Anda di halaman 1dari 45

Secangkir Cerita Indah di Kota Surabaya

(Oleh: Lulu’ Ulfiyah Aprilia)

Kring kring kring.... iya halo Assalamualaikum, mbak sofi?. Seorang gadis cantik

berwajah arab mengangkat telephone itu, yang tak lain adalah aku. “Iya adek, aku selasa

ikut test TOEIC di Surabaya. Kalo kamu jadi yang mau beli buku nanti bareng saja. Kita

berangkat hari senin, menginap dulu satu hari di kos Bangkalan dan hari Selasanya kita

cus berangkat subuh. Gimana? Jadi gak?.” Ucap mbak sofi mengutarakan maksudnya itu.

Aku memang pernah mengajak mbak sofi untuk beli novel atau semacam buku gitu lah

ke sana. Namun akhir akhir ini dia sibuk dan dia bisanya sekarang. Oh iya aku lupa belum

menjelaskan siapa itu mbak Sofi. Nama lengkapnya sih Shofia Asri, jurusan Sastra

Inggris. Awal ketemu plus kenal ketika pelajaran di mata kuliah pilihan EFB (English For

Bussiness) semester III dan berlansung sampai saat ini. “oh gitu, okey mbak aku ikut. Jadi

aku tunggu kamu selesaikan test TOEIC dulu setelah itu kita perki ke toko buku?”

Jawabku memperjelas penjelasannya. “Mutemmuh senin ya...! Assalamualaikum..”

ungkapnya padaku. “Waalaiium Salam. Aku tutup telephone itu dengan membalas salam

darinya.

Hari senin pun tiba. Di waktu subuh pagi pagi sekali, sang fajar kemerah merahan

belum menyelesaikan pekerjannya. Seraya di riuhkan oleh suara kok ayam jantan yang

sedari mulai jam 03 pagi telah bangun seraya membangunkan orang orang dari malam

tidurnya untuk beribadah kepadaNya, tiba tiba bunyi riuh di subuh itu semakin

menggelegar mengalahkan lantunan ayat ayat suci yang senantiasa setiap paginya para

santri membacanya secara istiqomah.

Kring... kring... kring... bunyi suara riuhan itu berasal dari handphone ku yang

sedari tadi berbunyi. Aku segera mengangkatnya ternyata paggilan itu berasal dari mbak

sofi, dia menghubungiku kembali di pagi hari keberangkatan itu. “iya mbak ada apa?”
tanyaku dengan jelas serta di penuhi rasa penasaran, “Gini dek, kamu mau berangkat jam

berapa ke terminal Pamekasan?” tanya nya pada ku. “oh itu, sepertinya jam 08.00 mbak.

Soalnya di sini jam 07 masih tidak ada taksi menuju Pameksan” jawabku dengan jelas.

Pamekasan adalah kota di desaku.

Melakukan perjalanan ke sana membutuhkan waktu setengah jam untuk sampai

pas dengan menggunakan kecepatan yang maksimal. “owh, gitu dek. Okay jam 08.00 ya.

Nanti kalau sudah sampai di Pameksan hubungi mbak ya, jangan lupa biar mbak langsung

ke terminal. Kita ketemuan di terminal kan? Tanyanya lagi. “Iya mbakku sayang... hehehe

Unch” balasku sambil meledeknya. “Iya sudah dulu ya, aku beres beres dulu persiapan

berangkat jam 08.00. aku tutup telponnya ya. Assalamualaikum” tegas ku padanya.

“Waalaikum salam” jawabnya.

Tepat jam, 05.30 aku mulai merapikan dan melipat 1 pasang bajuku yang sudah

aku persiapkan kemarin sore bersama adek bungsuku yang nomer dua. Aku tak banyak

membawa barang bawaan, hanya simple hari yang akan aku lalui. Setelah dipikir-pikir

membawa baju dua pasang termasuk yang di pakai sudah cukup dan memadai untuk

digunakan dalam perjalanan dalam kurung waktu tiga hari. Setelah aku mempacking

semua kebutuhan yang aku membawa, ternyata tas yang aku bawaitu penuh dan berat

sekali. Sehingga aku memutuskan untuk mengecek ulang barang bawaanku sekali lagi,
ya dan pada akhirnya masih penuh dan berat seperit semula tidak ada perubahan. semua

barang-barang yang memenuhi tas berwarna cokelat ke abu abuan itu tetap penuh dan

tidak ada yang perlu untuk di keluakan lagi. Akhirnya, dengan berat hati aku harus

membawanya, bagaimana pun itu.

Disela-sela kesibukan mama membereskan rumah di pagi itu, ternyata Mama

memperhatikna ke sibukan yang aku lakukan. Mulai dari mandi, packing, dan make up.

“Keburu ya luk?” tanya mam kepada diriku. “Iya ma, Lulu harus cepat cepat karena jam

08.00, Lulu harus sudah berada di dalam taksi menuju Pamekasan.!” Jelasku kepada

Mama secara detail. “Sarapan dulu yah, Lulu kan gak puasa.” Rayunya lagi di penuhi rasa

khawatir. “hmmm... gak usah Mama, Lulu sudah kenyang, Lulu sudah sarapan roti tadi

pagi dan Lulu nanti mau beli roti pas di jalan.” Jelasku kepada Mama. “Hati-hati ya...”

ucap Mama dengan nada khawatir seraya ku mengecup kening Mama sebagai tanda

bahwa aku baik baik saja. Kecupan kening itu sudah terbiasa aku berikan padanya.

“Assalamualaikum” aku berpamitan keluar dari pintu gerbang rumah yang di sana

kakak kandungku sedang menungguku disana dengan pintu gerbangnya. Lambaian

tangan dan kecupan kiss bye sudah terbiasa aku lakukan ketika sepeda motor yang

membawaku mulai membawaku jauh dari gubuk kecil itu.

Bandungan merupakan nama desa yang terbiasa dijadikan sebagai tempat untuk

menunggu taksi mikrolet disana. Pada saat itu, tidak begitu banyak penumpang yang antri

menunggunya, hanya satu ibu yang menemaniku menunggu taksi itu. Anehnya, di pagi
yang cerah itu tidak ada satupun taksi yang bersedia untuk menumpang dan membawa

kami berdua ke tempat tujuan, tidak seperti hari hari biasanya para supir serta kernet

saling menyaringkan suaranya meneriaki para penumpang untuk berbondong bondong

masuk dan menjadi penumpangnya.

Entah ada apa dengan pagi ini, aku tidak mengerti. Pastinya aku hanya bisa pasrah

dan berserah diri kepada-Nya. Mungkin ini semua sudah yang terbaik kepadaku. Sekitar

2 menit lebih aku sudah berdiri di tepi persimpangan jalan itu, menunggu taksi yang tak

kunjung datang dan hal itu membuat kakiku sedikit lelah dan penat seakan mengajakku

untuk beristirahat sejenak.

Aku mencari tempat duduk di sekitar sana dan ternyata di sebelah timur terdapat

balkon kecil dan cukup untuk tempat duduk dua orang. Aku dudk di balkon itu untuk

menghilangkan rasa penat dan pandanganku tetap terpaku mengawasi jalan rasa pedesaan

itu. Angin sejuk itu menembus kerudung pink rabbani yang aku pakai untuk menutupi

auratku dan kepalaku terbang terbang begitu saja.

Aku mencoba untuk menepisnya, namun entahlah anginnya sangat kencang pagi

itu sehingga aku pun tak kuasa untuk menepisnya. “Adek mau kemana?’ tanya ibu itu

menyadarkanku dari kegelisahan akan angin itu. “saya mau ke Pamekasan ibu. Ibu sendiri

mau kemana?. Jawabku serta melontarkan pertanyaan yang sama kepadanya. “Ibu mau

ke Rumah Sakit nak. Oh iya itu tadi suamimu ya?. Pertanyaan yang mengkagetkan diriku

dan membuatku bergumam di dalam hati, “Ha? Aku? Suamiku?. Apa wajahku wajah

anak yang sudah cukup untuk menikah? Bukankah wajahku masih unyu? Oh my GOD,

kok bisa ya???. “Ehemmm,.. hehehe bukan ibu, dia kakak kandungku. Saya belum

menikah kok.” Jawabku dengan jelas dan mendetail. Ibu itu hanya merespone dengan di

sertai satu kali anggukan kepala yang berarti dia mempercayainya.


Tiiit... titiiiiit... tiiiiit.... bunyi klakson taksi itu membuyarkan lamunanku. Entah

apa yang aku pikirkan waktu itu yang pasti pertanyaan ibu tadi itu sedikit menggangu

pikiranku. “Dek, hayo taksinya sudah datang.” Ajak ibunya dengan wajah tersenyum

tanpa rasa bersalah sedikitpun. Mungki ini hal sepele namun aku mikirnya terlalu serius.

“Oh iya bu, mari silahkan.” Jawabku kepadanya.

Sambil menunggu ibu itu menaiki taksi itu, aku melihat isi penumpangnya penuh

atau tidak, ternyata tempat duduk bagian belakang belum terisi dan bisa di kami tempati

berdua, lumayanlah luas tidak begitu sempit. Di tengah tengah perjalanan itu, aku sempat

berpikir akan keberanian diriku, taksi sendirian tanpa di temani satupun kawan dan itu

membuatku bangga tapi aku langsung menepis pikiran itu karena aku di kagetkan dari

dorongan keras ibu ibu yang aru menaiki taksi itu dan memintaku untuk menggeser

sedikit dan dia mulai menggatikan tempat dudukku yang nyaman itu.

Awalnya aku jengkel banget waktu itu, namun aku tiba tiba ingat pada ayat

alquran yang berbunyi “‫ ”فصبر الجميل‬yang artinya “Orang sabar itu cantik”, aku mencoba

untuk membenarkannya di dalam hati seraya bergumam “Oh iya ya, kan aku ingin cantik,

jadi aku harus sabar dong. Sabar... Sabar...” ucapku sambil mengelus ngelus dada di sertai

dengan tarikan napas sedikit dan mengeluarkannya. Lumayanlah melegakan hati.

“Alahmdulilllah ya Allah, akhirnya aku bisa jalan jalan ke Surabaya bersama mbak Sofi.

Terima kasih wahai dzat yang maha Rahim telah mengabulkan keinginanku. Semoga

semua ini tidak terlepas dari berkah dan perlindunganMu. Amin” ucapku seraya

tersenyum ke luar jendela taksi itu.


“Neng, mau turun dimana?” tanya abang kernet itu kepdaku. “oh ini sudah di

pamekasan ya bang?, saya turun di Golden Sweet saja dekat terminal lama.” Ungkapku

kepada abang kernet itu. Tak lama kemudian abang kernet itu memberi aba aba untuk

berhenti kepada akang supir itu. “Kiri, kiri, kiri, kiri stop.” Sambil membuka separuh

pintu mobil taksi itu dengan kaki yang bergelantungan diatasnya tanpa rasa takut ia segera

turun dari pintu yang sedari tadi terbuka. “Nemg, sudah sampai.” Tegasnya kepadaku.

