Anda di halaman 1dari 8

Bersamanya, aku bahagia

Inne A. Pramesti

“Pak , tolong ya... yang satu di masukin ke kantung plastik, yang satunya lagi jangan!.”
Ujarnya dengan raut wajah yang sangat amat kehausan. Segera ia tinggalkan penjual itu di
pinggir jalan yang berada tepat di bawah jembatan layang. Bocah laki-laki yang baru saja
lewat tepat di depan ku ini, membuat ku tersenyum kecil begitu saja, ketika melihatnya
berlari perlahan seraya menikmati sekantung air es kelapa muda yang baru saja ia beli.
Memang, siang ini panas terik mataharinya begitu menyengat sampai ke ubun-ubun,
sehingga... hampir setiap orang di sekitar ku merasa kehausan, begitu pula diri ku, tak jauh
berbeda dengan mereka. Setumpuk buku yang berisi catatan-catatan pun, tak lupa ku
masukkan ke dalam tas punggung yang biasa ku kenakan untuk menyimpan alat-alat tulis dan
lain sebagainya. Segera ku kenakan helmet seraya menstarterkan motor skuter matic
berwarna biru, yang selalu setia menemani ku pulang-pergi menelusuri jalan-jalan besar
maupun kecil di Kota Bogor ini.

Rasa haus, penat, dan lelah pun, nampaknya sedang melanda hari ku di jumat siang ini.
Rasanya... semua itu seolah-seolah hampir menjadi beban dan penghalang untuk menghadapi
hari yang belum tuntas untuk ku lalui. Ditambah lagi tugas kuliah dan pekerjaan, yang
seakan-akan terasa begitu sempurna melengkapi kepenatan ku pada hari ini. Apa boleh buat,
sebagai seorang mahasiswi sekaligus seorang karyawati pun, aku harus menerima semua
tanggung jawab ini dengan lapang dada dan tangan terbuka. Dan yang selalu aku harapkan
dari-Nya di setiap hari, hanyalah kesehatan dan kemampuan agar diriku dapat menjalani
aktifitas dan kegiatan yang biasa ku lakukan sebagaimana mestinya.

Aku adalah wanita yang berumur seperempat abad kurang 2 tahun, yang hidupnya selalu
merasa dipaksa untuk tidak berleha-leha dan membuang-buang waktu begitu saja. Jika
begitu... mungkin semua usaha ku untuk menjalani tanggung jawab hidup, akan terbuang sia-
sia layaknya seonggok sampah yang tidak berguna bila tidak di manfaatkan. Beban pun terasa
bertambah ketika aku telat masuk kerja, dikarenakan kuliah yang ±4 tahun sedang aku jalani
ini, menjadi sebuah alasan keterlambatan itu. Walaupun aku seorang wanita yang status
ekonomi orang tuanya tidak seberapa, tetapi pendidikan harus tetap ku jalani, meskipun harus
berkorban penuh dan harus mampu membagi waktu dengan kegiatan-kegiatan lainnya.
Tahun ini adalah tahun yang sangat ku nanti-nantikan, karena ... bayang-bayang wisuda yang
ku tunggu sejak memutuskan untuk kuliah di salah satu Universitas daerah Bogor, rasanya...
bayang-bayang itu dari hari ke hari akan tampak begitu jelas di depan mata, dan tak lagi
menjadi sebuah penantian yang sudah sangat lama ku nantikan. Bisa di bilang... beban hidup
ku akan terasa sedikit berkurang, jika nanti topi toga itu sudah melekat di atas kepala ini.

Akhirnya sampai juga di rumah yang sudah sangat lama menjadi tempat tinggal ku.
Namun, rumah terlihat begitu sunyi seolah-olah tak berpenghuni. Hembusan angin yang
membuat daun-daun berjatuhan di sekitar halaman rumah lah, yang sedikit mampu
menghidupkan suasana di siang ini. Segera ku parkirkan motor ke dalam garasi, dan bergegas
memasuki rumah yang sedari tadi menjadi tujuan selanjut ku sehabis pulang kuliah. Tiba-
tiba, ketika meneguk segelas air dingin yang baru saja ku ambil di dalam almari es, suara
pecahan kaca terdengar begitu sangat jelas di salah satu ruang tidur rumah ini. Segera ku
hampiri sumber suara yang sempat membuat ku terkejut.

