Anda di halaman 1dari 1

Aku memandangnya berlalu memasuki peron setelah dia mengeluh stasiun ini semakin panas

saja, walau ada banyak kipas angin besar dimana-mana. Dia melewati petugas pemeriksa tiket,
ceria seperti biasanya. Kakiku tak hendak berlalu setelah mengantarkannya, entah mengapa.
serasa ada tali magis yang membuatku tak bisa beranjak kemana-mana.
Mataku masih terus mengekor jalannya sampai tiba-tiba dia berhenti, dia menoleh ke arahku dan
menatapku nanar.’ah gadis ini pasti mau menangis’ batinku. Aku tersenyum simpul
melambaikan tangan, dia juga sama. Sebelum akhirnya dia benar-benar hilang dari mataku
karena terseret orang-orang.
Sejenak aku masih mematung disana. Ramai orang lalu lalang namun aku masih merasa hampa
seperti ada yang hilang. Gadis manis yang penuh gairah seperti cahaya surya, kini pergi kembali
terbenam dan meninggalkan aku di kota yang serba alineasi. Bahkan cahaya bulan saja sudah
mati. Aku menghembuskan nafas berat, mendengar suara kereta datang. ‘dia pasti sudah masuk’
pikirku. Aku pergi dari stasiun yang memang cukup panas itu. Gontai entah mengapa.
Aku bertemu dengannya waktu dia menghadiri acara dimana aku terlibat di dalamnya. Dia bukan
siapa-siapa dan tidak berpengaruh apa-apa. Namun dari tingkahnya, dia memang sedikit beda.
Ya, dia memang penuh gairah bagai cahaya surya. Namun disisi lain, dia juga bumi, tempat
tumbuh segala duka cita.
Sama seperti sekarang, aku ketika ditinggalkan.
‘aku kesana ya, kapan bebas?’ tanyamu dari ujung kota
‘minggu ketiga dan keempat’ jawabku singkat
‘atur saja waktunya kapan. Sebisamu’
‘ketiga bagaimana?’
‘baik’
Singkat, padat, dan biasa saja.
Ponselku berbunyi. Kamu sudah naik kereta kembali ke kotamu. Aku tersenyum simpul. Senyum
yang tak pernah ku lihatkan pada perempuan manapun. Kecuali adikku yang biasa kamu panggil
Ragil, bungsu dalam Bahasa jawa. Kendati namanya bukan itu. Kamu memang keras kepala dan
berbuat sesukamu. Herannya aku selalu iya-iya saja.

Anda mungkin juga menyukai