagai suatu pendekatan akan
proses yang merubah wilayah rural (pedesaan) menjadi wilayah urban (perkotaan).

Pengertian Rural Community ( Masyarakat Pedesaan )

Pedesaan adalah gambaran orang, tempat dan hal – hal yang berkaitan dengan kehidupan
masyarakat desa yang sebagian besar bermatapencaharian bertani.

Menurut Paul H. Landis, desa adalah pendudunya kurang dari 2.500 jiwa. Dengan ciri ciri
sebagai berikut:

1. Mempunyai pergaulan hidup yang saling kenal mengenal antara ribuan jiwa.

2. Ada pertalian perasaan yang sama tentang kesukaan terhadap kebiasaan

3. Cara berusaha (ekonomi)adalah agraris yang paling umum yang sangat

4. Dipengaruhi alam seperti : iklim, keadaan alam ,kekayaan alam, sedangkan pekerjaan yang
bukan agraris adalah bersifat sambilan

Komunitas desa adalah, sekumpulan orang yang tinggal jauh dari daerah perkotaaan yang jumlah
penduduknya kurang dari 2500 jiwa dan sebagian besar bermatapencaharian bertani karena
masih sangat bergantung pada alam. Adapun ciri-cirinya adalah :

a. Sederhana

Sebagian besar masyarakat desa hidup dalam kesederhanaan. Kesederhanaan ini terjadi karena
dua hal:

a. Secara ekonomi memang tidak mampu


b. Secara budaya memang tidak senang menyombongkan diri.
c. Mudah curiga
Secara umum, masyarakat desa akan menaruh curiga pada:

a. Hal-hal baru di luar dirinya yang belum dipahaminya


b. Seseorang/sekelompok yang bagi komunitas mereka dianggap “asing”
c. Menjunjung tinggi “unggah-ungguh”

Sebagai “orang Timur”, orang desa sangat menjunjung tinggi kesopanan atau “unggah-
ungguh” apabila:

· Bertemu dengan tetangga


· Berhadapan dengan pejabat
· Berhadapan dengan orang yang lebih tua/dituakan
· Berhadapan dengan orang yang lebih mampu secara ekonomi
· Berhadapan dengan orang yang tinggi tingkat pendidikannya

b. Guyub, kekeluargaan

Sudah menjadi karakteristik khas bagi masyarakat desa bahwa suasana kekeluargaan dan
persaudaraan telah “mendarah-daging” dalam hati sanubari mereka.

c. Lugas

“Berbicara apa adanya”, itulah ciri khas lain yang dimiliki masyarakat desa. Mereka tidak peduli
apakah ucapannya menyakitkan atau tidak bagi orang lain karena memang mereka tidak
berencana untuk menyakiti orang lain. Kejujuran, itulah yang mereka miliki.

d. Tertutup dalam hal keuangan

Biasanya masyarakat desa akan menutup diri manakala ada orang yang bertanya tentang sisi
kemampuan ekonomi keluarga. Apalagi jika orang tersebut belum begitu dikenalnya.
Katakanlah, mahasiswa yang sedang melakukan tugas penelitian survei pasti akan sulit
mendapatkan informasi tentang jumlah pendapatan dan pengeluaran mereka.

e. Perasaan “minder” terhadap orang kota

Satu fenomena yang ditampakkan oleh masayarakat desa, baik secara langsung ataupun tidak
langsung ketika bertemu/bergaul dengan orang kota adalah perasaan mindernya yang cukup
besar. Biasanya mereka cenderung untuk diam/tidak banyak omong.

f. Menghargai (“ngajeni”) orang lain

Masyarakat desa benar-benar memperhitungkan kebaikan orang lain yang pernah diterimanya
sebagai “patokan” untuk membalas budi sebesar-besarnya. Balas budi ini tidak selalu dalam
wujud material tetapi juga dalam bentuk penghargaan sosial atau dalam bahasa Jawa biasa
disebut dengan “ngajeni”.
g. Jika diberi janji, akan selalu diingat

Bagi masyarakat desa, janji yang pernah diucapkan seseorang/komunitas tertentu akan sangat
diingat oleh mereka terlebih berkaitan dengan kebutuhan mereka. Hal ini didasari oleh
pengalaman/trauma yang selama ini sering mereka alami, khususnya terhadap janji-janji terkait
dengan program pembangunan di daerahnya.

