Anda di halaman 1dari 21

Chapter 1

Rumah itu tampak sunyi untuk sesaat…

Lalu terdengar suara tembakan sebanyak empat kali…


Chapter 2

Bulan Juli, bulan dimana aku harus kembali ke sekolah. Pagi itu aku tengah bersiap-siap untuk
ke sekolah. Aku menyiapkan bekal makan siangku. Kumasukkan sepiring nasi dan juga telur
dadar ke dalam kotak makan siangku. Kotak itu berwarna bening pada awalnya. Kini hanya
terlihat seperti kotak makan yang penuh dengan goresan. Aku telah menggunakan kotak makan
ini sejak usiaku masih tujuh tahun.

Membawa bekal makanan bukan merupakan hal yang sering kau jumpai pada seorang remaja
berusia 16 tahun. Pada usia ini orang-orang akan memilih untuk membelanjakan uangnya di
kantin sekolah atau memesan makanan lewat ojek online.

Ya, aku merupakan salah satu remaja yang berada di kategori remaja yang bukan biasanya. Jika
diberikan pilihan aku akan mengikuti kebiasaan teman-teman sebayaku. Namun ayahku lebih
memilih menghabiskan uangnya untuk membeli minuman beralkohol dibandingkan untuk
memberikan anaknya bekal sekolah.

Ayahku tengah duduk di sofa ruang keluarga kami. Itupun jika masih bisa dikatakan ruang
keluarga. Sofa yang didudukinya dipenuhi oleh beberapa lubang. Tebakan terbaikku lubang-
lubang itu dibuat oleh tikus-tikus yang sering berkeliaran di rumahku. Didepan ayahku terdapat
meja kayu yang dipenuhi oleh bercak melingkar. Tanda berbagai minuman dingin pernah
diletakkan diatasnya. Ayahku sama sekali tidak memiliki niatan untuk membersihkan meja itu
setelah dia menghabiskan bir yang biasa dia bawa sepulang bekerja.

Aku bisa mendengar suara televisi dari ruang itu. Ayahku sebenarnya bukanlah orang yang suka
menonton televise. Namun kurasa semua kebiasaan yang kita miliki akan berubah ketika kita
sudah dibawah pengaruh alkohol.

Sepuluh botol botol kaca berwarna kehijauan berceceran di meja dan lantai. Jumlah yang
setengah lebih sedikit dari total bir yang biasa diminum ayahku. Ayahku tengah tertidur. Iya
menggunakan baju putih dengan bagian perut yang diangkat menuju dada. Menunjukkan perut
yang menjadi ciri khas seorang pecandu alkohol. Aku merasa mual melihat kondisi ayahku
seperti ini. Bukan karena bau alkohol yang bisa kucium bahkan dari kamarku sendiri. Tetapi
kenyataan bahwa ayahku telah berubah menjadi orang yang menjijikkanlah yang membuatku
ingin muntah.

“ayah, aku berangkat sekolah dulu” kataku ketika kuliat dia membuka sedikit matanya. Tatapan
kosongnya terasa begitu tajam untukku. Tatapan yang mengisyaratkan bahwa aku bukanlah
sesuatu yang penting untuk dilihatnya.

“kamu mengambil uang di dompetku?”

“tidak ayah, aku sudah membuat telor untuk bekalku di sekolah.”

“ya, pergi sana.” Dasar bedebah. Aku melangkahkan kakiku menuju kesekolah dengan
perasaan kesal. Sekarang aku harus berangkat ke sekolah. Tempat yang paling tidak aku sukai.
Setelah rumahku sendiri.
Chapter 3

Diari

Dear Diary

Hari ini hari pertama libur panjang semester. Hampir semua murid senang menyambut hari ini.
Termasuk murid yang menempati urutan terakhir di kelasku. Bisa-bisanya dia bergembira
setelah hasil yang sangat buruk seperti itu. Teman-temanku yang lain sangat gembira ketika ibu
guru wali kelasku menyampaikan bahwa sekolah akan dimulai satu bulan lagi.

Aku menjadi satu-satunya orang yang tidak senang dengan libur semester ini. Bukan karena aku
mendapat peringkat yang buruk di kelas. Melainkan aku harus menghabiskan waktu yang lebih
banyak di rumah. Sekolah menjadi tempatku untuk melepaskan pikiran dari rumahku. Ya
walaupun disana aku tidak punya teman. Setidaknya aku bisa menyendiri, tanpa harus sibuk
menutup telinga dari perkelahian.

Sekolah bukanlah tempat untuk berkelahi, baik itu secara fisik atau melalui omongan. Hampir
semua orang tertawa bersama temannya. Menertawakan hal yang tidak penting. Ciri khas anak
sekolah dasar.

Ketika aku menulis “hampir semua orang”, aku sedang berbicara mengenai diriku sendiri. Aku
tidak punya alasan untuk selalu tertawa setiap saat. Jika kuingat-ingat, sudah lama sekali sejak
terakhir aku punya alasan untuk tertawa. Aku juga tidak memiliki teman untuk diajak tertawa.

Pada hari terakhir sekolah kemarin, ibu guru wali kelasku menghampiriku. Semua murid telah
meninggalkan kelas. Hanya tinggal aku dan Bu Retno disana. Bu Retno tidak langsung berbicara
padaku. Dia memandangiku dari ujung kepala sampai kakiku. Seakan ingin mencari tahu apa
yang salah dengan diriku.

