Anda di halaman 1dari 21

Jadikanlah Masa Depan Sebagai Acuan

Cerpen Karangan: Wildan Hansyah


Kategori: Cerpen Motivasi, Cerpen Persahabatan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 14 December 2019

Menulis tak semudah yang diperkirakan berbagai orang. Banyak orang yang menganggap ringan
sebuah kegiatan menulis, tapi nyatanya, mereka pupus di tengah jalan karena begitu beratnya
menulis. Entah, hantu apakah, setan apakah ataukah jenis makhluk apakah yang merasuki kata
menulis sehingga banyak orang yang takut dengannya.

Kata-kata anti menulis tak pernah terukir pada diri seorang temanku. Dia adalah seorang teman
yang sangat gigih memperjuangkan kemauannya maupun kemauan orang lain. Dia lah Dafi,
seorang anak yang tak akan mau mundur terhadap masalah yang dihadapinya. Kehandalannya
terhadap menulis membuat jalan baru bagi kehidupannya.

Lika-liku tetap dihadapinya sebagai seorang penulis. Dia mengenal dunia menulis sejak
membaca dan menelaah berbagai novel karya sastrawan ternama. Dia mulai memfokuskan diri
pada menulis sekitar umur 12 tahun. Umur yang masih sangat muda untuk bersaing dengan
penulis ternama, bahkan penulis yang sebaya. Saat itu, dia hobi sekali membuat cerita pendek.
Dibacakannya cerita tersebut pada seluruh teman-temannya. Suara tertawa terdengar saat dia
membacakan cerita yang ditulisnya itu. Entah, siapakah yang berlebihan atau tak paham. Aku
pun mencoba mendukung argumennya tapi malah aku terkena timbal balik. Aku disangka
menjadi pawang kucing. Maklum, kucing selalu identik dengan kekonyolannya dan apapun itu
yang berhubungan dengan non-logika. Ditambah kata pawang, karena aku selalu mendukung
dan berusaha agar dia lebih baik. Tentunya dengan caraku sendiri. Kelihatannya, aku bukan
pawangnya malah, tapi mungkin malah saudara kucing.

Kejadian diatas berulang kali terjadi. Dafi, tetap gigih. Dia mungkin terlalu berekspetasi lebih
tentang cerpennya itu. Hal itulah yang mengantarkannya pada cambuk yang membuat dirinya
terkapar dan mungkin semangat dan nyawa menulisnya hampir sirna. Kejadian itu bermula saat
dia bersamaku telah duduk di bangku SMP. Dia tetap berupaya agar dia disegani sebagai penulis
cerpen. Sebenarnya, dia tak butuh banyak orang yang dimana orang-orang tersebut menyukai
cerpennya. Dia hanya butuh satu kelompok atau dalam kata lain tidak lebih dari 5 orang teman.

Saat dia membacakan cerpennya kepada teman-temannya yang bersangkutan dan dipercaya
olehnya dapat menyukai cerpennya, datanglah seorang anak yang merusak semua itu. Memang
menurut pengamatanku, anak ini telah menyimpan banyak sekali dendam pada temanku. Panggil
saja anak itu Dasa. Dasa tiba-tiba saja merebut lembar teks cerpen yang telah dibuat Dafi. Dafi
melawan, tapi apa daya, seperti semut melawan laba-laba, Dafi pun malah didorong ke belakang
dan jatuh tersungkur. Anak-anak yang loyal dengan Dasa, tak menolong. Mereka hanya melihat,
bahkan ada beberapa yang malah menertawakannya.

Setelah Dafi berhasil dikalahkan oleh Dasa, Dasa membaca cerpen karangan Dafi dan
berkomentar, bahwa cerpen Dafi itu tak pantas dijadikan karya sastra. Sepatutnya, karyanya
dijadikan lagu dan digunakan untuk membangunkan para penghuni alam baka. Dalam kata lain,
berarti cerpen karangan Dafi amatlah jelek, sampai-sampai apabila dijadikan lagu, orang-orang
yang kehilangan nyawa akan terbangun karena lagu yang liriknya diambil dari cerpen
karangannya.
Sepulang sekolah, Dafi duduk di batu besar di pinggir sungai. Kebetulan, aku melihat karena
aku berniat menghilangkan penat. Aku duduk bersebelahan dengannya. Aku bertanya
kepadanya. Pertanyaanku tidak dijawab. Aku bertanya beberapa kali kepadanya, tetap saja tidak
mendapat apa yang aku harapkan. Aku tahu bahwa dia trauma dengan kejadian siang tadi. Dia
pun harus menerima luka di kepalanya karena cerpennya. Seharusnya saat terluka seperti itu, dia
istirahat, tapi dia malah duduk termenung menghadap sungai brantas.

Saat aku ikut terdiam, tiba-tiba dia berkata padaku. Dia mengatakan mengenai sulitnya memiliki
teman seperti dia. Teman yang lain harus ikut terkena sengsara apabila dia sengsara. Dia
menutup kalimat-kalimatnya dengan derai air mata. Aku pun memperhatikannya. Entahlah,
kenapa saat seperti itu mulutku sangat sulit berucap. Tingkahku tersebut menambah sedih
dirinya karena menganggap bahwa aku telah acuh tak acuh dengannya. Sebisa mungkin aku
memberikan jawaban terbaik, jawaban yang memang sesuai dengan hati nurani diriku. Aku
menjawab bahwa dirinya tak membebani diriku sama sekali. Justru, aku yang salah, kenapa aku
tak memberikan sebuah resolusi mengenai masalahnya itu. Bagaimana caranya menjadi seorang
penulis terkenal dan besar.

Aku mengajaknya pulang. Dia tetap tidak mau. Aku pun terpaksa melakukan berbagai diplomasi
dan membenturkan berbagai argumentasi kepadanya. Dia pun akhirnya mau pulang.
Sesampainya di rumahnya, aku pun langsung membeberkan berbagai cara dan langkah-langkah
yang harus dia tempuh agar dapat menjadi seorang penulis terbaik. Aku pun menawarkannya
untuk mengirimkan naskahnya ke penerbit online. Sebelum itu, dia harus berjanji padaku agar
tak menyerah sampai tujuan. Dia pun menyanggupi dan menyetujuinya.

Selang beberapa waktu, dia menyatakan menyerah terhadap intruksiku tersebut. Aku pun
mencoba memberikan sikap optimistis padanya. Dia pun setuju dan mengikuti saranku tersebut.
Pada akhirnya ada sebuah lomba menulis cerpen secara online. Siapa saja yang dapat
memenangkannya, cerpen karyanya dapat diangkat menjadi sebuah film pendek dan tentunya
jaminan ketenaran. Dia tak mau mengikuti karena harus berperang dan melawan seluruh penulis
profesional. Aku tetap memaksanya. Dia menurut padaku.

Berhasil langkah yang aku sarankan. Dia berhasil keluar sebagai seorang pemenang. Dia
bersiap-siap untuk melakukan skenario film tersebut.

