Anda di halaman 1dari 9

Namaku Raib. Aku murid baru di sekolah. Usiaku lima belas. Aku sibuk memeriksa seluruh kamar, tertawa.

ertawa. Melewatkanku yang


anak tunggal, perempuan. Untuk remaja seumuranku, tidak ada padahal berdiri persis di samping lemari.
yang spesial tentang aku. Rambut hitam, panjang, lurus. Menyukai
membaca, punya dua ekor kucing di rumah. Aku bukan anak yang Aku sebal, mengintip dari balik jemari kedua belah telapak tangan.
pintar, populer apalagi, tidak. Hanya kenal teman-teman sekelas, Orang tuaku pastilah pura-pura tidak melihatku. Bagaimana
itupun hanya kenal anak perempuan. Nilaiku rata-rata, tidak ada mungkin mereka tidak melihatku. Dan itu berkali-kali terjadi. Saat
yang terlalu cemerlang, kecuali pelajaran bahasa--aku amat aku bersembunyi di ruang tengah, mereka juga pura-pura tidak
menyukainya. melihatku. Bahkan saat aku hanya bersembunyi di tengah ruang
keluarga rumah kami, menutup wajah dengan telapak tangan,
Di kelas satu sekolah baru ini, aku lebih suka menyendiri dan mereka juga pura-pura tidak melihatku.
memperhatikan. Menonton teman-teman bermain basket. Duduk
diam di keramaian di kantin. Depan kelas. Lapangan. Sebenarnya Dan saat aku kesal melepaskan telapak tangan menutupi wajah,
sejak kecil aku terbilang anak yang pemalu. Tidak pemalu-pemalu mereka hanya berseru, 'Astaga, Raib? Kau ternyata ada disitu?'
sekali memang, meskipun satu-dua sering jadi bahan tertawaan atau 'Aduh, Raib, bagaimana kau tiba-tiba ada di sini? Kami dari
teman, atau orang tuaku. Normal-normal saja, tapi sungguh tadi melewati tempat ini, tidak melihatmu?' lantas memasang
urusan pemalu inilah yang membuatku berbeda dengan remaja wajah seperti terkejut melihatku yang berdiri polos. Memasang
kebanyakan. wajah tidak mengerti bagaimana aku bisa tiba-tiba muncul.
Padahal aku sungguh sebal menunggu kapan mereka akan berhenti
Aku ternyata amat berbeda. Aku memiliki kekuatan itu. Aku tahu pura- pura tidak melihatku.
itu sejak masih kecil--meskipun hingga hari ini, kedua orang tuaku,
teman-teman dekatku tidak tahu. Permainan petak umpet itu hanya bertahan satu-dua bulan. Aku
bosan.
Waktu usiaku masih dua tahun, aku suka sekali bermain petak
umpet. Orang tuaku pura-pura bersembunyi, lantas aku sibuk Aku sungguh tidak menyadari saat itu. Itulah kali pertama
mencari. Tertawa saat menemukan mereka. Kemudian giliranku kekuatan itu tiba. Kekuatan yang tidak pernah berhasil aku
yang bersembunyi. Kalian pernah melihat anak kecil usia dua mengerti hingga hari ini, kekuatan yang kurahasiakan hingga
tahun mencoba bersembunyi? Kebanyakan dari mereka hanya usiaku lima belas dari siapapun. Aku tinggal menutupkan kedua
berdiri di pojok kamar, atau samping sofa, atau belakang meja, belah telapak tanganku di wajah, berniat bersembunyi, maka
lantas menutup mata dengan kedua belah telapak tangan. Merasa seketika, seluruh tubuhku tidak terlihat dari apapun. Lenyap.
itu sudah cukup sempurna untuk bersembunyi, kalau sudah Orang tuaku sungguh tidak punya ide kalau anak perempuannya
menutup mata, gelap, sudah tersembunyi semua, padahal badan yang berusia kurang dari dua tahun bersembunyi persis di
mereka amat terlihat. Aku juga melakukan hal yang sama, saat depannya, berdiri di tengah karpet, mengintip dari sela-sela
Ayah bilang, 'Raib, ayo bersembunyi. Giliran Mama dan Ayah yang jarinya.
jaga.' Maka aku tertawa comel, berlarian ke kamarku, berdiri di
samping lemari, menutup wajah dengan kedua belah telapak Namaku Raib, gadis remaja lima belas tahun. Aku bisa menghilang,
tangan. Usiaku saat itu bahkan baru dua puluh dua bulan, belum dalam artian benar-benar menghilang.
genap dua tahun. Itu permainan hebat pertama yang pernah
kumainkan. Antusias.