Aku berbalik metapanya. Alih-alih mengikuti pandangannya sebelumnya, aku hanya


memandangi wajah Bu Retno. Wajahnya bulat, dibingkai oleh rambut pendek yang hanya
menyentuh bawah telinganya. Benar-benar gaya rambut yang aneh menurutku. Dia lebih mirip
seperti bola voli dibandingkan seorang guru. Kaca matanya sengaja diturunkan hampir
menyentuk ujung hidungnya. Lipstik berwana merah terang membuatku semakin jijik
melihatnya.

“ada apa bu?” tanyaku sambil memberikan tampang polosku.

“kenapa kamu tampak murung? Kamu harusnya senang menjadi juara kelas”

“iya saya senang bu.” Aku mencoba untuk tidak terlihat bosan di depannya.

“tersenyumlah nak. Ibu sangat bangga kepadamu. Pasti orang tuamu juga sangat bangga.”

Hei! Dia pikir dia itu siapa? Seenaknya saja berpendapat bahwa orang tuaku akan sangat
bahagia dengan hasil yang telah aku dapatkan. Aku benci ketika orang-orang mulai berbicara
dan bertingkah seolah mereka semua mengetahui segala hal. Tidak ada orang yang tau
mengenai kehidupan pribadi orang lain. Tidak ada orang yang tau mengenai kekesalan orang
lain. Tidak ada yang tau mengenai kehidupan busuk yang aku jalani selama ini!
Chapter 4

Sekolah hari ini terlihat sangat ramai. Begitu banyak orang tua yang mengantarkan anaknya ke
sekolah. Sebagian besar yang kulihat mengajak orang tuanya adalah siswa baru tahun ini.
Apakah mereka tidak malu untuk diantarkan oleh keluarganya diusianya saat ini?

Siswa baru tengah berbaris di tengah lapangan sekolah. Barisan mereka dibagi menjadi
beberapa kelompok, sesuai dengan kelas mereka. Siswa laki-laki berada di sisi kanan barisan.
Hal paling aneh yang aku lihat dari proses pengenalan siswa baru adalah siswa laki-laki
diwajibkan untuk mencukur rambutnya hingga mencapai satu sentimeter. Murid perempuan
dipaksa untuk menata rambutnya dengan gaya yang aneh. Rambut mereka dibelah dua dan
dikepang. Pakaian mereka diseragamkan menjadi atasan putih dan bawahan hitam. Kenapa
orang-orang ini berusaha merusak harga diri dan kebebasan dari juniornya.

Sesekali kulihat anggota OSIS laki-laki memarahi siswa baru yang tidak bisa merapikan
barisannya. Murid yang dibentak menunjukkan raut wajah ketakutan. Aku bisa pastikan dia
tidak pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya.

Seseorang menabrakku ketika aku menyusuri halaman sekolah. Sebenarnya lebih terasa seperti
dorongan dibandingkan tabrakan. Aku yang tidak bisa menggapai sesuatu untuk kupegang
akhirnya terjatuh. Di depanku terdapat tiga orang siswi. Orang yang beridiri paling tengah
menatapku tajam. Aku sekilah mencoba melirik ke arahnya. Hal yang seharusnya tidak ku
lakukan. Siswi ini bertubuh tinggi dengan kulit yang sangat putih. Baju SMA menyelimuti
tubuhnya, menimbulkan lekukan besar di bagian dadanya. Satu tangannya berada di
pinggulnya, tangan satunya menunjuk ke arahku

“berani ya kau menatapku!” Suaranya sangat kencang. Kupikir sebagian siswa baru di lapangan
bisa mendengar suaranya.

“kutu buku seperti dia memang tidak tau diri ya.” Kudengar suara dari siswi yang berdiri paling
kanan. Aku tidak berani menatapnya. Aku hanya melihat dua kakinya yang besar ditutup
dengan rok ketat diatas lutut.
“ayolah Saras. Kita tidak punya waktu untuk dia. Aku sudah lapar.” Kata siswi yang paling kurus,
berusaha membujuk ketua kelompoknya.

Mereka bertiga lalu pergi meninggalkanku. Aku mencoba untuk memperbaiki posisi dan berdiri
saat aku menyadi banyak mata yang mengarah kepadaku. Beberapa siswa yang berkumpul di
teras kelas memandangiku dan memalingkan wajah mereka ketika aku mengarahkan
pandanganku pada mereka. Dua orang siswi saling berbisik dengan mata mengarah tajam di
sudut matanya yang mengarah kepadaku. Pemandangan seperti inilah yang sudah kualami
sejak hari pertamaku masuk SMA.

Di kejauhan aku melihat sutha yang terus memandangiku. Kurasa dia memperhatikan apa yang
dilakukan Sarah kepadaku. Tapi kenapa dia memilih untuk diam, memilih untuk membiarkan
pacarnya dibentak oleh temannya sendiri.

Sutha mendekat ketika jarakku tinggal beberapa langkah lagi dengannya, lalu memegang
tangan kananku.

“kamu tidak apa-apa?” Dapat kurasakan kepedulian dalam kata-katanya.