Senyum bangga mewarnai hari-hariku selanjutnya. Aku berharap temanku tak trauma lagi
dengan masa lalunya yang kacau. Aku hanya bisa mengatakan selamat pada temanku tersebut
dan berharap semoga mimpi-mimpinya dapat tercapai. Sebuah harapan yang tak pernah
dipadamkan akan semakin menyala-nyala. Itulah motto diriku mulai saat ini dan aku juga
berusaha dapat memberikan penghargaan yang terbaik pada temanku tersebut.
Delia Belajar Membaca Al Quran
Cerpen Karangan: Elmi Sofi Yasmien
Kategori: Cerpen Islami (Religi), Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 14 December 2019
Pada suatu hari Delia pergi bersama Ibunya ke Pasar, dalam perjalan menuju ke pasar delia
melewati sebuah masjid delia mendengar orang orang sedamg membaca al quran. Setelah
sampai ke pasar delia dan ibunya segera bergegas membeli barang kebutuhannya.
Setelah selesai mereka pulang ke rumah dan delia bertanya “Bu, tadi delia dengar orang orang di
dalam masjid sedang membaca apa Bu?” Ibu menjawab “orang orang tadi sedang membaca al
quran” “apa itu al quran Bu?” tanya delia “al quran adalah wahyu allah yang diturunkan kepada
Nabi muhammad dengan melalui malaikat jibril yang berbentuk suhuf kemudian dibukukan”
jawab Ibu. “oh, begitu ya Bu” jawab delia.
Saat tiba di rumah, delia bertanya tanya kepada Ibu “Bu, apakah Ibu mempunyai Al quran?” Ibu
menjawab “ini Nak!” “bagaimana cara membacanya Bu?” saut delia “ayo Nak, ikut Ibu
sekarang” jawab ibu. Delia menjawab “kemana Ibu akan membawaku Pergi?” Ibu menjawab
“nanti kamu akan tahu sendiri Nak” “iya Bu” jawab delia dengan ekspresi wajah yang penuh
dengan pertanyaan
Kemana kira kira Ibu membawa delia pergi?
Saat di perajalanan ibu membatin ‘mungkin saatnya aku membawa delia belajar al quran’ karena
pada saat itu delia masih berusia 4 tahun.
Akhirnya sampai juga. Delia bertanya “tempat apa ini Bu?” “ini adalah tempat dimana delia
akan belajar membaca al quran dengan baik dan benar” saut ibu. “tapi bu, dengan siapa aku
belajar disini?” tanya delia “ayo masuk Nak! Nanti delia akan tahu sendiri”
“assalamualaikum” salam dari ibu “waalaikum salam” jawab ustdzah. “begini, saya membawa
anak saya DELIA dia ingin bisa membaca al quran” kata ibu “alkhamdulillah, siapa namamu
nak?” tanya ustadzah “namaku delia” jawab delia. “bagaimana? Sudah siap belajar” tanya
ustadzah “insyaallah sudah” jawab delia “alkhamdulillah, ayo kita mulai sekarang nak!” jawab
ustadzah. “ya sudah bu, saya keluar dulu saja” ujar Ibu “iya silahkan” jawab ustdzah
“ayo nak kita mulai” perintah ustadzah “iya bu” jawab delia. “coba baca dari yang paling atas”
perintah ustadzah “bismillahirrahmanirrahiim” jawab delia
40 menit kemudian, mereka sudah selesai belajar.
“bagaimana? Sudah bisa nak?” tanya ibu “alkhamdulillah bu” jawab delia “besok dan seterusnya
delia masih harus kesini” ujar ustaszah.
Lalu ibu dan delia bergegas menuju ke rumah.
Kemudian delia berkata “bu, delia berjanji akan menyelesaikan belajar ini” ibu menjawab “iya
nak”
Sesudah sampai di rumah delia langsung membuka tas gendongnya. Di dalam tas nya ada
sebuah buku kecil yaitu buku harian delia, delia sudah menulis pesan pesan untuk ayahnya.
Delia adalah sosok anak kecil berusia 4 tahun yang sudah ditinggal oleh ayahnya sejak dia masih
dalam kandungan, ayahnya meninggal karena diterjang tsunami di Aceh karena pada saat itu
ayah delia sedang bekerja sebagai supir taksi, delia meskipun masih kecil tapi dia sudah bisa
menulis dan membaca huruf latin, namun pada saat ini dia belum bisa membaca al quran.
Di dalam buku harian delia, delia menulis “ayah, sekarang delia sudah belajar membaca al
quran, andai saja ayah ada di samping delia. Delia ingin sekali belajar bersama ayah, namun
ayah sudah bahagia disana, delia sayang ayah”
Lalu ibu delia datang menemui delia, dan berkata “delia, kenapa nak? Kok menangis?” delia
menjawab “delia ingin sekali ayah kembali bu” sambil meneteskan air mata. Sang ibu juga
meneteskan airmata dan tidak bisa berkata apa apa.
Di dalam hati delia, delia mengucapkan “ayah, tunggu delia ya, delia akan bertemu ayah, saat
delia besar nanti, delia akan menyelesaikan belajar delia terlebih dulu”
Sang ibu tidak bisa melihat delia bersedih, lalu sang ibu berkata “ayo nak, lebih baik kita salat
ashar saja, dan kirim doa untuk ayah” “iya bu” sambil menghapus air mata
Pada kesokan harinya
Ibu menyuruh delia membeli peralatan dapur ke kompleks sebelah. Ibu berkata kepada delia
“nak, tolong belikan peralatan dapur untuk ibu” delia menjawab “iya bu”
Sesampai di ruko tujuan delia. Delia langsung bergegas memilih barang kebutuhan yang
dubutuhkan sang ibu. Lalu delia bertanya kepada sang penjaga toko “ini berapa jumlahnya bu?”
penjaga toko menjawab “50.000 nak” “oh, ini bu, uangnya” jawab delia. “terimakasih nak”
jawab sang penjaga toko.
Lalu delia bergegas pulang ke rumah. Sesampai nya di jalan delia tergesa-gesa, karena delia
ingin melakukan kegiatan tertentu.
Sesampainya di rumah delia berkata kepada ibu “ini bu, barang kebutuhan ibu.” Ibu menjawab
“terimakasih nak” delia menjawab dengan senyuman.
Waktu sudah menunjukan pukul 15.00
Delia dan ibu bergegas ke tempat belajar al quran, untuk melanjukan belajaran kemarin sore.
Sesampainya disana delia langsung masuk ke dalam ruangan. Delia berkata “asalamualaikum”
“waalaikumsalam” jawab ustadzah “ayo nak, segera masuk. Teman temanmu sudah menunggu”
delia menjawab dengan senyuman.
40 menit kemudian mereka selesai belajar
Sang ustadzah langsung menemui ibu delia. Ustadzah pun berkata “alkhamdulillah bu, delia
sudah bisa mebaca dengan baik dan benar” ibu delia menjawab “alkhamdulillah, terimakasih
banyak ustadzah” “sama sama bu (senyuman manis)” jawab ustadzah.
Delia dan ibu delia langsung pulang ke rumah. Sesampainya di jalan ibu delia melihat poster
perlombaan membaca al quran untuk usia 4-7 tahun. Lalu ibu bertanya kepada delia “delia,
maukah mengikuti perlombaan ini?” delia menjawab “perlombaan apakah ini” “ini perlombaan
membaca al quran” jawab ibu. “iya bu, delia mau” jawab delia. “ayo nak, kita mendaftar
sekarang” ajakan ibu. “iya bu” jawab delia.
Perlombaan itu akan berlangsung satu minggu kedepan.
Saat waktunya telah tiba, dan dan ibunya bergegas pergi ke lokasi perlombaan itu. Sesampainya
di jalan delia berkata “bu, semoga ayah bisa melihat perlombaan delia nanti, ayah pasti akan
senang” ibu menjawab “iya nak”
Tiba tiba ada sesuatu yang jatuh dari dalam tas sang ibu. Delia melihat benda itu, delia berkata
“bu, ada sesuatu yang jatuh dalam tas ibu, sebentar delia ambilkan ya, delia akan mengambilkan
benda itu, delia pergi sebentar ya, jangan khawatirkan delia” Ibu menjawab “iya nak. Hati hati
ya”
Saat delia berjalan mengambil benda yang terjatuh dari dalam tas ibu, tiba tiba ada sebuah motor
yang melaju sangat kencang di hadapan delia, saat itu delia sedang membaca shalawat nabi.
Sang ibu melihat ada sebuah motor yang berlaju kencang, ibu delia pun berteriak “deliaaa awas
nakkk!!!” delia pun tertabrak oleh motor itu, lalu delia segera dibawa ke rumah sakit, tapi
sayang sekali nyawa delia tak terselamatkan.
Detik detik sebelum nafas delia hilang di dunia, delia berkata di dalam hatinya “ayah, delia akan
membuat ayah tersenyum, tunggu delia ayah”
Ibu delia pun pingsan saat mendengar nafas delia tiada lagi. delia segera dibalut kain kafan,
setelah ibu delia terbangun dan melihat anaknya terbungkus oleh kain kavan, ibu delia pun tak
bisa berkata kata lagi hanya bisa meneteskan air mata.
Begitulah anak yang ingin membaca al quran, semua itu akan ada hikmahnya. Allah tidak akan
pernah salah memberikan takdir untuk makhluknya
Cerpen Karangan: Elmi Sofi Yasmien
Guru Senjaku
Cerpen Karangan: Yosephin Hamonangan Pasaribu
Kategori: Cerpen Persahabatan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 11 December 2019

