Anda di halaman 1dari 5

“MODAL NEKAT”

Hari sabtu telah tiba, para anak kost sangat berbahagia. Pasalnya, banyak
dari mereka yang akan pulang ke kampung halamannya. Berasal dari berbagai
macam daerah, mereka memilih Kota Rengat untuk melanjutkan pendidikannya.
Tak perlu heran jika jalan lintas menjadi ramai pada hari sabtu atau hari libur
lainnya. Para anak kost yang membawa kendaraan sendiri akan membelah jalanan.
Berbeda dengan yang tidak membawa kendaraan, mereka akan menunggu
jemputan atau naik angkutan umum.
Jika anak-anak kost yang lain berbahagia, berbeda dengan aku yang masih
bingung. Aku ingin pulang, tapi Ibu melarangku. Aku dilanda dilema, terlebih saat
uang di dompetku menipis, hanya tersisa tiga lembar Rp5000 an dan empat lembar
Rp2000 an. Jika aku pulang, aku tak tahu bagaimana caranya aku pulang. Karena
aku tidak membawa kendaraan. Mau menumpang teman, tidak ada yang kosong.
Mau naik angkutan umum, uangku tidak cukup. Akhirnya dengan berat hati aku
memutuskan untuk tidak pulang.
Ketika di kamarku, aku merasa kesepian. Tidak ada teman-temanku yang
datang ke kamarku, biasanya sebagai tempat berkumpul. Mereka sudah pulang
semua setelah sholat dzuhur tadi. Ku baringkan tubuhku ke kasur yang ada di
kamarku, memandangi seisi kamar lalu pandanganku terhenti pada foto yang
tergantung di dinding. Foto keluarga yang sengaja ku gantung di dinding, agar aku
lebih semangat belajar, fikirku. Di dalamnya ada Aku, Ibuku, Ayahku, dan Adikku di
pangkuan Ibu. Ku bayangkan mereka sedang tersenyum ke arahku. Membuat
kerinduan dalam hatiku semakin dalam.
Aku ingin pulang, batinku. Aku rindu pada keluargaku, yang sudah
beberapa minggu ini tidak bertemu. Jarak dari Rengat ke desaku yang jauh
membuat aku jarang pulang ke rumah. Itu juga yang menjadi alasan Ibuku melarang
aku pulang, agar aku tidak kecapekan, katanya. Ku tutup mataku dengan lenganku,
lalu kuhembuskan nafas beratku. Aku sedih, bukan karena uangku yang hampir
habis tapi rindu pada keluargaku. Kalau masalah uang, aku bisa meminjam pada
temanku. Tapi kalau rindu, tidak bisa meminjam dari siapapun.
Aku hampir memutuskan untuk berdiam diri di kost, jika sebuah ide tidak
muncul di kepalaku. Aku bergegas menyusun barang-barang yang akan ku bawa ke
dalam tas. Sambil memikirkan ide ku yang baru saja muncul, aku bersiap-siap untuk
pulang ke rumah. Setelah berpamitan pada pemilik kost, aku berjalan keluar gang.
Dengan berbekal keberanian, aku memutuskan untuk pulang ke rumah.
Berbagai cara akan aku lakukan agar aku bisa sampai ke rumah dengan selamat.
Salah satunya dengan menumpang mobil yang lewat. Arah menuju desaku melewati
jalan lintas, pasti banyak mobil yang akan melewati jalan yang biasa aku gunakan.
Rencanaku ini sangat membutuhkan keberanian untuk menyetop mobil dan merayu
supir mobil agar mau memberiku tumpangan.
Tak lama setelah berdiri di depan gang, ada sebuah mobil pick-up yang
berhenti di dekatku. Ku perhatikan mobil itu, bagian belakang mobil mengangkut
perabotan rumah tangga, sebuah meja dan dua sofa panjang. Sang supir turun dan
memperbaiki ikatan pada sofa yang di pinggir. Setelah mengumpulkan
keberanianku, aku mendekati supir itu. Aku bermaksud untuk menumpang
mobilnya, jika dia mengizinkan.
