Anda di halaman 1dari 16

TUGAS KERANGKA KARANGAN TEKS CERPEN

KELAS 9E

OLEH:

Jonathan Putra Siahaan

(9E-17)

SMPK SANG TIMUR TOMANG


Nama: Jonathan Putra Siahaan
Kelas: 9E
Absen: 17

STRUKTUR TEKS CERPEN

“Mataku Hilang Satu, Keluargaku menjadi Rukun”

No Struktur Teks Cerpen


.
1. Orientasi Aku melihat kami sekeluarga tertawa sambil berlari
di atas pasir putih yang terhampar di depan kami
pada foto. Aku menjadi teringat kembali. Papa dan
Mama terlihat begitu bahagia, tertawa lepas dengan
topik pembicaraan saat itu. Aku beristirahat sambil
membuat istana pasir selagi Papa dan Mama
bermain dengan ombak. Kesenangan saat itu
benar-benar hal yang tidak bisa kulupakan.
Menurutku, itu merupakan pengalaman yang
sangat menyenangkan bagiku dan keluargaku.
Aku membayangkan waktu itu sambil
menatap foto kami waktu itu sambil menatap foto
kami waktu liburan dua tahun yang lalu di Pantai
Parangtritis. “Siti ! Ayo Turun ! Mama sudah
menyiapkan sarapan ini !” teriak Mama dari lantai
dasar. Aku segera menaruh foto itu di laci meja
belajarku dan segera turun untuk sarapan. “Wah,
sarapan apa ma?” tanya ku dengan senyum kecil. “
Kesukaanmu nih, telur buaya dan nasi padang,”
jawab Mamaku sambil terus memasak. “Asyikk...,”
kataku lalu menarik kursi dan segera duduk.
“Makan ya Ma,” lanjutku sambil mengambil telur
buaya yang sudah di masak dan menggigitnya.
2. Komplikasi Mama terlihat senang melihatku makan dengan
lahap. Aku membalasnya dengan senyuman
terbaikku sambil mengunyah telur yang ada di
dalam mulutku. Sementara itu, papa turun dari
lantai dua, aku menoleh ke tangga. Dia sedang
memakai dasi bersiap untuk pergi bekerja. “Pa, ini
makan dulu,” kata Mama sambil menaruh piring
dengan nasi padang diatasnya. “Ga mau, saya
harus buruan ke kantor, nanti telat” jawab papa
sambil mengambil segelas beer. “Dikit saja papa.
Nanti lapar” kata mama dengan lemah lembut.
“KALAU SAYA TIDAK MAU YA TIDAK MAU!” bentak
papa sambil membanting gelas yang dipegangnya
lalu pergi keluar untuk pergi.
Aku sudah terbiasa melihat Papaku yang
selalu kasar terhadap Mama, Aku segera turun dari
kursiku dan membantu Mama yang berlutut
membereskan pecahan gelas di lantai. Jujur saja,
aku terlalu miris untuk melihat Mamaku yang setiap
harinya dan sudah bertahun-tahun disakiti oleh
Papa. Tapi aku tahu Mama sangat sayang dengan
Papa sehingga tidak mau berpisah dengannya.