“Berapa bang?.” Tanyaku seraya meraba dan mengambil dompet kecil di tas pinky

kesayanganku itu. “5.000 cukup neng.” Jawabnya. Aku memberikan ongkos taksinya

dengan segera, karena sang supir sudah keburu untuk meningalkan tempat

pemberhentianku itu. “Baik kang, terima kasih banyak atuh.” Jelasku padanya. Tanpa

menjawab ucapan terima kasihku itu, si Abang kernet langsung menaiki taksi itu

bergelantungan lagi ke pintunya dan melakukan hal seperti semula sebelum aku turun

dari taksi itu.

Setelah turun dari taksi, tepat pukul 09.00 pagi saya sampai di Pamekasan dan

segera menyebrangi jalan menuju mall di seberang jalan. Sambil meletakkan handphone

di telinga yang sedang mnghubungi mbak Sofi memberitahukan kalo saya sudah sampai.

Namun entah kenapa pagi itu matahari begitu menyengat sekali sehingga ku harus

berteduh di bawah pohon dekat dengan bapak bapak tukang ojek Bentor (Becak Motor)

yang mana mereka semua pada menawarkan diri untuk mengantar saya ketempat tujuan.

“Neng, neng berkerudung pink, mau kemana atuh? Hayo bapak antarkan ke tempat tujuan,

panas sekali sekarang neng, gak baik buat kulit neng nanti. Hayo naik ke bentor bapak?.”

Aduh ampun banget deh waktu itu, “iya Pak, terima kasih. Maaf deh, saya gak mau naik

bentor, saya disini lagi tungguin kawan saya mau pergi ke Surabaya.” Jelasku kepada

bapak bentor yang menawarkan tadi. “owalah, ok dah neng, maaf sudah mengganggu.”

Jelasnya dan beranjak pergi meninggalkan aku bersama teman-temannya.


Sesaat kemudian, mbak Sofi sms aku. Dia bilang kalau dia baru keluar dari

wilayah Pedepokan menuju terminal Pamekasan. Jarak dari Pedepokan Pamekasan ke

terminal Pamekasan lumayan jauh dan membutuhkan waktu yang cukup lama untuk

ditempuh. Sehingga aku memutuskan untuk memasuki terminal itu sambil jalan kaki

sendirian. Di dalam terminal itu tidak seramai yang aku duga.

Ketika aku mulai memasuki gerbang terminal itu, terdapat 3 penjaga polisi

keamanan yang sedari tadi duduk santai sambil mengawasi para konduktur bus yang silih

berganti mondar mandir keluar masuk terminal. Aku mulai memberanikan diri berjalan

sendirian di depan para polisi keamanan di depan kantor dengan memasang wajah

percaya diri bagaikan seseorang yang sudah berpengalaman dan sering keluar masuk

terminal Pamenkasan.

Akupun semakin mempercepat langkahku ketika aku telah melewati separuh dari

terminal itu. Eh ternyata, di tengah pojok terminal terdapat warung kecil yang sedang

melayani pembelinya. Astaghfirullahiladzim, tiba tiba muncul tanda tanya besar di

pikiranku mengenai warung yang buka di bulan Ramadhan. “Kenapa di perbolehkan oleh

petugas keamanan yang menjaga disana.” “Ah sudahlahlah, mungkin mereka melayani

buat ana- anak kecil atau penumpang yang baru selesai dari perjalanan jauh jadi kan

mereka gak puasa.” Tegasku lagi. Aku mulai mengalihkan perhatianku dari warung itu

menuju tempat tunggu terminal. Aku menuju ke sana, sepi sekali. Mungkin karena bulan

puasa yang mudik atau yang melakukan perjalanan hanya minoritas saja.

Entahlah, apapun itu, aku sekarang hanya memikirkan bagaimana perjalanan nanti,

dan aku mau beli apa saja di sana. sedari duduk santai aku mengambil headset dan

mendengarkan lagu dengan santai di sana sambil memperhatika sepeda motor yang baru

datang, menunggu mbak Sofi khawatir dia tidak melihatku.


Tiga puluh menit lebih enam koma lima detik aku telah menunggu mbak sofi akan

tetapi dia tak kunjung datang. Aku mencoba menghubunginya kembali akan tetapi dia

tidak mengangkatnya. Jam sudah menunjukkan ke pukul 10.00 dan matahari semakin

memancarkan sinar ganasnya yang sangat panas sekali. Banyak orang lalu lalang

berlarian menuju tempat tunggu berjejer dengan cat berwarna biru tua yang sedang aku

duduki sendirian di tempat duduk panjang itu. Sesaat kmeudian, aku merasa ada

seseorang yang sedang mengawasiku dari jauh.

Aku tidak mengerti kenapa dan mengapa dia mengawasiku, lebih tepatnya aku

merasakannya. Karena aku penasaran siapa gerangan itu, aku coba menoleh

kebelakangku, ternyata terdapat sosok lelaki muda berpakaian ala preman pasar dengan

rambut di cat tiga warna; biru, kuning langsat dan merah dengan model rambut ala

mocong ke atas dan celana jeans bolong bolong yang dilengkapi dengan aksesoris rantai

melingkar di daerah lututnya.

Tubuhku mulai merinding melihatnya dan perasaan was was mulai mengahantui

diriku ini. Aku mulai memasuki satu persatu handphone kecil dan android yang sedari

tadi aku pegang untuk mendengarkan musik dan handphone kecil satunya menunggu

telephone dari mbak Sofi yang tak kunjung sampai di terminal. Setela aku memasuki

semua handphonku satu persatu beserta headsetnya, aku pun menutup seleret tasku

dengan berhati-hati sekali dan aku pegang tasku erat sekali. Beberapa saat kemudian, aku

mulai menoleh kebelakang lagi untuk memastikan lelaki aneh itu sudak tidak

mengawasiku lagi dan aku berharap dia sudah menghilang jauh dari terminal itu. Ternyata

dia sudah tidak ada. Sesaat kemudian ada sosok seseorang dari belakang menuju tempat

dudukku. Dan benar ternyata...

“Hi.. apakah kau sedang mencariku,” sentaknya mengkagetkan aku. Mataku

langsung membelalak kaget tak karuan. Jantungku berdegup kencang sekali seakan mau
copot dan aku pun tak bisa menggerakkan kakiku menoleh kebelakangpun aku tak bisa.

Dan kubiarkan itu semua berlalu. Namun aku tetap tak berani menengok ke belakang,

yang pasti dia perempuan. Gumanku dalam hati. Tiba tiba aku kembali teringat akan

seseorang yang aku tunggu,

“Ha.. Mbak Sofi??? Akupun langsung menoleh kebelakang dan ternyata itu dia.

“Allahu Akbar, kenapa kau mengakgetkanku. Memangnya tidak ada cara lain yah untuk

menyapa selain dengan cara seperti ini?” ujarku dengan nada sebal dan marah. “hehhe,

sorry...yup. aku niatnya mau memberi surprise saja , biar ada kaget kagetnya gitu.

Wkwkwk” ucapnya dia sambil cengegesan.

“Aduh mbak, kamu tambah cakep saja.” Pujiku kepadanya.

“Iyakah? Perasaan enggak deh. Kamu aja mungkin yang lebay qiqiqi..”

“Enggak mmbak aku beneran, kamu tambah gemuk, dari sebelumnya.”

“iya tau, yang sudah sekian lama tidak bertemu dan menyimpan rindu dalam,

makanya seperti ini nih reaksinya. Lebay!!!.” Ujarnya lagi sambil tersenyum sinis.

“ya sudah mbak, hayo kita cari bus.”

“Okelah hayo kita kesana.” Sambil menunjukkan jarinya ke arah sebelah barat

tempat barisan bus bus yang sedang menunggu para penumpang datang.

“ Dek, kita ikut bus ini saja ya,.” Sambil menunjuk ke bus mini berwarna biru

“Ok mbak. Wah kebetulan tuh kursi depan kosong. Kita di depan aja ya..” jawabku

“Boleh...”

Perjalanan dari Pamekasan ke Bangkalan memang menghabiskan waktu yang

relatif cukup lama dan melelahkan. Sehingga ketika kita sudah sampai di daerah kamal
tepatnya di pertigaan kampus kami UTM (universitas Trunojoyo Madura) kami

merasakan lelah dan penat yang begitu mengkoyak koyak tubuh kami.

Wajah lusuh dan kusam terpancar dari wajah kami disertai dengan cuaca yang

sangat panas sang matahari membuat kami serasa begitu tidak memiliki energi lagi untuk

berjalan menunggu jemputan dari kawan kami. Sambil menahan beban tas berat di

pundakku aku mencoba berjalan tertatih tatih sedikit demi sedikit sambil mengumpulkan

separuh energi dalam tubuh yang telah terkuras dalam perjalanan mencoba aku

kumpulkan kembali untuk memberikan kekuatan untuk berjalan dan melanjutkan

perjalanan tersebut. Tiba tiba ada seseorang yang memannggil kami dengan teriakan

cukuo keras dan lantang...

“Neng, bentor neng?” teriak lelaki tua separuh baya itu kepada kami sambil

menunjukkna bentornya.

“Oh, tidak usah pak, kami di jemput teman” jawabku sedari duduk di emperan

samping jalan di bawah pohon kersen yang rindang mencoba bersembunyi dari sinar

matahari.

Bapak itu tidak bersuara lagi ketika kai telah menjelaskan bahwa kami sedang

tidak membutuhkan jasanya beliau. Mereka kembali melanjutkan percakapan mereka si

emperan jalan tersebut di bawah sebuah gazebo kecil yang tak lain adalah pangkalan

bentor yang telah disediakan di sana. Sesekali saya mendengar percakapan di antara

mereka.

” Kemana ya para Mahasisiwa kok pada sepi hari ini.” Jelasnya.

“Ya iyalah sepi, sekarang kan mahasiswa pada pulang semua cang. Jadi wajarlah.”

Jelasnya bentor oleh salah satu bapak bentor yang juga nongkrong di sana.

“Jika samapai sore tidak ada penumpang, aku pulang.” Respon bapabentor satunya.
Tidak lama kemudian, suara tawa terbahak bahak mulai memenuhi pangkalan

bentor itu. Kami yang sedari tadi hanya diam sambil melihat ke arah timur menunggu

teman kami yang akan menjemput, juga ikut tertawa, terbawa suasana yang ada di sana.

Entah apa yang membuat mereka tertawa disana akupun tak tau. Lebih jelasnya aku juga

ikut bahagia mendengar cekikikan mereka semua.

“Halo, Assalamualaikum nur kamu ada di mana?” ucap mbak Sofi lewat

telephone gengamnya sambil memegang dedaunan yang jatuh dan mengukir ukirnya ke

dalam tumpukan debu di seberang jalan yang kami duduki.