Tapi ternyata permainan itu tidak seru. Orang tua-ku curang. Waktu
“Aduh, Ra, berhentilah mengagetkan, Mama.” Mama berseru pias.
giliranku yang jaga, mereka bersembunyi, aku selalu berhasil
menemukan mereka. Di balik gorden, dibalik pot bunga besar, di Papa yang tergesa-gesa menuruni anak tangga, baru bergabung di meja
belakang apalah, aku bisa menemukannya--meskipun sebenarnya makan, tertawa melihat Mama yang sedang mengelus dada,
aku tahu dari suara mereka menahan tawa. Tetapi saat aku yang menghembuskan nafas, kesal bercampur kaget menatapku, “Sejak
bersembunyi, mereka tidak pernah berhasil menemukanku. Mereka kapan Ra sudah duduk di sana.”
hanya sibuk memanggil-manggil namaku. Tertawa. Masuk
kamarku,
“Dari tadi, Mam.” Aku ringan mengangkat bahu, meraih kotak susu. Sibuk meneriakiku, “Raaa! Turun, sudah siang.” Lantas mengomel
sendiri, bicara dengan wajan panas di depannya, “Anak gadis remaja
“Bukannya Ra tadi masih di kamar? Berkali-kali Mama teriakin biar sekarang selalu bangun kesiangan. Alangkah susah mendidik anak
turun, sarapan. Sampai serak. Ini sudah hampir setengah enam. Nanti itu.” Lantas menoleh lagi ke atas, ke anak tangga, berteriak, “Ayaaah!
terlambat.” Mama menghela nafas sekejap, lantas dikejap berikutnya, Turun, sudah jam enam lewat. Bukankah ada rapat penting di kantor?”
tanpa menunggu jawabanku, sudah gesit mengangkat roti dari Lantas mengomel lagi sendirian, bicara dengan wajah panas lagi,
pemanggang, masih bersungut-sungut. Celemeknya terlihat miring, membalik omelet, “Kalau mandi selalu saja lama. Contoh yang buruk.
ada satu-dua noda yang tidak hilang dicuci berkali-kali. Rambut di Bagaimanalah Ra akan bisa tangkas mengerjakan pekerjaan rumah
dahi berantakan, menyeka pelipis. kalau Papanya juga selalu santai. Anak –Papa sama saja kelakuannya.”
Menggerutu.
“Ra sudah dari tadi duduk di sini, kok. Mama saja nggak lihat.” Aku
menuangkan susu ke gelas, “Beneran.” Dulu, aku suka tertawa melihat Mama mengomel sendiri. Lucu sekali,
mengintip dari balik jari, bersembunyi. Sambil menguap, sisa
“Berhenti menggoda Mamamu, Ra.” Papa memperbaiki dasi, menarik kantukku walau telah mandi. Aku bisa bermenit-menit diam, bertopang
kursi, duduk, tersenyum, “Mamamu itu selalu tidak memperhatikan tangan, menonton Mama—dan itu membuatku tidak perlu bekerja
sekitar, sejak Ra kecil.” pagi-pagi membantunya, sekaligus tahu banyak rahasia, misalnya
apakah aku jadi dibelikan sepeda atau tidak, apa hadiah ulang tahunku
Aku membalas senyum Papa dengan senyum tanggung. besok, dan sebagainya. Sekarang serunya hanya sedikit, tidak sesering
dulu, sejak usia belasan aku lebih dari tahu tanggung jawabku. Sekali-
Itu adalah penjelasan sederhana Papa atas keanehan keluarga kami dua saja isengnya kambuh, seperti pagi ini, aku sebenarnya sudah
sejak usiaku dua puluh bulan. Sejak permainan petak umpet yang tidak sejak tadi turun dari lantai dua rumah kami, rapi mengenakan seragam
seru. Sesimpel itu. Mama tidak memperhatikan sekitar dengan baik. sekolah, bergabung di meja makan. Tetapi karena bosan menunggu
Padahal, kalau aku lagi bosan, tidak mau dilihat siapapun, atau sedang Papa turun, daripada disuruh-suruh Mama, memutuskan
iseng, aku memang menutupkan telapak tangan di wajah, menghilang. ‘bersembunyi’, iseng menonton.
Seperti pagi ini, dari tadi Mama berteriak membangunkan Papa.
Meneriakiku bergegas, rusuh memulai hari, menyiapkan sarapan. “Ra sudah lama menunggu?” Papa bertanya, mengambil koran pagi.
Mama selalu begitu, terlihat sibuk. Terlepas dari peraturannya—aku
benci peraturan-peraturan Mama yang kalau dibukukan bisa setebal “Papa tahu, tarif air PAM sekarang naik dua kali lipat.” Mama lebih
novel, Mama adalah ibu rumah tangga yang hebat, cekatan, mengurus dulu memotong, berseru soal lain. Tangannya cekatan memindahkan
semua keperluan rumah tangga sendirian, tanpa pembantu. omelet ke atas piring.