Aku bersyukur setelah dia mau memberiku tumpangan hingga ke Belilas.
Dia juga tidak keberatan ketika aku memberitahunya bahwa aku tidak memiliki
uang untuk membayar ongkos. Aku sangat berterimakasih bahwa dia tidak
mempermasalahkan biaya. Aku langsung naik ke bagian bak mobil, karena hanya
tempat itu yang bisa aku tempati. Bagian samping supir sudah penuh dengan barang
yang lain. Aku tetap bersyukur meskipun aku duduk dibagian bak, kepanasan
karena sudah jam satu siang.
Mobil yang membawaku bergerak meninggalkan kota Rengat. Terik
matahari menerpa kulitku wajahku. Untungnya aku membawa jaket dan topi, ku
rapatkan jaket dan topiku agar wajahku tidak terkena matahari langsung. Ku
pejamkan mataku, berharap saat ku buka mata nanti aku telah sampai di Belilas.
Angin yang berhembus mampu mengantarkanku pada mimpi siangku.
“dek, bangun! Sudah sampai Belilas” suara sang supir berusaha
membangunkanku. Aku terbangun dengan sedikit terkejut. Ku usap wajahku dan ku
kumpulkan nyawaku dengan merenggangkan persendianku. Aku segera turun dari
mobil setelah sang supir menyadarkanku bahwa kami sudah sampai di Belilas.
“terima kasih, Bang. Sudah memberikan tumpangan” kataku sopan
diiringi senyum.
Kami sedikit berbincang sebelum sang supir masuk ke mobilnya. Sesaat
sebelum pergi, supir itu mengklakson sambil tersenyum ke arahku. Dengan ramah,
ku balas tersenyum seraya melambaikan tanganku ke arahnya. Tak lama kemudian,
mobil pick-up itu sudah hilang dari pandanganku.
Kini, aku berdiri sendiri di simpang empat Belilas, menyaksikan manusia
berlalu lalang. Aku terdiam, bagaimana lagi aku akan pulang setelah sampai pada
seperempat perjalananku. Ku lirik jam tanganku, hampir masuk waktu ashar.
Dengan berjalan kaki aku menuju masjid Al-Ikhlas, masjid terdekat dari simpang
empat Belilas.
Setelah sholat Ashar berjamaah, aku memilih duduk di teras masjid
sambil membaca Al-Qur’an. Hingga tak terasa sudah 20 menit aku duduk di teras
masjid. Ku tutup Al-Qur’anku lalu ku simpan ke dalam tas. Ku perhatikan orang-
orang yang berlalu-lalang di sekitar masjid. Aku berharap ada seseorang yang aku
kenal, sehingga aku bisa meminta tumpangan. Lebih bagus lagi kalau ada orang
yang searah denganku, satu desa misalnya.
Waktu berlalu sepuluh menit kemudian, badanku sudah kaku-kaku
karena duduk terlalu lama. Sedikit peregangan dengan berjalan-jalan keluar masuk
wc mungkin bisa melemaskan otot-otot ku yang kaku dan menghilangkan rasa
jenuh. Aku kembali duduk ke tempatku karena orang-orang mulai menganggapku
aneh. Tak lama kemudian, sebuah mobil Avanza hitam berhenti di parkiran mobil.
Dari mobil keluar seorang pria yang memakai kaos polos serta tas
slempang. Aku memperhatikan pria itu sampai ia melepaskan sepatunya. Merasa
diperhatikan, pria itu menoleh ke arahku. Aku segera mengalihkan pandanganku ke
arah lain, dan menahan malu. Pria itu masih menatapku tajam, hingga akhirnya ia
pergi ke arah tempat wudhu laki-laki.
Selang beberapa menit kemudian, pria itu muncul lagi dan duduk di dekat
sepatunya. Terdengar nada panggilan dari ponselnya, lalu ia mengangkat panggilan.