“Ma, sudah tidak usah dipikirkan. Hari ini kan


hari Sabtu, pergi ke Mall yuk supaya mama
terhibur” ajakku untuk menghibur Mama. “ Ya
sudah kalo begitu. Kamu naik ya lalu segera ganti
baju. Mama bereskan serpihan-serpihan gelas ini
dulu sebentar.” Jawab mama sambil tersenyum.
Aku kembali tersenyum.
Aku naik ke kamarku sambil berpikir,
“mengapa Mama masih bisa tersenyum di saat Papa
berbuat jahat kepadanya?” Jujur saja dalam lubuk
hatiku, aku sedih Mama disakiti terus oleh Papa.
Tapi apa boleh buat, karena jika aku sedih, Mama
akan ikut sedih. Semua ini berawal dari pekerjaan
Papa yang turun. Ekonomi kami pun sedikit
menurun. Papa mulai kasar terhadap Mama. Aku
tidak begitu mengerti permasalahannya. Karena
aku sudah dibiasakan dari kecil untuk tidak ikut
campur masalah orangtuaku. Sesampainya
dikamar, aku segera mengganti baju rumah dengan
baju pergiku.
Setelah selesai mengganti baju, aku segera
turun ke ruang tamu dan duduk di sofa sambil
bermain flappy bird pada handphone selagi
menunggu Mama. Tidak lama kemudian, mama
turun dari kamar. “Ayo Siti, ambil kunci mobil,”
kata Mama lalu keluar rumah. Aku hanya
mengikutinya sambil membawa kunci mobil mama.
Mama segera masuk ke dalam mobil. Aku
membukakan pagar dan kami segera berangkat ke
mall.
Berjalan-jalan di mall saja sudah membuat
kami senang. Walau mungkin kami tidak membeli
barang satupun. Mama mengajakku pergi ke toko
eskrim “Godiva” yang baru dibuka di mall itu. Kami
tertawa lepas sambil memakan eskrim. Bercerita
tentang cerita-cerita lucu yang aku alami dan Mama
alami. Sungguh aku hanya ingin membuat Mama
tidak bersedih lagi. Aku begitu sedih melihat kondisi
Mama yang terus disakiti Papa. Mulai dari dipukul
menggunakan kabel listrik hingga di cambuk
menggunakan ikat pinggang. Aku hanya ingin
melihat senyum Mama, senyuman sebuah malaikat
yang Tuhan berikan padaku ini. Karena setiap Papa
menyakitinya, dia hanya bisa berdiam diri. “Ah
sudahlah, Lagi senang-senang begini jangan
berpikiran yang sedih” pikirku. Kami kembali
berjalan-jalan di mall setelah selesai memakan
eskrim.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Mama
segera mengajakku pulang. Aku menganggukan
kepalaku. Kami kembali ke rumah. Saat sampai di
rumah, firasatku kembali tidak enak. Benar saja,
Aku melihat mobil Papa sudah terparkir di depan
rumah. Setelah Mama selesai memarkirkan
mobilnya di depan garasi, Papa sudah siap didepan
pintu. “Dari mana saja kalian?” tanya papa dengan
muka emosi. “Ehh, abis jalan-jalan sebentar tadi
pa,” jawab mama dengan muka ketakutan. Ekspresi
itu sangat terlihat di mukanya. “DASAR KAMU
ISTRI BOROS!” teriak papa lalu menampar pipi
Mama. Aku yang melihat kejadian itu, tidak bisa
menahan tangisku. “PAPA STOP! AKU YANG AJAK
MAMA KE MALL! AKU MAU MENGHIBUR MAMA!
DOSA PAPA KALAU MARAH-MARAH MULU, NANTI
CEPAT TUA LOH !” teriakku sambil memeluk Mama.
Mama memegang pipi kanannya sambil berkaca-
kaca. “Kamu tidak tahu seberapa susahnya aku
bekerja untuk memenuhi kebutuhan kita ?! Tapi
kau membuangnya seperti membuang air !” bentak
Papaku dengan nada yang terus meninggi. “Kita
hanya berjalan-jalan di mall. Tidak berbelanja
apapun,” jawab Mama dengan suara bergetar. Aku
hanya bisa mendongak ke atas melihat wajah
Mama yang sangat ketakutan seperti orang yang
ditagih hutang oleh preman.
“TERSERAH,” kata papa dengan keras lalu
membanting pintu rumah. Mama langsung gemetar
lalu duduk di depan pintu rumah. Aku terus
menangis sambil mencium kaki Mama. “Mama aku
yakin Tuhan tidak meninggalkan Mama Kok. Aku
sayang Mama, Tuhan juga,” kataku sambil
memeluk mama dengan sangat erat. Mama yang
awalnya tegar juga akhirnya berbalik memelukku.
Waktu berjalan dengan cepat. Dengan konflik
yang selalu ada setiap harinya. Aku kembali
bersekolah seperti anak-anak SMP lainnya. Selesai
sekolah, aku segera pulang kerumah dan
mengerjakan PR hingga sore. PR matematika dan
fisika. Sungguh banyak sekali. Tiba-tiba ada suara
teriakan dari bawah, “DIAM KAMU!”. Teriakan itu
jelas terdengar ditelingaku. Aku yang awalnya
serius mengerjakan PR, segera keluar kamar dan
turun kebawah. Aku melihat mama sedang diancam
Papa. Papa memegang sebuah gelas kaca yang
dipecahnya disebelah tangannya. Aku yang melihat
situasi itu langsung spontan berlari kearah dapur.
“STOP WOI” pas sekali. Saat aku sampai di depan
Mama, saat itu juga pecahan gelas menusuk
mataku. “ADUH, ADUH, ADUH !” teriakku kesakitan.
Papa yang awalnya sangat emosi langsung seketika
mengkhawatirkanku. Begitu juga dengan Mama
yang langsung memegang tubuhku. Saat itu juga
mataku terpejam dan yang aku lihat hanya gelap.