Dulu, sambil menunggu kapan Papa turun bergabung ke meja makan, “Ohya?” Papa yang mulai membuka koran pagi mengangkat wajah.
aku suka memperhatikan Mama bekerja di dapur. Tentu saja kalau aku
hanya duduk bengong menonton paling bertahan tiga detik, sebelum “Itu artinya Papa jangan mandi lama-lama,” Aku menyikut Papa,
Mama segera melemparkan celemek, menyuruhku membantu. Aku berbisik pelan, membantu menjelaskan maksud celetukan Mama.
iseng ‘menonton’ sambil bertopang tangan di meja dengan kedua
telapak tangan menutup wajah, membuat tubuhku sempurna Papa ber-oh sebentar, tertawa, mengedipkan mata, pura-pura
menghilang, mengintip Mama yang sibuk bekerja. mengernyit tidak bersalah, “Siapa sih yang mandi lama-lama?”
“Memang selalu susah mengajak kalian bicara serius. Sudahlah, mari kursi. Semua sarapan sudah tersedia di atas meja, “Ra mau sarapan
kita sarapan.” Mama melotot, memotong kalimat Papa lagi, menarik apa?”
ini, bertanya itu, menyelidik ini, menyelidik itu. Lantas membacakan
“Omelet terlezat sedunia, Mam. Dan minumnya segelas susu ini.” Aku sepuluh peraturan paling penting di keluarga kita.
menunjuk.
“Mau Papa temani ke toko elektronik nanti malam?”
Mama tertawa—yang segera membuat wajah segar itu
Dua tiga menit, soal mesin cuci masih jadi trending topic.
kembali. “Nah, Papa mau apa?”
“Tidak usah. Nanti sore Mama bisa pergi sendiri. Sekalian mengurus
“Roti panggang penuh cinta.” Papa nyengir, meniru teladanku. keperluan lain.”

“Jangan gombal.” Mama melotot, meski separuh wajahnya Papa mengangguk takjim. Mama memang selalu bisa diandalkan—tadi
tersungging senyum. waktu bilang sudah diotak-atik, itu bahkan berarti Mama sudah
berprofesi setengah montir amatir.
“Siapa yang gombal? Sekalian jus jeruk penuh kasih sayang.”
Telepon genggam Papa tiba-tibe bergetar, menghentikan sarapan.
Aku tertawa, “Tentu saja gombal, Pa. Jelas-jelas itu hanya roti dan jus
jeruk.” Papa menyambar teleponnya, melihat sekilas nama di layar. Aku dan
Mama bersitatap.
Mama tidak berkomentar, menuangkan jus jeruk, ikut tertawa. Lantas
mengambil sisa makanan yang belum diambil, meraih sendok dan “Ya, hallo.” Papa bicara sejenak, lantas menjawab pendek-pendek, ya,
garpu. Kami mulai sibuk dengan menu masing-masing. oke, baik, ya, oke, baik.

“Kita sepertinya harus mengganti mesin cuci.” Mama bicara disela “Papa minta maaf, sepertinya lagi-lagi tidak bisa menghabiskan
mulut mengunyah. sarapan bersama. Lima belas menit, Papa harus segera ada di kantor.
Tuan Direktur memanggil.” Papa meletakkan telepon.
Papa menelan roti, “Eh, sekarang rusak apanya?”
Aku menepuk jidat. Selalu begitu.
“Pengeringnya rusak, tidak bisa di isi penuh. Kadang malah tidak
bergerak sama sekali. Tadi sudah diotak-atik. Menyerah. Beli baru Papa tertawa, balas menyikutku, “Ayolah, Papa harus bergegas, Ra.
saja.” Dan Papa janji, Mam, gantinya kita makan malam bersama nanti.”