Suasana pagi yang segar di bulan agustus 2015 itu mengawali perjalananku. Ya, panggil saja
aku Giovani. Inilah kali pertama aku jauh dari kedua orangtuaku. Perasaan sedih dan takut
menghampiriku. “bagaimana ya kehidupan disini?”, “teman-temanku nanti baik gak ya?”.
Begitulah kata hatiku. Rasa takut menghampiri karena selama ini aku selalu berada di samping
kedua orangtuaku. Mataku masih kosong mengenai lingkungan di luar zona nyamanku. Ya, dari
sinilah awal aku memahami arti kehidupan yang sesungguhnya.

Hari pertama kuliah, aku pergi masih diantarkan kakakku. Kakakku mengatakan padaku bahwa
masyarakat kota ini baik. Aku berjalan memasuki kawasan kampus masih dengan perasaan takut
dan sedih. Di parkiran sepeda motor, aku bertemu dengan teman baruku. Panggil saja dia Riri.
Dia merupakan warga asli Yogyakarta. Pertemuan awal dengannya sudah diwarnai dengan
canda tawa yang melebur kecanggungan kami. Perasaan sedih dan takut yang tadinya kurasakan
perlahan redup. Suasana tenang di Kota Yogyakarta juga meredupkan sedih dan takutku.
Memang benar, teman yang ramah dan niat yang baik membawaku ke tempat yang
menyenangkan. Di kota inilah aku melanjutkan proses hidupku.

Hari pertama kuliah, murid baru dijadwal mengikuti perkuliahan Bahasa Inggris di luar wilayah
kampus. Aku bingung karena tidak tahu dimana tempatnya. Tiba-tiba riri memanggil dan
menawarkan untuk pergi kuliah bersamanya. Aku pun menerima tawarannya. Entahlah, tapi aku
merasa nyaman dengan riri. Seketika aku tertarik untuk mengenal riri lebih dalam. Bagiku, dia
berbeda dari wanita lainnya. Penampilannya bak seorang lelaki dan berkarakter tomboy.
Meskipun begitu nada bicaranya sangatlah halus.

Sepanjang perjalanan, riri mengajakku berbicara.


“Kamu kok kuliah disini? Kenapa?”, tanya riri.
“Iya ri, kalau di Medan terus nanti pengetahuanku gak nambah-nambah dong haha”, ujarku.
“Hiihh kamu berani ya jauh dari orangtuamu. Kalau aku sih berani gak berani”, jawabnya
sambil tertawa kecil.
“Sebenarnya aku sedih juga jauh dari orangtuaku, tapi kan aku harus belajar ri”, jawabku.
“Jangan sedih, kan disini nanti kamu ada temen-temennya juga. Kan ada aku juga”, ujar riri.
“Iya juga ya, makasih loh ri”, jawaku sambil tersenyum kecil.
Sesampainya di tempat perkuliahan Bahasa Inggris, aku dan riri masuk ke kelas. Sayangnya
kami berada di kelas yang berbeda.

2 jam kemudian, kelas kami pun selesai. Aku pun menemui riri di parkiran dan kami pun
kembali ke kampus.
“Gio, kita makan yuk. Aku lapar”, ujar riri dengan lembutnya. Aku pun mengangguk.
“Ehh bentar ya aku panggilin livia dulu soalnya dia tadi juga mau makan”, ucap riri sembari
pergi memanggil livia.

Livia? Siapa livia? Ternyata, livia adalah teman riri sedari SMP. Dia berkulit putih, rambutnya
sebahu dan menggunakan kawat gigi. Ya, sungguh indah ciptaan Tuhan yang satu ini. Mereka
pun datang dan kami pergi menuju kantin. Sambil menunggu makanan, riri mengenalkanku
kepada livia. Aku pun memberanikan diri untuk memulai pembicaraan.
“Livia, kalau boleh tau kok kamu sempat pindah ke bandung waktu SMA?”, tanyaku yang
mencoba akrab dengan livia.
“Oh, iya, aku kan emang asli orang Bandung gio. Ya, makanya kemarin SMA disana bentar”,
jawab livia sambil tertawa kecil.
“Dihh boong banget. Gio, dia ini cantik-cantik gini tapi nakal loh makanya dipindahin ke
bandung. Vi, ntar sebelum makan lu doa dulu”, ujar riri sambil tertawa.
“Enak banget lu ngarang cerita. Iya iyaa bawel ah”, ucap livia.
Makanan yang kami pesan pun datang. Seketika suasana menjadi hening dan kami menikmati
makanan kami. Selesai makan, kami pun kembali ke rumah masing-masing. Lagi-lagi, riri
menawarkan untuk mengantarkanku pulang. Sesampainya di depan kos, aku pun mengajak riri
untuk ngobrol di kosku.

“Rii, pertemananmu dengan livia masih terjalin akrab ya,” ucapku.


“Ya gitu gio, soalnya livia butuh orang yang selalu ada buat dia”, jawab riri yang mengundang
tanya.
“Emangnya livia kenapa ri? Dia sakit?”, tanyaku.
“Emmm, Livia itu sempat depresi karena orangtuanya pergi ninggalin dia. Dia dititipin ke
Pakdenya yang di Jogja ini. Orangtuanya tuh janji bakal jemput dan bakal sering nelfon dia tapi
gak ada yang mereka lakuin. Livia sedih dan di sekolah juga dia uring-uringan gio. Gak jelas
deh pokoknya. Terus aku liat dia gabung gitu sama geng pembuat onar di sekolahan. Yaudah
deh, dia jadi sering ke klub malam, merok*k, minum-minuman keras dan bahkan jarang banget
masuk sekolah”, jelas riri kepadaku.

“Lalu kok kamu bisa deket sama livia?”, tanyaku.


“Semua berawal dari kejadian di toilet sekolah. Waktu itu aku ke toilet dan mencuci tanganku di
wastafel. Aku mendengar ada suara orang menangis dari bilik toilet paling ujung. Sejujurnya
aku takut tapi aku penasaran dengan suara itu. Pada saat aku membuka pintu, aku melihat livia
terduduk pucat di kloset. Aku kaget dan segera meletakkan tangannya di bahuku. Eh belum
sampai di klinik kampus, livia udah pingsan. Aku meminta bantuan teman yang lain untuk
membopong livia”, ujar riri panjang lebar.

“Semenjak kejadian itu kamu dan livia jadi akrab?” tanyaku.


“Iya, saat di klinik dia ceritain tentang keluarganya. Livia minta diantarkan pulang ke rumah dan
aku mengantarkannya. Eh dia malah pingsan lagi, akhirnya aku bawa ke rumah sakit terdekat.
Aku mencoba menelfon pakdenya tapi gak diangkat. Akhirnya aku berniat untuk menemani livia
di rumah sakit. Pakdenya sempat datang ke rumah sakit, namun datang sebentar dan pergi tanpa
berbicara”, jawab riri dengan senyuman kecilnya.

“Lalu mengapa pertengahan SMA livia pindah ke bandung?”, tanyaku


“Iya, ibunya meninggal dalam kecelakaan mobil sehingga dia pergi ke bandung dan
memutuskan untuk melanjutkan sekolahnya disana,” jawab riri.