Sebaliknya bila janji itu tidak ditepati, bagi mereka akan menjadi “luka dalam” yang begitu
membekas di hati dan sulit menghapuskannya. Contoh kecil: mahasiswa menjanjikan pertemuan
di Balai Desa jam 19.00. Dengan tepat waktu, mereka telah standby namun mahasiswa baru
datang jam 20.00. Mereka akan sangat kecewa dan selalu mengingat pengalaman itu.

h. Suka gotong-royong

Salah satu ciri khas masyarakat desa yang dimiliki dihampir seluruh kawasan Indonesia adalah
gotong-royong atau kalau dalam masyarakat Jawa lebih dikenal dengan istilah “sambatan”.
Uniknya, tanpa harus dimintai pertolongan, serta merta mereka akan “nyengkuyung” atau bahu-
membahu meringankan beban tetangganya yang sedang punya “gawe” atau hajatan. Mereka
tidak memperhitungkan kerugian materiil yang dikeluarkan untuk membantu orang lain. Prinsip
mereka: “rugi sathak, bathi sanak”. Yang kurang lebih artinya: lebih baik kehilangan materi
tetapi mendapat keuntungan bertambah saudara.

i. Demokratis

Sejalan dengan adanya perubahan struktur organisasi di desa, pengambilan keputusan terhadap
suatu kegiatan pembangunan selalu dilakukan melalui mekanisme musyawarah untuk mufakat.
Dalam hal ini peran BPD (Badan Perwakilan Desa) sangat penting dalam mengakomodasi
pendapat/input dari warga.

j. Religius

Masyarakat pedesaan dikenal sangat religius. Artinya, dalam keseharian mereka taat
menjalankan ibadah agamanya. Secara kolektif, mereka juga mengaktualisasi diri ke dalam
kegiatan budaya yang bernuansa keagamaan. Misalnya: tahlilan, rajaban, Jumat Kliwonan, dll.

10 karakteristik tersebut, pada saat ini tidak bisa digeneralisasikan bagi seluruh warga
masyarakat desa. Ini disebabkan oleh adanya perubahan sosial religius yang begitu besar
pengaruhnya dalam tata pranata kehidupan masyarakat pedesaan. Dampak yang terjadi meliputi
aspek agama, ekonomi, sosial politik, budaya dan pertahanan keamanan. (ingat: kasus kerusuhan
yang terjadi di beberapa pedesaan di pulau Jawa)

budaya di masyarakat pedesaan sebagian besar masih bersifat tradisional dan masih menjalankan
budaya yang turun – temurun yang di lakukan nenek moyang mereka, dan tidak sedikit pula
masyarakat desa yang masih menganut sistem animisme dan dinamisme. Budaya ini sulit hilang
karena merupakan sebagian dari hukum adat yang berlaku, bila hukum ini dilanggar seseorang
akan dianggap sebagai pembangkang desa. Selain unsur kepercayaan di komunitas desa juga
masih kental dengan adat sosial seperti tolong – menolong, dan sering bersilaturahmi.

Adapun contoh dari kebudayaan masyarakat desa adalah :

1. Ruwahan atau kenduri

Menurut koentjaraningrat, Beberapa pokok Antropologi Sosial, ( jakarta: Dian Rakyat, 1985
),56, Ritual adalah tatacara dalam upacara atau suatu perbuatan kramat yang di lakukan oleh
sekelompok umat beragama yang di tandai dengan adanya berbagai macam unsur dan
komponen yaitu adanya waktu, tempat tempat dimana acara di lakukan alat alat dalam upacara
serta orang orang yang menjalankan upacara.

Tradisi adalah adat kebiasaan turun temurun (dari nenek moyang) yang masih dijalankan oleh
masyarakat hingga sekarang. Tradisi ini berarti warisan dari para leluhur yang msih ada hingga
sekarang karena masih terus dilakukan. Biasanya, tradisi itu dianggap sacral dan memiliki nilai
mistis tersendiri. Sedangkan ruwahan berasal dari kata arwah yang dijamakan menjadi ruwah
kemudian tradisi ini dikenal dengan ruwahan. Maksudnya, pada bulan ini orang-ornag yang
masih hidup di dunia mengirimkan sesuatu atau do'a kepada Allah yang Maha Pencipta agar
orang yang ada di dalam kubur mendapatkan kemudahan dan kemurahan-Nya.

Tradisi ruwahan ini dijalankan untuk mengingat para leluhur atau keluarga yang sudah
meninggal. Tradisi ini dilakukan untuk mengirim do'a kepada para ahli kubur yang sudah
meninggal. Atau saat peringatan hari kematiannya.