Aku terus menghabiskan omelet, tidak ikut berkomentar. Pembicaraan Mama menghela nafas tipis. Selalu begitu.
sarapan pagi ini sudah dipilih. Mesin cuci. Dan itu lebih baik—
daripada Mama tiba-tiba bertanya tentang sekolah baruku, bertanya Baik. Sepertinya aku juga harus menyudahi sarapan pagiku yang
belum sepertiga—nasibku sama dengan remaja lain, harus berangkat
ke sekolah bersama orang tua. Mereka buru-buru, maka aku ikut buru-
buru. Mereka telat, aku juga ikut telat. Aku meletakkan sendok,
beranjak berdiri, lantas berlari naik ke kamar, mengambil tas dan “Jangan lupa sarapan lagi di kantor, Pa.”
keperluan sekolah.
“Tentu saja. Bila perlu Papa akan sarapan sambil rapat dengan Tuan
Direktur. Itu pasti akan menarik.” Papa mengedipkan mata, bergurau. “Tentu saja Ra lama. Meniru siapa lagi? Selalu lama melakukan
sesuatu? Dan terbirit-birit panik kalau sudah kehabisan waktu.” Mama
Mama melotot. Papa buru-buru memperbaiki ekspresi wajah, “Papa tersenyum simpul.
tidak akan lupa, Mam. Peraturan ke tujuh keluarga kita: sarapan itu
selalu penting.” Papa meniru gayaku, tangan hormat di dahi. Mama “Oh, itu entahlah meniru siapa.” Papa pura-pura tidak mengerti, sambil
tersenyum. Kami semua paham, Papa sedang berada di titik paling ketiga kalinya melirik jam tangan, “Yang aku tahu, anak itu cantiknya
penting karir pekerjaannya—setidaknya demikian kalau Papa meniru siapa.”
menjelaskan kenapa dia harus pulang larut malam, kenapa dia harus
bergegas pagi-pagi sekali. “Papa harus berhasil melewati fase ini Mama tersipu. Mereka berdua tertawa.
dengan baik, Ra. Sekali Papa berhasil memenangkan hati pemilik
Perusahaan, karir Papa akan melesat cepat. Posisi lebih baik, gaji lebih Papa melihat jamnya lagi, mengeluh, “Tiga menit? Alangkah lama
tinggi. Keluarga kita harus kompak mendukung, termasuk Ra. Toh anak itu mengambil—“
pada akhirnya Ra juga yang diuntungkan, mau liburan kemana? Mau
beli apa? Semua beres.” Aku hanya bisa mengangguk, setengah paham “Ra sudah selesai dari tadi, kok.” Aku nyengir, menurunkan telapak
(soal jalan-jalan atau belanja), setengah tidak (soal memenangkan hati tangan.
pemilik Perusahaan).
“Eh? Ra?” Papa berseru kecil, hampir terlonjak melihatku yang tiba-
“Dasi Papa miring.” Mama menunjuk, beranjak mendekat, tiba sudah berdiri di anak tangga terakhir, “Bagaimana kau sudah ada
memperbaiki. di sana? Kau selalu saja mengejutkan orang tua?” Papa bersungut-
sungut—meski sungutnya lebih karena dia harus bergegas.
“Terimakasih.” Papa tersenyum, melirik pergelangan tangan,
“Celemek Mama juga miring.” Ikut memperbaiki, meski sekali lagi “Jangan menggoda Papa kau, Ra. Dia selalu saja tidak memperhatikan.
melirik pergelangan tangan. Sejak kau kecil, malah.” Sekarang giliran Mama yang menggunakan
kalimat itu, tersenyum.
“Jangan pulang larut malam, Pa.”
Aku tersenyum tanggung membalas senyum Mama.
“Kau lupa, bukankah aku bilang nanti malam kita makan malam
bersama. Spesial. Tidak akan terlambat.” Papa mendongak, “Alangkah Itu juga adalah penjelasan sederhana Mama atas keanehan keluarga
lamanya anak itu mengambil tas sekolah?” kami sejak usiaku dua puluh bulan. Sejak permainan petak umpet.
Sesimpel itu. Papa tidak memperhatikan sekitar dengan baik. Padahal,
“Tentu saja.” kalau aku lagi bosan, tidak mau dilihat siapapun, atau sedang iseng,
aku tinggal menutupkan telapak tangan di wajah, menghilang. Seperti
“Tentu saja apanya?” pagi ini, aku iseng ingin melihat percakapan akrab orang tuaku. Sudah
sejak tadi aku turun mengambil tas, berdiri di anak tangga paling
bawah dengan menutupkan kedua telapak tangan di wajah, mengintip
wajah mereka yang saling tersipu. Baik dulu, maupun sekarang, itu
selalu seru.

“Ayo berangkat.” Papa berjalan lebih dulu.


Aku mengangguk.
“Jangan lupa sarapan lagi di sekolah, Ra.” “Usianya sudah lima tahun, bukan.” Papa tertawa kecil,
membayangkan sekaligus berhitung.
“Ra tidak akan lupa, Mam. Peraturan ke tujuh keluarga kita: sarapan
itu selalu penting.” Aku mengangkat tangan, hormat. “Ya?”