3. Resolusi “Siti, Siti bangun dong sayang…” suara yang tidak


asing tepat disebelah kananku dan memegang
tanganku. Rambutnya yang panjang mengenai
tanganku. “Mama?” tanyaku dengan pelan. “Siti ?
Kamu sudah sadar ?” Papa yang tadinya bersandar
di dinding rumah sakit mendatangiku. “Maafin Papa
ya Siti…Papa benar-benar minta maaf. Papa selalu
tidak bisa mengontrol emosi Papa. Papa janji tidak
bakal mengulangi hal ini. Papa akan selalu
berusaha jadi yang terbaik buat kalian. Sekali lagi,
Papa minta maaf ya sayang,” kata Papa panjang
lebar. “Mama, Papa minta maaf juga ya sama
Mama sudah jahat selama bertahun-tahun ini. Mau
bagaimana pun, papa tetap kepala keluarga. Jadi
susah senang, Papa harus berusaha mencari
nafkah. Harusnya Papa tidak cepat marah kalau lagi
banyak masalah di kantor. Sekali lagi papa minta
maaf ya” lanjut papa. Aku tersenyum lebar. Mama
juga tersenyum. “Mataku hanya tinggal satu ?”
tanyaku. Mama mengangguk sedih. Tapi aku
kembali tersenyum. Jangan sedih Ma…sudahlah…
baru satu mata saja, aku masih bisa melihat kok”
kataku. Papa memeluk Mama dan aku. Aku sangat
senang.
Setelah perawatan beberapa hari di rumah
sakit, aku bisa kembali masuk sekolah. Aku
berjalan menuju kelasku. Banyak teman-teman
yang membicarakan kondisiku. “Eh Siti, sekarang
matanya satu” kata salah satu teman yang berbisik
di lorong dengan teman yang lain. Mungkin mereka
tidak tahu kalau aku sangat senang dengan
situasiku sekarang yang damai. Karena dengan
mataku yang hanya tinggal satu, aku bisa
mempunyai keluarga yang kembali utuh dan rukun.
UNSUR INTRINSIK TEKS CERPEN
1. Tema: Kekeluargaan dan Pertengkaran Keluarga

2. Tokoh, Watak Tokoh dan Penokohan

No Tokoh Watak Kutipan Teks Cerpen


.
1. Aku (Siti) Tegar - Kutipan 1
(Protagonis) Penghibur “Ma, sudah tidak usah dipikirkan. Hari
Pelerai ini kan hari Sabtu, pergi ke Mall yuk
supaya mama terhibur” ajakku untuk
menghibur Mama. “ Ya sudah kalo
begitu. Kamu naik ya lalu segera ganti
baju. Mama bereskan serpihan-
serpihan gelas ini dulu sebentar.”
Jawab mama sambil tersenyum. Aku
kembali tersenyum.
- Kutipan 2
Aku melihat mama sedang diancam
Papa. Papa memegang sebuah gelas
kaca yang dipecahnya disebelah
tangannya. Aku yang melihat situasi
itu langsung spontan berlari kearah
dapur. “STOP WOI” pas sekali.