“iya ga apa-apa. Aku sudah terbiasa.” Sutha memilih untuk tidak menjawab pernyataanku.
Kurasa sebagian darinya merasa bersalah. Dia merupakan salah satu orang yang membuat hari-
hariku buruk di kelas satu. Sutha pernah dekat dengan sarah. Aku sempat berfikir jika mereka
berpacaran saat itu. Sutha hanya berdiam diri ketika Sarah mulai mengolok-oloku dan sesekali
memberiku senyuman dengan hanya mengangkat bibir kirinya.

Saat ini Sutha sudah tidak pernah berbicara lagi dengan Sarah. Dia bahkan memutuskan
pertemanan dengan semua orang yang ada di lingkaran pertemanan Sarah. Lelaki ini mulai
menyibukkan diri dengan kegiatan pencak silatnya. Mengabaikan kepopuleran yang sempat dia
peroleh sebelumnya. Kepopulerannya kembali meningkat ketika dia mulai berpacaran
denganku. Siswi yang tidak memiliki satupun teman di sekolah ini.

Sutha menuntunku menuju kantin sekolah dan memesankanku nasi goreng. Kami duduk di
ujung kantin untuk mengurangi perhatian. Sutha menatapku sangat lama. Suasana itu
membuatku gelisah. Aku merasa takut ketika seseorang menatapku lama. Aku mulai membalas
tatapannya. Aku tidak bisa setiap hari menjadi orang yang pemalu. Tidak untuk Sutha. Tidak jika
aku ingin dia tetap bersamaku.

Sutha merupakan salah satu siswa tertampan di sekolahku. Dan aku bertanya kenapa dia
memilihku menjadi pacarnya. Sutha memiliki wajah yang tampan, dengan dagu kuat yang
membuatnya terlihat lebih galak dari aslinya. Rambutnya dicukur tipis pada bagian samping dan
memilih untuk merapikan bagian atasnya ke belakang. Dia memalingkan tatapannya ketika
pramusaji makanan kami datang.

“makanlah Lisa, aku tahu kamu belum sarapan.” Aku hanya bisa tertunduk dan memakan nasi
goreng yang dipesannya sambil menahan rasa malu.
Chapter 5

Sore ini Lisa terlambat dari biasanya. Sudah hampir 15 menit aku menggunya. Aku duduk di
bangku teman tempat biasa kami bertemu pada setiap minggunya. Bangkunya berada di bagian
taman yang jarang dilalui orang. Tempat yang sangat cocok untuk orang seperti Lisa.

Minuman ditanganku sudah hampir habis ketika aku melihatnya berjalan dengan lambat dari
kejauhan. Dia masih menggunakan baju sekolahnya. Baju yang ukurannya lebih besar. Lisa
pernah mengatakan bahwa baju seragamnya itu diberikan oleh sepupunya. Aku sempat
bertanya apakah ayahnya tidak mau membelikannya baju sekolah baru. Dia hanya diam dan
memilih untuk memandang kosong ke depan.

Lisa duduk di sampingku, meletakkan botol minum besar di antara kami. Aku benci ketika dia
melakukan itu. Menunjukkan bahwa dia masih belum terbiasa dengan kedekatan kami.
Walaupun kami sudah sering bertemu di tempat ini sejak keci.

Lisa tampak lelah, bahunya membungkuk ke depan. Rambut panjangnya sebagian menutupi
wajahnya. Dia memiliki wajah yang tirus, dengan hidung mancung. Dia sebenarnya bisa tampil
lebih cantik, jika saja dia bisa lebih percaya diri.

“apa kabarmu Rika?” tanyanya sambil meremas jari-jari tanganya.

“aku baik-baik saja. Bagaimana hari pertamamu di sekolah.” Aku tak perlu menunggunya
menjawab pertanyaanku. Setiap hari di sekolah dihabiskannya dengan menyendiri. Sesekali
berinteraksi dengan tiga orang siswi. “kau masih di-bully oleh mereka bertiga?”

Lisa kembali tidak menjawab pertanyaanku. Pandangannya tertuju pada burung dara yang
berkumpul didepan kami. Aku benci ketika orang tidak membalas perkataanku.

“kenapa kau bisa tahan dengan mereka? Jika itu aku, mereka sudah tamat.”

“apa maksudmu?”

“mereka sudah pasti akan kubunuh.”


Suasana kembali sunyi. Lisa memilih untuk diam ketika kata “bunuh” sudah mulai keluar dari
mulutku. Itu mekanisme pertahanan dirinya ketika mendengar kata itu. Namun jauh didalam,
aku tahu dia menyukai kata itu.

“orang-orang seperti mereka tidak pantas untuk hidup. Apa artinya hidup jika kau gunakan
untuk menyakiti orang lain?”

“membunuh juga menyakiti. Kau tau itu?”

“aku lebih berfikir membunuh merupakan cara untuk mengurangi populasi orang jahat di dunia
ini”

“mudah bagimu mengatakan hal seperti itu.” Lisapun berdiri dan meninggalkan taman. Berjalan
dengan bahu yang lebih lesu. Dia tidak pernah berubah, selalu pulang dengan beban.
Chapter 6

Pertemuan dengan Rika tidak pernah memberikan hal yang bermanfaat. Dia selalu mengatakan
hal-hal aneh seperti membunuh dan kabur dari rumah. Aku tidak perlu bertemu dengan orang
lain hanya untuk mendapatkan nasihat seperti itu. Hal-hal seperti itu sudah ada di benakku dari
dulu.

