Anda di halaman 1dari 4

Bapak dalam Memori

@ersasubagijo

Bingung mulai dari mana. Ya, memang begitu keadaannya. 17 tahun aku memulai perjalanan
hidup tanpa sosok Bapak.

Apakah aku kehilangan sandaran?


Tidak. Tidak salah.

Apakah aku kehilangan arah?


Tidak. Tidak salah.

Aku seorang bungsu di keluarga. Jarak usia dengan kakak ketiga terpaut 11 tahun. Maka, tentu
bisa ditebak, sifatku tak jauh dari kata manja dan egois. Ulang tahunku yang kedua dirayakan
kecil-kecilan bersama keluarga di sebuah kontrakan bangunan semi tembok. Seperti apa
rumahnya? Aku tak ingat. Sisa ingatan hanya muncul ketika pahaku dicubit kecil oleh Bapak,
cubitan pertama dan terakhir, sesaat sebelum tiup lilin. Tak ayal, mataku bengap dengan bibir
maju saat berfoto.

Lima tahun kemudian, cawu pertama aku duduk di sekolah dasar, Bapak mengambil rapot
sendirian. Aku? Menunggu di rumah, harap-harap cemas, takut dimarahi. Maklum, ini kali
pertama menerima rapot dan aku bukanlah anak yang tekun belajar. Perlu teriakan dan tatapan
tajam. Bukan dari Bapak, tetapi dari Ibu. Bapak lebih tenang, kalem, dan nyegani.

“Ca, kamu malas, ya?” ujar Bapak. Huft, kena marah deh. Tangan Bapak menyimpan rapot dan
diletakkan di belakang punggung. Perlahan aku mengangkat wajah, melihat raut muka Bapak. Itu
bukan ekspresi marah. Ada senyuman tipis yang sengaja disembunyikan.
Akupun langsung memeluk Bapak, menggelendot manja, sambil berusaha menarik rapot dari
tangannya. Bapakpun sigap, tangan diangkat tinggi-tinggi, rapot dilambaikan pelan, membuatku
melompat berusaha meraihnya. Arggh!

Tak tega berlama-lama, Bapak menyerahkan rapot dan menunjukkan peringkat di kelas. “Yeaay,
ranking 4! Lumayan lah, 10 besar.” pikirku. Bapak mengucapkan selamat dan mengusap
kepalaku. “Sing rajin, ya! Kamu sudah Bapak masukkan ke sekolah yang bagus. Eman-eman,
Nduk!”

***

“Ca, mau nasi goreng?” Bapak menjulurkan piring di tangannya. Aku menggeleng kepala,
sedang tak ingin makan. Nasi goreng di piringnya masih berasap. Beli di tukang nasgor yang
lewat depan rumah. Bapak terlihat lahap menikmatinya. Aku kembali masuk kamar, menikmati
masa perpulangan. Apalagi aku baru tiba di rumah tadi sore, capek.

Lulus SD, aku merantau, mengawali pendidikan menengah di kota Bangil. Jatah pulang satu
tahun dua kali. Sepuluh hari di bulan Robi’ul Awwal dan lima puluh hari dimulai dari minggu
akhir Sya’ban. Selanjutnya, aku meneruskan pendidikan menengah atas di kota Malang. Jatah
pulang lebih cepat, namun singkat. Dalam sebulan, dua hari satu malam. Hari Sabtu dan Minggu
pertama.

Karenanya, setiap pulang, di waktu yang sebentar itu, ada perasaan balas dendam. Balas dendam
makan sepuasnya. Balas dendam tidur sepuasnya. Balas dendam menonton TV sepuasnya.

***

Tiga minggu kemudian, Minggu pagi setelah adzan Subuh dan sholat, aku diantar pulang oleh
ibu pengasuh. Sepanjang perjalanan Malang-Sidoarjo, tak ada satu katapun yang terlontar dari
mulut beliau. Hening. Akupun memilih melemparkan pandangan ke luar jendela. Masih gelap,
namun jalanan mulai ramai orang-orang yang bersiap mendagangkan jualannya.
Pikiranku berkelana, tak mungkin tiba-tiba aku diantar pulang tanpa alasan. Aku paham betul,
salah satu anggota keluarga ada yang meninggal. Tapi, siapa? Akupun masih berusaha menepis,
bukan, bukan meninggal. Bisa jadi sakit parah. Mataku berkaca-kaca, seolah menyiapkan hati
akan kabar yang tak ingin kudengar.

Matahari sudah terbit, dan kami sudah hampir sampai. Ada bendera putih berkibar di gang
rumah. “Oh, meninggal. Siapa?”, batinku. Saat mobil diparkir, kami keluar berjalan kaki menuju
rumah. Ibu pengasuh merangkul dan menyampaikan, “Bapaknya Ersa meninggal jam setengah
tiga pagi tadi. Yang kuat ya, Nduk!” Akupun mengangguk.

Para tetangga dan saudara yang berada di depan rumah memandang kami, mungkin lebih
tepatnya diriku. Satu-satunya anak Bapak yang masih sekolah dan tinggal di luar kota. Mereka
mundur dan memberi jalan. Pandangan mereka seperti mengatakan, “Sabar, ya!”

Aku tiba disaat Bapak akan dimandikan. Ibu menyambutku dengan pelukan erat dan isakan.
Disitu, tangisku tumpah. Aku menoleh ke tempat mandi Bapak, semua sudah siap, tinggal
menunggu aku bergabung. “Ersa, kamu kuat. Jangan sampai tangisanmu jatuh ke badan Bapak!”

Bapak dipangku mas ipar dan tetua. Aku dan ketiga saudaraku yang memandikan Bapak. Mataku
mulai menahan tangis melihat Bapak meninggal dalam keadaan tersenyum. Giginya bahkan
masih kelihatan menyengir girang. Persis seperti orang tidur dan mengigau karena mimpinya
lucu.

Akupun teringat, ketika SMP, aku pernah jatuh pingsan di kamar mandi. Waktu itu, Bapak yang
menolong. Badanku dibersihkan, dibopong sampai kamar. Akupun disuruh istirahat.

Akupun teringat, ketika SD, Bapak pernah mengajak masuk loteng, mengingat aku suka sekali
rebahan di atas genteng. penekan. “Kalau masuk loteng, kakinya di atas …”, bruk! Aku jatuh.
Belum selesai Bapak bicara, aku melenggang saja naik plafon. Aku kesakitan sedangkan Bapak
syok berat.
Akupun teringat, sejak kecil, ke manapun Bapak pergi, aku sering diajak. Terutama saat mudik
ke Kebumen. Naik kereta penuh berdesakan, namun Bapak selalu membuat candaan agar aku
bisa tetap enjoy dan tidak mudah bosan.

Akupun teringat, tiga minggu lalu aku lupa. Lupa akan balas dendam yang terpenting. Balas
dendam meluapkan rindu pada Bapak dan Ibu.

Dan, lupa ini berujung penyesalan.

Tawaran nasi goreng adalah tawaran terakhir dari Bapak. Malam Minggu yang seharusnya bisa
aku lalui dengan penuh canda tawa bersama Bapak, aku lewatkan begitu saja.

***

“Halo, Bapak? Jangan pernah bosan hadir di mimpiku, ya!”

Anda mungkin juga menyukai