Aku tak sengaja mendengar percakapan mereka, karena tempatku duduk tak jauh
dari pria itu duduk, ditambah lagi volume suaranya yang agak besar. Dari
percakapannya itu, tak sengaja aku mendengar bahwa pria itu diminta untuk pergi
ke Kilan, searah dengan desaku. Nampak aura perdebatan selama panggilan itu
berlangsung. Pria itu memutuskan panggilan terlebih dahulu sebelum menyetujui
perintah dari orang yang berbicara dengannya di telepon tadi.
Ku beranikan diriku untuk mendekat dan bertanya pada pria tadi.
Awalnya, pria itu tidak mau memberikan tumpangan padaku. Hingga akhirnya
karena merasa kasihan padaku, dia memberi tumpangan padaku. Aku berterima
kasih padanya, dan ia hanya memberikan jawaban singkat.
Aku duduk di bagian tengah mobil, karena bagian depan sudah terisi
barang-barang yang mudah pecah. Pria itu memintaku untuk menjaga barang-
barang yang ada di belakang. Aku menyanggupinya sebagai balas budi, karena lagi-
lagi aku tidak perlu mengeluarkan biaya untuk membayar ongkos. Pria itu
memaklumi aku yang seorang anak kost yang sedang kehabisan uang.
Mobil berjalan meninggalakan parkiran masjid. Di dalam mobil, hanya
terdengar musik yang berasal dari mp3 mobil yang bervolume sedang. Sedangkan
kami, sibuk pada pikiran-masing-masing. Sejak perjalanan di mulai, tak ada yang
memulai pembicaraan. Aku ingin mencairkan suasana, tapi sikapnya yang cuek
menciutkan nyaliku untuk membuka suara.
Tak terasa sudah sampai di ujung Belilas, jalanan mulai renggang karena
tak banyak mobil-mobil besar yang melintas. Ku rasakan mobil berjalan semakin
laju. Saat di tikungan pun masih terasa meskipun dikurangi kecepatannya. Aku
harus rela meliuk-liuk mengikuti arus jalanan. Karena terlalu laju pria itu membawa
mobil, hampir saja ia menyrempet sepeda motor saat memotong mobil yang ada di
depan. Hampir saja aku terpental karena rem yang mendadak, untungnya aku
memakai sabuk pengaman. Ku raba dada bagian kiri, kurasakan jantungku berdetak
lebih cepat dari biasanya.
Setelah perjalanan yang memacu adrenalinku, akhirnya sampailah kami
di simpang tiga Kilan. Kami berhenti di depan tempat fotocopy yang cukup ramai
orang. Pria itu langsung turun dan menuju ruko, tempat agen travel. Aku lalu turun
dari mobil setelah melepaskan sabuk pengamanku. Ku lihat dari kaca spion wajahku
pucat pasi. Bagaimana tidak? Perutku yang kosong harus tahan ketika di goncang
saat perjalanan tadi.
Pria itu kembali ke mobil dengan membawa satu buah paketan kardus. Ia
lalu memasukkan kardus itu ke bagasi, karena bagian depan yang sudah penuh.
“terima kasih banyak, Bang. Sudah memberi saya tumpangan” kataku sesaat setelah
dia menutup kabin bagasi. “ooh, iya sama-sama. Kalau gitu saya mau lanjut jalan
lagi, ada perlu yang lain lagi”. “iya, bang. Hati-hati! Terima kasih tumpangannya”
balasku dengan senyum ramah. Pria itu masuk ke mobil lalu menjalankan mobilnya
dengan kecepatan yang sama dengan tadi.