“Oke nur, kita tunggu di bawah pohon kersen ya. GPL (GAK Pakai Lama) ya nyah 1..”

ledeknya dengan nada sinis mengalir di telephone genggam itu sebelum dia menutup

telephonenya. Aku cukup mengerti rasa lelah dan letih yang sedang menggeluti jiwa dan

raga kami di siang hari itu.

Satu menit berlalu, dan akhirnya yang kita tunggu tunggu mulai dari tadiakhirnya

akhirnya datang juga. Bunyian klakson sepeda motor itu seakan menyirih wajah kami

yang awalnya kusut murung ketih, menjadi berbinar binar seakan bercahaya. Itulah

kehebatan klakson sepeda motor itu pada waktu.

“Tittttt... ttiiiiiiiit... titiiit...” sambil tersenyum seseorang itu membawa sepeda

mototrnya mendekati tempat kami beristirahat sedari tadi. Akan tetapi, tiba-tiba ada hal

aneh yang terjadi. Ternyata yang menjemput kami itu buaknlah seseorang yang sedari

kami teelphone akan tetapi orang lain wanita lain. Keterkejutan itu bukan hanya

dirasakan oleh ku akan tetapi juga dirasakan oleh mbak sofi. Dengan rasa penasaran yang

mengelabuhi pikiran kami, pada akhirnya mbak Sofi pun yang melontarkan sebuah

pertanyaan kepada wanita itu.

1
Nyah adalah tante dan terkadang itu juga bisa di gunakan untuk menmanggil teman dekat kita dengan
panggilan tersebut. Dengann kata lain itu adalah panggilan kesayang terhadap seorang teman.
“Adek, kenapa kamu yang jemput kami kesini? Maksud kami, si Nur mana?

Bukankah dia yang akan menjemput kami ke sini?” Tanya mbak sofi dengan ekspresi

ragu terlukis di wajahnya.

“Oh iya mbak. Mbak Nur yang menyuruhku untuk menjemput kalian disini. Kuci

sepeda motor mbak Nur hilang. Akhirnya dia menyuruhku untuk menjemput kalian

disini.” Jelasnya kepada kami dengan wajah tersenyum.

“Owalah, kokk bisa ya.. ok dah. Hayo kita berangkat. Nanti kita makin gosong

berjemur disisni.” Ujar mbak Sofi dengan canda tawanya.

Kita mulai menaiki sepeda itu. Aku duduk di bagian tengah dan mbak Sofi di

belakangku. Akhirnya kami sampai dengan selamat di tempat tujuan pertama yaitu

menginap semalam di kos teman. Sesampainya disana, aku langsung istirahat siang

sebentar bersama mbak Sofi dan berencana untuk pergi ke kampus dengan menggunakan

sepeda ontel bersama sama untuk memburu wifi disana. Itulah kebiasaan yang kami

lakukan ketika kami sedang mengalami krisis paketan internet.

Sore itu udara sangatlah bersahabat sekali dengan kami. Tidak ada sesuatu yang

lebih menyenangkan dari apa yang kita lakukan dalam kebersamaan kita kecuali tertawa

riang sambil menaiki sepeda ontel bersama sama. Aku dan mbak Sofi memiliki sedikit

kesamaan. Kami berdua suka hunting picture2 dan juga pergi ke beberapa tempat yang

memiliki panorama indah dan yang alami. Tak jarang bagi kita untuk menghabiskan

waktu seperti itu, apalagi bermain kebut kebutan di jalan raya kamous sambil tertawa dan

memainkan bel sepeda kami masing=masing.

“kring.. kring... kring...” itulah bunyi yang sangat kita populerkan sampai saat ini.

Canda tawa terlepas di saat kita bermain bersama. Malam akhirnya pun tiba dan fajarpun

2
Hobi berfoto dan mengabadikan di setiap moment yang kami lakukan.
tak terasa telah muncul tanpa aba-aba. Pagi itu cahaya sangat mengusik kesibukanku. Aku

yang sedari tadi malam sibuk menyusun berkas-berkas abstrak lomba jurnal dari Institute

Bahasa. Namun aku tak kuat menahan kembab hitam di mata, kantung mataku seakan

penuh dengan air ketika aku mulai menguap.

Yah begitulah sebabnya aku telat mengirimkannya tadi malam dan hari deadline

pengumpulan. Selain itu, paketanku juga tidak penuh dan tak bisa untuk mengirimkannya

di kosan puteri tempat penginapanku. Di waktu subuh, ketika sang fajar belum

menghilangkan sinarnya, aku dan mbak sofi keluar bersama menggendarai sepeda ontel

melaju bersama sampai di depan Audit dekat ATM bersama. Aku sembari duduk

menikmati jaringan wifi di pelataran gedung itu sambil menyaksikan lengsernya sang

fajar di sela-sela awan malam itu menjadi cahaya terang gemilang dan sang matahari siap

untuk melaksanakan tugasnya.

Asyik sekali pagi itu. Tiga puluh menit berlalu, kicauan burung di setiap dahan

pohon itu seakan sedang menyaksikan kesibukan kita di sana. hembusan udara pagi sejuk

itu mulai menyeruak penuh lubang hidungku dan membuat perutku berbunyi

“kryekkk..kryekk..” bunyi itu sedikit mengusik perjalananku menuju kosan itu tapi

kegembiraanku menghilangkan segalanya. Ahh sungguh menyenangkan sekali pagi itu.

“Dek, kamu mandi duluan ya. Saya masih mau memotong rambut teh Lia di kosan

sebelah.” Ucap mbak sofi sambil menaruh sepeda berwarna pink yang kami pinjam di

pelataran kosnya.

“Oke, tapi Lulu masih mau sarapan dulu mbak, mbak Nur menyuruhku untuk

menghabiskan sisa makanan sahur tadi pagi.” ucapku kepadanya.


“Iya, sana cepetan masuk keburu matahari terbit” jawabnya dengan mengetok-

ketok pintu kost teh Lia.

Setelah sampai di depan kost, seperti biasa aku melepas sandalku dan langsung

menuju ruang dapur untuk mengambil sisa kudapan lezat tadi malam sembari memasak

sebuah mie instant pemberian mbak Sofi yang tidak sempat untuk dimakan ketika sahur

tadi pagi.

Aroma lezat mie instant itu sangatlah menggiurkan. Tak berpikir lama, aku

langsung menyantapnya dengan lahap. Lumayan mengisi perut yang sedari tadi

keroncongan karena dikuras setelah jalan-jalan menggunakan ontel bersama. Nikmat

lezat serta mienya tersa lembut sekali di mulut. Mie dan nasi jagung itu pun sudah habis,

akupun merasa haus sekali. Sehingga ak beranjak dari tempat dudukku tadi mengambil

sebuah mug kecil berwarna pink yang aku tersimpan rapi ditempat perabotan dapur dan

membawanya menuju sebuah galon. Aku sodorkan sebuah mug kecil pink itu ke bibir

galon dan mulai memutarnya perlahan. Setengah air mulai mengisi ke sela-sela ruang

kosong mug itu dan memenuhinya. Akupun segera berhenti memutanya dan mencari

tempat untuk duduk serta mulai meneguk air di dalam mug itu perlahan. Alhamdulillah

terasa segar dan menyegarkan sekali. Melegakan.

Akupun langsung pergi ke kamar mengambil sebuah handuk kecil berwarna pink

dan membawanya ke kamar mandi. Udara di pagi itu sangatlah dingin sekali. Sesekali

aku menggigil ketika aku tumpahkan sebuah gayung kecil berwarna hijau lumut yang

berisi air penuh itu ke bagian kakiku terlebih dahulu. Menyiram kaki terlebih dahulu

ketika akan mandi menrupakan salah satu sunnah Rosulullah SAW yang memang

dianjurkan untukk dipraktekan ketika kita mandi. Ahli kesehatan juga menjelaskan

manfaat yang di hasilkan oleh metode tersebut adalah menghilangkan efek shock di tubuh

yang di hasilkan dari dinginnya air yang mulai mebalut dan menyentuh tubuh kita secara
tiba-tiba. Sungguh segar sekali mandi di waktu subuh itu. Laksana membangunan sang

semangat dan kekuatan yang bersembunyi dalam tubuh serta merilekskan otak yang

sedari semalam digunakan untuk melakukan beberapa aktifitas yang melelahkan dan tidur.

“Dek luk?” suara keras mbak Sofi mulai memenuhi isi kost itu.

“Iya mbak? Aku di kamar mandi. Ucapku sambil menggosok gigiku yang masih

penuh dengan buih busa di mulut.

“Ok. Cepetan ya dek. Sudah jam enam kurang tiga puluh lima menit” ucapnya

seraya menaiki tangga kamarku itu.

“Iya, iya. Aku hampir selesai kok. Tinggal mengambil wudhu sebentar” balasku

dengan mengambil sebuah handuk pink yang sedari tadi aku menggnatungnya di

gantungan baju kamar mandi.

Beberapa menit kemudian, akupun keluar dari kamar mandi itu dan mulai

menyusul mabak sofi ke kamar. Aku lihat bak sofi sedang menggosok sebuah baju batik

berwarna oranye tua dengan di hiasi buanga bunga berwarna putih dan hitam yang indah

serta memnuhi kain oranye tersebut. Seperti ciri khas batik Indonesia.

“Mbak Sofi! Hayo mandi sana. Aku sudah selesai. Ucapku sambil mencolek

lengannya yang sedari tadi bergoyang goyang menggosok pakaiannya.

“Owalah, kamu sudah selesai mandinya. Ini kalau kamu mau menyetrika

pakaianmu!” sembari menyodorkan sebuah besi kecil dengan di lapisi alumunium

berwarna biru di atasnya yang di lengkapi dengan besi panas serta sebuah colokan kecil

yang menyatu dengannya. Dengan dilengkapi sebuah parfum pelicin pakaina kisprey

yang sedari di gunakannya.

“Ok thank you” ucapku dengan sekilas senyuman manis di wajah.


Mbak Sofi dengan segera menuju kamar mandi. Akupun mulai mengambil baju

musliah jubah levis terdapat motif corak bunga berwarna dongker dan putih

mengkombinasikan warna cocok di dalamya dan aku bentankan diatas kain selimut yang

memang telah di siapkan sedari tadi untuk alas baju setrika. Kerudung rabbani pink tak

lupa juga aku menggosoknya denga semprotan parfum kisprey yang semerbak anggun

aromanya semakin menambah perasaan gembiraku pagi itu.