2. Mama Peduli - Kutipan 1


(Protagonis) Tegar “Pa, ini makan dulu,” kata Mama
Sabar sambil menaruh piring dengan nasi
Penyayang padang diatasnya. “Ga mau, saya
Pemaaf harus buruan ke kantor, nanti telat”
jawab papa sambil mengambil segelas
beer. “Dikit saja papa. Nanti lapar”
kata mama dengan lemah lembut.
- Kutipan 2
“Siti, Siti bangun dong sayang…” suara
yang tidak asing tepat disebelah
kananku dan memegang tanganku.
Rambutnya yang panjang mengenai
tanganku. “Mama?” tanyaku dengan
pelan. “Siti ? Kamu sudah sadar ?”
- Kutipan 3
Papa harus berusaha mencari nafkah.
Harusnya Papa tidak cepat marah
kalau lagi banyak masalah di kantor.
Sekali lagi papa minta maaf ya” lanjut
papa. Aku tersenyum lebar. Mama
juga tersenyum.
3. Papa Pekerja - Kutipan 1
(Antagonis yang Keras “Pa, ini makan dulu,” kata Mama
berubah Pemarah sambil menaruh piring dengan nasi
menjadi Peduli padang diatasnya. “Ga mau, saya
Protagonis) harus buruan ke kantor, nanti telat”
jawab papa sambil mengambil segelas
beer. “Dikit saja papa. Nanti lapar”
kata mama dengan lemah lembut.
“KALAU SAYA TIDAK MAU YA TIDAK
MAU!” bentak papa sambil
membanting gelas yang dipegangnya
lalu pergi keluar untuk pergi.
- Kutipan 2
Saat sampai di rumah, firasatku
kembali tidak enak. Benar saja, Aku
melihat mobil Papa sudah terparkir di
depan rumah. Setelah Mama selesai
memarkirkan mobilnya di depan
garasi, Papa sudah siap didepan pintu.
“Dari mana saja kalian?” tanya papa
dengan muka emosi. “Ehh, abis jalan-
jalan sebentar tadi pa,” jawab mama
dengan muka ketakutan. Ekspresi itu
sangat terlihat di mukanya. “DASAR
KAMU ISTRI BOROS!” teriak papa lalu
menampar pipi Mama. Aku yang
melihat kejadian itu, tidak bisa
menahan tangisku.
- Kutipan 3
Tiba-tiba ada suara teriakan dari
bawah, “DIAM KAMU!”. Teriakan itu
jelas terdengar ditelingaku. Aku yang
awalnya serius mengerjakan PR,
segera keluar kamar dan turun
kebawah. Aku melihat mama sedang
diancam Papa.
3. Latar (tempat)

No Lokasi Kutipan Teks Cerpen


.
1. Rumah dan Garasi Saat sampai di rumah, firasatku kembali tidak
enak. Benar saja, Aku melihat mobil Papa sudah
terparkir di depan rumah. Setelah Mama selesai
memarkirkan mobilnya di depan garasi, Papa
sudah siap didepan pintu.
2. Mall Berjalan-jalan di mall saja sudah membuat kami
senang. Walau mungkin kami tidak membeli
barang satupun. Mama mengajakku pergi ke
toko eskrim “Godiva” yang baru dibuka di mall
itu.
3. Rumah Sakit Papa yang tadinya bersandar di dinding rumah
sakit mendatangiku. “Maafin Papa ya Siti…Papa
benar-benar Papa janji tidak bakal mengulangi
hal ini. Papa akan selalu berusaha jadi yang
terbaik buat kalian. Sekali lagi, Papa minta maaf
ya sayang,” kata Papa panjang lebar. “Mama,
Papa minta maaf juga ya sama Mama sudah
jahat selama bertahun-tahun ini.minta maaf.
Papa selalu tidak bisa mengontrol emosi Papa.
4. Sekolah Aku berjalan menuju kelasku. Banyak teman-
teman yang membicarakan kondisiku. “Eh Siti,
sekarang matanya satu” kata salah satu teman
yang berbisik di lorong dengan teman yang lain.
Mungkin mereka tidak tahu kalau aku sangat
senang dengan situasiku sekarang yang damai.
Karena dengan mataku yang hanya tinggal satu,
aku bisa mempunyai keluarga yang kembali
utuh dan rukun.