Nampaknya seorang wanita yang sejak dulu ku panggil Mama, terlihat sedang menatap sendu
serpihan gelas kaca, yang sudah terlanjur pecah berserakan ke mana-mana. Tak tega
melihatnya, segera ku hampiri Mama dan menyuruhnya untuk berdiam diri selagi aku
membersihkan serpihan kaca itu, karena aku khawatir, jika pecahan gelas kaca itu melukai
kaki Mama. Tak selang beberapa lama, segera menuntunnya perlahan ke atas tempat tidur.

“Maafin Mama Ra, gara-gara Mama... gelasnya jadi pecah.”

“Tidak apa-apa Ma, lain kali Mama harus berhati-hati. Jika Mama mau makan dan minum,
Mama panggil saja Angra.” Jawab ku seraya mengelus-ngelus sebelah pundaknya.

Nampaknya wanita yang sudah berumur 52 tahun ini terlihat sangat ketakutan, mungkin jika
aku tidak bergegas pulang, pastinya... kaki Mama sudah penuh dengan darah karena serpihan
gelas kaca tadi. Kekhawatiran ku bertambah ketika ia tiba-tiba saja menangis dan meminta ku
agar menemaninya di siang ini. Apa boleh buat, aku harus meminta izin untuk tidak masuk
kerja kepada rekan ku. Bisa di bilang, baru kali ini aku melihat Mama menangis tak seperti
biasanya. Karena... jika terjadi apa-apa, dia cukup berkata kalau dirinya baik-baik saja. Tetapi
lain siang ini, tidak sedikit pun kalimat itu keluar dari mulutnya.


Rasanya begitu tenang ketika melihat Mama tertidur pulas di atas tempat tidurnya. Sehingga
membuat ku setengah terjaga di atas sofa yang menghadap tepat ke arahnya. Aku hanya
tinggal berdua bersama Mama di rumah ini. Kami berdua harus bertahan hidup, meskipun
cobaan sedang melanda dan seolah-olah memaksa ku untuk tidak lengah menjaga seorang Ibu
yang sedang sakit ini. Sudah tiga tahun lamanya Mama jatuh sakit, kata dokter... Mama
terkena hipertensi dengan tekanan darahnya yang lumayan tinggi. Penyakitnya ini berawal
ketika perilaku buruk Ayah yang perlahan-lahan merusak kebahagiaan hidupnya, sehingga
pikiran Mama kacau karenanya. Waktu kejadian perselingkuhan Ayah belum di ketahui oleh
Mama, kakak, aku dan adik ku, bisa dibilang... kami adalah keluarga bahagia, harmonis, dan
lebih dari cukup.

Namun nyatanya, Ayah sudah tak setia dan melepaskan tanggung jawabnya sebagai seorang
kepala keluarga. Ia menikah lagi diam-diam dengan seorang janda beranak satu keturunan
kolomerat kaya yang berasal dari Surabaya. Kakak perempuan dan adik laki-laki ku ikut
dengannya, sedangkan aku ingin bersama Mama yang waktu itu masih sehat dan segar bugar.
Begitu teganya Ayah meninggalkan kami berdua disini tanpa berpamitan, dan tidak sedikit
pun ia melihat wajah kedua wanita yang amat sangat menyayanginya ini. Waktu itu Mama ku
seorang pegawai negeri, dan terbilang sangat cukup untuk membiayai sekolah ku dan
memenuhi kebutuhan sehari-hari. Tetapi untuk sekarang ini, Mama hanya bisa terdiam lemas
dan pasrah ketika penyakitnya menggerogoti tubuh yang sudah mulai menua. Entah
mengapa, perasaan sayang ku dulu terhadap seorang Ayah seolah-olah tergantikan dengan
rasa benci yang amat sangat dalam. Sampai saat ini, kabar keberadaan Ayah dan saudara-
saudari kandung ku belum terdengar bak di telan bumi. Walaupun begitu, aku berjanji akan
tetap merawat Mama sampai ia sembuh dan kembali ceria seperti sedia kala. Ya... aku harap
begitu.

Waktu pun berlalu, jam dinding menunjukkan tepat pukul tiga sore. Hari ini memang waktu
istirahat total yang terpaksa harus ku lakukan demi menuruti kemauan Mama. Ketika
setengah terjaga dari lelapnya tidur, aku dikejutkan olehnya yang terduduk seraya
memandangi ku di atas tempat tidurnya.