Aku memutuskan untuk duduk di bangku panjang di bawah pohon
mangga. Sudah jam lima sore, dan bingung melanda pikiranku lagi. Bagaimana aku
bisa sampai ke rumah? Tinggal seperempat perjalanan lagi dan aku tidak mungkin
menyerah. Aku masih memikirkan cara sambil mengedarkan pandangan. Mataku
tertuju pada sebuah mobil truk yang bernomor plat BM 2320 BE. Mobil itu menarik
perhatianku karena di bagian bak sebelah atas ada tulisan TS. Itu artinya, mobil itu
berasal dari desaku, karena TS adalah inisial dari nama KUD yang ada di desaku.
Mobil itu terparkir di depan warung pecel lele yang tak jauh dari
tempatku duduk. Dengan keberanianku, aku mendekati mobil itu. Terlihat di dalam
warung pecel lele, sang supir masih asyik makan dengan diselingi ngobrol asyik.
Aku bermaksud menunggu sang supir itu di dekat mobil truk. Aku berharap saat
sang supir keluar nanti, aku bisa meminta bantuannya.
Akhirnya penantianku tak sia-sia, sang supir itu sudah menyelesaikan
makannya dan beranjak pergi dari tempat duduknya. Dia berjalan ke arah mobil.
Jantung ku berdebar ketika dia berjalan ke arahku, yang saat itu posisiku berada di
samping pintu supir. Ku kumpulkan keberanianku lagi untuk mengatakan
maksudku berdiri di samping mobil.
Awalnya, aku agak takut-takut bertanya padanya. Karena ku kira ia orang
yang galak seperti yang tersirat pada wajahnya. Tapi setelah melihat responnya
yang baik, rasa takutku perlahan hilang. Aku menyampaikan maksudku untuk ikut
menumpang di mobilnya. Tanpa basa-basi dia mau memberiku tumpangan sampai
ke rumahku.
Selama perjalanan, aku banyak ngobrol dengan supir truk ini yang ku
ketahui bernama Paino. Jadi, om Paino ini kenalan Ayahku. Tapi sayangnya, aku tak
kenal beliau karena aku yang jarang di rumah. Banyak hal yang kami obrolkan
sepanjang jalan, membelah kesunyian di dalam mobil saat melewati kebun kelapa
sawit. Om Paino ini termasuk orang yang senang mengobrol. Kadang aku yang
memulai pembicaraan atau bertanya-tanya padanya. Dia pun menanggapi dengan
logat jawanya dan juga bahasa jawanya. Aku dibuat tertawa olehnya saat beliau
menceritakan hal yang lucu.
Karena asyiknya obrolan kami yang menemani perjalanan, tak terasa
sudah mau dekat dengan tujuan kami. Hingga akhirnya, om Paino menghentikan
mobilnya di depan rumahku. Terlihat beberapa orang yang sedang duduk-duduk di
depan rumah memandangi kami. Aku segera turun dari mobil dan merapikan posisi
topiku di kepala.
Ibuku yang sedang duduk di teras rumah menatap heran ke arahku.
Karena penampilanku yang misterius, tubuhku yang berbalut jaket serta topi yang
sengaja menutupi wajahku. Ku dekati Ibu yang masih menatapku heran. Setelah
berdiri tepat di hadapan Ibu, ku buka topi yang menyembunyikan wajahku. Ibuku
langsung terkejut ketika mengetahui anak laki-lakinya sudah sampai di rumah.
Sambil tersenyum, ku raih tangan Ibuku dan ku cium. Ibuku yang tak kuasa
menahan haru, aku pun dipeluknya.
Ayahku yang baru datang dari mengambil buah sawit di kebun pun tak
kalah terkejutnya. Ia lalu menghampiriku dan merangkulku. Ayah tak percaya jika
aku sudah sampai di rumah. Tak lupa ku cium tangan Ayahku yang masih
menatapku tak percaya.
Ibu dan Ayah tentu saja terkejut karena anak laki-laki yang tadi malam ia
larang untuk pulang sekarang sudah sampai di rumah. Ayah-Ibu, anak laki-lakimu
sudah sampai di rumah dengan selamat. Bonusnya lagi, aku tidak mengeluarkan
biaya untuk pulang ke rumah.

Anda mungkin juga menyukai