Setiap kali aku bertemu dengannya, aku semakin yakin bahwa pertemuan kami bukanlah
pertemuan antar teman. Itu bukanlah pertemuan yang sehat. Kami bertemu di taman dekat
rumahku. Aku tidak pernah tahu dimana dia tinggal, dimana dia sekolah. Itu sudah seperti
perjanjian tidak resmi diantara kami. Jangan pernah menanyakan hal-hal personal. Kami
bertemu setiap hari senin pukul lima sore. Kami tidak pernah membuat janji untuk bertemu.
Aku hanya perlu datang pada hari dan waktu yang sama dan Rika akan berada disana.
Terkadang aku yang menunggunya, namun sering kali dia datang lebih awal.

Perjalananku menuju rumah memakan waktu 30 menit. Perjalanan ini terasa sangat lama,
terlebih ketika Rika mengangkat topik membunuh. Topik itu tidak pernah berdampak baik
kepadaku. Aku akan merasa sangat lelah, meskipun hanya mendengarkan Rika berbicara
tentang keinginannya untuk membuat dunia ini lebih baik. Dengan cara membunuh. Aku
mencoba untuk tidak menanggapinya ketika dia menganggkat topik itu. Namun tampaknya dia
ingin membuat hariku lebih buruk dengan terus berbicara tampa henti.

Usiaku baru tujuh tahun ketika aku pertama kali bertemu dengan Rika. Kami bertemu di taman,
di bangku yang sama. Saat itu aku sedang berusaha menyendiri di taman. Menghilangkan
kejenuhan setelah menyaksikan ayah dan ibuku bertengkar untuk yang kelima kalinya hari itu.
Cuaca saat itu begitu cerah, bahkan cenderung panas. Aku bisa merasakan baju kaos yang
kugunakan basah pada bagian punggungku. Aku duduk di bangku taman dengan kedua lutut
kupeluk dekat dadaku. Sangat erat hingga aku kesulitan bernapas.

Bangun setiap hari dan menyaksikan kedua orang tuamu bertengkar bukanlah sesuatu yang
mudah untuk dilalui. Selalu saja ada masalah yang dapat menyebabkan mereka bertengkar.
Mulai dari masalah besar seperti ibuku tidak sengaja membuang berkas pekerjaan ayahku yang
berserakan di lantai. Aku tidak bisa menyalahkan ibu terkait hal itu. Ayahku memang orang
yang ceroboh, cenderung tidak memerdulikan sekitarnya. Hal tersebut semakin parah saat dia
dalam keadaan mabuk. Namun hal yang membuat ayah dan ibuku bertengkar saat itu adalah
hal kecil. Ibuku tidak membuat lauk untuk kami makan hari itu. Kembali aku tidak menyalahkan
ibuku akan hal tersebut. Ayahku bahkan tidak mau repot repot menyisihkan uang di dompetnya
untuk ibuku berbelanja pagi itu.

Namun ibuku tidak sepenuhnya benar dalam kondisi itu. Dia harusnya bisa menggunakan
uangnya sendiri untuk belanja. Atau dia bisa saja meminjam sedikit uang kepada tetangga kami.
Ibuku sangat dekat dengan beberapa dari mereka. Ayahku mulai memaki ibuku dengan suara
kerasnya. Aku masih bisa mencium bau alkohol dari mulut menjijikkan itu. Namun ibu bukannya
diam, dia malah melawan balik ayahku. Menyebutkan kata-kata yang tidak kalah kotor.
Pertengkaran tersebut berakhir dengan beberapa tetes darah yang keluar dari sudut bibir
ibuku. Pipinya mulai memerah akibat tamparan ayahku. Saat itu aku merasa bahwa sudah
cukup bagiku menyaksikan pertunjukkan mereka. Sudah cukup aku dipenuhi perasaan muak.

Rika tiba-tiba saja menyentuh pundakku dari belakang dan langsung duduk di sampingku. Dia
menggunakan baju berwarna merah jambu dan celana pendek dengan warna serupa. Kakinya
berayun dengan sepatu putih keluaran terbaru. Aku sempat berfikir bahwa dia sengaja
mendekatiku hanya karena ingin memamerkan sepatunya.

“kenapa wajahmu seperti itu?” aku sedikit kaget mendengarkannya. Bukannya


memperkenalkan diri dia malah langsung menanyakanku hal ini.

“aku tidak sedih.”

“ya, aku juga sedang sedih sepertimu.” Rika kemudian diam. Aku sempat melihat kearahnya.
Dia hanya menatap ke atas. Matanya tampak lesu, kelopak matanya hanya terbuka
setengahnya. Aku bisa merasakan bahwa dia sedang berusaha untuk menahan air matanya
untuk tidak keluar.

“kau tidak apa-apa?” tanyaku.


“tentu saja aku sedang sedih. Sama sepertimu. Terkadang hidup begitu sulit untuk dilalui ya.
Kau mau coklat. Kudengar coklat bisa membuatmu ceria Kembali. “ Rika mencoba untuk
tersenyum sambil menawariku coklat. Aku belum pernah mendengar bahwa coklat bisa
menghilangkan perasaan sedih.