“Mama?!, Mama sudah bangun?.” Ujar ku. Nampaknya sudah sangat lama ia menunggu ku
bangun. Aku segera bergegas beranjak dari sofa, tiba-tiba saja Mama tersenyum kepadaku
dan berkata kalau dia ingin keluar rumah. Jujur saja, aku merasa senang ketika melihatnya
tersenyum manis, sangat manis. Tak lupa ku berganti pakaian dan menyiapkan kendaraan
untuk mengantar Mama jalan-jalan di sore ini. Mama terlihat begitu bersemangat dan lain
dari biasanya. Mungkin ... ini pertanda kalau Mama akan sembuh dan kembali seperti sedia
kala. Syukurlah jika Mama begitu, jujur... sore ini aku sangat bahagia dibuatnya.

Perlahan-lahan ku starterkan mobil yang terparkir di dalam garasi, dan bergegas pergi ke
suatu tempat yang akan menjadi tujuan kami untuk bersantai menikmati senja hari. Dengan
syal berwarana biru yang melingkar di lehernya, Mama terlihat begitu cantik dan segar bugar
bila ku perhatikan dari dekat. Baru kali ini dia mengajakku ke luar rumah, biasanya jika ia
sedang jenuh, Mama hanya meminta ku untuk menemaninya duduk santai di depan rumah
seraya meminum teh manis hangat kesukaannya.

Akhirnya kami sampai juga ditempat tujuan. Dengan jalannya yang tergopoh-gopoh, aku
segera menuntun Mama perlahan menuju bukit sana. Katanya Mama ingin melihat matahari
terbenam. Begitu indahnya menikmati pemandangan senja hari di atas bukit bersama Mama
tersayang. Nampakya Mama terlihat begitu senang ketika aku mengajaknya duduk tepat di
bawah pohon rindang yang tak begitu besar.

Waktu terasa begitu lama ketika kami berdua berbincang-bincang sambil menikmati senja
hari di atas sini. Membicarakan wisuda, pekerjaan, kuliah, kampus, dan seorang pria yang
sudah lama ku kenal. Mama sangat bahagia jika aku dicintai dan disayangi oleh pria yang
sudah 4 tahun menjadi sahabat putrinya ini. Sekarang pria 28 itu sedang bertugas diluar kota.
Berlayar dari satu pulau ke pulau lain.

“Kapan kamu menikah dengannya?” ucapnya yang membuatku setengah terdiam. Segera
Mama menggenggam tanganku.

“Mama mengerti Ra, seharusnya Mama tidak membicarakan hal itu sebelum kamu lulus
kuliah. Tapi rasanya... Mama ingin sekali punya mantu dari putri Mama ini, Mama pengen
cepet-cepet gendong cucu Ra.” ujarnya seraya tertawa kecil dan membuatku tersenyum malu,
seakan-akan Mama tidak sabaran melihat ku duduk bersanding dipelaminan bersama Andi.

“Iya Ma, Insya Allah nanti setelah Angra lulus kuliah, Mas Andi akan ngelamar Angra.”

“Sudah... jangan pake acara lamar-lamaran segala, toh kamu udah ngenalin Andi ke Mama
selama 5 tahun ini, kenapa harus pake acara dilamar segala.”

“Iya Ma, tapi itu kan keinginan Mas Andi sama orang tuanya”
“Nanti biar Mama saja yang bilang ke Andi. Laki mu itu kan sayang sama Mama, pasti dia
juga akan nurutin kemauan Mamamu ini Ra. Jujur... Mama sangat senang melihat kamu
bahagia dengannya, apalagi nanti punya mantu kayak dia, sekaligus cucu dari dia. Mama
lahir dan batin akan selalu bahagia Ra.”

“Iya Ma... Angra juga bahagia kalau lihat Mama seneng kayak gini.” Ucapku seraya
bersandar di sebelah pundaknya yang lemah. Entah kenapa, tiba-tiba saja aku merindukan
dia, sangat amat rindu dan ingin sekali bertemu dengannya. Tapi apa boleh buat, aku harus
bersabar menanti kedatangan pria baik itu.