Sesaat kemudian akupun mulai menempelkan kain itu ketubuhku. Setelah itu

waktunya berhias. Aku mengambil pelembab pagi wardah dari tas berwarna cokelat dan

abu-abu yang di berikan pamank ketika aku masih SMA. Aku memencetnya dan

menempelkanya membentuk sebuah bintik bintik kecil yang memenuhi wajahku dan

mulai mengusapnya dengan lembut. Setelah fondation wardah itu sudah selesai, aku

mulai mengambil bedak padat yang dua minggu yang lalu aku membelinya bersama

ibuku di mall Golden sweet kota Pamekasan-Madura. Di tambahkan dengan hiasan hitam

sedikit di bawah mata akupun siap berangkat dengan disertai peutup khas kepala balutan

kain rabbani pink di kepala.

“Mbak sofi... I’m ready to go”3 teriakku dengan menuruni anak tangga kost puteri

itu.

“Okay, come on go”4 bala mbak sofi dengan teriakn yang lebih lemut yang keluar

dari mulutku kepadanya.

“Persyaratannya sudah kamu masukkan semua ke dalam tasmu?” tanyaku dengan

sopan.

3
Mbak Sofi, saya sudah siap berangkat
4
Baiklah, hayo berangkat
“sepertinya sudah dek. Bentar saya cek lagi!” membuka retsliting tas gendongnya

kembali sembari mengecek persyaratan dan peralatannya yang di perlukan.

“Oh iya dek, mbak minta nomer kamu ya.buat pesan grab car nanti” pintanya

dengan tenang.

“siip beres boss!!!” balasku seraya ketawa lucu bak menggodanya

“Ya sudah. Hayo berangkat Bismillah!!” sembari mengangkat tas hijaunya yang

bertuliskan semangat dan meletakkan di bahunya.

Kamipun berpamitan kepada tiga orang ukhti yang masih berada di kossan itu

termasuk mbaknur.

“Oke. Hati-hati ya..” ucapnya dengan tulus.

“Eh dek Luk! Kamu jangan nakal nakal ya di Surabaya” perintah dia sembari di

ikuti dengan wajah melotot yang kemudian disusul dengan ketawa genit di wajahnya.

Tak lama kemudian, suara klakson sepeda motor dan teriakan itu menyelessaikan

canda tawa kita di kost an itu.

“Hayo berangkat. Ntar di tinngal sang kapal nahkoda loh di pelabuhan tercinta”

teriak teh dila di luar kost puteri itu.

“Aha! Oke hayo mbak Nur!” jelasku.

“Assalamualaikum!” ucap mbak sofi sambil melambaikan tangannya dan

menutup pagar besi berwarna putih yang sudah mulai berkarat berwarna hitam

kecokelatan.

“Eh dek Luk! Jangan lupa oleh olehnya ya. Kalau kamu tidak membawa oleh-

oleh ketika balik, kamu tidak boleh tidur di kostan ini!” sambatnya dengan wajah sinis

nan cekikikan aneh dari nya.


“Ehem.. bodo amat! Tak bawain kerikil Surabaya dah” balasku di sertai lidah

melet-melet kepadanya.

Mbak Nur memang sangat akrab denganku. Kami kenal dekat dari organisasi

keislamanku. “Al Azzam” di kampus. Dia yang memiliki sebutan nanma Nur Hasanah

itu memliki karakteristik, asyik, baik, religious dan juga jutek. Dia juga orangnya baik

suka membantu tapi gak suka dibantu. Yah itulah sifatnya dia. Sifat yang membuat kami

menyanyanginya.

Mbak Dila mulai menancapkan gasnya dengan sangat cepat. Semburan angin

dingin dan tiupan udara sejuk menjadi selimut di dalam perjalan kami menuju pelabuhan

Kamal, yang biasa di sebut sebagai “Bahari Kamal”. Di setiap perjalan menuju Pelabuhan,

aku perhatikan jalanan tidak begitu ramai. Pagi itu sebagian orang masih menepis

tidurnya atau menyiapak sarapan lezat buat keluarganya. Akupun tidak meliha tanak anak

sekolah memenuhi jalanan kamal itu. Sesaat kemudian, aku melihat ke arah mbak Sofi

yang sedari tadi diam di perjalanan.

“Mbak, kerudungmu! Sedikit miring kena tiupan angin” ucapku kepadanya

dengan mengulurkan jari telunjuk kananku ke kerudungya.

“ Oh iya, punya kamu juga. wkwkwkkwk” balasnya sembari tersenyum kepadaku.

Kami tidak bisa merapikan kerudung kami di atas sepeda motor yang sedang

melaju itu. Karena mskipun kami telah mencoba memperbaiki, kerudung kamipun rusak

kembali. Hal itu disebabkan oleh hembusan angin kencang di setiap perjalanan.

Sesaat kemudian kami tiba di pelabuhan kamal. Ini merupakan hari kedua kalinya

aku menginjakkan kaki di pelabuhan ini. Walaupun aku penduduk asli Madura, namun

aku jarang menggunakan jasa kapal pelayar untuk menyebrangi lautan. Begitu senangnya

diriku saat itu. Mbak dila segera membawa kami menuju loket pembelian tiket yang
seharga 5000 tiap lembarnya. Setelah administrasi selesai dia langsung membawa kami

berdua menuju ke sebuah pohon rindang dekat lokasi kapal itu mulai berlabu.

Jam enam lewat empat puluh lima menit, kami tiba di sana. Banyak sekali orang-

orang yang berminat menggunakan jasanya di pagi itu. Udara pagi semakin indah ketika

kami mulai menapakkan kaiki di tanahnya. Desiran ombak biru nan kelabu menghantui

semilir angin sejuk memenuhi kebahagiaan jiwaku.

“Wah, ternyata kapalnya masih belum datang mbak sof” ucap bak Dila sambil

melihat keadaan di lautan itu.

“Iya dek dil, masih belum ada. Ya suda kita tunggu disini dulu ya” balas mbak

sofi sambil mengajak kami duduk menunggu di sebuah got dibawah pohon rindang itu

dekat laut.

Fabiayyi Ala irobikuma tukadziban...suasana pagi itu sungguh berbeda dari hari

sebelumnya. Aku pun tersenyum menyaksikan sang matahari baru muncul dari orbit

persembunyiannya. Cahaya itu terpancar terang tertuju ke sudut arahku duduk. Terlukis

sinar emas di bagian depan kerudung pink yang sedari tadi aku memakainya. Aku pun

terusik akan kesialuan cahaya itu. Sedikit aku mulai mengernyitkan dahiku dan

mensipitkan mataku menahan arus cahaya gemilang indah itu.

Sesaat kemudian, lamunan indah itu buyar oleh sentuhan colekan jari telunjuk di

tangan kananku.

“Dek Luk! Kapalnya sudah datang. Mbak balik duluan ya.” Sapanya kepadaku.

Dengan gengaman erat tangannya yang masih melekat erat di tanganku.

“Oh iya mbak. Sudah datang? Ok. Hati hati ya. Terima kasih mbak” balasku dan

sedikit menggodanya dengan gelitikan nakal dari jemariku yang masih aku genggam di

dalamnya.
“Hehe.. iya dek sama-sama” sambil ketawa kecil dia merasa geli dengan sentuhan

jemai nakalku di tangganya itu.

“Mbak sof, aku balik ya” sapanya ke mbak sofi

“Iya, dek jazakillah” ucap mbak sofi seraya melontarkan sebuah doa kepadanya

“Amin” balas mbak dela di atas sepeda motornya yang sudah siap melaju keluar

dari lokasi pelabuhan kamal itu.

Setelah menyaksikan kepergian mbak Dila, kami pun langsung beranjak dari

tempat duduk pergi menuju lokasi kapal itu. Tak sedikit penumpang yang hanya

membawa tas gendong seperti kami. Ternyata sebagian dari mereka baru mudik menuju

kampung halamannya. Dan tak sedikit pula ibu ibu yang pergi dengan urusan bisnisnya.

Beraneka ragam penumpang di pelataran kapal itu.

Kami pun segera memasukinya. Sebelum memasukinya seperti biasa sudah ada

bapak yang berpakaian dinas polisi berwarna putih yang mencheck tiket kami dan

merobek separuh kertasnya serta memberikan separu robeka itu kepada kami. Itu

merupakan tanda kalaukami sudah boleh masuk dan menaiki kapal itu.

Aku dan mbak sofi langsung naik menuju lantai 3. Sungguh indah bernuansa alam.

Di pagi cerah itu penumpang kebanyakna menggunakan kendaraan bermotor dan sedikit

yang menempati ruang tunggu penumpang yang bertempat di atas koridor tempat parkir

kendaraan. Aku dan mbak sofi mulai melakukan aksi kami. Mencari tempat duduk yang

merupakan tempat bertumpunya cahaya atahari di sana. Beberapa menit kemudian kami

menemukannya. Sunggu tak sulit untuk mencari wahana tempat yang cocok untuk acara

sesi pemotretan pribadi kami.

Di sudut tempat duduk yang berisi tiga rangkai tempat duduk berwarna putih itu.

kami mulai menyusun sebuah startegi pemotretan. Akupun mulai mengikuti alurnya.
Duduk tersenyum menatap sang mentari pagi sambil memegang sebuah nove kecil

berwarna hijau dengan judul “Flipped” ku gengam di tangan. Sesekali ckrek! Ckreck!

Ckreck! Ckreck! Menghiasi nuansa indah pagi itu. sedikit membuka rahasia sang

fotografer, keindahan gambar yang di tangkap tak semudah dari layang kaca tangan

merangkap.

Mbak sofi harus duduk di bawah kursi tanpa beralaskan sebuah lepih tikar di

bawahnya. Itulah pengrbana untuk menghasilkan hasil yang maksimal. Begitupun kami

melaukannya berkali-kali sampai kami merasa puas terhadap keelokan ukirannya.

Serasa sangat singkat sekali perjalanan kami berlabuh di atas air. Karena dari awal

kami mulai duduk sampai waktu kami beranjak selalu ada senyum alhamdulillah

mewarnai jwa kami,

Tuuutt....tuuuutttttt....tuuuuut...... bunyi terompet sang kapal pun terlepas. Para

penumpang yang sedari tadi berada di koridor atas mulai melekas tuk melepas semua

kepenatan yang telah menetas di kediaman tempat duduknya. Dentingan bunyi tanda besi

kare terkena pijakan kaki sang penumpang mulai melantunkan iramanya. Selain itu,

derungan dan gumpalan asap kendaran mulai menyeruak gendang telinga dan menghiasi

pencemaran di udara.

Akupun sedikit berpikir, “Sungguh kejam manusia terhadap alam. Alam diam

berhati tenang, menyinari keindahan dan kedamain untuk semua orang. Akan tetapi

seseorang melemparinya dengan asap kabut, kendaraan tercemar yang memberikan

warna hitam akan keindahan safari alam. Tak kuasa sungguh aku melihat sosok

kekejaman itu terjadi. Semoga diriku tidak termasuk dalam kategori itu Amin.”

Gumamku di dalam hati.