Mama mengacak poni rambutku. “Kau tahu, kalau setiap hari mesin cuci itu mencuci pakaian sebanyak
dua puluh potong, maka selama lima tahun, itu berarti lebih dari
Lima menit, mobil yang Papa kemudikan sudah melesat di jalanan. 36.000 potong pernah dicucinya, hingga akhirnya rusak, minta diganti.
Pagi itu, aku sungguh tidak tahu, setelah sarapan bersama yang selalu Hebat, bukan?”
menyenangkan, beberapa jam lagi, kejutan itu tiba. Ada yang tahu
rahasia besarku, bukan hanya satu, melainkan susul menyusul. Dan Aku mengangguk pelan, menatap halte yang baru saja dilewati. Ada
seluruh kehidupanku mendadak seratus delapan puluh derajat berubah. lima-enam anak sekolah sepertiku sedang menunggu angkutan umum,
beberapa pekerja kantoran. Lampu kendaraan menyala, kedip-kedip.
Pedagang asongan. Pengamen yang malas, membiarkan gitar tersampir
Gerimis turun sepanjang perjalanan menuju sekolah. Papa di pundak. Pemandangan yang biasa sebenarnya, tapi hujan gerimis
mengemudikan mobil dengan cepat, menerobos jutaan tetes air. Aku membuat suasana terlihat berbeda.
menatap jalanan basah dari balik jendela. Aku selalu suka hujan.
Menatap butiran air jatuh, itu selalu menyenangkan. “Konsistensi. Eh, bukan, persisten maksud Papa. Ya, itu kata yang
lebih tepat. Kau tahu, Ra, Persisten membuat kita bisa melakukan hal
“Ra, nanti pulang sore?” Papa bertanya, tangannya menekan klakson, hebat tanpa disadari. Seperti mesin cuci itu. Sedikit setiap harinya, tapi
ada angkutan umum ngetem sembarangan, menghambat lalu lintas dalam waktu yang lama, tetap saja hebat hasilnya. Coba Ra bayangkan
pagi yang mulai macet di depan. 36.000 potong pakaian, itu lebih banyak dibanding koleksi seluruh
departemen store besar.” Papa tertawa lagi.
“Tidak ada les, Pa. Ra, langsung pulang dari sekolah.” Aku menjawab
tanpa menoleh, tetap menatap langit gelap. Aku mengangguk. Aku tahu kebiasaan keluarga kami. Papa selalu
suka ‘menasehatiku’ dengan caranya sendiri. Seperti mengajak bicara
“Oh. Kalau begitu Ra bisa menemani Mama ke toko elektronik.” hal unik di pagi basah menuju sekolah ini. Mungkin orang tua
kebanyakan lainnya juga seperti itu. Selalu merasa penting mengajak
Aku mengangguk. Tanganku menyentuh jendela mobil. Dingin. anak-anak remajanya bicara sesuatu, menasehati, dan berharap
kalimat-kalimat itu bekerja baik—meskipun hanya urusan mesin cuci.
“Mesin cuci itu. Kau pernah memikirkannya, Ra?” Papa sepertinya Terlepas dari kesibukannya—dan juga topik pembicaraan yang kadang
masih tertarik dengan percakapan di meja makan tadi, menekan tidak nyambung situasi, bagiku Papa menyenangkan. Dia selalu ada
klakson, sekarang menyuruh dua motor di depan yang sembarangan saat aku butuh sesuatu.
menyelip di tengah kemacetan agar menyingkir.
“Dan satu lagi, Ra. Urusan mesin cuci ini masih punya satu lagi yang
“Ya?” Aku ikut menatap ke depan. hebat.”

“Oh ya?” Aku memperhatikan wajah Papa yang riang.