Ku perhatikan, kurang lebih sudah dua jam kami disini, Mama terbatuk-batuk begirtu saja.
Aku khawatir jika kondisinya semakin memburuk. Namun Mama bersih kukuh ingin tetap
disini bersamaku. Katanya, senja ini senja yang sangat indah untuknya, baru kali ini Mama
melihat senja hari seindah ini. Ketika kami berdua bicara satu sama lain, Mama kembali
terbatuk-batuk. Namun, tubuh lemah yang tadinya terduduk di samping kanan ku, dengan
spontan tiba-tiba saja ia memelukku dengan erat, sangat erat. Ku balas pelukannya yang
sedari tadi tidak mau melepaskan tubuh ku. Katanya, Mama sangat sayang kepada ku karena
aku mau merawatnya selagi dia sedang jatuh sakit. Dia tidak mau kalau aku pergi
meninggalkannya begitu saja seperti Ayah, dan saudara-saudari kandung ku.

Ku kecup keningnya begitu lama, dan mengatakan bahwa aku sangat menyayanginya lebih
dari apapun. Karena peran ku sebagai seorang anak perempuan dewasa untuknya saat ini...
hanya bisa merawat dan menjaganya selagi ia sedang sakit. Nampaknya Mama tidak mau
melepaskan pelukan ku, sampai-sampai aku lupa waktu kalau Mama sudah sangat lama
memeluk erat tubuh ku, karena pelukannya disenja hari ini terasa amat sangat begitu nyaman.

Tetapi... punggung ku terasa sangat aneh dan basah seperti terkena air. Pikir ku pasti Mama
menangis lagi untuk yang kedua kalinya dihari ini. Segera ku lepaskan pelukannya yang
mulai perlahan-lahan tak terasa begitu erat. Namun nyatanya, aku terkejut ketika melihat
hidung dan mulut Mama mengeluarkan begitu banyak darah, entah apa yang membuat Mama
bisa seperti ini. Aku memanggil namanya berulang kali, dan berusaha membangunkannya
agar dia terbangun dan kembali membuka matanya. Tetapi nampaknya Mama tidak sadarkan
diri, dia pun tidak mendengar tangisan ku yang seolah-olah begitu ketakutan dan tidak tahu
harus melakukan apa. Aku tidak mengerti apa yang sedang terjadi, yang aku lakukan saat ini
hanyalah membersihkan darah segar yang tak henti-hentinya mengalir dengan menggunakan
pakaian dan membaringkannya tepat dipangkuan ku.

Lama-kelamaan, tubuh Mama terasa begitu dingin. Aku segera memeluknya dan berharap
bisa menghangatkan tubuhnya kembali. Tetapi Mama belum juga bangun. Terbesit di pikiran
ku, untuk mencoba meletakkan cermin kecil di dekat hidungnya dan merasakan denyut nadi
ditangannya. Entah mengapa, dengan spontan aku bertanya-tanya apakah dia masih hidup
atau sebaliknya. Lupakanlah... pertanyaan itu memang tak pantas keluar dari mulut ku,
sangat tidak pantas.

Namun....... cermin kecil itu nyatanya tak beruap, dan denyut nadinya juga tak berdenyut.
“Apa mungkin Mama meninggal?.” Ucapku dengan tatapan kosong yang tak tahu lagi harus
ku arahkan kemana. Akhirnya... ketakutan, kekhawatiran, tangisan, dan air mataku mulai
menjadi-jadi karenanya di senja ini. “Mama... Angra harus berbuat apa?, bagaimana kita bisa
melihat matahari terbenam kalau Mama tidak mau membuka mata?.”

***

Sabtu ini... menjadi sabtu pagi yang membuat ku terdiam seribu kata. Dengan mulut yang
terus berdo’a tanpa mengeluarkan suara,, dan sepasang pelipis yang tak mampu lagi
membendung banyaknya linangan air mata. Mungkin hanya itulah yang dapat ku lakukan.
Sekarang Andi berada disamping ku, merasakan kesedihan yang sedang kualami. Ia terpaksa
izin bertugas hanya untuk bersamaku, bersama melihat kepergiannya yang begitu mendadak.
Ku pandangi batu nisan putih yang bertuliskan:

Riyana Fujianti binti Aryo Kartono. Lahir : Kediri,10 Oktober 1962. Wafat : Jumat,
30 Mei 2014.