4. Latar (Waktu)

No Waktu Kutipan Teks Cerpen


.
1. Pukul 5 Sore Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Mama segera
mengajakku pulang. Aku menganggukan
kepalaku. Kami kembali ke rumah. Saat sampai
di rumah, firasatku kembali tidak enak. Benar
saja, Aku melihat mobil Papa sudah terparkir di
depan rumah.
2. Beberapa Hari Setelah perawatan beberapa hari di rumah
sakit, aku bisa kembali masuk sekolah. Aku
berjalan menuju kelasku. Banyak teman-teman
yang membicarakan kondisiku.
3. Hari Sabtu “Ma, sudah tidak usah dipikirkan. Hari ini kan
hari Sabtu, pergi ke Mall yuk supaya mama
terhibur” ajakku untuk menghibur Mama. “ Ya
sudah kalo begitu. Kamu naik ya lalu segera
ganti baju. Mama bereskan serpihan-serpihan
gelas ini dulu sebentar.” Jawab mama sambil
tersenyum. Aku kembali tersenyum.
4. Waktu dan Setiap Waktu berjalan dengan cepat. Dengan konflik
hari yang selalu ada setiap harinya. Aku kembali
bersekolah seperti anak-anak SMP lainnya.

5. Latar (Suasana)

No Suasana Kutipan Teks Cerpen


.
1. Tegang Waktu berjalan dengan cepat. Dengan
konflik yang selalu ada setiap harinya. Aku
kembali bersekolah seperti anak-anak SMP
lainnya. Selesai sekolah, aku segera pulang
kerumah dan mengerjakan PR hingga sore. PR
matematika dan fisika. Sungguh banyak sekali.
Tiba-tiba ada suara teriakan dari bawah, “DIAM
KAMU!”. Teriakan itu jelas terdengar
ditelingaku. Aku yang awalnya serius
mengerjakan PR, segera keluar kamar dan turun
kebawah. Aku melihat mama sedang diancam
Papa. Papa memegang sebuah gelas kaca yang
dipecahnya disebelah tangannya. Aku yang
melihat situasi itu langsung spontan berlari
kearah dapur. “STOP WOI” pas sekali. Saat aku
sampai di depan Mama, saat itu juga pecahan
gelas menusuk mataku. “ADUH, ADUH, ADUH !”
teriakku kesakitan. Papa yang awalnya sangat
emosi langsung seketika mengkhawatirkanku.
Begitu juga dengan Mama yang langsung
memegang tubuhku. Saat itu juga mataku
terpejam dan yang aku lihat hanya gelap.
2. Senang Berjalan-jalan di mall saja sudah membuat kami
senang. Walau mungkin kami tidak membeli
barang satupun. Mama mengajakku pergi ke
toko eskrim “Godiva” yang baru dibuka di mall
itu. Kami tertawa lepas sambil memakan
eskrim. Bercerita tentang cerita-cerita lucu yang
aku alami dan Mama alami. Sungguh aku hanya
ingin membuat Mama tidak bersedih lagi. Aku
begitu sedih melihat kondisi Mama yang terus
disakiti Papa. Mulai dari dipukul menggunakan
kabel listrik hingga di cambuk menggunakan
ikat pinggang. Aku hanya ingin melihat senyum
Mama, senyuman sebuah malaikat yang Tuhan
berikan padaku ini. Karena setiap Papa
menyakitinya, dia hanya bisa berdiam diri. “Ah
sudahlah, Lagi senang-senang begini jangan
berpikiran yang sedih” pikirku. Kami kembali
berjalan-jalan di mall setelah selesai memakan
eskrim.
3. Sedih “Siti, Siti bangun dong sayang…” suara yang
tidak asing tepat disebelah kananku dan
memegang tanganku. Rambutnya yang panjang
mengenai tanganku. “Mama?” tanyaku dengan
pelan. “Siti ? Kamu sudah sadar ?” Papa yang
tadinya bersandar di dinding rumah sakit
mendatangiku. “Maafin Papa ya Siti…Papa
benar-benar minta maaf. Papa selalu tidak bisa
mengontrol emosi Papa. Papa janji tidak bakal
mengulangi hal ini. Papa akan selalu berusaha
jadi yang terbaik buat kalian. Sekali lagi, Papa
minta maaf ya sayang,” kata Papa panjang
lebar. “Mama, Papa minta maaf juga ya sama
Mama sudah jahat selama bertahun-tahun ini.
Mau bagaimana pun, papa tetap kepala
keluarga. Jadi susah senang, Papa harus
berusaha mencari nafkah. Harusnya Papa tidak
cepat marah kalau lagi banyak masalah di
kantor. Sekali lagi papa minta maaf ya” lanjut
papa. Aku tersenyum lebar. Mama juga
tersenyum. “Mataku hanya tinggal satu ?”
tanyaku. Mama mengangguk sedih. Tapi aku
kembali tersenyum. Jangan sedih Ma…
sudahlah…baru satu mata saja, aku masih bisa
melihat kok” kataku. Papa memeluk Mama dan
aku. Aku sangat senang.
Setelah perawatan beberapa hari di rumah
sakit, aku bisa kembali masuk sekolah. Aku
berjalan menuju kelasku. Banyak teman-teman
yang membicarakan kondisiku. “Eh Siti,
sekarang matanya satu” kata salah satu teman
yang berbisik di lorong dengan teman yang lain.
Mungkin mereka tidak tahu kalau aku sangat
senang dengan situasiku sekarang yang damai.
Karena dengan mataku yang hanya tinggal satu,
aku bisa mempunyai keluarga yang kembali
utuh dan rukun.