“Jika aku menjadi livia, aku pasti sudah bunuh diri”, jawabku.
“Livia juga ngomong begitu gio. Tapi aku mengatakan padanya bahwa Tuhan lebih menyayangi
ibunya. Aku meyakinkan livia meski ibunya meninggalkannya tapi ibunya pasti menyayanginya.
Aku membujuknya untuk pergi ke bandung. Untungnya livia berhati lembut. Aku seneng sih
sekarang livia udah jadi pribadi yang positif dan dewasa”, jawab riri.

“Ri, aku salut denganmu. Kalau aku jadi kamu, aku gak bakal ngelakuin hal kaya kamu.
Orangtuaku selalu mengatakan untuk memilih dalam berteman”, ucapku .
“Jadi malu gio. Bener sih kita harus memilih dalam berteman, tapi ada baiknya kita melihat dari
sisi positif lainnya. Emm kayanya kita ngobrolnya lama ya, aku harus pulang nih. Aku balik
dulu ya gio, see youu ”, ujarnya sambil tersenyum kecil.
“Hati-hati, rii. See you”, teriakku dengan nada lumayan keras.

Senja kala itu menutup hariku dengan penuh makna. Senja pun menyadarkanku bahwa mentari
itu tak selalu menemani. Begitulah dengan kehidupan ini. Kebahagiaan tidak selalu menyelimuti
keseharianku. Dari riri aku belajar, bahwa luka sesakit apapun masih dapat diobati. Dari riri pun
aku belajar untuk menerima dan memberi kasih. Mungkin beginilah cara Tuhan mengajarkanku
untuk mensyukuri dan menghargai setiap hal yang masih kita miliki.

Cerpen Karangan: Yosephin Hamonangan Pasaribu


Blog: yosephinsidehp.wordpress.com
Kamu tidak akan pernah mengenal dirimu jika kamu belum menorehkan hitam diatas putih.
Pencuri Misterius
Cerpen Karangan: Xixis Oktora
Kategori: Cerpen Anak, Cerpen Misteri
Lolos moderasi pada: 11 December 2019

Hay! Namaku Dela Reyna, kalian bisa memanggilku Dela. Aku anak ke 2 dan mempunyai
kakak juga adik perempuan, Mereka adalah Dersa dan Dyna.

“Dela! Tolong bikinin dede susu, ya. Botol sama susunya ada di dalam rak dapur” teriak
mamaku seraya menggendong dyna yang terus menangis.
“Iya mah, sebentar…!!” Timpalku langsung meletakkan hp di bawah bantal lalu berjalan menuju
dapur.

Botolnya sudah kudapat, susu bubuknya juga, sudah kutemukan. Tapi…


“Habis…??” Setelah kubuka bungkusnya, ternyata susu dyna sudah habis. Belakangan ini,
sering sekali aku mendapati susu dyna mendadak habis. Pagi hari, aku menyeduh susu buat
dyna, susunya masih penuh. Tetapi, keesokan harinya susu bubuk itu sudah habis.

Tanpa berpikir panjang, aku segera menghampiri mama sembari membawa botol dan bungkus
yang sudah mengempes tanpa bubuk susu.
“Mah, susu dyna udah habis lagi” ucapku menunjukkan bungkus susu kosong.
“Yah… kok bisa? Padahal kan itu baru mama buka” balas mama sedikit terkejut. Sedetik
kemudian, dyna menangis lagi.
“Yaudah del, buka lagi aja yang baru. Untung mama beli 2 bungkus kemarin. Tolong seduhin
del, si dedek nangis mulu. Buruan ya!” Ujar mama bertubi-tubi.
“Siap mah!”

Beberapa menit kemudian,


Akhirnya suasana rumah kembali tenang dan damai tepat setelah mulut dyna disumpel pake
botol susu sama mamaku.

“Kamu tidur gih del, udah malem. besokkan kamu sekolah”


“Iya mah, ya udah adel mau ke kamar dulu”
Aku hendak ke kamar, namun terdengar suara ribut dari dapur.
TAK! PLETUK! DUG!

Setiba di dapur, aku melihat rak dan kulkas dalam keadaan terbuka.
“Aaww..!!” Dan, ada seseorang sedang mengobrak-abrik di dalam dapur. Rasa penasaranku
semakin bertambah karena pelakunya terlihat berada dibalik kulkas, wajahnya tak terlihat karena
terhalang pintu kulkas.

Perlahan kulangkahkan kakiku menuju kulkas, tepatnya mencari tahu siapa orang dibalik pintu.
“Siapa kau?!” Sahutku seraya menarik pintu kulkas lebih lebar lagi.
Dia seorang cewek remaja dengan pakaian piyama polkadot berwarna pink hitam, tak lama dia
tersenyum malu melihat diriku.
“Hah?” Aku kebingungan menatapnya, dia orang yang kukenal.
Tentu saja, dia kakakku, kak dersa.

“Eh, dela. kamu belum tidur?” tanyanya menyeringai sembari menyembunyikan sesuatu di
sebelah tangannya.
“Kak dersa? Kakak lagi ngapain disini?” Aku menggeleng heran melihat kakakku yang terus
menyeringai menatapku, ada apa dengannya? apa dia gila?
Tetapi,
Setelah kulihat lagi, ternyata susu dyna berada di sebelah tangannya juga terdapat susu di bawah
hidung dan bawah bibirnya.
“Kak dersa…”
Sepertinya,
Aku menangkap basah pelakunya, orang yang menghabiskan susu dyna dalam semalam.

“Hehehehe…” kak dersa tak menjawab, ia justru tertawa kecil seraya mengeluarkan bungkus
susu bubuk milik dyna yang udah kosong.
“jadi kakak yang selalu ngabisin susu dyna?” tanyaku kebingungan melihatnya, serasa tak
percaya.
Si tikus malam yang berburu susu dyna adalah Kak dersa.
“Ssstt… nanti ketahuan mama” desisnya menyuruhku untuk diam.
“Kamu mau susu?” tawarnya setelah itu.

Tamat
Salah Cabut Gigi
Cerpen Karangan: Vino Ariefianto
Kategori: Cerpen Cinta
Lolos moderasi pada: 8 December 2019

Ada seorang pemuda bernama Gibang, dia suka berbicara bahkan saat makanpun dia berbicara
tiada henti.

Sampai suatu ketika dia makan amplang (sejenis kerupuk dari ikan) sambil berbicara kepada
temannya, temannya sudah memperingatkan jangan berbicara sambil makan. Tetapi Gibang
enggak mempedulikan, gara-gara berbicara sambil makan amplang “krekk” gibang terdiam ada
yang aneh di dalam mulutnya perlahan rasa sakit dia menduga giginya patah, lidahnya
menyentuh gusi yang terasa sakit benar gigi Gibang goyang.

Dia memutuskan berhenti makan amplang, sambil memegang pipinya “aduh… aduh…”
meringis kesakitan. Temannya bertanya “kenapa?” Gibang dengan menahan sakit “gigiku sakit,
saya pulang dulu!” Gibangpun pulang.

Di perjalanan pandangannya mencari sesuatu dia melihat ke kanan ke kiri, ada plang dokter
praktek gigi bernama Drg. Sesi Angeriani. Gibang terkena giliran terakhir di jam 10 malam, saat
membuka pintu ruangan dia melihat dokter lagi menulis lalu menyambutnya dengan ramah,
dalam hatinya “cantik sekali dokter ini”.

Gibangpun masih berdiri menatap, memang tatapannya cuman 2 detik tapi terasa lama dia kaget
saat dokter Sesi memintanya duduk “silakan duduk Mas Gibang” Gibang menjawab “a.. iya..”
gibang duduk.

Dokter Sesi berucap “ada keluhan apa?” suaranya lembut selembut ice cream, apalagi ruangan
berAC menambah tenang rasanya hati gibang. Gibang mau menjawab, kedua tangan berada di
paha jari mengetuk-ngetuk jari tangan satunya.

Gibang yang selama ini terkenal suka bicara tetapi di depan dokter Sesi dia susah menggerakkan
lidahnya terasa kaku, dokter berkata “iya…” memberikan ekspresi agar gibing berbicara,
menunggu mulut gibang mengucapkan kalimat.