“Dek kamu pegang tangan mbak Sofi ya sebagai petunjuk arah jalan. Karena

mbak sofi sedang sibuk melihat hp memesan grab car perjalanan kita nanti menuju

Universitas Widya Mandala. Oke?” pinta mbak sofi kepadaku sembari mengulurkan

tangannya ke dalam jemari gengaman tanganku.

“Ok mbak. Siap!” balasku dengan penuh kepastian.

Gerbongan besi itu sedikit-sedikit mulai di turunkan, terbentang sebagai alat

jembatan sang kendaraan. Terkesima di dalam bentangan jalan besi, semua kendaraan

yang sedari tadi mendiamkan mesinnya mulai menyalakannya dan siap melanjutkan

perjalanan mereka selanjutnya. Seperti permintaan mbak Sofi kepadaku sebelumnya, aku

menjadi petunjuk jalan dia untuk keluar dari dalam kapal layar itu.akhirnya kami keluar

juga dan langsung menunggu di depan kantor pusat keamanan Bahari Kamal.

Menunggu itu sangatlah melelahkan. Di hempasan cahaya matahari yang tak

sesejuk di atas kapal itu, aku dan mbak sofi sedari tadi berdiri di depan kantor pusat sambil

memperhatikan plat nomer di setip kendaraan mobil yang berlaju. Lelah memang

perasaan yang mulai menggeluti tubuhku saat itu. Setelah setengah jam kami berdiri di

pertigaan jalan tol itu akhirnya mbak sofi bisa menyelesaikan permasalahan kami. Kami

hanya tinggal menunggu.

“Menunggu grab car itu seperti menunggu jodoh deh.” Ucapku dalam hati sambil

senyum-senyum sendirian di jalanan. Lama sekali kami harus menunggu di persimpangan

jalan itu. akhirnya mbak sofi mengajakku untuk menyabrangi jalan tol itu dan berjalan di

tengah-tengah jalan tol kamal. Sumpah, ini baru pertama kalinya aku jalan-jalan di tengah

jalan tol. Sambil berlarian pula. Namun sedikit menyenangkan lah.

Satu jam dari kami menunggu sang bapak Grab, akhirnya kami mendapatkan

telephone juga dari beliau dan memberikan intruksi kepada kami. Kami segera berlari
mengikuti alur arah intruksi itu dan mencari mobil yang dengan plat nomer L2xxxx. Di

tengah perjalanan kami terdapat bapak-bapak yang selalu memperhatikan kami berdua

dan memanggil-manggil kami tepat di depan kapolsek Surabaya. Kami merasa aneh, ada

apa dengan pemuda itu. kami tidak menghiraukannya dan membiarkan sahutan itu, seraya

berkata kepada mbak sofi.

“Mbak Sof, itu orang dari tadi ngikutin kita terus. Sambil tunjuk-tunjuk gitu.”

Ucapku kepada mbak Sofi dengann perasaan risau tanpa menghilangkan kefokusan

mencari plat nomer yang cocok sesuai yang telah di informasikanoleh bapak grab car tiga

menit yang lalu. “Ehem, nggak tau dek. Biarin saja!” jawab ,bak sofi dengan fokus juga.

Setelah sekian lama kita mencari plat nomer itu akhirnya kita menemukan juga di

ujung jalan kapolsek itu. Sungguh melegakan sekali waktu itu. Namun permasalahan

hadir kembali setelah itu. Mobil itu kosong tidak ada supirnya. “Allahu Akbar, kemana

kali nih bapak supir pergi” seruku dalam hati dengan perasaan kesal. Hampir lima belas

detik kami menunggu di samping mobil dengan plat nomer yang sama. Mbak Sofi mulai

menghubungi sang bapak tadi. Akhirnya mobil yang kamu sandarin sedari tadi akhirnya

berbunyi juga. Pastinya pemiliknya yang membunyikan dan berarti bapak supir itu sudah

ada. Akhirnya kami meanaiki mobil avanza berwarna silver itu.

Alangkah terkejutnya kami, ternyata sosok lelaki aneh yang sedari mengikuti

kami ternyata bapak supir grab car itu namun kami tidak paham akan maksudnya.

Akhirnya bapak supir itu memulai pembicaraan.

“Mau kemana mbak?” tanya beliau sambil menghidupkan mesinnya.

“Ke Universitas Widya Mandala pak” jawab mbak Sofi.

“Saya sedari tadi panggil-panggil mbaknya ini namun mbak tetap aja lari” ungkap

beliau dengan wajah sedikit kesal.


“Oh iya pak. Maaf kami tidak mengerti kalau itu bapak. Sampai teman saya bilang kepada

saya, Siapa itu orang kok panggil-panggil kita mbak?” jelas mbak sofi dengan sedetailnya.

“Owh gitu toh mbak. Jadi mbaknya tadi tidak tahu” ucap bapaknya sambil

menghidupkan aplikasi google map di hpnya menuju kampus Widya Mandala.

Mbak soffi dan bapaknya mengisi kesunyian di perjalanan dengan saling

menanyakan hal-hal yang lumrah untuk di tanyakan. Aku pun memutuskan untuk diam.

Akibat lelah yang tak beraturan sambil menahann rasa malu yang harus aku tutupi ketika

mengingat sang bapak tadi yang memanggil-manggil kami dijalanan. Hingga akhirnya,

kami sampai di tempat tujuan. Kampus Widya Mandala merupakan lokasi mbak sofi

mengikuti test TOEIC dalam rangka mengejar beasisiwa ke luar negeri.

Kami menanyakan ruang test annya. Ternyata kami harus jalan kaki sedikit lagi

menuju lab bahasa Widya Mandala. Di tengah perjalanan kami bertemu dengan

mahasiswi dan ibunya yang juga menuju kampus tersebut. Kami mengikuti arah mereka

dari belakang. Mungkin ibunya merasa bahwa ada seseorang di belakang. Sempat

terdapat percakapan kecil anatara kami bertiga.

“Mbaknya ikut test-an juga?” tanya ibunya sambil berjalan beriringan mengikuti

laju cepat anaknya berjalan.

“Iya bu” jelasku.

“Anak ibu juga ikut test?” tanya mbak sofi kepadanya.

“Iya, mari cepetan!” jawab ibunya sedari menyususl jalan anaknya yang semakin

jauh jaraknya dari beliau.

Setelah sampai di lab bahasa, kami langsung menaiki lift menuju lantai 6 lab

bahasa sesuai intruksi dari bapak satpam di lanatai 1 di tempat masuk. Sesampainya di

sana, banyak sekali para peserta test dari berbagai kampus yang mengikuti acara test-an
tersebut. Sesaat kemudian, semua peserta diharapkan untuk segera beranjak ke lantai 8

menuju ruang test annya. Mbak Sofi meninggalkan saya bersama ibu mahasiswi itu.

Karena di baluti rasa lelah dan bosan sedari tadi hanya duduk saja, akhirnya ibu

tersebut mengajak aku mencari musholla dan berniat menunggu di sana sambil

beristirahat. Kami turun ke lantai bawah kemudian menanyakan musholla kepada bapak

satpam yang sedari tadi berada di peintu masuk lantai pertama. Akhirnya beliau

mengatakan bahwa musholla ada di lantai 4 pojok. Setelah mendapatkan petunjuk itu,

kami segera menaiki lift lagi menuju lantai 4 dan mencari musholla. Akhirnya kami

menemukannya.

“Kok gelap ya mbak” tanya ibunya terhadapku.

“Sebentar ya bu, saya coba cari skakelnya dulu” jawabku sambil mencari arah

skakel lampu di ruangan itu.

Akhirnya kami menemukannya seketika ruangan gelap sempit itu berubah

menjadi terang indah dan unik. Iya benar sekali. Meskipun Widya Mandala merupakan

kampus katholik di Surabaya, namun musholla pun juga tidak kalah di perhatikan juga.

Lukisan gedung dan ukiran-ukiran tulisan arab menepel indah di dinding musholla itu.

Peralatan sholat pun tidak kalah lengkapnya dengan peralatan salat di masjid. Akhirnya

kami istirahat dan membaringkan tubuh kami di permadani indah musholla itu dengan

manja.

Kami pun mulai percakapan kami, banyak sekali percakapan yang kami lalui di

sela sela perbincangan kami. Sampai akhirnya ada satu topik pembicaraan yang menarik

dan itu bisa memotivasi kalian dalam perihal luar negeri & jodoh. Hal ini merupakan

sejarah perjalanan anaknya yang kuliah di UGM dan segenap titah hidupya kuliah di luar

negeri dan bersama jodohnya di sana.


“Iya mbak, saya punya dua orang anak. Anak yang pertama yang permepuan tadi

dan anak yang kedua laki-laki. Kalau anak saya yang perempuan tadi itu loh mbak rajinnn

sekali. Dia selalu belajar di kamarnya, tidak pernah membantu saya di dapur. Jadi kaalu

di tanya mengenai masak memasak mah dia tidak tahu sama sekali. Dia lulus kuliah

angkatan 2014 kemaren jurusan KIMIA. Suda tiga tahun dia bekerja di perusahaan apotek

Cina. Dan sekarang dia mau berhenti, dan mau fokus untuk melanjutkan kuliah S2 di

belanda. Ya.. meskipun ganjinya lumayan, 3 juta perbulan tapi dia ingin melanjtkan

kuliahnya dulu katanya. Dia sudah tiga kali mengikuti test ielts dan nilainya kurang

sedikit yang mau mencapai target yangbiayanya setiap satu test ielys itu 3 juta mbak. Dia

memang mau kuliah ke belanda sebelum bekerja.”

Sambil memperbaiki kerudungnya yang sedari tadi terlihat tidak beraturan karena

dia memakainya sambil tiduran memperbaikinya sebentar dan melanjutkan kembali

ceritanya.

“Ya namanya jodoh ya. Pasti” bertemuulah bagaimana pun caranya. Dia kan di

tanyakan sama temannya di tempat kerjanya itu mbak, kamu mau meneruskan S2

kemana? Dia bilang ke Belanda. Nah temannya punya kenalan atau temannya gitu kuliah

di Belanda, dan memberikan nomer telephonenya kepada anak saya. Awalnya anak saya

hanya mau tanya-tanya saja mengenai di sana. eh ternyata si cowok yang kuliah di

Belanda itu naksir anak saya dan sudah melamar anak saya kemaren. Orang tuanya datang

kerumah mbak (seraya berbisik kepadaku).” Jelas ibunya menceritakan secara detail

terhadapku.”
Setelah mendengar cerita tadi, aku jadi BAPER (Bawa Perasaan) di buatnya.

Dengan sedikit membayangkan jika aku seperti dia betapa bahagianya diri ini di buatnya.

“Ya Allah so sweet benar kisah cintanya” ucapku dalam hati penuh harap. Kemudian aku

merespon cerita ibu tadi. “Waduh.. enak banget itu mah bu. Jadi sudah ada yang

menunggu dong di Belanda!. SubhanaAllah...” seruku.