“Nah, coba kau hitung, jika setiap hari Mama mencuci lima potong Ra bayi, itu jumlahnya sekitar, eh, 30.000 potong lebih. Atau, untuk
pakaian kau. Maka, selama lima belas tahun terakhir, dihitung sejak Papa, tujuh belas tahun sejak menikah, angkanya lebih banyak lagi,
bukan? Bisa 40.000 potong. Papa lebih banyak ganti baju, bukan. Total Dulu, waktu usiaku masih empat-lima tahun, setiap kali hujan aku
70.000 potong lebih. Untung saja Mama tidak menarik uang laundry selalu memaksa bermain di halaman. Sesekali Mama mengijinkan—
ke kita, ya Ra?” Papa tertawa. malah menawari. Itu permainan kedua yang kukenal, setelah petak
umpet yang berakhir membosankan. Berlarian melintasi rumput yang
Aku ikut tertawa, mengangguk. basah, menggoyang pohon mangga, berjatuhan airnya dari daun,
duduk di atas lumpur, melempar sesuatu, menendang sesuatu, tertawa.
Pembicaraan mesin cuci ini terus menjadi trending topic hingga mobil Itu selalu seru.
yang dikemudikan Papa tiba di depan gerbang sekolah. Gerimis
menderas, anak-anak sekolahku berhamburan turun dari angkutan Sayangnya, Mama memiliki definisi ketat soal main hujan-hujanan.
umum, mobil pribadi, atau jalan kaki, atau motor, bergegas masuk ‘Masuk Ra, sudah setengah jam. Cukup.’ Aku menggeleng, tidak mau.
menuju bangunan yang kering. ‘Ra, tanganmu sudah biru kedinginan. Masuk. Besok kan bisa lagi.’
Mama melotot—Papa meng-amini. Aku kalah, merengut terpaksa
“Kau bawa saja payungnya, Ra.” Papa menoleh, menunjuk ke menerima juluran handuk kering. Atau, ‘Aduh, Ra, bukankah baru
belakang. kemarin kamu main hujan-hujanan?’ Mama menggeleng tegas.
‘Sebentar saja, Ma. Kan kata Mama besok bisa main lagi.’ Tidak,
“Tenang saja, di kantor nanti Papa bisa menyuruh siapalah Mama menggeleng. “Lima menit?’ Tidak. ‘Tiga menit?’ Tidak. Dan
membawakan payung ke parkiran. Atau menyuruh siapalah yang seberapapun aku merajuk, menangis, jawaban Mama tetap tidak—
memarkirkan mobil.” Papa seperti mengerti apa yang kupikirkan. Papa meng-amini. Aku kalah, dikurung dalam rumah.

Aku tidak banyak bicara, meraih payung di belakang kursi, mencium Usiaku baru empat-lima tahun. Rambutku masih sering lucu di kepang
tangan Papa, membuka pintu mobil, beranjak turun, “Da, Papa.” dua oleh Mama. Aku hanya bisa protes dalam hati, bukankah kemarin-
kemarin Mama yang menyuruhku main hujan-hujanan, kenapa jadinya
“Da, Ra.” sekarang dibatasi banyak peraturan. Maka itu selalu menyenangkan
setiap ijin bermain hujan-hujanan itu diberikan. Berlari kesana kemari,
Aku menutup pintu mobil, dua detik, mobil Papa kembali masuk ke membujuk dua kucingku agar ikut bermain air—kucingku mengeong
jalanan. panik, lari masuk ke dalam rumah, aku tertawa. Membiarkan badanku
kotor oleh lumpur. Dan akhirnya setelah lelah, duduk di halaman, aku
Petir menyambar selintas, disusul gemeretuk guntur memenuhi langit. mendongak menatap langit gelap. Awan hitam. Membayangkan apa
Aku mendongak, sengaja belum mengembangkan payung. Awan hitam yang sedang berkecamuk di awan-awan itu?
terlihat memenuhi atas kepala sejauh mata memandang. Bergumpal-
gumpal, terlihat begitu suram. Terlihat seperti menyembunyikan Tetes air hujan deras menerpa wajah, aku meletakkan telapak
sesuatu. Entahlah. Aku selalu suka hujan, semakin lebat, semakin seru. tanganku, berusaha melindungi mata. Splash. Saat itu aku belum tahu,
Membayangkan awan-awan gelap itu, berdiri di antaranya. masih terlalu kecil. Persis telapak tanganku melindungi wajah,
seketika seluruh tubuhku hilang, begitu saja. Tubuhku menjadi lebih
bening dibanding kristal air. Menjadi lebih transparan dibanding tetes
air. Aku asyik mendongak menatap langit, belum menyadari kalau
jutaan tetes air hujan itu hanya melewati tubuhku, tidak pecah saat
mengenai wajah. Ini main hujan yang menyenangkan, melamun
menatap langit langsung di bawah tetes air—dan lebih penting lagi,
setiap kali aku duduk menjeplak di rumput halaman, mendongak melindungi wajah dengan telapak tangan, entah bagaimana caranya,
aku bisa bermain hujan lebih lama. Mama di dalam rumah hanya sibuk saat kami hendak naik tangga, membuyarkan dengung suara
mengomel mencariku, bukan meneriakiku agar bergegas masuk. keramaian anak-anak bercampur suara gerimis. Sial, saat bergegas
menaiki anak tangga, Seli bertabrakan dengan teman lain yang juga
“Pagi, Ra.” Seli, teman satu mejaku, satu kelas, berseru bergegas.

mengagetkan. Kepalaku yang mendongak, menolah. “Lihat-lihat, dong.” Seli berseru ketus.

“Kenapa kau bengong di sini, Ra?” Seli tertawa riang. Dia baru turun “Kamu yang harusnya lihat!” Yang ditabrak balas berseru ketus.
dari mobil yang mengantarnya, mengembangkan payung berwarna
pink. “Jelas-jelas kami duluan. Sabar sedikit kenapa?” Seli melotot.

