Anda di halaman 1dari 3

Cerpen Kehidupan - Gara-Gara Buruk Sangka

Aku terus berlari tanpa memedulikan panggilan kawan-kawanku yang masih asyik bermain voli di
lapangan sekolah. Aku tidak ingin pulang terlambat lagi. Ibuku pasti cemas jika aku belum sampai
di rumah maghrib nanti. Dari jauh aku melihat kereta yang menjadi harapan terakhirku untuk
pulang telah penuh sesak.

Setelah berhasil mendapat karcis aku segera menerobos orang-orang yang bergelantungan di
pintu kereta. Benar dugaanku. Tidak ada lagi tempat duduk yang tersisa. Aku menggerutu dalam
hati melihat pria-pria muda yang duduk dengan nikmatnya tanpa peduli padaku-setidaknya pada
ibu-ibu yang ribet dengan balita mereka. Kan kasihan…

Kereta mulai melaju meninggalkan ibukota yang sibuk ini. satu per satu stasiun terlewati.
Akhirnya aku berhasil mendapat sedikit jatah tempat duduk. Tak apalah, badanku juga kecil kok.
Pada saat yang bersamaan, seorang wanita yang kutaksir seusia dengan ibuku naik dan berdiri
tepat di hadapanku. Ia terlihat amat cantik dengan baju ala kantoran berwarna hijau menyejukkan
mata yang memandangnya. Kulitya yang putih nampak bersih bahkan kukunya pun amat cantik.
Aku rasa ia rajin melakukan perawatan di salon-salon yang mahal di Jakarta.

Penampilannya amatlah kontras jika dibandingkan dengan ibuku. Wajah ibuku sudah dipenuhi
kerutan akibat terlalu banyak pikiran dan beban kehidupan. Tangannya pun tak semulus tangan
wanita ini. Bisa kalian bayangkan kasarnya tangan yang dipakai untuk jadi buruh cuci lebih dari 10
tahun? Begitulah kiranya tangan ibuku. Aku juga belum pernah melihat ibuku memakai pakaian
sebagus wanita necis di hadapanku ini.

Ia menjinjing dua bungkusan besar bermerk sebuah mall terkenal di Jakarta. Aku tahu mall itu.
Aku pernah diajak teman-teman sekolahku ke sana. Tentu saja yang kulakukan hanya melihat-
lihat. Lain halnya dengan temanku yang hobi belanja. Ia memborong apa saja yang menarik
hatinya.

Aku melihat wanita itu merasa risih dengan kondisi kereta yang sesak dan bau keringat yang
bermacam-macam berbaur menjadi aroma yang entah apa namanya. Ia juga nampak kesulitan
karena tangan kanannya menjinjing kedua bungkusan tadi sedangkan ia berpegangan dengan
tangan kirinya yang juga digunakan untuk menenteng tas lainnya.

Aku heran mengapa tak ada keinginan sedikit pun dalam hatiku untuk merelakan tempat dudukku
ini padanya. Tiba-tiba saja aku menjadi egois seperti anak muda yang kuumpat dalam hati tadi.
Aku malah merasa muak melihatnya yang risih, tidak nyaman, bahkan seolah jijik melihat tempat
ini. Aku rasa ini adalah pengalaman pertamanya naik kereta ekonomi macam ini. Huh, kalau tidak
biasa mengapa tidak bawa mobil sendiri saja! Aku yakin di garasi rumahnya pasti berderet mobil-
mobil mewah macam Ferrari, Mercedes, Merci, de el el. Tapi kok mau-maunya sih dia naik kereta
ekonomi yang hampir seluruh penghuninya rakyat papa macam aku? Apa cuma niat gaya-gayaaan
doang? Niat pamer kekayaan? Pikiran burukku tentang wanita itu terus bermunculan.
Aku tidak sadar wanita itu juga memandangiku. Segera kualihkan pandanganku darinya tapi tidak
lama kemudian aku kembali memperhatikannya. Aku semakin tertarik melihat tingkahnya. Ia
bahkan enggan meletakkan bungkusan itu di bawah demi dilihatnya lantai kereta yang kotor.

Tiba-tiba aku menyadari ada seorang lelaki paruh baya terus memepet tas wanita itu. aku
menyaksikan betul saat si lelaki perlahan membuka tas wanita tersebut dan berusaha mengambil
sesuatu dari dalamnya. Saat itu sebenarnya aku ingin memberitahunya bahkan ingin rasanya
berteriak agar semua orang di gerbong ini tahu akan aksi kejahatan yang sedang dilakukannya.
Namun aku merasa bingung. Aku takut jika ternyata lelaki itu membawa komplotannya. Atau
bahkan membawa senjata tajam. Perasaanku tak karuan. Aku ingin menolong tapi tidak ingin.
Pikiran aneh mendadak muncul. Seketika aku malah merasa senang. Aku tersenyum sinis
memandang wanita itu. Biar dia rasakan seperti apa yang namanya kesusahan itu! wanita itu terus
menyeka peluh yang bercucuran di dahinya. Rupanya ia tidak menyadari apa yang baru saja
terjadi. Lelaki tadi telah pergi dan berhasil membawa kabur dompetnya. Aku tidak tahu dari mana
datangnya pikiran jahat ini. Akan tetapi aku tidak sedikit pun merasa bersalah padanya. Aku
malah tertawa puas dalam hati.