Gibang berdehem mengatur posisi duduk “ehm… saya mau cabut gigi”, dokter Sesi tersenyum
manis “kenapa dicabut”, gibang kembali tidak bisa berbicara dalam hati gibang “aduh kenapa
dia ngajak bicara, kenapa saya tidak bisa bicara”, gibang menjawab dengan nada tegas “gara-
gara makan amplang!” suara tegas dan mengagetkan dokter Sesi, gibang salah tingkah,
“amplangnya keras… bukan… bukan… saya makan amplang sambil bicara kemudian gigi saya
goyang”.

Dokter Sesi mengajak duduk di kursi cabut gigi, menanyakan, “yang mana mau dicabut” gibang
menunjuk giginya. Sekali lagi mungkin karena terlalu cantik apa lagi wajah dokter Sesi di
dekatnya, aroma tubuh yang wangi serta senyum bibir berbalut pewarna yang tipis serta
putihnya gigi dokter Sesi melengkapi wajahnya yang cantik.

Rambut sebahu terurai menyentuh lembut tanpa sengaja wajah Gibang membuat Gibang seakan
berada di depan bidadari.

Dia enggak sadar kalau giginya salah dicabut mungkin karena terlalu cantik, lebih manis dari
amplang dia salah menunjuk giginya dan syukurnya dokter Sesi masih sendiri. Bagaimana dia
tahu kalau dokter Sesi masih sendiri, tidak ada cincin yang melingkar di jari-jari lentiknya serta
bodynya yang masih padat dan ramping.
Selesai cabut gigi gibang diberikan resep obat penahan rasa sakit, Gibang menatap kartu nama
dokter Sesi, dokter Sesi berkata “ini kartu nama saya, nanti datang kemari lagi kalau masih
terasa sakit” selesai cabut gigi membeli obat di apotek terletak di sebelah praktek dokter Sesi
sekaligus membeli air mineral, selanjutnya meminum obat.

Sesampai di rumah dia engga mengecek giginya, dia berbaring di tempat tidur menghadap ke
atas menatap kartu nama bernamakan Drg. Sesi Angereani terdapat no hp dan alamatnya, diapun
tersenyum, lamunannya ke saat berada di dokter praktek berhadapan dengan dokter Sesi.

3 hari cukup buatnya makan dengan berhati-hati, sialnya hari keempat dia makan daging
rendang, terasa sakit lalu mengecek di cermin “ampun dah, salah cabut!” meringis kening wajah
mengerut, bukan murah mencabut gigi apalagi saat itu dia mau membayar tagihan kontrakan
rumah.
Pekerjaannya sebagai penulis dengan pendapatan senin kemis, tentu harus pandai-pandai
berhemat terlebih ada insiden cabut gigi dia harus menarik ikat pinggang sekencang mungkin
artinya lebih berhemat lagi.

Motor yang dikendarai sampai di depan praktek dokter Sesi, dia mengalami dilema marah salah
cabut gigi tapi hatinya suka padanya. Sebelum masuk dia terlupa dengan kunci motor lalu
berbalik mengambil kunci di motor saat berbalik di hadapannya dokter Sesi tinggi mereka
berdua beda tipis dokter Sesi setinggi hidung Gibang, tentu saja amarahnya luluh, dokter Sesi
baru datang pada saat itu.

Di ruangan dokter, Dokter Sesi “mas Gibang giginya ada keluhan” melihat wajah dokter Sesi
membuatnya teduh dia engga merasakan sakit pantatnya menduduki kursi dari besi, komplain
gigi salah cabut tidak diungkapkannya dengan nada lembut “maaf kemarin saya salah
menunjukkan gigi yang mau dicabut” dokter Sesi “saya pikir saya yang salah mencabut gigi mas
Gibang” Gibang menggelengkan kepala, dokter Sesi memberikan gratis untuk cabut gigi kali ini.

Ruangan cabut gigi tidak seperti kemarin sekarang ada layar TV untuk melihat gigi yang akan
dicabut, tentu saja jarak antara Gibang dan dokter Sesi rada jauh, tetap saja membuat jantung
Gibang berdendang rebana.

Dokter Sesi memegang alat cabut gigi menekan pada gigi, “yang ini?” terasa sakit di layarpun
terlihat, Gibang mengangguk dokter Sesi “ada 2 yang goyang” Gibang sontak kaget “waduh,
open house dong!” dokter Sesi bingung, “kenapa?”.

Rupanya Gibang bercanda mungkin dia test-test candaannya kena di hati dokter Sesi enggak,
maksud open house artinya 3 gigi bakalan hilang terbuka.

Drg Sesi tersenyum manis “jadi mau dicabut atau dibiarin, saya khawatirnya kalau enggak cabut
gusinya bisa terinfeksi karena menusuk gusi” hati gibang seperti tertusuk mendengar kata-kata
dicabut tetapi kemudian bayangan rasa sakit menusuk hati perlahan sirna seakan tusukan di hati
adalah jari lentik dan lembut saat itu dokter Sesi memasang sarung tangan plastik di depannya,
melihat wajah dokter Sesi, Gibang dengan tegas “dicabut saja!”.

Dokter Sesi menawarkan “saya tidak mencabut kedua giginya harus satu persatu” Gibang
wajahnya berubah dia memikirkan ongkosnya apalagi dompet di saku belakang tidak terasa
tebal saat memperbaiki posisi duduknya.

Dokter Sesi memberikan jawaban “enggak usah kahwatir kedua gigi saya cabut secara gratis
kok” kembali wajah Gibang berubah kali ini merona (memerah) malu dan senang plus
sepertinya ada benih-benih rasa suka.

Saat menunggu resep ditulis dokter Sesi, dokter menerima telepon dari ibunya mengajak agar
pulang cepat untuk makan bersama. Mendengar suara ibunya, Gibang yakin kalau dokter Sesi
benar-benar masih sendiri.
Sambil menunggu minggu depan Gibang mencari alamat dokter Sesi, dia seperti mata-mata
mengintai kapan dokter Sesi pergi, kapan datang. Akhirnya dia yakin 100% dokter Sesi masih
sendiri.

Pernah suatu ketika kepergok saat itu Dokter Sesi mengendari mobilnya dia melewati gibang
yang berada di motor seperti menunggu seseorang, untungnya Gibang dengan cepat membaca
koran menutup wajahnya, ya seperti orang membaca koran, dokter Sesi seakan tahu siapa dia.

Jurus maut Gibang memang belum sampai di mulutnya, masih mengintai apa dan bagaimana
yang dilakukan dokter Sesi. Bahkan gibangpun rela merogoh koceknya untuk makan di
restaurant yang membuatnya puasa selama 3 hari cuman untuk melihat dokter Sesi makan di
restaurant tersebut.

Minggu berikutnya giginya akan dicabut, gibang sudah mempersiapkan diri dia tidak ingin
terlihat malu-maluin di depan dokter Sesi dari cara berbicara dan cara berpakaian, dia
mempelajari bagaimana bisa mendapatkan hati dokter Sesi.

Di depan dokter Sesi Gibang tersenyum dengan maksud ingin membuat suasana formal menjadi
suasana nonformal dari dokter–pasien menjadi seperti teman, terlihat lubang di dua gusi bekas
cabutan minggu lalu, dokter tetap tersenyum seperti biasa.

Gigi sudah dicabut sudah diberi resep tiba-tiba kapas menutupi gusi terlepas jatuh “plung”
terlihat gusi tanpa 3 gigi, dokter Sesi mau tertawa tetapi tidak mungkin takut mengejek, saat
Gibang pergi dan pintu ditutup dokter Sesi tersenyum lebar akibat ulahnya gigi pasien bernama
Gibang dicabut sebanyak 3 kali.