Ibunya tersenyum-senyum bahgia mendengarkan responku.saat itu. mungkin ibu

itu merasa ngga memiliki anak yang erprestasi dan memiliki memnantu yang pintar

sukses kuliah di luar negeri juga. ibu itu bertubuh tidak begitu tinggi dan sedikit gemuk.

Paras cantik di wajahnya tidak hilang dari silauan keriputnya. Ibu itu juga bercerita kalau

beliau juga berjualan kerudung pashmina instant seperti yang di gunakannya saat itu

dengan harga Rp.35.000.

Aku sangat tertarik mendengarnya. Ingin sekali aku membeli kerudung pashmina

instant seperti yang di gunakan kembaran model dengan anaknya. Tapi tak apalah

mensyukuri adanya itu lebih inda dari pada tidak sama sekali. Sesaat kemudian kami

mulai mengantuk dan terlelap sesaat. Ketika aku bangun, aku langsung melihat jam di

handphoneku ternyata sudah jam sebelas lewat lima belas menit. “sudah hampir dzuhur

nih,” gumamku dalam hati.

Aku mulai mengirimkan satu pesan kepada mbak sofi, memberitahukan bahwa

aku ada di musholla bawah. Sesaat kemudian ibu mahasiswi tadi mengajakku untuk

menunggu di lantai 6 tadi. Sebenarnya aku malas sekali dan aku merasa lebih enak tiduran

di sana. akan tetapi aku merasa tidak nyaman dengan ibunya jika aku menolak

permintaannya. Akupun menurutinya dan menaiki lift kembali menuju lantai 6.

Sesampainya di lantai 6,
“Mbak, kok masih sepi ya?” ucapnya kepadaku dan segera mencheck tas yang

berisi barang bawaannya di samping kursi tadi.

“Kurang tau bu mungkin belum selesai” jawabku dengan sedikit rasa ngantuk.

“Loh mbak, tas saya tidak ada. Kemana ya..?” ucapnya dengan wajah panik.

“Oh gini saja bu, mungkin kita tanyakan saja kepada cleaning service dan

karyawan disini saja” saya pun beranjak menuju kantor office karyawan itu.

“Mbak, lihat tas di samping kursi?” tanya sang ibu kepada salah satu karyawan

yang berada di dalam kantor itu.

“Iya bu. Diamankan petugas tadi takut hilang. Coba check di kantor sebelah!

Saran sang karayawan tadi sambil beranjak keluar membantu mencarikan tas ibu itu.

“Ini bu. Tasnya!” ucap sang petugas kebersihann itu sedari menyodorkan tas itu

dengan sopan.

“Oh iya, terima kasih nak!” ucap sang ibu dengan wajah lega, tenag penuh senyum.

Setelah itu, kami duduk-duduk kembali sembari menunggu mbak sofi keluar dari

lift lantai 6. Aku mencoba menelponnya namun tidak diangkat dan akhirnya aku biarkan

dia datang sendiri tanpa harus aku menghubungi. Rasa penat, lesu, kesal semuanya

menjadi satu dan ada pada diriku.

Entah rasa apa yang harus aku belenggu namun itulah saat ini yang aku rasa.

Detik demi detikpun berlalu, satu hal yang hanya bisa aku lakukan, yaitu menatap langit-

langit atap bertukar pikiran serta bercengkrama serasa lebih asyik dari pada menonton

terbukanya lift lantai 6 dengan tebuka wajah mbak sofi menjemputku untuk beranjak dari

tempat itu.

“Dek, dimana?” satu pesan dari mbk Sofi aku beruncula di layar hpku.
“Saya di lantai 6 mbak” balasku

”kau mbak tungu di lantai 1 ya” balas mbak sofi.

“Jangan deh. Aku sendirian ini menunggu kamu. Ibu tadi udah pulang dari tadi

aku sendirian di sini. Jemput saya dulu ya di lantai 6.” Balasku lagi.

“Oke! Tunggu disitu ya” akhirnya diapun menyetujuinya.

Aku tidak membalas lagi pesan chat dari mbak Sofi. Di kesendirian itu aku hanya

melamun. Mendengar sebuah ketukan lembut jarum jam. Beralaskan lembah sepi nan

sunyi. Semakin aku tunggu kedatangan mbak Sofi semakin gelisah diri ini. Hingga

akhirya aku biarkan semuanya berlalu menikmati aliran waktu. Tak kuasa aku

menahannya. Sosok seorang lelaki separuh baya yang mulai tadi duduk bersama aku

sedang menunggu anaknya juga mungkn, melihat kegelisahanku itu.

“Aduh mbak Sofi dimana yah” pikirku.

Karena sangking gugupnya aku, suara pemberitahuan lift berhenti. Seraya berkata

“Dek luk! Hayo...” mbak sofi berdiri di dalam lift itu sembari melambaikan

tangan kepadaku

“Dek kita shalat dulu. Ada musholla gak?” tanya mbak sofi.

“Di lantai 6 mbak” jawabku.

Setelah salat kami siap siap untuk pergi ke tujuan kedua, yaitu Periplus. Kami

berdua belum pernah ke Periplus. Ketika kami mulai memeriksa ongkos grab car dari
Universitas Widya Mandala menuju Periplus sangatlah mahal. Kami mulai enggah dan

memikir dua kali untuk menggunakan jasa grab car di siang hari itu.

Siang hari itu cuacanya tidak mendukung sama sekali. Kami pun mencoba untuk

berjalan kaki. Sungguh merupakan ujian kesabaran yang kami alami saat itu. Kami

menuju Periplus samil berjalan kaki, baterai hp pun lobet dan jaringan juga lemot.

Akhirnya kami terus melanjutkan perjalan kami kira kira menempuh 2 km. Hingga kami

memutuskan untuk duduk beristirahat sebentar di trotoar jalan karena menahan rasa penat.

Sungguh cuaca panas matahari yang sangat menyegat, polusi udara begitu menyeruak

hidung sesak bibir kering dahagapun menunggu tetesan air segar dari telaga biru.

Keringat seakan mulai menenggelamkan tubuh ini. Tak pernah aku menanyakan

mengapa hal ini terjadi Tuhan?. Namun aku hanya menuai sebuah harapan tuhn kapan ini

semua akan selesai?.

Di separuh perjalanan kami, kami pun melihat sebuah bangunan tepat untuk

berkonsultasi kuliah ke luar negeri. Kami sedikit tertaik melihat beberapa logo universitas

luar negeri terpampang jelas menggiurkan selera kami di sana.

“Mbak Sof..” panggilku seraya melirik-irik memberikan kode mataku ke gedung

itu.

“Mau coba tah?” tanya mbak Sofi kepadaku dengan wajah sedikit ragu tapi

menginginkanya.

“Hayo! Mbak masuk saja!” ajakku dengan wajah meyakinkan kepada beliau.

“Ok-lah. Hayo!” Mbak sofi mulai membuka pintu itu dan langsung berkonsultasi

tentang beasiswa yang di kejarnya. Kira-kira setengah jam berlalu dari konsultasi itu.

Lumayanlah sedikit menghilangkan rasa penat tubuhku yang sedari tadi berjalan kaki

tanpa henti menepaki tanah gersang terlentang semangat mendersang jiwa terbentang.
Semburan butiran salju dari AC di bilik kecil ruangan itu membuatku seakan menjadi

terbang ke awan-awan menari diantara butiran salju itu dan membuatku seakan ingin

menutup mata sebentar dan tertidur pulas. Namun suara mbak Sofi tiba-tiba membuat

netraku terbuka kembali dengan sedikit cahaya bercak merah dan kehitam-hitaman di

kantong mata.

Ruangan itu tidak begitu sempit dan tidak begitu lebar pula. Di ruangan itu

terdapat banyak beberapa buku brosur universitas di luar negeri termasuk universitas

yang aku incar selama ini. Tak ada satu hal pun yang tak membuat aku tak menyukai

ruangan itu. terdapat tiga komputer sesuai dengan adanya tiga konsutator yang siap

melayani orang orang yang mau mengutarakan keinginannya. Mereka semua sangat

ramah dalam menerima tamunya. Akupun begitu suka tempat itu. Akan tetapi

kelihatannya dia bukan orang Indonesia asli. Dia berwajah seperti wajah sang Cina.

“Hayo dek,” ucapnya.

“Oh sudah selesai?” tanyaku.

“Iya!” ucapnya.

“Ya sudah, hayo!” balasku.

Cuaca yang tidak berubah sebelumnya, sang matahari tetap masih setia menemani

kami. Seakan membuntuti perjalanan kami. Hingga akhirnya kami beristirahat sebentar

di samping bangunan besar MC. Donald yang kelihatannya sangatlah menggoda ketika

aku mulai melihat beberapa jenis gambar makanan yang terpampang di pintu gerbang itu.

Deruan cacing di perut seakan mulai mengkoyak-koyakkan diriku terlihat mereka

mengetahui tentang dimana dia berada sekarang. Hehehe sungguh aneh.

“Dek kita istirahat dulu ya di sini?” saran mbak Sofi.


“Iya mbak, Lulu’ mau ke bapak satpam itu dulu ya, mau menanyakan arah menuju

ke periplus menuju arah mana kita selanjutnya” ucapku kepada mbak Sofi meminta idzin

untuk beranjak pergi sebentar menuju bapak satpam yang sedang mengatur para tamu-

tamu yang datang ke restoran MC.Donald itu di seberang pinggir gerbang.

“Maaf pak, mau bertanya. Jalan menuju Periplus itu ke arah mana ya pak kalau

dari sini?” aku mulai mengutarakan permasalahan yang sedang membelenggu di otakku.

“Periplus Mall, atau periplus restoran ya?. Soalnya disini ada 2 Periplus” tanya

dia kembali dalam kebingungan untuk menuju ke kepastian.

Aku sedikit bingung awalnya, pada akhirnya aku mulai mengerti.

“Oh, ke mall pak. Iya! ke mall Periplus.” Jawabku dengan penuh keyakinan

sambil menggunakan jari telunjukku menunjuk-nunjuk dengan penuh kepastian,

“Iya mbak. Itu lumayan jauh. Kira-kira 1 jam kalau tidak macet. Soalnya kalau ke

Periplus mall rawan macet. Dan satu hal yang mengkagetkan aku adalah ketika bapak

satpam tadi itu menjelaskan arah yang berlawanan dan kita harus balik arah lagi.

“OH MY GOD” teriakku dalam hati.

“Owalah, jadi ini putar balik lagi ya pak?” ungkapku dengan perasaan yang

membuatku merasa menyesal.

“Iya mbak. Mending mbaknya memakai jasa grab car saja” saran bapak satpam

itu.

“Oh baik pak. Terima kasih sarannya” ucapku dan beranjak pergi dari tempat itu

menuju bak sofi yang sedari tadi sibuk memainkan hpnya berusaha untuk memesan grab

car online itu.