Akhirnya kereta tiba di stasiun Bogor, tujuanku. Aku menggantungkan tas sekolah yang sedari tadi
kupeluk erat ke atas pundakku. Ingin rasanya aku segera tiba di rumah untuk melapaskan rasa
lelahku. Di rumah, ibu menyambutku dengan lega karena aku pulang tepat waktu. Aku memang
terbiasa pulang tepat pada waktunya sehingga jika sehari saja aku terlambat seperti kemarin
ibuku akan langsung khawatir. Maklum, aku adalah putri ibuku satu-satunya.

Baru saja aku hendak mandi, tiba-tiba terdengar ketukan di pintu.

“Assalamu’alaikum.” Kudengar ada yang memberi salam di luar.

Siapa yang bertamu magrib-magrib seperti ini? Tanyaku dalam hati. Aku berlari ke arah pintu.

“Wa’alaikumsalam.” Jawabku.

Aku terkejut. Seorang wanita cantik tersenyum padaku setelah kubukakan pintu. Hatiku deg-
degan. Berbagai perasaan berkecamuk dalam pikiranku. Aku takut. Apakah ia telah mengetahui
tindakanku di kereta tadi? Oh tidaaak! Jangan-jangan ia hendak melaporkanku ke polisi.

“Siapa, Put?” Ibuku muncul dari arah dapur.

Aku mundur perlahan memberi kesempatan pada ibuku untuk menyambut tamu asing ini.

“Rika, apa kabar?” Sambut ibuku begitu melihat siapa yang datang.

“Kabar baik. Maaf ya terlambat, aku tadi cukup kesulitan menemukan rumahmu.” Jawab wanita
itu.

“Putri, kenalkan ini Tante Rika. Teman ibu waktu SMP dulu.” Ujar ibu padaku. Wanita itu
tersenyum padaku mengulurkan tangannya.
“Sepertinya tante pernah lihat kamu deh belum lama ini. Di mana ya, Put?” Ujarnya sambil
mengedipkan mata.

Aku sungguh malu dan merasa bersalah. Rupanya tante itu adalah Tante Rika, sahabat ibu yang
sering diceritakan padaku. Sayang, aku tak pernah melihat fotonya sehingga aku tidak
mengenalinya saat di kereta tadi. Kalian ingat dua bungkusan besar yang membuatnya kerepotan
tadi? Ah ternyata itu oleh-oleh untukku. Huh, coba saja tadi aku tidak terlalu egois! Selepas
magrib, ibuku dan Tante Rika asyik melanjutkan cerita mereka.

“Oh ya, tadi aku kecopetan di kereta.” Ujar Tante Rika santai.

Jantungku serasa mau copot mendengarnya. Jangan-jangan ia akan melaporkan tindakanku pada
ibu. Oh no! Aku bisa mati! Please dong, Tante, jangan bilang-bilang yah… aku memohon dalam
hati.

“Apa? Bagaimana ceritanya?” Ibuku terkejut.

Jangan…! Please…! Tolong jangan katakan pada ibuku jika memang Tante tahu bahwa aku
membiarkan lelaki itu mengambil dompetmu. Biarlah hal itu jadi urusan kita berdua. Aku
memejamkan mata, bahkan aku menutup telinga. Aku tak sanggup mendengar kata-katanya.

“Tenang saja. Aku masih ingat apa yang kamu sarankan terakhir kali kita naik kereta bersama.”
Jawab Tante Rika tetap santai.

“Jadi??” Ibuku masih penasaran rupanya. Tapi aku juga penasaran apa maksudnya. Aku kan tidak
tahu bagaimana ceritanya.

“Yah copet itu mengambil dompet yang kosong, ha-ha-ha.” Ujarnya sambil tertawa.

Aish, sialan! Kalau tahu seperti itu aku tidak menyesal deh mengacuhkan copet itu. Ya, tetap saja
aku lega mendengarnya. Rupanya Tante Rika tahu aku sedang menguping pembicaraan mereka
berdua. Lagi-lagi ia mengedipkan mata padaku dan tersenyum manis. Ih, Tante, genit banget sih!

Ah, tetap saja aku benar-benar merasa malu. Maafkan aku, Ibu. Maafkan aku, Tante.

Anda mungkin juga menyukai