Rupanya gayung bersambut, gestur tubuh gibang disambut gestur tubuh dokter Sesi, menurut
teori Gibang dalam hubungan kemanusian, pertama Gestur seperti senyum, gerak jalan, gerakan
kaki, gerakan tangan, tatapan mata kemudian kedua komunikasi tidak saling berdebat tetapi
saling mengisi selanjutnya ketiga adalah hati.

Gibang belum “ngeh”, belum merasakan dokter Sesi menyukai dia. Beberapa hari kemudian
datang lagi ke dokter Sesi saat berbicara terlihat gusi tanpa 3 gigi, gibang ingin memasang gigi
palsu, sebenarnya bisa dipasang sekaligus tetapi gibang meminta dipasang satu persatu, artinya
ada 3 kali pertemuan untuk memasang gigi palsu.

Kalau hitungan matematikanya 3 kali cabut gigi di tambah 3 kali pasang gigi palsu maka 6 kali
pertemuan dengan dokter Sesi.

Merekapun menjadi akrab dan makin akrab, bahkan pemuda yang bernama Gibang sering ke
praktek bukan untuk cabut gigi tapi menambal hatinya yang selama ini terluka karena ditinggal
pacar, Gibangpun menikahi Drg. Sesi Angeriani.
Dia, Ayahku
Cerpen Karangan: Risa Idzni Majid
Kategori: Cerpen Cinta Sedih, Cerpen Galau, Cerpen Keluarga
Lolos moderasi pada: 8 December 2019

Awan mendung yang tebal menutupi cahaya matahari. Hembusan angin pun semakin lama
terasa semakin kencang, pertanda akan turun hujan. Namun gadis berambut panjang itu masih
asik berlarian di halaman rumah, tak peduli walau butir-butir air mulai berjatuhan dari langit dan
membasahi tubuh mungilnya.

“Rena, masuk. Nanti kamu sakit,” gumam Rio yang sejak tadi memperhatikannya dari kejauhan.
Rena tak mendengar, dia tetap melangkahkan kakinya kesana-kemari mengikuti tempo rintikan
air hujan.

Rio mencoba mendekati Rena, tapi tubuhnya tak bisa bergerak. Dia ingin kembali berbicara, tapi
yang keluar dari mulutnya lagi-lagi hanya sebuah bisikan. “Rena…”
Rena sekali lagi tidak mendengar suaranya, atau bahkan melihat keberadaannya. Rio hanya bisa
terdiam, menatap Rena dan rumah di belakangnya dari jauh.

Kemudian, pintu rumah di belakang Rena pun terbuka. Dari dalam keluar seorang lelaki paruh
baya. Lelaki tersebut mengulurkan tangannya pada Rena, dan Rena meraihnya sambil
memberikan senyuman lebar. Lelaki itu membawa Rena pada seorang wanita yang berdiri di
ambang pintu, yang tengah tersenyum pada Rio. Rena dan lelaki paruh baya itu lalu berbalik,
dan ikut tersenyum.
“Rio,” panggil lelaki paruh baya itu.
Rio masih membeku di tempatnya. Mulutnya terkunci rapat, nafasnya terasa sesak. Matanya
menatap nanar pada tiga orang di hadapannya.
Itu adalah Rena, kekasihnya. Wanita itu, tak lain adalah Ibu Rena. Dan lelaki paruh baya yang
bersama mereka, dia adalah…

“Rio.”
Rio membuka matanya dengan paksa setelah merasakan sebuah tangan menepuk pipinya.
“Rio. Hey, bangun.”
Rio menghela nafas dan mencoba bangkit. “Emang kita ada jadwal kuliah, Van?” tanyanya.
“Enggak, sih. Tapi inget, bro. Kita harus nyicil buat TA. Karya sama laporanmu belum selesai,
kan?” Evan, yang merupakan sahabat Rio mencoba mengingatkannya. “Mau aku buatkan kopi
dulu, gak? Biar kamu melek.”
“Boleh, deh.”
“Oke, sebentar.”

Rio menatap punggung Evan yang keluar dari kamarnya. Dia lalu menghela nafas. Ternyata
yang dia lihat tadi hanya mimpi, dia tidak benar-benar melihat Rena bersama lelaki itu. Pantas
saja Rena sama sekali tidak mendengarnya.

Evan datang membawa dua cangkir kopi dan menyimpannya di meja.


“Thanks, Van,” ucap Rio.
“No problem.” Evan duduk di sebelah Rio. “Kamu kenapa sih, Yo? Keliatannya murung gitu.
Mikirin TA?” tanyanya.
“Bukan, Van.”
“Terus? Mikirin cewek, ya? Akhirnya Rio main cinta-cintaan lagi sekarang.”
Rio menyunggingkan senyum saat menyeruput kopinya. “Evan… Evan…” gumamnya. “Aku
hidup bukan untuk mencari cinta.”
“Oh, ya?” Evan mengangkat kedua alisnya. “Lalu apa tujuan hidupmu?”
“Aku hidup untuk Ibuku, hanya itu,” jawab Rio sambil kembali menyeruput kopinya.
Evan tertawa, lalu mengambil bungkus rok*k dari atas meja. Dia mengeluarkan sebatang rok*k
dan membakarnya dengan korek api. Setelah menghisap rok*k, Evan kembali berkata, “Kamu
mengabdikan hidupmu untuk Ibumu. Semua itu kamu lakukan karena didasari oleh cinta,
bukan?”
“Yah… Benar juga, sih. Tapi jenis cintanya berbeda. Aku merasa gak pantas mendapat cinta,
aku gak pantas bermain cinta.”
“Kenapa begitu?”
“Lihat saja keadaan keluargaku, yang tidak seindah dan semanis kebanyakan keluarga lain.
Hubunganku dengan mereka tidak seharmonis yang orang pikir. Lalu lihat hidupku. Semuanya
gelap, aku itu manusia gagal.”
Evan menatap Rio tajam. Dia merupakan tipe orang yang benci mendengar keluhan, dia tidak
suka jika sahabatnya memandang rendah dirinya sendiri. “Maka kamu harus merubah keadaan
itu. Because you deserve better. Apa kamu merasa bangga menghabiskan hidupmu dengan
menyandang gelar ‘manusia gagal’ itu?” tanyanya. “Lagipula kamu belum sepenuhnya gagal.
Jalan hidupmu masih panjang.”

Rio kini ikut menghisap rok*k. Dia tidak merespon perkataan Evan sama sekali. Sejauh ini
belum ada satupun orang yang mampu mengubah cara pandangnya.
“Wake up, Yo. Jalani hidup dengan semangat, juga bahagia.”
“Jangan bicara tentang bahagia padaku. Karena aku pun selalu bertanya pada diriku sendiri…
Apa aku pantas bahagia?”
Evan menyeruput kopinya yang sudah dingin. “Semua orang pantas bahagia, begitu juga dengan
kamu. Jangan terpaku pada dia yang sudah tidak bisa kamu kembalikan lagi keberadaannya di
dunia ini.” Ucapan Evan sedikit membuat Rio tersentak. Ternyata Evan menyadari hal yang
sedang menggangu pikirannya. “Coba kamu lihat ke belakang. Mungkin ada orang yang pernah
memberikan kebahagiaan padamu, mengorbankan banyak hal untukmu, lalu kamu tinggalkan
dan kamu sia-siakan begitu saja. Kalau tidak, silahkan tatap ke depan. Diantara sekian banyak
orang yang akan kamu temui, pasti ada satu orang yang rela menawarkan kebahagiaan
untukmu.”
“Dengar.” Evan masih melanjutkan perkataannya. “Kamu akan selalu merindukannya, karena
dia adalah bagian dari dirimu. Tapi jangan menutup diri, jangan jadi manusia berhati dingin
setelah kematiannya. Kamu berhak mendapatkan kebahagiaan baru dari orang lain, dan orang itu
berhak mendapatkan balasan darimu.”