6. Alur

Alur yang digunakan ada dua alur yaitu Alur Mundur karena
menjelaskan dengan menggambarkan jalan cerita secara tidak urut.

7. Sudut Pandang: Orang Pertama (Aku, Kami, dsb)

8. Amanat

Pada cerpen ini, terdapat amanat dan pesan moral dalam suatu cerita
yaitu, keluarga adalah harta yang paling berharga dan yang harus menjadi
prioritas. Karena keluarga yang membantu anda di masa kesulitan atau
masa kesenangan serta hendaklah selalu menjaga emosi dan sayang
terhadap keluarga. Sehingga keadaan keluarga bisa tenteram dan bebas
dari ketidakrukunan.
HASIL CERPEN:

MATAKU HILANG SATU, KELUARGAKU MENJADI RUKUN


Aku melihat kami sekeluarga tertawa sambil berlari di atas pasir putih
yang terhampar di depan kami pada foto. Aku menjadi teringat kembali.
Papa dan Mama terlihat begitu bahagia, tertawa lepas dengan topik
pembicaraan saat itu. Aku beristirahat sambil membuat istana pasir selagi
Papa dan Mama bermain dengan ombak. Kesenangan saat itu benar-benar
hal yang tidak bisa kulupakan. Menurutku, itu merupakan pengalaman yang
sangat menyenangkan bagiku dan keluargaku.

Aku membayangkan waktu itu sambil menatap foto kami waktu itu
sambil menatap foto kami waktu liburan dua tahun yang lalu di Pantai
Parangtritis. “Siti ! Ayo Turun ! Mama sudah menyiapkan sarapan ini !”
teriak Mama dari lantai dasar. Aku segera menaruh foto itu di laci meja
belajarku dan segera turun untuk sarapan. “Wah, sarapan apa ma?” tanya
ku dengan senyum kecil. “ Kesukaanmu nih, telur buaya dan nasi padang,”
jawab Mamaku sambil terus memasak. “Asyikk...,” kataku lalu menarik kursi
dan segera duduk. “Makan ya Ma,” lanjutku sambil mengambil telur buaya
yang sudah di masak dan menggigitnya.

Mama terlihat senang melihatku makan dengan lahap. Aku


membalasnya dengan senyuman terbaikku sambil mengunyah telur yang
ada di dalam mulutku. Sementara itu, papa turun dari lantai dua, aku
menoleh ke tangga. Dia sedang memakai dasi bersiap untuk pergi bekerja.
“Pa, ini makan dulu,” kata Mama sambil menaruh piring dengan nasi padang
diatasnya. “Ga mau, saya harus buruan ke kantor, nanti telat” jawab papa
sambil mengambil segelas beer. “Dikit saja papa. Nanti lapar” kata mama
dengan lemah lembut. “KALAU SAYA TIDAK MAU YA TIDAK MAU!” bentak
papa sambil membanting gelas yang dipegangnya lalu pergi keluar untuk
pergi.