“Eh, tidak apa-apa. Pagi juga, Sel.” Aku menyeka wajah yang basah “Duluan dari mana? Saya lebih cepat.”
oleh gerimis.
“Semua orang juga tahu kamu yang menabrak dari belakang!” Suara
“Ayo bergegas, sebentar lagi bel.” Seli sudah berlari-lari kecil Seli melengking.
melintasi gerbang sekolah.
Aku menyikut Seli, memberi kode, cuekin saja. Pertama, karena sudah
Aku mengembangkan payungku, menyusul langkah Seli, bel ini, teman-teman lain juga terhambat naik, berdiri menonton di
mensejajarinya. lorong lantai satu. Kedua, yang lebih penting lagi, kita tidak akan
merusak mood pagi yang menyenangkan dengan bertengkar dengan
“Kau sudah mengerjakan PR dari Miss Keriting?” Seli menoleh, Ali—teman satu kelas yang terkenal sekali suka mencari masalah.
wajahnya seperti sedang membayangkan sebuah bencana jika aku Lihatlah, Ali hanya cengar-cengir, tidak peduli, sejenak menatap Seli,
menjawabnya tidak. lantas bergegas menaiki sisa anak tangga. Sama sekali merasa tidak
bersalah.
Aku tertawa, mengangguk, tentu saja sudah.
“Dia selalu saja menabrak orang lain, mengajak bertengkar. Jangan-
“Oh, syukurlah.” Seli ikut menghela nafas lega, “Aku baru tadi subuh jangan matanya ditaruh di dengkul.” Seli mengomel pelan, menepuk
menyelesaikannya, Ra. Semalam aku lupa kalau ada PR, malah asyik lengannya yang terhantam dinding, beranjak ikut naik tangga.
nonton serial Korea. Miss Keriting bisa mengamuk kalau ada yang Keributan di anak tangga mencair. Guru-guru sudah keluar dari
tidak mengerjakan PR-nya lagi, iya kalau cuma dimarahi, kalau ruangan, menuju kelas masing-masing. Tidak ada yang ingin terlambat
disuruh berdiri di dekat papan tulis selama pelajaran? Itu memalukan, saat pelajaran dimulai.
bukan?”
“Kayaknya sih Ali matanya bukan di dengkul, Sel.” Aku berbisik,
Aku tidak berkomentar, sudah menguncupkan payung, kami sudah tiba menahan tawa.
di bangunan sekolah, melangkah ke lorong, menuju anak tangga. Naik.
Kelas satu ada di lantai dua bangunan sekolah. Bel persis berdentang “Memangnya di mana?”

“Di pantat kayaknya.”

Seli menatapku sejenak, lantas ikut tertawa. Kami berlari-lari melintasi lorong lantai dua, segera masuk kelas, mencari meja. Anak-anak lain
sudah membongkar tas. Ali yang duduk di pojokan terlihat menggaruk Aku menggigit bibir. Mau apalagi? Melangkah ke depan.
kepala, seperti biasa, kemeja seragamnya berantakan, dimasukkan
separuh. Aku hanya melihat selintas—paling juga biang masalah itu “Ra?” Seli menatapku bingung.
sedang mencari buku PR-nya.
Aku tidak menjawab, terus melangkah ke depan di bawah tatapan
Suara sepatu Miss Keriting terdengar bahkan sebelum dia tiba di pintu teman-teman.
kelas. Baru satu bulan, semua murid baru sekolah ini segera tahu,
dialah guru paling galak di seluruh sekolah. Wajahnya jarang “Kau tidak mengerjakan PR, Ra?” Miss Keriting menatapku tajam.
tersenyum, suaranya tegas, dan hukumannya selalu membuat murid
merasa malu. Aku sebenarnya tidak punya masalah dengan guru galak, “Aku mengerjakan PR, Bu.”
tapi itu tetap bukan kabar baik bagiku, karena Miss Keriting mengajar
Matematika, pelajaran yang tidak terlalu kukuasai. “Lantas kenapa kau maju ke depan?”

“Pagi, anak-anak.” Miss Keriting memecah suara hujan. “Aku lupa membawa bukunya.”