“tidak, untukmu saja. Kau terlihat lebih membutuhkannya.”

Rika kemudian membuka kulit coklat tersebut. Memasukkan Sebagian kecil dari coklat itu ke
mulutnya. Dia tidak langsung mengunyah coklat itu. Dia membiarkannya berada di mulutnya
untuk beberapa saat. Kami hanya terdiam untuk waktu yang lama. Tidak ada yang mau
memulai untuk melanjutkan percakapan. Kurasa ini kami hanya sedang larut dengan
kesediahan kami masing-masing.

“kau mau berteman denganku?” pertanyaan itu benar-benar membuatku kaget. Ini pertama
kalinya seseorang mengajakku berteman. Seseorang yang bahkan tidak aku kenal. Dia kembali
memberiku senyuman. Kali ini aku tidak merasakan kesedihan disana. Tidak ada kebohongan
pada senyum itu. Aku merasa tenang melihatnya. Mulai saat itu, untuk pertama kalinya aku
memiliki seorang teman.

Pikiranku masih berada di masa lalu ketika seseorang menyentuh pundakku. Jalanan sedang
sepi saat itu. Tangannya begitu besar, mencengkram bagian pundakku. Dengan kasar dia
membalikkan badanku. Hal pertama yang aku sadari adalah perut lelaki itu. Perutnya begitu
besar. Kancing kemeja abunya hampir terlepas. Bagian celananya juga tampak begitu ketat. Dia
pastinya berusaha keras untuk mengancingkan celana panjangnya. Sebuah pistol berada di
pinggulnya. Aku tak berani menatap wajah lelaki itu. Hanya ada satu orang polisi yang bisa
berbuat seperti ini kepadaku.

“hey lisa, dari mana kamu sore begini?” tanyanya sambil tetap meremas bahuku.

“aku dari taman om. Aku harus pulang sekarang.”


“ayo biar om saja yang mengantarmu.” Tangan kirinya mulai menyusuri pinggulku, membuatku
mendekat kepadanya. Aku berusaha untuk melepaskan diri. Mendorong dadanya agar aku bisa
segera menjauh. Tangan kanannya memegangi kedua tanganku. Membuatku tidak bisa lagi
melawan.

“hey, tidak baik untuk anak gadis pulang sendirian jam segini. Daerah ini rawan kejahatan.”
Tangannya semakin kuat memeluk tubuhku. Dada kami saling menyatu saat ini. Aku hanya bisa
memejamkan mata. Tidak ingin melihat kejadian menjijikkan yang terjadi padauk saat ini. Dia
berkata disini rawan kejahatan. Namun satu-satunya kejahatan yang aku alami saat ini adalah
dia sendiri.

“Om Arya! Tolong lepaskan aku.”

“kamu tidak akan kemana mana sayang. Ayo ikut om ke rumah. Sudah lama kamu tidak ke
sana.” Hal terakhir yang aku inginkan saat ini adalah mengikuti Om Arya ke rumahnya. Ini
bagaikan mimpi buruk. Sudah hampir satu bulan aku berhasil menghindari Om Arya. Lelaki
mesum ini adalah saudara ayahku. Dia lahir satu tahun lebih mudah dari ayahku. Dia seperti
saudara kembar ayahku. Wajahnya bulat dengan kumis lebat dan jenggot yang dicukur tipis,
sengaja meninggalkan sedikit bekas disana. Rambutnya berwarna hitam, mulai menunjukkan
tanda-tanda kebotakan di bagian depan.

Aku berusaha melepaskan diri darinya. Kutarik dengan kuat tanganku. Cengkramannya begitu
kuat. Aku bisa merasakan tanganku mulai panas akibat gesekan. Aku harus melawannya. Aku
tidak bisa menyerah dengan lelaki mesum sepertinya. Dengan hentakan keras aku melepaskan
tanganku lalu mengoyangkan badanku ke depan dan membuatnya kehilangan keseimbangan.
Pelukan tangannya mulai terlepas. Aku mulai berlari dengan cepat tanpa melihat kebelakang.
Seharusnya orang ini, salah satu kerabatku, bisa melindungiku dan menjagaku. Namun justru
lelaki menjijikkan ini menjadi salah satu orang yang paling kubenci. Dan ayahku mendukung
tindakan biadab lelaki ini.
Chapter 7

Diari

Dear diary,

Aku terbangun pagi ini setelah mendengar suara truk sampah yang datang di depan rumahku.
Matahari masih belum terbit sepenuhnya. Beberapa cahaya menyelinat dari balik rumah
tetanggaku, melintasi jendelaku yang kubiarkan terbuka sejak malam. Aku mulai
memperhatikan lenganku. Begitu banyak kemerahan, nyamuk-nyamuk yang masuk tadi malam
pasti senang mendapatkan banyak darah dariku. Aku lebih memilih membuka jendela dengan
risiko digigit nyamuk daripada harus bermandikan keringat karena panas. Orang tuaku tidak
sanggup untuk membeli pendingin ruangan. Kami hanya punya satu kipas angin. Dan mereka
dengan egoisnya meletakkannya di kamar mereka sendiri. Tidak memerdulikan anaknya yang
kepanasan.

