Anda di halaman 1dari 3

#Marsha_Si_Hantu_Kecil

#Feby_Triliddiani

Prolog

Perlahan netraku terbuka. Melihat sekeliling kamarku yang bernuansa merah muda. Aku
bangkit, lalu menyibak selimut. Langkahku berjalan lunglai, dengan tubuh sedikit
membungkuk. Aku membuka pintu kamar, sebelum itu aku mendengarkan sebuah teriakan
seseorang. Suaranya sangat tidak asing di telingaku, dengan cepat aku membuka pintu dan
menyaksikan mama di bawa oleh tiga orang bertopeng, tetapi aku terlambat. Mereka sudah
membawa mama pergi dengan sebuah mobil yang melaju sangat cepat.

“Mamaaaa!” Wanita yang sangat aku sayangi di bawa pergi. Aku juga tidak tahu siapa yang
membawa mama pergi, tetapi aku yakin mereka adalah suruhan papa yang ingin mengambil
alih harta mama untuknya. Tidak perlu waktu lama, aku segera berlari mengejar mobil yang
sudah melaju lebih cepat dari lariku. Memang, anak kecil seperti aku ini tidak ada tenaga
lebih. Bulir air mata mulai menetes di pipiku, bagaimana keadaan mama saat ini? Aku harus
menyelamatkannya, apapun resikonya.

Kaki mungilku berlari sekuat tenaga, aku berpikir tidak akan bisa aku mengejarnya tanpa
kendaraan. Kebetulan saat itu ada sebuah mobil melaju ke arah yang sama. Aku langsung
berteriak meminta tolong.

“Berhenti!” Aku mengode sembari merentangkan kedua tangan. Tampak pengemudi mobil
itu berhenti. Ia sedikit mengeluarkan kepalanya dari samping.

“Ada apa, Nak?” Pria itu langsung bertanya. Aku mendekatinya lalu meminta tolong agar
mengejar mobil yang membawa mama. Kepalanya mengangguk, ia mempersilakan aku naik
ke mobilnya. Pria sedikit beruban ini memberhentikan mobilnya tepat di sebuah hutan
lebat.

“Kenapa kita berhenti?” tanyaku melirik ke wajahnya yang tersenyum penuh arti. Aku tidak
tahu maksud dari senyumnya. “Tidak apa-apa. Mobil ini mogok, saya mau cek dulu. Kamu
tunggu di sini!” peringatnya, aku mengangguk sembari mengacungkan jempol.
Aku memandang seluruh lingkungan di sini. Tiba-tiba, ingatanku teringat kondisi mama. Apa
dia akan baik-baik saja? Aku tidak mau mama disiksa, ataupun dibunuh. Aku harap, mobil ini
tidak terlalu mogok dan cepat membaik. Aku tidak mau terlambat menyelamatkan mama
yang ada di tangan para penjahat itu, termasuk papa. Pria yang dulunya aku cap bijaksana
seakan berubah. Ia sangat jahat, melebihi seorang pembunuh. Pikirannya sangat licik, aku
tidak tahu apa yang ia lakukan pada mama.

Aku seorang anak kecil yang tidak tahu apa-apa. Aku keturunan Belanda dan Indonesia,
tetapi aku lebih fasih berbicara dengan bahasa Melayu daripada bahasa negara papa.

Setelah lama menunggu, akhirnya aku memutuskan untuk keluar, melihat keadaan orang
tadi. Mungkin, ia butuh bantuan.

Satu langkah, dua langkah. Kakiku berjalan sedikit demi sedikit.

“Berhenti!” Mendengar hal itu, aku membalikkan tubuh. Aku seakan tidak percaya, melihat
pria tadi memegang sebuah pedang, mimik wajahnya tersenyum sinis.

“Kau kenapa, Pak?” tanyaku sembari memundurkan sedikit jarak darinya.

Pria itu tertawa kecil, lalu aku melihat mobil yang membawa mama tadi ada di depanku.
Mereka meneriakkan nama pria ini, agar cepat membunuhku. Mataku melirik sempurna
saat melihat tubuh mama tergeletak dengan mulut di tutup kain. Sungguh malang nasibku
dengan mama. Ingin sekali tubuh mungilku ini berlari kencang menghampirinya.
Aku sangka pria sedikit beruban ini sangat baik, tetapi takdir biar takdir. Dugaanku salah.
Ternyata pria ini salah satu anak buah papa yang juga ingin melenyapkan aku. Aku, seorang
anak kecil yang tidak tahu apa-apa.

“Bersiap lah, Nak!” Aku menggeleng. Aku tidak mau mati di tangan orang jahat seperti
mereka. Apalagi melihat kondisi mama yang sangat prihatin. Aku tidak sanggup berpisah
dengan seorang ibu seperti, mama.

Aku berlari sekuat tenaga. Air mata yang lolos keluar sendirinya. Akhir-akhir ini aku sering
menangis. Bagaimana tidak? Aku selalu melihat mama disakiti papa dan selalu menangis.
Setiap aku bertanya, ia segera menghapus air matanya. Mengelus kepalaku dengan penuh
kasih sayang, lalu berkata, “Mama tidak apa-apa, Sayang.” Ia mendekapku, kehangatan
itulah yang terakhir aku rasakan darinya.

Tubuh kecilku ini tidak mampu berlari kencang. Aku menoleh ke belakang, melihat pria itu
berlari lebih kencang dan semakin mendekat. Aku menghela napas, aku harus terima
takdirku.

Anda mungkin juga menyukai