Kami menjawab salam. Teman-teman tertawa. Satu-dua menepuk meja. Diam, saat Miss
Keriting mengangkat tangan.
“Keluarkan buku PR kalian. Sekarang.” Kalimat standar pembuka
Miss Keriting. Miss Keriting menatapku lamat-lamat, sejenak, “Itu sama saja dengan
tidak mengerjakan PR, Ra. Dengan amat menyelas, kau terpaksa Ibu
Kelas bising sejenak, teman-teman sibuk mengambil buku PR. Dan keluarkan dari kelas. Kau menunggu di lorong selama pelajaran
aku seketika tertegun. Di mana buku PR Matematikaku? Aduh, ini berlangsung. Paham?” Suara Miss Keriting sebenarnya tidak
sepertinya akan menjadi pagi yang buruk. Aku menumpahkan buku menunjukkan intonasi ‘menyesal’, karena sedetik kemudian, saat aku
dalam tas. mengangguk pelan, dia kembali sibuk menatap teman-teman lain,
tidak peduli, membiarkanku beranjak gontai ke bingkai pintu kelas.
“Ada apa, Ra?” Seli bertanya.
Petir menyambar terang. Suara guntur mulai terdengar menggelegar.
Aku tidak menjawab. Berpikir cepat. Buku PR itu tertinggal di kamar. Hujan turun semakin deras. Udara terasa lebih dingin dan lembab. Aku
Aku menyeka dahi, gerah, aku ingat sekali tadi malam sudah melangkah malas, mencari lokasi menunggu yang baik di lorong.
mengerjakan PR itu, meletakkan buku PR di atas meja, tadi pagi, saat Nasib, aku menghela nafas sebal. Padahal aku sudah susah payah
Papa memintaku buru-buru berangkat, aku lupa memasukkannya. mengerjakan PR itu. Melirik jam di pergelangan tangan, masih persis
dua jam lima belas menit hingga pelajaran Miss Keriting usai.
“Yang tidak mengerjakan PR, sukarela maju ke depan, sebelum Ibu Sendirian di lorong yang tampias, basah. Itu bukan hukuman yang
periksa.” Suara tegas Miss Keriting membuatku menghela nafas menyenangkan—meski dibandingkan berdiri di depan kelas di tonton
tertahan. teman-teman.

“Ayo, maju. Sekarang!” Miss Keriting menyapu wajah-wajah kami. Aku mendongak menatap langit. Petir untuk kesekian kali menyambar,
membuat gumpalan awan hitam terihat memerah sepersekian detik,
seperti ada gumpalan api memenuhi awan-awan hitam itu. Guntur hujan pagi ini terlihat berbeda sekali. Lebih kelam daripada biasanya.
bergemeletuk membuat nyilu telinga. Aku menghela nafas, suasana
Dan ternyata kabar buruk itu belum berakhir. Diiringi sorakan ramai Suara dingin itu lebih dulu mengagetkanku. Petir menyambar terang
teman sekelas, Ali juga dikeluarkan oleh Miss Keriting. Ali bertahan sekali. Tubuh kurus, tinggi itu entah dari mana datangnya telah berdiri
beberapa menit, mengaku sudah mengerjakan PR—tapi belum selesai, di depanku. Matanya menatap mempesona.
memperlihatkan bukunya yang hanya berisi separuh halaman. Miss
Keriting tanpa ampun juga ‘mengusirnya’. Aku mengeluh melihat Ali
melangkah keluar kelas, hendak bergabung di lorong lantai dua yang
lengang. Kenapa pula aku harus menghabiskan dua jam bersamanya di
lorong? Aku menyeka dahi yang berkeringat—yang membuatku
melupakan sesuatu, kenapa aku terus berkeringat sejak tadi, padahal
dingin udara terasa mencekam.

Sial. Aku tidak akan menghabiskan waktu bersama biang masalah itu.

Itu situasi yang tidak menarik. Menyebalkan malah. Baiklah, sebelum


Ali melihatku, aku memutuskan mengangkat kedua telapak tanganku,
meletakkannya di wajah.

Petir mendadak menyambar terang sekali. Membuatku terperanjat,


mendongak ke atas—meski tidak mengurungkan gerakan tanganku
menutup mata. Suara guntur terdengar membahana, panjang dan
suram. Hujan deras mulai disertai angin kencang, membuat bendera di
lapangan sekolah berkelepak laksana hendak robek. Tubuhku segera
sempurna menghilang saat telapak tanganku menutup wajah.

Ali melangkah di lorong. Aku melihatnya dari sela jari,


memperhatikan wajahnya yang tidak peduli menatap sekitar—
mungkin sedang mencariku. Ali menyeka rambutnya yang berantakan,
dia mengomel sendirian, melintasiku, ‘Dasar guru sok galak. Tidak
tahu apa, tambah keriting saja rambutnya setiap kali dia marah-marah.’
Aku menahan tawa melihat tampang sebal biang masalah itu. Aku
hendak iseng menambahi kesalnya dengan mengkait kakinya.

“Hallo, gadis kecil.”

Anda mungkin juga menyukai