Anda di halaman 1dari 6

Jangan Panggil Aku Si Anak Cupu

Karya :

Kelas :

Sekarang, aku berada di ujung koridor ini lagi. Salah satu tempat yang sebenarnya sangat aku
hindari. Tapi harus bagaimana lagi? Tidak ada lagi jalan lain untuk menuju ke perpustakaan sebagai
tempat favoritku. “Aku tidak boleh menghiraukan mereka, aku pasti bisa melawan mereka,” kata-kata
itu yang selalu mendorongku untuk berani melewati koridor kelas XI ini. Belum juga sampai di ujung
koridor, sudah ada gerombolan kakak kelas yang mencegatku. “Halo anak cupu, mau kemana nih?
kamu mau ke perpustakaan ya? ikut dong, aku juga mau belajar cara menjadi anak cupu.” Ujar salah
satu diantara mereka yang akrab disapa kak Shelly. Dia mengatakan hal itu sambil tersenyum mengejek
ke arahku. Aku tidak menghiraukannya dan memilih untuk mempercepat langkahku. Tapi, baru saja
ingin melangkah, tangan-tangan itu menarikku dengan kasar. Kak Erin, yang katanya adalah ketua
geng di kelas itu tiba-tiba mendorongku hingga aku terjerembab ke tembok, lalu “plakkk”, satu
tamparan keras mendarat di pipiku. Aku hanya diam dan tak berani melawan mereka. Sambil
memegangi pipiku yang terasa sakit dan perih, aku berlari menjauh dari geng mereka dan segera
menuju perpustakaan dengan menahan air mata yang tak terasa menetes pelan melalui pipiku yang
terasa sangat sakit.

Oh iya, hampir saja aku lupa, perkenalkan namaku Raina. Nama lengkapku Raina Kemala. Aku
sekarang duduk di kelas X di salah satu sekolah menengah atas negeri di kotaku. Aku bersyukur bisa
diterima sebagai salah satu siswa di sekolah yang cukup terkenal ini. Tidak mudah untuk dapat masuk
di sekolah favorit ini. Aku masuk melalui jalur prestasi ademik dimana jumlah rata-rata nilai sewaktu
duduk di bangku sekolah menengah pertama menjadi penentunya. Meskipun aku bukan siswa yang
sangat cerdas namun aku selalu masuk ke dalam 3 besar siswa berprestasi dalam kelas.

Sebagian besar teman-teman dan kakak kelasku memanggilku dengan julukan “Anak Cupu.”
Julukan ini telah disematkan padaku saat aku pertama kali menginjakkan kaki di sekolah ini. Entah
karena penampilanku dengan kaca mata minus yang selalu menemani keseharianku dalam belajar
sehingga mereka menyebutku si anak cupu atau karena sifatku yang pada dasarnya adalah seseorang
yang tertutup dan tidak terlalu suka bergaul dengan siapa pun. Aku lebih sering berada di perpustakaan
sekolah untuk membaca buku-buku pelajaran ataupun kisan-kisah fiksi. Aku menemukan duniaku
sendiri saat membaca dalam keheningan sehingga terkadang aku lupa waktu jika sudah berada diantara
tumpukan buku-buku. Oleh karena itu aku tidak mempunyai banyak teman tapi aku tidak pernah
mempersoalkan hal itu.

“Rainaaa……. kamu dari mana aja sih? aku sudah keliling sekolah untuk mencari kamu loh!”
teriak Hesti yang ternyata sejak tadi sudah mencari sahabatnya ini. Iya, Hesti adalah satu-satunya
orang yang ingin berteman bahkan bersahabat denganku. Hesti adalah anak dari kepala sekolah di
sekolah kami ini. Sifat dan Kepribadian kami sangat berbeda. Dia sangat supel dan pandai bergaul
sehingga tak heran ia mempunyai banyak teman. “Heh, kok melamun aja sih? jawab aku dong!” ujar
Hesti dengan sedikit mengguncangkan badanku. “Hmmm, i-iya tadi aku habis dari perpustakaan.”
“Hah, perpustakaan katamu? wah, pasti kakak kelas itu mengganggu kamu lagi kan?” Belum sempat
menjawab pertanyaan Hesti, dia sudah mengalihkan pandangannya ke pipiku yang masih menyisakan
warna merah habis ditampar tadi.

“Pipi kamu kenapa merah seperti ini? Kamu diapakan oleh mereka?” tanyanya sambil
meletakkan tangan dipinggang, bak seorang ibu yang sedang memarahi anaknya. “Tidak, kok. Ini tadi
ada nyamuk di pipiku, terus aku berusaha menepuknya,” ujarku berbohong sambil berusaha
menampakkan senyum dihadapannya. “Ah tidak, kamu pasti bohong. Aku yakin geng anak kelas XI itu
telah melakukan sesuatu padamu.” Ucap Hesti sambil terus memperhatikan pipiku. Aku berusaha
menunduk untuk menyembunyikan pipiku dan mengajak Hesti untuk masuk ke dalam kelas. Dengan
terpaksa dia mengikutiku masuk ke dalam kelas meskipun aku tahu dia pasti tidak percaya dengan apa
yang telah kusampaikan padanya. Ah, biarlah apa yang aku alami hari ini cukup kusimpam dalam hati.