Aku segera berlarian menuju mbak Sofi yang duduk di emperan taman dekat

restoran MC. Donald.

“Mbak Sofi, bagaimana grab carnya ? sudah ada?” tanyaku kepadanya dengan

rasa capek ngosh-ngoshan.

“Iya dek. Sudah ada kok” jelasnya.

Setiap dentingan jarum jam menggelitik kami untuk segera pergi menuju periplus.

Itu merupakan tujuan kedua dari perjalanan kami untuk memebeli sebuah novel bahasa

inggris di sana. itulah tujuan awal kami sebenarnya. Sekali lagi inin aku katakan bahwa

menunggu grab car sama seperti menunggu jodoh. Lama sekali, menyebalkan tapi

kedatangannya di harapkan.

“Dek kamu harus teliti, melihat kendaraan yang lalu-lalang di sekitaran sini

dengan plat nomer seperti ini” dia menunjukkan sebuah plat nomer baru terhadapku.

“Ok. Ok. Akan aku teliti dengan baik setiap kendaraan hitam dengan plat nomer

seperti ini.

Ujarku seraya meulai memfokuskan pandanganku ke seluruh penjuru jalan tol di

siang hari itu.

Yah... lagi-lagi plat nomer. Lumayan! Dalam perjalanan ini aku sedikit

mendapatkan banyak ilmu pengetahuan yang belum aku ketahui dan tidak bisa aku

dapatkan di bangku kuliahku saat ini. Yah inilah makna bermasyarakat, pengetahuan bisa

didapat dari mana saja asalkan dengan niatan yang tulus dan ikhlas.

Beberapa menit aku sudah mencoba memberikan perhatian lebih netraku untuk

selalu memfokuskan kepda sang kendaraan berwarna hitam itu. Namun di setiap mobil

berwarna hitam yang sedari adi melaju kesana kemari tidak ada yang memiliki plat nomer

yang sesuai dengan plat nomer yang di berikan mbak sofi terhadapku. Aneh sekali dan
letih sekali. Pekerjaan yang tiada hasil itu membuat diriku merasa lelah dan bosan.

Meskipun seperti itu,

Akupun tetap semangat membantu mbak Sofi yang sibuk menerima telephone dan

aba-aba dari sang supir kedua grab car kami.

“Mbak Sofi, dia ada dimana sekarang katanya?” tanyaku dengan sedikit

mengernyitkan dahi menahan rasa panas.

“Katanya bilang dekat gitu dek. Mbak juga gak mengerti. Jaringan telkomsel

disini jelek dan suaranya putus-putus!” jelas mbak Sofi kepadaku.

Beberapa menit kemudian, kami baru saja selesai membicarakan tentang dirinya,

diapun menelphone kami kembali.

“Saya sudah berada di restoran MC. Donald. Mbak Luluk sekarang ada dimana?”

tanya sang supir grab car itu tadi kepada mbak Sofi.

Mbak Sofi menggunakan namaku dalam mengisi identitas aplikasi grab car.

Karena nomer yang diletakkan di persyaratan grab car itu dia menyimpan nomerku.

Sehingga jangan kaget, kalau ketika dia mengajak berbicara bersama mbak sofi dia

memanggil namaku.

“Oh iya pak. Kami berada tepat di sebelah kiri restoran MC. Donald. Kami

menggunakan baju berwarna oranye batik dan kerudung pink.

“Ok baik mbak. Saya segera kesana” ucap bapak grab car tadi seraya menutup

telephone nya.

Sesaat kemudian mobil hitam grab car itu mulai muncul di hadapan kami. Kami

langsung menghampirinya karena aku dan mbak Sofi tidak betah tinggal di sekitar taman
yang hanya ditemani sang sinar matahari dan juga sang polusi kendaraan yang lalu lalang

di sekitar sana. Mobil grab car itu sangat keren. Sampai kami kebingungan cara membuka

pintunya. Maklumlah anak desa.

Kalau kalian menanyakan kepadaku pernah mengendari mobil seperti itu

sebelumnya atau tidak, aku mah belum pernah naik modil sekeren itu dulu. Hanya ketika

aku melihat model pintu mobil itu, mengingatkan kembali ke mobil espas yang pernah

ayahku beli di waktu aku masih kanak-kanak. Cara membuka daun pintu itu tinggal

menggesernya ke samping. Kesedihan mulai menggeluti diriku lagi ketika aku sudah

mulai mengingat sosok yang sangat aku banggakan itu. aku sunggu mencintainya dan dia

juga lelaki pertama yang aku cintai dan sampai sekarang hanyalah dia. “He is the only

men that I Love”5.

Karena kami mengalami kesulitan membukanya, akhirnya bapak supir itupun

mencoba membantu kami membuka pintu itu. dia membukanya dari dalam. Akhirnya

kami pun masuk kedalam. Mobil mesin itu. sesaat setelah aku memasuki ruang mobil itu,

udara segar dari mesin bank udara yang bisa kami sebut AC itu seakan fokus

menyegarkan tubuh kami berdua. Sungguh hanya kata Alhamdulillah yang bisa kami

ungkapkan saat itu.

“Dek luk, aku mau tidur sebentar ya!. Nanti kalau sudah sampai bangunkan aku

ya..” pintanya kepadaku. Dengan wajah sedikit lelah terlukis di wajahnya yang mulai dia

sandarkan di bahu kursi mobil itu. dia mulai memejamkan matanya dengan lapisan

5
Dia adalah lelaki satu-satunya yang aku cintai saat ini.
masker pink yang sedari tadi dia kenakan untuk menutupi hidung dan mulutnya dari

polusi udara.

“Iya mbak! Istirahatlah” jawabku kepadanya dengan ulasan senyum sedikit yang

aku perlihatkan kepadanya.

Rasa capek letih dan juga lelah yang di rasakan mbak Sofi itu lebih terasa dari

pada peraan letih lelah, dan lesu yang juga aku rasakan. Apalagi di bulan puasa dan

dibawah terik matahari seperti halnya tadi ketika kita berjemur di samping gedung

restoran MC. Donald. Sungguh sangat tidak kuat rasanya jika aku berda di posisinya.

Sedangkan aku?. Kebetulan ketika mbak Sofi mengajakku ke Surabaya aku sedang

datang bulan sehingga aku tidak melakukan kewajiban puasa itu. Namun meskipun

demikian, tidak ada sesuap nasipun yang aku makan ketika perjalanan itu. hanya sesuap

nasi putih dan mie instant yang aku lahap di pagi harinya sedangkan di siang dan di sore

hari aku tidak memakan apa-apa.

Aku juga mulai meletakkan kepalaku di bahu kursi mobil tepat di samping mbak

Sofi. Sungguh AC itu membuat aku ingin terlelap sebentar. Namun jika aku juga terlelap,

terus siapa yang akan membangunkan mbak Sofi? Ya sudahlah. Akhirnya aku

memutuskan untuk membiarkan kepalaku bersandar manja saja tanpa harus menutup

retinaku yang sedari tadi meneteskan air mata ketiaka aku sesekali menguap karena

menahan kantuk yang sangat mengangguku.

“Mbak mau ngapain ke Pakuwon?” tanya supir itu tadi tanpa menghilangkan

konsentrasi menyetirnya.

“Kami mau beli buku pak” ujarku sembari melihat kearah bapaknya melalui kaca

spion yang terletak di bagian tengah atas dekat sang supit menyetir.
Handphone yang sedari tadi kami isi menggunakan charger kabel data milik

bapaknya mulai berjalan mengisi dan memasuki aliran kabel listrik itu. Sesekali aku

mencoba untuk mengeceknya dengan menekan tombol berbentuk persegi panjang empat

sudut itu untuk melihat berapa persen daya yang masuk dari aliran listrik charger itu.

tergambar kotak hijau dengan bentuk seperti botol air dan di tengahya terpampang sebuah

angka nominal dengan kedipan cahaya hijau di bawahnya.

“Oh, ternyata masih 20%” seruku dalam hati. Akupun meletakkannya kembali di

kota jok samping tempat semula hpku di charger.

Aku melihat sekeliling jalan sangatlah indah sekali. Seraya berguman dalam

hati,”sungguh aku tidak begitu mengenal negriku sendiri. Bangunan-bangunan mewah

yang menjulan tinggi di setiap sudut perjalan kota Surabaya seakan membuatku merasa

ini seperti di jakarta. Kemacetan jalan dan bunyi klakson mobil yang bermacetan

membuat aku berfikir bahwa Surabaya tidak kalah besarnya seperti kota Jakarta.

Iya! Kota Jakarta. Setahun yang lalu aku pernah mengginjakkan kakiku disana.

Dengan menggunakan kendaraan berasap kereta api semalaman dan menggunakan jasa

angkot bapak sang supir bajaj cukup menjadi kenangan indah yang sedari tadi tersimpan

di fikiranku dan berputar kembali video ketika aku melihat bangunan-bangunan indah

menjulang di sekiata mall Pakuwon Indah Surabaya.

“SubhanAllah, Indah sekali..” tanpa aku sadari aku mengucapkan kalimat itu dari

bibirku.

Suara adzan asar mulai terdengar di telingaku. Tanpa sengaja aku membuka tas

cokelat kecil yang aku beli ketika aku mengikuti rekreasi dari acara kursusanku di Pare
ke Kampung Cokelat untuk melihat jam berapa sekarang. Ketika aku membuka tasku,

aku baru teringat kalau hpnya masih aku charger dan belum penuh. Sedikit kembali

mengungkit perjalananku ketika aku menatap lama tas cokelat kecil dengan dua kancing

kecil berwarna hitam itu serta di lengkapi dengan ukiran cantik bertuliskan “Kampung

cokelat”.

“Wow, keren sekali Pakuwon Mall ini” gumamku dalam hati. Pakuwon mall itu

luas sekali. Bapak supir grab car itu harus membelok-belok mobilnya karena mengikuti

alur laju jalan yang telah di buat. Sungguh jika aku datang ke tempat ini sendirian mungin

aku akan tersesat karena gedung bangunan mall pakuwon itu benar luas sekali. Para

pengunjung juga banyak sekali. Sesekali aku melihat banyak parkiran mobil-mobil

mewah terparkir rapi di depan mall itu. Oh kenapa hari ini aku sangat menyanjungnya.

“Mbak Sofi, bangun mbak sudah sampai!” aku mencoba membangunkan mbak

Sofi yang sedari tadi sudah mengistirahtkan netranya.

“oh iya dek!” ucapnya seraya mengkedip-kedipkan matanya dan mulai mengusap

wajahnya seraya merapikan kerudngnya.

Setelah aku sudah memberikan ongkos grab car kepada supirnya, aku langsung

melanghkan kakiku keluar dari mobil yang mengingatkan kembali kenangan bersama

ayahku.