Aku tidak langsung bangun. Kugunakan waktuku untuk memikirkan kembali kejadian di sekolah
waktu itu. Kenapa semua orang bisa dengan mudahnya bahagia, bahkan dengan hal kecil
sekalipun. Hanya dengan pengumuman libur panjang, mereka sudah bisa tersenyum,
berhamburan dan bermain dengan teman-temannya. Seakan mereka tidak memiliki masalah
yang menunggunya sepulang sekolah.

Apakah mereka memang tidak memiliki masalah di luar sekolah. Aku membayangkan salah satu
dari mereka pulang ke rumahnya, dijemput oleh ibunya. Pada perjalanan pulang tidak lupa sang
ibu membelikan es krim untuknya, sebagai hadiah bahwa anaknya telah naik kelas. Untuk apa
dia repot-repot membelikan hadiah hanya untuk hal kecil seperti itu? Tidak ada yang bisa
dibanggakan dari kenaikan kelas. Tiga puluh Sembilan temannya di kelas juga naik kelas. Tidak
ada yang spesial dari itu. Namun tetap saja sang ibu bangga dengan anaknya. Mereka kemudian
pulang, disambut sang ayah yang rela mengambil cuti, mengurangi pendapatannya hari itu,
hanya untuk menyambut anaknya yang sekali lagi tidak memiliki hal untuk dibanggakan. Namun
begitulah kondisi keluarga yang utuh. Keluarga yang berfungsi dengan baik.
Lamunanku terganggu oleh suara nyaring yang berasal dari dapur. Kurasa kali ini panci kami
yang menjadi korban. Satu-satunya orang yang melakukan hal itu adalah ibuku. Ibu memiliki
kebiasaan untuk melempar barang-barang yang ada di sekitarnya. Mulai dari piring, sapu,
bahkan botol minuman ayahku. Kurasa hanya itu yang bisa dilakukannya. Dia tidak akan bisa
memukul ayahku. Tangannya terlalu kecil, lengannya terlalu lemah untuk mengayunkan
pukulan kepada ayah. Dia hanya bisa melampiaskan kekesalannya dengan cara melempar
barang. Hal bodoh menurutku. Kau tidak akan bisa menyakiti orang lain hanya dengan
melemparkan barang-barang ke sembarang tempat.

Ayahku cenderung lebih ekspresif. Dia hanya diam saja saat ibuku mulai melempar perabotan.
Namun sesaat setelah ibuku kehabisan barang, tangannyalah yang aktif bekerja. Ayah tidak
segan-segan melayangkan tangannya kepada ibuku. Pada awalnya hanya tamparan saja pada
bagian pipi. Itu saja sudah cukup untuk membuat ibuku terjatuh. Kukira ibuku mati saat itu. Dia
hanya diam saja selama beberapa detik. Matanya masih terbuka lebar, bahkan cenderung
melotot kehadapan ayahku. Aku mulai menyadari bahwa itu merupakan reaksi tubuh jika
mendapatkan pukulan telak. Kehilangan kesadaran dan keseimbangan untuk beberapa saat.
Begitu sadar ibuku akan langsung pergi ke kamarnya dan menangis seharian.

Dua bulan yang lalu aku menyaksikan sesuatu yang baru. Ibuku mulai memberikan perlawanan.
Barang-barang yang biasanya dilemparkannya ke semabarang arah, kini diarahkan ke ayahku.
Ayahku tidak tinggal diam. Dia mulai meremas rambut ibuku, menyeretnya hingga ke sudut
ruangan. Tangannya tidak lagi terbuka, melainkan menggenggam. Dipukulnya ibuku terus
menerus di bagian wajah. Aku lari menuju kamar mandi pada pukulan kelima. Aku tidak kuat
menyaksikan hal tersebut. Awalnya kudengar ibuku berteriak dengan keras. Meneriakkan
kesakitan. Beberapa saat tidak kudengar lagi suara ibuku. Yang kudengar hanya suara motor
yang menjauh. Kurasa ayahku sudah puas memukuli ibuku dan memutuskan untuk melanjutkan
harinya dengan minum alkohol dengan temannya.

Aku langsung keluar dari kamar mandi. Langkahku begitu berat. Aku sangat takut. Apakah ibuku
telah menjadi mayat? Tidak ada wanita yang bisa bertahan dari pukulan bertubi-tubi itu.
Namun yang pertama kali kulihat adalah ibuku sendir, yang masih bergerak, merangkak
menuju sofa. Wajahnya hancur, mata kirinya bengkak dan darah mengalir deras dari pelipisnya.
Sudut bibirnya terluka. Kuliah terdapat bekas kemerehan pada leher ibuku. Apakah ayahku
berusaha mencekik ibuku? Apakah dia benar-benar ingin membunuhnya?

Ibuku hanya duduk di sofa. Tidak ada suara yang keluar. Tidak ada tangisan dan air mata.
Tubuhnya hanya diam, namun tangannya bergetar dengan hebat. Aku berusaha
menenangkannya. Kupegang tangannya, berusaha membuatnya nyaman. Namun dia dengan
cepat menarik tangannya dan menatapku tajam.