Wanita yang telah mengandungku ±9 bulan lamanya, wanita yang rela mempertaruhkan
nyawanya demi melahirkanku, wanita yang rela bekerja keras banting tulang demi
membiayai kebutuhan sekolah dan kebutuhan hidup selagi Ayah tidak ada di samping ku, dan
juga wanita yang menjadi alasan mengapa aku selalu berambisi dalam menjalani hidup,
namun sekarang... wanita tangguh ini sudah terbujur kaku diperistirahatan terakhirnya dengan
beralaskan tanah merah dan juga balutan kain kafan yang seadanya.

Rencana-rencana indah yang akan aku lakukan bersamanya, sudah tersusun sangat rapih di
dalam ingatan ku. Pergi berlibur, menghadiri wisuda stratum satu ku, mengajaknya pergi ke
suatu tempat, dan membahagiakannya di hari tua dengan menikahi seorang pria baik dan
memberikannya cucu, nampaknya... semua rencana itu sudah terpupus bersih oleh takdir,
yang mau tidak mau harus ku terima dengan lapang dada. Mungkin... senja kemarin hari
adalah senja terakhirku bersamanya.

Tiba-tiba saja... Ayah dan saudara-saudari ku datang menghampiri ku. Dengan spontan,
aku beranjak berdiri dan memandangi wajah-wajahnya yang terlihat sangat begitu asing.
Kakak perempuan ku, terlihat begitu cantik dan semakin dewasa, begitu pula adik laki-laki
ku, dia sudah besar dan juga tampan. Sepertinya, mereka hidup bahagia bersama Ayah dan
isteri barunya. Di lihat dari penampilannya pun, nampaknya mereka sudah menjadi keluarga
yang hidupnya lebih dari kata cukup. Beruntung sekali saudara-saudari ku ini.

Dengan senyuman dan air mata yang mengalir dikedua pipinya, segera Ayah memelukku dan
membuat ku tak bisa berkata-kata. “Angra, maafkan Ayah ya nak!?.” Suara lirihnya berujar
seakan-akan membuat rasa benci, kesal, dan juga amarah, terpaksa harus ku redam. Apalah
daya jika seorang Ayah yang dulu pernah menghianati Mama, yang dulu pernah menjadi
sebuah alasan mengapa kami harus terpecah belah, dan terpaksa hidup sengsara, tiba-tiba saja
datang dan meminta maaf dengan seenaknya saja. Kata maaf tidak cukup untuk membuat
semua kejadian di masa lalu terlupakan begitu saja Ayah. Jika bukan karena penghianatanmu,
mungkin semua ini tidak akan pernah terjadi. Kebahagiaan, keharmonisan, keceriaan, itu lah
yang di harapkan meski tidak pantas lagi untukku harapkan saat ini.

Sekarang... aku sedang terduduk di tengah-tengah mereka yang dulu pernah membuat batin
hidup ku tersiksa. Ayah menceritakan tentang kehidupan barunya, sedangkan... aku
menceritakan hidup ku disaat susah senang bersama Mama ketika Ayah menghiraukan kami
berdua disini. Berkali-kali Ayah meminta maaf, begitu pun dengan Kak Rara, dia tampak
bersalah seraya memulukku dengan kerinduannya yang amat berkecamuk. Nampaknya...
mereka terlihat begitu menyesali perbuatan, yang telah mereka lakukan kepada ku dan juga
Mama dimasa lalu. Syukurlah kalau mereka sudah menyadari perbuatannya itu.
Akhirnya... dua hari setelah wisuda stratum satu ku, Ayah mengajakku ke Surabaya
mengenalkanku kepada seorang wanita yang katanya selalu menanyakan kabarku disini,
katanya dia wanita baik, dan juga menyayangi Ayah dan saudara – saudari ku selagi disana.
Setelah itu... Mas Andi cepat-cepat mempersunting ku tanpa melamarku dan memulai
kehidupan yang baru untuk melupakan kelamnya masa lalu. Jujur saja, aku sangat senang
ketika orang-orang yang menyayangiku berkumpul kembali. Tetapi kebahagiaan ku, rasanya
masih belum lengkap tanpa kehadiran seorang Ibu didalam hidup ini. Karena berapapun usia
ku yang selalu bertambah dari hari ke hari, namun tetap saja... tanpa Mama sampai kapan pun
juga aku bukanlah apa-apa.

I Love You Mom.

Anda mungkin juga menyukai