Tanpa berfikir panjang kami mulai memasuki mall Pakuwon itu. Hanya sebentar

saja kami melangkahkan kaki,tiba-tiba kami dihadang oleh dua satpam muda yang telah

bersiap untuk memeriksa tas kami berdua. Dengan senang hati kami membiarkan dua

pemuda itu memeriksa barang bawaan kami. Aku biarkan dia melihat beberapa alat make-
upku serta beberapa kertas kapal tadi aku biarkan di dalamnya karena aku lupa

membuangnya di perjalanan tadi.

“Silahkan” ucap petugas itu setelah dia selesai memeriksa barang bawaan kami.

Kami segera masuk. Dan alangkah terkejutnya kami ketika kami mulai memasuki

ruangan kedua itu. setiap gedung di hiasi oleh rumput-rumput hijau yang bergelantungan.

Rumput-rumput itu terlihat sangat segar di mata. Disamping bawahnya terdapat tiga kursi

tempat duduk yang memang telah di siapkan disana.

“Sungguh indah sekali mall ini.” Ucapku dalam hati.

Mbak Sofi yang sedari tadi berjalan tidak semangat karena menahan rasa kantuk,

tiba-tiba ia mulai membuka netranya lebar-lebar seraya tersenyum dan langsung

memperhatikan keindahan ruangan itu. Kami tidak mau melewatkan moment terindah itu.

Kami langsung mengambil hp yang sudah lumayan terisi. Ckrek! Ckrek! Ckrek!

Begitulah bunyi yang hadir saat itu. Entah mengapa para petugas yang sempat memeriksa

tas kami itu melihat ke arah kami sebentar dan membuat kami merasa malu dibuatnya.

Akhirnya kami pun bergegas meninggalkan tempat itu.

“Heheh, mbak bagus banget ya tadi. Indah! Sejuk di mata!” ungkapku dengan

senyuman melihat kearahnya.

“Iya dek, memberikan kesegaran ke dalam mata yang ngantuk” ungkapnya lagi.

“Berapa lama kita akan disini mbak?” tanyaku kepda mbak sofi memastikannya.

“Nanti kita sebelum maghrib harus sudah pulang saja ya. Lagian kita kan cuma

mau beli novel di periplus.” Jelas mbak sofi menerangkannya kepadaku.


“Baiklah kalau seperti itu. Uangku sepertinya juga pas buat beli buku saja deh.”

Ujarku sambil tertawa cengegesan ke arah mbak Sofi.

Ketika kami mulai melangkahkan kaki ke bagian mall yang luas itu, ternyata kami

sudah berada di lantai tiga mall Pakuwon. Iya disana, kami kesana kemari mondar-mandir

mencari Periplus ada di sebelah mana. Karena di setiap bagian dalam sudut mall itu

terdapat banyak sekali toko-toko yang menjual beberapa aksesories glamor dan mewah-

mewah. Kami mulai mengelilinginya sambil menikmati wahana yang bagus untuk dilihat.

Setelah kami sudah memutar-mutar berulang kali, akhirnya kami memutuskan untuk

bertanya kepada salah satu petugas yang berpakaian satpam di setiap toko itu.

“Maaf pak, mau tanya Periplus disini berada di bagian mana ya?” kataku.

“Aduh dimana ya mbak. Saya juga kurang tau disini. Mungkin mbaknya bisa

bertanya ke mas yang lain.” Jawabnya kepada kami dan membuat kami sedikit tambah

bingung juga.

Kami meneruskan perjalalan kami, siapa tahu nanti kita menemukannya sendiri.

Namun usaha kami sia-sia. Kami tidak mengerti kenapa mall ini begitu luas dan sangat

membingungkan. Kami berusaha kembali menghampiri petugas yang mengenakan

pakaian hitam sepertipak satpam berdiri tepat disetiap penjuru depan toko.

“Pak, mau tanya. Kalau toko buku periplus di sebelah mana ya?” aku melontarkan

pertanyaan yang sama seperti yang telah kami utarakan kepada petugas yang pertama tadi.

“Oh, mbaknya lurus, kemudian belok kanan dan lurus lagi dan nanti mbak tanya

lagi ke petugas yang menggunakan pakaian seperti yang saya kenakan.” Jelas bapak

petugas itu dengan sangat detail.

“Baik pak. Terima kasih banyak.” Ucapku kepada petugas yang telah

menunjukkan petunjuk jalan terhadapku.


Akhirnya kami pun mengikuti arah yang di berikan oleh bapak petugas tadi.

Sesaat kemudian akhirnya kami sampai di sana. Terdapat tulisan besar terpampang

berwarna putih jelas di depan toko itu “PERIPLUS” nama itu seakan membuat kami ingin

memeluknya akan tetapi itu mustahil. Sungguh kami sangat bahagia sekali telah

menemukannya. Itulah toko tujuan kami. Toko itu tidak begitu besar dan mewah seperti

toko pakaian yang berjejeran bergemilang di depan mata. Namun tumpukan buku-buku

indah serta majalah-majalah yang terlentang luas terlihat sisi ilmu pengetahuan di mataku,

membuatku sedikit berkhayal seakan-akan aku terbang diantara jejeran buku itu.

“Mbak sofi. Aku bingung ini mau menggunakan buku yang mana?” rasa

kebingungan yang aku alami sedikit aku utarakan kepada mbak Sofi.

“Hmm.. kamu mau beli buku apa?” tanya dia kepada diriku yang sedang sibuk

mengotak atik novel-novel yang tersusun di situ.

“Aku itu mencari buku yang ceritanya itu, berusaha keras, sukses dan tercapai

cita-citanya gitu. Jadi buku itu seakan memberikan suntikan semangat yang membara

kepada diriku mba Sof.” Ujarku kepadanya.

Selangkah demi langkah, aku mulai mendekati dirinya dan berbisisk,

“Tapi yang harganya stabil juga wkwkkk”

Tawa kami berdua meledak saat itu. Kami khawatir cekikikan ketawa kami bisa

mengusik ketenangan orang-orang yang saat itu juga sedang mencari buku. Akhirnya

kami menutup mulut kami dengan telapak tangan seraya tertawa sepuasnya.
“Dek, jangan ketawa mulu, nanti kita kemaleman loh yang mau balik.” Tegas

mbak sSfi mengingatkanku waktu itu.

Seketika itu tawaku mulia mereda dan segera aku merespon saran mbak Sofi

dengan sebuah kerlipan di sebelah mataku serta menyodorkan satu jari ibu jempolkan

kepadanya. Aku mulai fokus kembali terhadap tumpukan novel didepan mataku. Tak

sedikit nama penulis yang aku mengenalinya namun tak banyak juga yang aku tidak

meneganalinya sama sekali. Salah satu penulis yang aku ketahui adalah J.K Rowling.

Banyak sekali karya-karya yang di hasilkannya. Mulai dari harry potter 1 harry potter 2

dan beberapa judul yang sudah aku lupakan saat ini.

Namun tiba-tiba aku lebih tertarik kepada sebuah novel yang berjudul “Let’s

come back” dan aku melihat harganya pun stabil dan lumayan cocok untuk seisi

dompetku. Akan tetapi, mabak Sofi datang menhampiriku dan membawakanku sebuah

novel dengan tebal kira-kira 300 halaman dan di sampul depannya terdapat gambar buah

stoberi yang terlukis dua warna di buahnya.

“Dek kamu mencari buku yang memotivasi, semangat perjuangan gitu kan?”

ungkap.mbak Sofi mengulang kembal argumenku tentang sebuah kriteria novel

impianku

“Iya mbak, buku apa itu?” aku segera menanyakan buku apa yang sedang di

peggang oleh dia itu.


“Buku sepertinya bagus deh isinysa, seru dan cocok buat kamu.” Jelas mbak sofi

sambil menyodorkan sebuah buku dengan ukuran normal berwana hitam polos itu

terhadapku.

“Urivalled?” aku mulai membacanya.

“Iya, itu kan maknanya bukan musuh atau bukan saingan git. Itu berasal dari kata

“Rival” yang artinya Musuh.” Jelas mbak Sofi kepadaku seraya meyakinkanku.

Mbak sofi memberikan buku itu kepdaku. Dia bilang itu merupakan buku yang

memiliki sinopsis yang bagus buku itu berjudul “UNRIVALLED” karya Alyson Noël.

Di bawah judul itu terdapat tulisan yang semua hurufnya menggunakan huruf kapital.

Tulisan itu bertulis seperti ini; A BEAUTIFUL IDOLS NOVEL. Terdapat sebuah gambar

stroberi berdaun hijau dan separuh buahnya berwarna merah dan separuh bawahnya lagi

berwarna keemasan yang menetes kental ke bawah. Sedangkan di bagian cover

belakangnya terdapat sebuah gambar buah stroberi juga namun buah itu berwarna emas

semua. Dan tertulis sebuah sinopsisi seperti ini:

Layla Harrison wants to be a reporter. Aster Amirpour wants to be an acress.

Tommy Philips wants to be a guitar hero. But Madison brooks tool destiny and made it

her own a long time ago.

She’s Hollywood’s hottest starlet, and the things she did to become the name on

everyone’s lips are merely a stain on the pavement, beneath her Louboutin heel.

That is, until Layla, and Tommyfind themselves with a VIP invite to the world

of LA nihgtlife and are lured into a competition where Maddison brooks is the target.

Just as their hopes begin to gleam like stars through the California smog, Madison

Brooks goes missing... Suddenly they’II have to decide if VIP access is worth their

lives.
‘Like a good celebrity, Unrivalled is mysterious and compelling and so gergous,

you won’t be able to look away’

Cecily van ziegesar, author of The Gossip Girl series

Seperti itulah gambaran indah buku itu. Secara tiba-tiba aku jatuh cinta kepada

buku itu. Tanpa berpikir lagi, akhirnya aku nekat mmebeli buku itu dengan harga

Rp.210.000. Aku mulai mengeluarkan uang sejumlah harga beli itu untuk aku ambil alih

kepemilikan kepada si penjual. Awalnya aku tidak begitu yakin kalau itu adalah uang

terakhir aku di dompet. Ternyata setelah aku coba raba kembali dompetku itu dengan

degupan jantung yang keras serta di hantui rasa was-was aku langsung menyentuhnya

disertai bacaan basmallah dan sholawat tiga kali. Dan ternyata uang aku memang sudah

habis di dompet. Itu adalah uang terakhirku yang aku berikan kepada si kasir periplus tadi.

Dan satu-satunya sisa uangku itu adalah uang kembalian dari buku yang aku beli.

Sembilan puluh ribu, iya itulah sisa uangku yang rencananya akan aku gunakan untuk

taksi dari Pakuwon ke pelabuhan.

Saat itu aku hanya pasrah kepada Allah swt. Aku tidak tau apa yang akan terjadi

nanti. Yang pasti Allah sudah sangat baik kepadaku selama hari ini. Dia telah memberikan

secangkir cerita indah di kota Surabaya ini.

Anda mungkin juga menyukai