“jangan pernah menyentuhku!” tatapan itu, tatapan yang sering diberikan ibu kepada ayahku
ketika mereka bertengkar. Ibuku membenciku, sangat membenciku. Sebesar rasa bencinya
kepada ayahku. Sejak saat itu aku tidak pernah lagi menyentuhnya. Bahkan aku tidak pernah
lagi mengobati luka-lukanya.

Aku berjalan menuju kamar mandi. Lokasi kamar mandi berada dekat dengan ruang keluarga.
Aku terpaksa harus menyaksikan pertengkaran mereka. Namun yang kulihat hanya ibuku. Tidak
ada tanda-tanda ayahku. Aku mulai memperhatikan wajah ibuku. Tidak ada luka ataupun bekas
kemerahan. Mungkin ayahku memutuskan untuk tidak memukuli ibuku. Ibuku sungguh
beruntung hari ini. Aku hendak berjalan ke kamar mandi ketika ibuku tiba-tiba berjalan ke
arahku.

“cepatlah mandi nak. Kita akan ke pusat permainan di mall. Ayahmu sudah setuju.”

Aku bingung mendengar kata-katanya. Tidak biasanya ibuku berbicara kepadaku sesaat setelah
pertengkaran mereka usai. Ibu lebih memilih untuk menghindar dariku. Kadang dia
memberikan tatapan tajam kepadaku. Namun tidak pernah dia langsung berbicara denganku.
Aku berusaha memberikan senyuman terbaikku kepadanya. Aku langsung mengangguk dan
bergegas ke kamar mandi. Setidaknya aku bisa sedikit memberikan hiburan kepadanya setelah
puluhan pertengkaran mereka lakukan minggu ini.
Chapter 8

Hari ini hujan turun dengan deras. Awan masih berwarna kehitaman meskipun hujan sudah
berlangsung hampir tiga jam. Angin berhembus dengan keras. Butiran-butiran air membasahi
jendela kelasku. Beberapa ada yang memasuki celah-celah jendela, membuat basah beberapa
orang yang diam dibawahnya. Teman-teman sekelasku memilih untuk tetap dikelas, berharap
hujan reda. Bel akhir pelajaran telah berbunyi tiga puluh menit yang lalu.

Aku mengamati suasana diluar dari balik jendela. Genangan air besar tercipta di halaman
sekolah. Genangannya hampir mencapai permukaan lantai kelasku. Volume air dan buruknya
sistem pembuangan membuat sekolahku sering kali dilanda banjir. Hari ini genangan air ini
lebih parah dari biasanya. Aku bisa mendengar beberapa temanku yang mengeluh. Hampir
semua dari mereka mengendarai sepeda motor ke sekolah. Dengan adanya banjir ini, tidak
hanya membuat mereka tidak bisa pulang, tapi juga berisiko merusak motor mereka. aku
mengarahkan pandanganku ke arah pintu kelas. Tiga orang siswa duduk di meja guru. Siswa
paling kurus memukul pintu dan bergumam mengenai kondisi ini. Dua temannya ikut
menanggapi. Aku melihatnya seperti respon provokatif. Seakan mereka ingin siswa itu
melakukan hal yang lebih gila seperti pergi ke ruang kepala sekolah dan mempertanyakan
kemampuannya menangani sekolah ini. Tapi orang-orang seperti mereka tidak akan melakukan
hal seperti itu. Mereka terlalu takut untuk melakukannya.

Suara tawa beberapa siswi bisa ku dengar dari belakangku. Aku sengaja tidak mengarahkan
pandanganku ke mereka. Aku tidak ingin mereka membalas pandanganku dengan tatapan sinis.
Bisa ku dengar mereka sedang membicarakan lelaki dari kelas sebelah. Siswa pindahan dari luar
kota. Aneh menurutku mereka bisa suka dengan orang seperti itu. Siswa ini tidak memiliki
kualitas lebih yang bisa membuatnya disukai banyak orang. Salah satu dari siswi ini
mengungkapkan ketertarikannya terhadap siswa itu, dan teman-temannya yang lainpun
mengikutinya. Lebih seperti suatu tindakan kenanak-anakan menurutku. Mereka tidak ingin
kalah, walaupun dengan temannya sendiri.
Dari ujung Lorong sekolah aku bisa melihat Sutha berjalan mendekati kelasku. Dia berjalan
dengan cepat. Tidak lama setelahnya aku melihat Saras berlari mendekati Sutha. Dari jauh aku
bisa tahu Saras ingin berbicara dengan Sutha. Namun Sutha tidak menghiraukannya dan malah
mempercepat jalannya. Hal yang aneh ketika melihat perempuan lain berusaha mendekati
pacarku. Dadaku terasa sesak dan air mata ingin memaksa untuk keluar. Beberapa pikiran aneh
mulai muncul dalam pikiranku. Apakah mereka mulai dekat kembali? Aku sudah tau bahwa
Saras memang tidak ingin jauh dari Sutha. Dia selalu mencari perhatiannya. Dan aku tidak takut
dengan hal itu. Saras akan selalu mencari cara untuk membuat hidupku lebih buruk. Termasuk
mencoba untuk merebut pacarku. Namun aku sudah mulai terbiasa dengan hal itu. Tidak
banyak yang bisa aku lakukan.