Aku sudah terbiasa melihat Papaku yang selalu kasar terhadap Mama,
Aku segera turun dari kursiku dan membantu Mama yang berlutut
membereskan pecahan gelas di lantai. Jujur saja, aku terlalu miris untuk
melihat Mamaku yang setiap harinya dan sudah bertahun-tahun disakiti oleh
Papa. Tapi aku tahu Mama sangat sayang dengan Papa sehingga tidak mau
berpisah dengannya.
“Ma, sudah tidak usah dipikirkan. Hari ini kan hari Sabtu, pergi ke Mall
yuk supaya mama terhibur” ajakku untuk menghibur Mama. “ Ya sudah kalo
begitu. Kamu naik ya lalu segera ganti baju. Mama bereskan serpihan-
serpihan gelas ini dulu sebentar.” Jawab mama sambil tersenyum. Aku
kembali tersenyum.

Aku naik ke kamarku sambil berpikit, “mengapa Mama masih bisa


tersenyum di saat Papa berbuat jahat kepadanya?” Jujur saja dalam lubuk
hatiku, aku sedih Mama disakiti terus oleh Papa. Tapi apa boleh buat, karena
jika aku sedih, Mama akan ikut sedih. Semua ini berawal dari pekerjaan
Papa yang turun. Ekonomi kami pun sedikit menurun. Papa mulai kasar
terhadap Mama. Aku tidak begitu mengerti permasalahannya. Karena aku
sudah dibiasakan dari kecil untuk tidak ikut campur masalah orangtuaku.
Sesampainya dikamar, aku segera mengganti baju rumah dengan baju
pergiku.

Setelah selesai mengganti baju, aku segera turun ke ruang tamu dan
duduk di sofa sambil bermain flappy bird pada handphone selagi menunggu
Mama. Tidak lama kemudian, mama turun dari kamar. “Ayo Siti, ambil kunci
mobil,” kata Mama lalu keluar rumah. Aku hanya mengikutinya sambil
membawa kunci mobil mama. Mama segera masuk ke dalam mobil. Aku
membukakan pagar dan kami segera berangkat ke mall.

Berjalan-jalan di mall saja sudah membuat kami senang. Walau


mungkin kami tidak membeli barang satupun. Mama mengajakku pergi ke
toko eskrim “Godiva” yang baru dibuka di mall itu. Kami tertawa lepas
sambil memakan eskrim. Bercerita tentang cerita-cerita lucu yang aku alami
dan Mama alami. Sungguh aku hanya ingin membuat Mama tidak bersedih
lagi. Aku begitu sedih melihat kondisi Mama yang terus disakiti Papa. Mulai
dari dipukul menggunakan kabel listrik hingga di cambuk menggunakan ikat
pinggang. Aku hanya ingin melihat senyum Mama, senyuman sebuah
malaikat yang Tuhan berikan padaku ini. Karena setiap Papa menyakitinya,
dia hanya bisa berdiam diri. “Ah sudahlah, Lagi senang-senang begini
jangan berpikiran yang sedih” pikirku. Kami kembali berjalan-jalan di mall
setelah selesai memakan eskrim.

Waktu menunjukkan pukul 5 sore. Mama segera mengajakku pulang.


Aku menganggukan kepalaku. Kami kembali ke rumah. Saat sampai di
rumah, firasatku kembali tidak enak. Benar saja, Aku melihat mobil Papa
sudah terparkir di depan rumah. Setelah Mama selesai memarkirkan
mobilnya di depan garasi, Papa sudah siap didepan pintu. “Dari mana saja
kalian?” tanya papa dengan muka emosi. “Ehh, abis jalan-jalan sebentar tadi
pa,” jawab mama dengan muka ketakutan. Ekspresi itu sangat terlihat di
mukanya. “DASAR KAMU ISTRI BOROS!” teriak papa lalu menampar pipi
Mama. Aku yang melihat kejadian itu, tidak bisa menahan tangisku. “PAPA
STOP! AKU YANG AJAK MAMA KE MALL! AKU MAU MENGHIBUR MAMA! DOSA
PAPA KALAU MARAH-MARAH MULU, NANTI CEPAT TUA LOH !” teriakku
sambil memeluk Mama. Mama memegang pipi kanannya sambil berkaca-
kaca. “Kamu tidak tahu seberapa susahnya aku bekerja untuk memenuhi
kebutuhan kita ?! Tapi kau membuangnya seperti membuang air !” bentak
Papaku dengan nada yang terus meninggi. “Kita hanya berjalan-jalan di
mall. Tidak berbelanja apapun,” jawab Mama dengan suara bergetar. Aku
hanya bisa mendongak ke atas melihat wajah Mama yang sangat ketakutan
seperti orang yang ditagih hutang oleh preman.