Rio membuang puntung rok*knya ke dalam asbak, lalu menyandarkan tubuhnya ke sandaran
kasur. Matanya terpejam. Bayangan tentang Rena kembali muncul dalam pikirannya. Tubuh
mungil itu, rambut panjang itu, wajah yang tidak akan pernah Rio lupakan. Jika Tuhan
mengizinkan, ingin rasanya Rio meraih tangan Rena saat ini juga. Atau bahkan menarik Rena ke
dalam pelukannya, dan tidak pernah melepaskannya lagi. Lalu Rio akan berbisik pada Rena, dia
berjanji untuk tidak mengabaikannya, meninggalkannya, apalagi membiarkan Rena pulang
sendirian di tengah malam dan diguyur hujan deras. Maka si pengemudi motor yang mabuk itu
tidak akan menabrak dan menghempaskan tubuh mungil Rena. Rena tidak akan pergi untuk
selamanya.

Rio menghembuskan nafas, mencoba mengatasi rasa sakit yang menusuk jantungnya. Matanya
masih terpejam. Dan kini yang muncul dalam pikirannya adalah lelaki paruh baya itu. Lagi-lagi
dia menghampiri Rena, dia membuat Rena tertawa. Tapi dari kejauhan, Rio dapat melihat
Ibunya menangis.

“Rio, are you okay?”


Suara Evan berhasil menyadarkan Rio kembali. Keduanya saling bertukar pandangan.
“Ada banyak hal yang buat aku berubah. Bukan hanya kematian Rena,” gumam Rio. “Aku
berubah karena satu hal yang sangat aku benci. Kamu tahu hal apa yang sangat aku benci?”
“Apa itu?” tanya Evan.
“Membagi Ayahku dengan orang lain.”

Evan dibuat bingung oleh jawaban dari Rio. Dia tidak begitu yakin apa maksud Rio. Tapi
sebelum dirinya sempat bertanya, Rio sudah kembali berbicara.
“Let me tell you a story,” ucap Rio. “Ada satu orang yang menjadi penyebab kerusakan
hubunganku dengan Rena, yang akhirnya mengantarkan Rena pada kematiannya. Dia juga yang
menyebabkan keluargaku tidak harmonis lagi. Dia adalah lelaki yang membuatku bahagia,
sekaligus membuat Rena dan Ibunya bahagia. Dia adalah mimpi burukku.”
“Dia mimpi burukmu? Lelaki itu?” Evan semakin dibuat kebingungan oleh ucapan Rio.
“Iya. Dia. Dia adalah lelaki yang sangat aku hormati, dia telah menjadi orang hebat dan sumber
kebahagiaan keluargaku selama bertahun-tahun. Dan dia juga yang secara sadar, tiba-tiba
menjadi bagian dari keluarga lain. Dia telah membahagiakan wanita lain dan putrinya. Dia,
Ayahku.”
Evan cukup terkejut mendengar pernyataan Rio. “Jadi, Rena itu… dia…”
“Hm. Wanita lain itu adalah Ibu Rena. Dan Ayah tiri Rena, adalah Ayahku.”
Kehilangan Bayangan Ayahku
Cerpen Karangan: ResDwi
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Sedih
Lolos moderasi pada: 8 December 2019

Aku adalah anak perempuan bernama santi yang entah mengapa seperti tidak diinginkan. Aku
mempunyai sesorang kakak perempuan dan laki laki dia begitu cantik, dia tampan dan dia
disayangi oleh ibu dan ayahku. Aku berpikir akan seperti ia nanti.

“Tuhan apa salah aku terlahir Perempuan?”

Saat aku masih kecil aku heran, mengapa semua temanku mempunyai seseorang yang mereka
sebut sebagai “ayah”, aku bertanya pada ibuku
“ibuuuuuu, ibuuu aku heran sekali mengapa teman-temanku menceritakan seseorang yang
mereka sebut ayah? siapa itu ayah? Siapa? Apa aku mempunyai sosok yang bernama ayah?”
Ibu pun menjawab “santi dengarkan ibu, ayah adalah seseorang dari keluarga yang menyayangi
keluarganya, melindungi anak-anaknya dan seseoarang yang ia sayangi” sahut ibu,
“tapi ibu apakah aku mempuanyai ayah?” sahut santi, ibuku terdiam dan berkata satu hal “kau
akan mengerti suatu saat nanti”

Setelah lamanya waktu aku memikirkan hal itu, aku beranjak dewasa, dan aku tahu sesuatu yang
ibu rahasiakan padakau
“ibuu mengapa ayah tidak pulang?” sahut diriku
“ayahmu akan pulang nak, suatu saat nanti”

Aku kembali ke tempat tidurku


Aku memikirikankan satu hal, mengapa saat aku masih kecil sosok yang bernama ayah bagiku
tidak ada…?
Aku berusaha mencari tahu tentangnya dan aku mendapatkan satu pucuk surat di kamar ibuku:

“maaf kan aku, aku pergi, aku tak ingin memilikinya, tak ingin disebut olehnya, aku tidak bisa,
maaf kan aku, aku meninggalkanmu bukan karena aku tidak sayang padamu, tapi aku tak ingin
ada pengganti anakku yang aku sayangi.” Sultan

Saat aku membacanya entah mengapa aku membisu, meneteskan air mataku…
“Ayah… Apakah dirimu tidak menerimaku?” jeritan dari hatiku

Tidak sengaja aku menemukan alamat rumah dan itu adalah alamat rumah yang bisa kusebut
sebagai ayah, entah aku akan mengirimkan surat dan bertanya satu hal

“Untuk ayahku
Hai ayah apakah kau ingat dengaku, anak yang engkau tinggalkan sejak aku kecil, ayah aku tak
akan heran karena aku telah mengerti semuanya, kau tak ingin memiliki dan sebaliknya aku
ingin memilikimu.
Ayah alangkah salahnyanya aku terlahir di duniamu, ayah aku hanya bisa merasakan
bayanganmu, setiap kali aku tidur aku aku merasakanmu di sampingku dan kau hanyalah
bayangan yang selalu aku lindungi, tapi sekarang rasa ayahku terhadap bayanganku hilang.”

Ayah maafkan aku terlahir di duniamu..


Sobekan Kecil pada Tas Ayah
Cerpen Karangan: Luthfia Zahra Larosa
Kategori: Cerpen Keluarga, Cerpen Penyesalan
Lolos moderasi pada: 30 November 2019

Seorang anak berlari di sepanjang pinggiran jalan raya. Di bawah teriknya matahari lalu
mengguyur habis tubuhnya dengan keringat. Tampaknya anak itu belum lelah untuk berlari.
Hingga pada akhirnya, sampailah ia di sebuah sekolah. Sekolah yang sederhana, dengan siswa
yang sederhana. Melangkah anak itu kemudian, memasuki lingkungan sekolahnya. Alfa,
namanya.

“Hei, Alfa!”, panggil seorang temannya. Alfa pun melambaikan tangannya dan meleberkan
senyumannya. “Alfa! Udah buat pekerjaan rumah belum?!”, tanya temannya yang, satu lagi.
“Mana ada dia buat, memangnya dia sanggup beli pulpen? Lusuh gitu…”, imbuh teman
sekolahnya yang lain.

Sontak seisi kelas pun dipenuhi tawaan sertakan sorakan. Alfa menutup kedua telinganya erat-
erat, dengan kedua tangannya. “Pergi!”, usir Alfa ketika teman-teman yang menertawakannya
mendekat. “Lusuh, kusam, dan.. Ukh! Bau pula!”, komentar Rina tiba-tiba. “Kamu bisa diam ga,
sih?”, tanya Alfa dingin. “Kenapa? Marah ya?”, jawab Rina nantang. “Udah deh, rin”,
“Sebaiknya kita jauh-jauh deh dari dia, supaya ke’dekil’annya gak tertular!”, sahut sahabat Rina
di sampingnya. Rina pun setuju dan mengajak kedua sahabat yang ikut bersamanya itu untuk
pergi.