Semua kejadian buruk yang aku alami di sekolah karena perlakuan kakak kelasku tidak pernah
aku ceritakan kepada siapa pun termasuk kepada ibuku yang telah berjuang membesarkanku seorang
diri. Aku tidak ingin membuatnya sedih. Sudah cukup beban hidup yang ibu tanggung semenjak ayah
meninggal saat aku berusia 5 tahun. Kejadian naas itu seolah terputar kembali dihadapanku. Saat itu
kami berboncengan menuju taman bermain yang berada di kota kami. Ayah telah lama berjanji akan
membawaku ke taman bermain itu jika ia memiliki waktu luang dari tempat kerjanya. Saat sedang
berada ditengah jalan, tiba-tiba sebuah kendaraan roda empat melaju dengan cepat. Ayah yang kaget
akhirnya tidak bisa menguasai motornya dan akhirnya kendaraan roda empat itu menyerempet motor
yang kami tumpangi. Aku dan ibu terlempar ke pinggir jalan yang ditumbuhi oleh rerumputan hijau,
sedangkaan naas bagi ayah yang tubuhnya terlempar tepat didepan sebuah truk yang sedang melaju
sehingga membuat tubuhnya terlindas oleh ban besar truk itu.
Aku dan ibu hanya bisa berteriak memanggil nama ayah sambil menyaksikan tubuh ayah yang
telah berlumuran darah. Orang-orang segera memberikan pertolongan dan membawa kami ke rumah
sakit. Namun sungguh sayang, nyawa ayah tidak bisa diselamatkan. Meskipun dokter telah berusaha
memberikan pertolongan kepadanya tapi karena luka yang diderita oleh ayah cukup serius, akhirnya
ayah menghembuskan nafas terakhir tepat dihadapan aku dan ibu.

Sejak kejadian itu, aku tumbuh menjadi anak yang pendiam. Aku tidak suka bergaul dengan
anak-anak sebayaku. Aku lebih senang berdiam diri di kamar sambil menulis cerita atau puisi. Semua
yang aku rasakan aku tumpahkan dalam goresan pena. Seringkali aku menghabiskan waktuku seharian
hanya untuk menulis. Perasaan sedih dan rindu akan sosok seorang ayah, semua aku tuangkan dalam
lembaran-lembaran kertas yang semakin menumpuk di atas meja belajarku. Aku selalu berandai-andai
jika saja ayah masih hidup maka pastilah hidup aku dan ibu tidak akan menderita seperti ini. Meskipun
ayah tidak memiliki jabatan yang tinggi dikantornya akan tetap gajinya setiap bulan lebih dari cukup
untuk membiayai kehidupan kami sehari-hari. Aku begitu merindukan kehadiran ayah karena aku
yakin dia adalah orang pertama yang akan membelaku saat ada orang yang berusaha menggangguku.

Peristiwa yang aku alami di sekolah pun aku selalu tuangkan dalam tulisan-tulisan di buku
diaryku. Melalui buku itu aku tuangkan semua yang aku rasakan, baik rasa senang karena mempunyai
seorang sahabat yang baik seperti Hesti maupun rasa marah dan sedih setiap mendapat olokan dan
perlakuan yang tidak pantas dari kakak-kakak kelasku. Buku diaryku menjadi saksi atas semua
kesedihan yang aku rasakan. Tidak ada hal yang luput aku ceritakan dalam buku diary itu. Setiap kali
selesai menulis di buku diary itu maka aku merasa beban yang aku rasakan sedikit berkurang karena
disanalah aku leluasa menumpahkan semua yang aku alami.

Aku sangat kasihan kepada ibu karena sejak kepergian ayah, ibu menjadi tulang punggung
keluarga kami. Apa pun jenis pekerjaannya maka ibu akan mengerjakannya asalkan bisa menghasilkan
uang yang halal untuk membiayai hidup kami sehari-hari terutama untuk sekolahku. Terkadang ibu
menjadi buruh cuci, pengumpul plastik-plastik bekas atau menjajakan keliling kue hasil buatannya
sendiri. Ibu selalu berpesan agar aku harus rajin belajar dan tak perlu menghiraukan keadaan ibu yang
semakin hari aku liat semakin kurus dan kelihatan lebih tua dari usianya. Beban hidup telah mengubah
ibu yang dulunya adalah sosok seorang wanita yang cantik namun sekarang berubah menjadi seorang
wanita yang tidak pernah lagi mengurus dirinya. Aku bahkan tidak ingat lagi kapan terakhir ibu
memakai bedak di wajah cantiknya dan memoleskan lipstik dibibirnya. Bahkan samar aku lihat
kerutan-kerutan halus mulai nampak dibawah mata indahnya.
Keadaan itulah yang membuatku semakin larut dalam duniaku sendiri. Apalagi semenjak aku
masuk di bangku SMA, teman-teman tidak ada yang pernah mau berteman denganku. Akupun
menyadari hal itu sehingga aku selalu menyibukkan diri dengan membaca buku di perpustakaan atau
pun mengerjakan tugas-tugas dari sekolah. Hanya Hesti seorang yang mau berteman denganku dan
mau menerima aku apa adanya. Dia tidak pernah sedikit pun mempermasalahkan penampilanku yang
hanya memakai tas dan sepatu yang tidak bermerek karena ibuku membelinya di pasar. Bahkan
terkadang Hesti membelikanku cemilan dan minuman saat dia melihatku tidak ke kantin karena aku
memang jarang membawa uang jajan. Setiap hari aku hanya meminta ongkos pete-pete ke ibu karena
aku tidak mau menambah pengeluaran ibu setiap harinya.