2. Walimahan

Walimah artinya berkumpul, sambil makan-makan tentunya. Biasanya walimahan identik


dengan pernikahan. Biasa disebut dengan walimah Urs. Dimana ‘Urs artinya pernikahan.
Dengan demikian, walimatul ‘urs – atau biasa disingkat menjadi walimah saja – adalah acara
kumpul-kumpul alias kendurenan, selametan, resepsi, atau pesta yang dilakukan sebagai tanda
syukur atas pernikahan yang telah terjadi, berbagi kegembiraan dengan orang lain. Disamping itu
juga untuk mengumumkan kepada khalayak mengenai telah terjadinya pernikahan tersebut.

Masyarakat desa sering mengadakan ini sebagai ungkapan syukur atau sebagai upaya woro-woro
atau undangan kepada warga sekitar juga.

3. Sedekah bumi

Upacara Sedekah Bumi merupakan salah satu upacara adat berupa prosesi seserahan hasil bumi
dari masyarakat kepada alam. Upacara ini biasanya ditandai dengan pesta rakyat yang diadakan
di balai desa atau di lahan pertanian maupun tempat-tempat yang dianggap sakral oleh
masyarakat. Upacara ini sudah berlangsung turun termurun dari nenek moyang kita, dan
berkembang di Pulau Jawa, terutama di wilayah yang kuat akan budaya agraris. Ritual sedekah
bumi ini biasanya dilakukan oleh mereka pada masyarakat jawa yang berprofesi sebagai petani,
nelayan yang menggantunggkan hidup keluarga dan sanak famil mereka dari mengais rizqi dari
memanfaatkan kekayaan alam yang ada di bumi.

Bagi masyarakat jawa khususnya para kaum petani dan para nelayan, tradisi ritual tahunan
semacam sedekah bumi bukan hanya merupakan sebagai rutinitas atau ritual yang sifatnya
tahunan belaka. Akan tetapi tradisi sedakah bumi mempunyai makna yang lebih dari itu, upacara
tradisional sedekah bumi itu sudah menjadi salah satu bagian dari masyarakat yang tidak akan
mampu untuk dipisahkan dari budaya jawa .

4. Larung Sesaji

Larung Sesaji atau Petik Laut Sebutan ialah salah satu tradisi Indonesia di bidang kemaritiman
yang berasal dari Jawa Barat. Sebagai negara bahari, tentu saja Indonesia tidak bisa terpisah dari
laut, yang dapat dimanfaatkan dalam banyak hal, terutama para nelayan yang memanfaatkannya
sebagai mata pencaharian. Oleh karena itu, warga Jawa Barat membuat suatu tradisi sebagai
sarana memuji syukur dan memberikan hormat kepada Tuhan. Tradisi ini memiliki ritual yang
cukup panjang. Satu bulan sebelum ritual inti, para nelayan mempersiapkan perahu gitik untuk
dihias seindah mungkin dengan cat warna-warni, bendera-bendera kecil, seperti perahu yang
akan berlayar. Beberapa hari sebelum ritual, perahu gitik diisikan oleh sesajen berupa buah-
buahan, bunga, kue, pancing emas, dua ekor ayam yang masih hidup dan harus ada potongan
kepala kambing. Saat prosesi dilakukan, kepala ini akan dilarung ke lautan sebagai wujud rasa
syukur yang tiada batasnya. 1 hari sebelum ritual dimulai, malam usai salat Magrib, warga
mengadakan doa bersama. Saat ritual dimulai, puluhan nelayan mengarak sesajen dari rumah
sesepuh menuju perahu besar di pelabuhan, tetapi sebelum itu, sesaji akan diarak keliling desa.

5. Peningsetan

Peningsetan Kata peningsetan adalah dari kata dasar singset (Jawa) yang berarti
ikat, peningsetan jadi berarti pengikat.Peningsetan adalah suatu upacara penyerahan sesuatu
sebagai pengikat dari orang tua pihak pengantin pria kepada pihak calon pengantin
putri.Menurut tradisi peningset terdiri dari : Kain batik, bahan kebaya, semekan, perhiasan emas,
uang yang lazim disebut tukon ( imbalan) disesuaikan kemampuan ekonominya, jodang yang
berisi: jadah, wajik, rengginan, gula, teh, pisang raja satu tangkep, lauk pauk dan satu jenjang
kelapa yang dipikul tersendiri, satu jodoh ayam hidup. Untuk menyambut kedatangan ini diiringi
dengan gending Nala Ganjur .Biasanya penentuan hari baik pernikahan ditentukan bersama
antara kedua pihak setelah upacara peningsetan.

Anda mungkin juga menyukai