“TERSERAH,” kata papa dengan keras lalu membanting pintu rumah.


Mama langsung gemetar lalu duduk di depan pintu rumah. Aku terus
menangis sambil mencium kaki Mama. “Mama aku yakin Tuhan tidak
meninggalkan Mama Kok. Aku sayang Mama, Tuhan juga,” kataku sambil
memeluk mama dengan sangat erat. Mama yang awalnya tegar juga
akhirnya berbalik memelukku.

Waktu berjalan dengan cepat. Dengan konflik yang selalu ada setiap
harinya. Aku kembali bersekolah seperti anak-naka SMP lainnya. Selesai
sekolah, aku segera pulang kerumah dan mengerjakan PR hingga sore. PR
matematika dan fisika. Sungguh banyak sekali. Tiba-tiba ada suara teriakan
dari bawah, “DIAM KAMU!”. Teriakan itu jelas terdengar ditelingaku. Aku
yang awalnya serius mengerjakan PR, segera keluar kamar dan turun
kebawah. Aku melihat mama sedang diancam Papa. Papa memegang
sebuah gelas kaca yang dipecahnya disebelah tangannya. Aku yang melihat
situasi itu langsung spontan berlari kearah dapur. “STOP WOI” pas sekali.
Saat aku sampai di depan Mama, saat itu juga pecahan gelas menusuk
mataku. “ADUH, ADUH, ADUH !” teriakku kesakitan. Papa yang awalnya
sangat emosi langsung seketika mengkhawatirkanku. Begitu juga dengan
Mama yang langsung memegang tubuhku. Saat itu juga mataku terpejam
dan yang aku lihat hanya gelap.

“Siti, Siti bangun dong sayang…” suara yang tidak asing tepat
disebelah kananku dan memegang tanganku. Rambutnya yang panjang
mengenai tanganku. “Mama?” tanyaku dengan pelan. “Siti ? Kamu sudah
sadar ?” Papa yang tadinya bersandar di dinding rumah sakit mendatangiku.
“Maafin Papa ya Siti…Papa benar-benar minta maaf. Papa selalu tidak bisa
mengontrol emosi Papa. Papa janji tidak bakal mengulangi hal ini. Papa akan
selalu berusaha jadi yang terbaik buat kalian. Sekali lagi, Papa minta maaf
ya sayang,” kata Papa panjang lebar. “Mama, Papa minta maaf juga ya
sama Mama sudah jahat selama bertahun-tahun ini. Mau bagaimana pun,
papa tetap kepala keluarga. Jadi susah senang, Papa harus berusaha
mencari nafkah. Harusnya Papa tidak cepat marah kalau lagi banyak
masalah di kantor. Sekali lagi papa minta maaf ya” lanjut papa. Aku
tersenyum lebar. Mama juga tersenyum. “Mataku hanya tinggal satu ?”
tanyaku. Mama mengangguk sedih. Tapi aku kembali tersenyum. Jangan
sedih Ma…sudahlah…baru satu mata saja, aku masih bisa melihat kok”
kataku. Papa memeluk Mama dan aku. Aku sangat senang.

Setelah perawatan beberapa hari di rumah sakit, aku bisa kembali


masuk sekolah. Aku berjalan menuju kelasku. Banyak teman-teman yang
membicarakan kondisiku. “Eh Siti, sekarang matanya satu” kata salah satu
teman yang berbisik di lorong dengan teman yang lain. Mungkin mereka
tidak tahu kalau aku sangat senang dengan situasiku sekarang yang damai.
Karena dengan mataku yang hanya tinggal satu, aku bisa mempunyai
keluarga yang kembali utuh dan rukun.

Anda mungkin juga menyukai