Yang aku takutkan adalah respon dari Sutha sendiri. Saat ini dia tampak enggan untuk bertemu
dengan Saras. Dia lebih memilih menghindarinya. Berusaha menyibukkan diri dengan kegiatan
olah raganya dan aku. Beberapa kali Sutha bersikap lebih hangat denganku ketika ada Saras di
dekat kami. Aku mulai berpikir dia melakukannya untuk Saras. Untuk membuatnya cemburu
atau marah. Tentu saja aku aku tidak suka dengan hal itu. Aku seperti dijadikan alat olehnya.
Namun anehnya aku justru senang ketika dia mulai bersikap hangat. Aku merasakan hal yang
tidak pernah aku alami sebelumnya. Perasaan yang sudah lama aku ingin rasakan.

Saras menghentikan usahanya ketika dia menyadari Sutha akan memasuki kelasku. Dia
memandangi punggungnya, merasa kecewa. Lalu pandangannya beralih kepadaku. Dia
menatapku dengan tajam. Kali ini aku berani membalas tatapannya. Dia tidak akan berani
bertingkah aneh ketika aku berada di dekat Sutha. Aku bisa melihat genggamannya mengeras.
Aku menoleh ke arah pintu. Sutha sudah berdiri disana, memanggil namaku. Akupun merapikan
semua barangku bergegas menghampirinya. Saras sudah tidak ada di lorong.

Sutha mengantarku pulang dengan mobilnya. Dia memaksaku untuk ikut dengannya. Aku sudah
berusaha keras menolaknya. Namun Sutha bukanlah orang yang bisa menerima kata tidak. Dia
menarik tanganku. Lebih seperti meremasnya dan menariku menuju mobilnya. Aku berusaha
melepas cengkramannya namun dia terlalu kuat. Aku hanya bisa mengikuti langkah cepatnya.
Kami harus berjalan keluar area sekolah. Hujan masih turun dengan deras. Kami menggunakan
paying kecilku. Sutha mengimpitkan tubuhnya, melingkarkan tangannya di pinggulku. Payungku
terlalu kecil untuk kami berdua, namun ini aku sangat menyukai saat-saat seperti ini.

“kamu tidak perlu mengantarku pulang. Aku bisa pulang sendiri”

“ditengah hujan seperti ini?” tanyanya ketus. Tangannya makin erat melingkar membuatku
semakin dekat dengannya. Aku sempat kaget namun lebih memilih untuk menikmatinya.

Kami terjebak macet dalam setengah perjalanan menuju rumahku. Begitu banyak orang yang
bepergian menggunakan mobil disaat seperti ini. Keheningan menyelimuti kami saat ini. Sutha
belum mengatakan satu katapun sejak kami berangkat. Pandangannya kosong ke depan. Kedua
tangannya meremas kemudi dengan keras. Aku memerhatikan wajahnya. Wajahnya tampak
tenang. Tidak ada kerutan di dahinya. Semua tampat normal. Namun aku tau ada yang salah
dengannya.

“kamu sedang memikirkan apa?” tanyaku. Kali ini aku menghadap kepadanya. Dia hanya
memandangi mobil yang ada di depan kami.

“kenapa kamu selalu menolak untuk ku antar pulang?” akhirnya dia bertanya hal itu. Ini
pertama kalinya aku mengijinkannya untuk mengantarku pulang. Sebelumnya aku selalu
menolaknya. Beralasan bahwa ada tempat yang ingin aku kunjungi sebelum pulang. Sutha terus
mendesakku, mengatakan dia akan mengantar kemanapun aku ingin pergi. Namun aku tetap
menolaknya. Aku tidak ingin dia mengantarku pulang. Tidak ingin dia tahu seperti apa rumahku.
Tidak ingin dia bertemu dengan ayahku. Dia akan menjauhiku jika dia tau seperti apa aku di luar
sekolah. Aku tidak ingin dia pergi dariku. Namun kali ini aku menerimanya. Ada hal lain yang
lebih mengancam hubungan kami.

“aku tidak menolaknya sekarang kan?”

“itu tidak menjawab pertanyaanku. Kamu tidak ingin aku ke rumahmu atau apa?” untuk
pertama kalinya dia menolehkan pandakannya kepadaku. Tidak ada kemarahan dalam
tatapannya. Aku rasa dia lebih penasaran dibandingkan marah. Kali ini aku yang memalingkan
pandangannku darinya.
“tenang saja, aku tidak akan minta putus hanya karena ini.” Sutha memberikan senyuman
terbaiknya kepadaku. Senyumannya terasa begitu hangat. Aku memberikan senyuman
terbaikku juga. Dia mencondongkan kepalanya kedepan dan menciumku. Aku membalas
ciumanya. Lidahnya mulai mencoba memasuki mulutku. Kulingkarkan tanganku di lehernya.
Tiba-tiba aku merasakan tangannya di pahaku. Mengusap paha kiriku. Awalnya hanya di dekat
lutut, namun semakin lama tangannya semakin naik. Sontak aku melepaskan ciumannya dan
melepaskan tangannya dari pahaku.

“kenapa? Kamu tidak suka?” sutha menatapku tajam. Tangannya berusaha kembali menyentuh
pahaku, namun kembali ku tolak. Dia akhirnya menyerah dan berhenti menatapku. Kami hanya
terdiam hingga tiba di rumahku.

Anda mungkin juga menyukai