Perlakuan yang aku terima hari ini dari geng anak kelas XI semakin membuatku larut dalam
kesedihan yang sengaja kubiarkan sehingga semakin betah menemani kesendirianku. Meskipun aku tak
habis pikir, mengapa mereka begitu tega memperlakukan aku seperti ini. Bukankah aku tidak pernah
berbuat salah kepada mereka. Aku bahkan tak berani menatap mereka meskipun dari kejauhan karena
aku takut mereka akan semakin menggangguku. Sudah tak terhitung lagi berapa kali mereka telah
mempermalukan aku di hadapan siswa-siswa yang lain. Aku kerap menjadi bahan olok-olokan mereka.
Namun aku tak pernah bisa membalasnya, yang kulakukan hanya segera berlari sambil menangis
menahan malu. Bahkan teman-temanku pun tidak ada yang mau membelaku, kecuali Hesti. Dia akan
maju membelaku jika kebetulan dia berada ditempat yang sama saat aku diganggu oleh geng anak kelas
XI itu. Terkadang ada timbul rasa marah dan benci dalam hati atas perlakuan mereka. Namun aku bisa
apa. Aku hanyalah anak yatim yang ibunya seorang buruh cuci, sedangkan mereka berasal dari
keluarga yang berada. Aku sungguh jauh berbeda dengan mereka. Semua kekesalan ini aku pendam
sendiri tanpa berani menceritakannya kepada siapa pun.

Malam ini ibu pulang telat karena ada panggilan untuk membantu tetangga yang sedang
mengadakan hajatan. Yah begitulah ibu, dia tidak pernah mengeluh capek saat ada orang yang ingin
menggunakan jasanya karena bagi beliau yang terpenting adalah kami bisa makan dan aku mempunyai
ongkos pergi ke sekolah setiap harinya. Pernah suatu ketika aku mengutarakan niatku untuk berhenti
saja dari sekolah dan lebih baik bekerja membantu ibu, namun dia sangat marah dan menangis sedih.
Ibu memelukku sambil memohon agar aku harus tetap bersekolah dan tidak perlu ikut menanggung
beban keluarga kami karena ibu sangat ingin kelak menyaksikanku memakai toga saat wisuda seperti
keinginan almarhum ayah.
Seperti biasa, aku kembali berada didalam kamar sempitku ini. Sambil memandangi foto ayah,
aku menuliskan rasa benci dan marah kepada mereka yang sering menggangguku dan memanggiku
dengan sebutan anak cupu. Tak lupa di akhir tulisanku itu, aku menuliskan permintaan maaf kepada
ibuku yang sangat aku sayangi. “Maafkan aku ibu, aku tak kuat lagi berada di dunia ini. Mereka telah
mempermalukanku dan menyakitiku…..izinkan aku pergi untuk bertemu dengan ayah.” Aku kembali
menatap pisau tajam yang siap aku iriskan kearah nadiku. Bayangn teman-teman yang tidak perduli
padaku dan kakak-kakak kelasku yang selalu menatapku sambil mengejek kembali memenuhi ruang
memoriku. Namun tiba-tiba bayangan sosok ayah muncul dan tersenyum kepadaku, saat aku hendak
berlari kearahnya, beliau melarangku dan perlahan pergi membelakangiku. Aku ingin mengejarnya
namun suara ketukan di pintu kembali menyadarkanku sehingga pisau yang telah berada dalam
genggamanku perlahan terjatuh. Ternyata ibu telah pulang dan aku segera membukakan pintu
untuknya. Aku langsung memeluk ibu dan meminta maaf padanya karena hampir saja aku
menghancurkan hati seorang ibu yang telah banyak berkorban padaku. Aku sangat menyesal karena
telah memiliki pemikiran yang picik untuk mengakhiri hidupku.

Aku tidak boleh seperti ini terus menerus. Aku harus bangkit dari keterpurukan dan rasa minder
aku rasakan. Mulai hari ini aku harus membuktikan kepada dunia bahwa aku mampu menjadi orang
hebat. Akan kuhadapi orang-orang yang telah menghinaku dan akan kuperlihatkan kepada mereka
bahwa mulai hari ini si cupu akan menjadi orang yang berbeda. Aku harus membuka diri dengan dunia
luar dan kembali menata hidupku agar mimpi-mimpiku menjadi nyata.
Bahasa Indonesia

Jangan Panggil Aku Si Anak Cupu

DI Susun Oleh:

Muhammad Alif AL Thufail

XII IPS 1

18

Anda mungkin juga menyukai