Yah, begitulah rutinitas lika-liku kehidupan yang harus dirasakan oleh seorang anak berumur 13
tahun, Alfa. “Aku mau pulang..”, lirih Alfa pelan. “Pulang? Kukira kamu tak punya rumah!”,
bentak temannya, Dendi. Dengan wajah yang masih tertunduk, Alfa terus mengoceh. “Beri aku
kesempatan untuk pulang”, lirih Alfa lagi. “Hahahaha! Liat, deh. Wajahnya. Duh, duh… Betapa
menyedihkannya kamu, teman…”, ujar seorang anak laki-laki di samping Dendi. “Kamu bawa
uang, kan?!”, tanya Dendi. “Uang? Aku bahkan ga punya uang sepeserpun di tangan atau saku
celanaku sekarang”, ungkap Alfa kesal. “Alah, pasti di tasnya itu banyak uang!”, “Udah miskin,
nipu lagi!”, imbuh anak di samping Dendi tersebut. Tak berselang lama, tas yang dipakai oleh
Alfa ditarik paksa oleh Dendi dan temannya. Alfa hanya tertunduk dan terdiam pasrah,
membiarkan Dendi dan temannya itu membongkar isi tasnya. “Ah, dekil! Dimana uangmu?!”,
teriak Dendi geram ketika tak menemukan sepeserpun uang di dalam tas Alfa.

“Sudah kukatakan, aku tak punya uang..”, jawab Alfa dengan suara bergetar. Tampaknya hati
Alfa teriris melihat tasnya dibongkar sedemikian rupa oleh kedua anak tersebut. “Udah, deh.
Kita pulang aja. Dia gak punya apa-apa!”, ajak teman Dendi tersebut. Dendi pun setuju,
kemudian pergi tanpa membereskannya. Alfa pun berjongkok memunguti barang-barangnya
kemudian.

Setelah itu, ia kembali ke rumah.


Sesampainya di rumah, ayah Alfa segera menyambut kepulangannya. “Selamat malam, Alfa
sayang!”, sapa ayahnya gembira. Namun tidak bagi Alfa. Wajahnya tampak lesu, sedih dan tak
karuan. “Anak kesayangan ayah kenapa murung?”, tanya ayahnya. “Alfa sayang?”, panggil
ayahnya kembali. Tak ada sahutan sedikitpun yang keluar dari bibir Alfa sampai ia memasuki
kamarnya.

Menjelang larut, sang ayah mengetuk pintu kamar, kemudian masuk. Alfa hanya melirik cuek ke
arah pintu. “Ayah minta maaf karena sudah membuat Alfa kesal. Alfa kenapa?”, tanya ayahnya
pelan-pelan. “Gak ada, yah. Cuma capek aja”, jawab Alfa singkat. “Benarkah?”, tanya ayahnya.
“Iya, yah”, balas Alfa meyakinkan. “Baiklah, selamat tidur anakku. Kalau kamu ada apa-apa,
beritahukan ayah, ya”, ucap ayahnya pelan.
Tak lama kemudian, mereka sudah tersapu oleh alam mimpi.
Keesokan paginya, Alfa mencongkel-congkel kaleng tabungannya, mengambil beberapa lembar
uang, kemudian ia masukkan ke dalam tas lusuhnya itu. “Ayah, Alfa berangkat ya”, pamit Alfa
pada ayahnya.

Sesampainya di sekolah, kembali lagi teman-teman sekolahnya datang dan mengganggu Alfa.
Namun kali ini Alfa tak menundukkan kepalanya, namun ia menatap rupa teman-temannya itu,
kemudian berdiri. “Wah, udah berani ya Alfa!”, sahut seorang anak perempuan dari ujung kelas.
“Aku.. Punya uang juga kok!”, ujar Alfa dengan sedikit terbata. Sontak seisi kelas yang semula
sibuk dengan kegiatannya, menoleh ke arah Alfa. “Serius, kamu?”, tanya Dendi kemudian
mendekat. “Coba sini tasnya!”, bentak seorang anak laki-laki di depannya. Lalu mulailah tasnya
dibongkar dengan semena-mena. Namun hingga tas itu sudah benar-benar kosong, tak
sepeserpun uang ditemukan. Hal ini membuat seisi kelas geram. “Kamu berbohong, kan?”,
bentak Dendi. “A.. Apa? Aku benar-benar membawa uang tadi!”, teriak Alfa tak terima. Ia
merebut tasnya kembali, dan merogoh-rogoh isi tasnya yang sebenarnya sudah kosong
melompong. “Tidak… Tidak mungkin!”, lirihnya cemas. “Dasar penipu!”, sorak seorang anak di
depannya. “Aku tak bohong! Aku benar-benar membawa uang!”, balas Alfa. Seisi kelaspun
ricuh menyoraki Alfa. Untung saja mereka semua telah berhenti mengganggu Alfa saat bel
masuk berbunyi, sehingga para guru tak mengetahui kejadian ini.

Seusai pembelajaran, Alfa kembali membongkar isi tasnya dengan teliti. Ia sadar betul telah
memasukkan uangnya ke dalam tas. Namun, kemana uang itu sekarang? Saat sedang merogoh
tas lusuhnya itu, Alfa menemukan robekan yang lumayan besar di ujung bawah tasnya. Lantas ia
sadar, bahwa akibat robekan pada tasnya, uang yang ia masukkan kemungkinan jatuh di jalanan.
Ia pun merasa sangat sedih dan tertekan, pasalnya uang yang hilang tersebut tidaklah sedikit dan
merupakan uang yang ia tabung selama berminggu-minggu. Emosinyapun semakin tidak stabil
semenjak insiden ini. Kemudian Alfa pun akhirnya pulang.

Di rumahnya, emosi Alfa meledak. Ia kemudian membentak ayahnya, memarahi dan


menyalahkan ayahnya atas kejadian ini. Semua karena tas yang ayahnya berikan, tas yang sudah
sobek, tas ayahnya saat masih sekolah. Betapa lapuk dan lusuhnya sudah tas itu. “Ayah sudah
pernah ingatkan, jangan diambil uang tabungannya, nak. Kan bisa untuk beli tas baru”, lirih
ayahnya pelan. “INI SEMUA KARENA TAS JELEK AYAH! Aku benci! Aku tak ingin
memakainya lagi!”, bentak Alfa, Tak lama kemudian air mata sang ayah menetes, tak
menyangka jika ternyata anaknya begitu membencinya.

“Ma.. Maafkan ayah, nak..”, lirih ayahnya dengan suara bergetar. Tangan keriputnya memegang
dadanya. “Ayah belum bisa memberikan apapun untuk..mu..”, ucapan ayahnya terpotong
seketika ayahnya tumbang dari posisinya. Alfa melihat ayahnya terkulai lemas tak berdaya di
lantai dan terkejut. “AYAHHH!”, teriak Alfa histeris.

Setelah memanggil bantuan dan membawa ayahnya ke rumah sakit, ternyata nyawanya tak
tertolong lagi. Disaat itulah Alfa menyesalkan perbuatannya. Memang, Tuhan itu adil. Alfa
menyesal, karena memilih untuk berbohong pada ayahnya secara diam-diam, dan tak pernah
menceritakan masalahnya selama ini pada ayahnya, guru maupun orang lain. Ia justru melukai
hati ayahnya, beberapa detik sebelum ayahnya meninggalkan ia sendiri di dunia, menyusul sang
ibu ke alam sana.

Bagaimana kita memperlakukan orang lain, maka kita akan mendapatkan perlakuan yang sama
pula. Jangan sekali-sekali kita menyakiti orang lain, terutama orangtuamu. Karena pada
akhirnya, orang yang baik akan selalu ditolong oleh Tuhan, dan orang yang suka menyakiti,
akan mendapatkan penyesalan atas rasa bersalah sepanjang hayatnya.
Tumpukan Sampah di Masa Depan
Cerpen Karangan: Fitriani Azizah
Kategori: Cerpen Anak, Cerpen Lingkungan, Cerpen Nasihat
Lolos moderasi pada: 20 November 2019

Terdengar suara riuh mesin dari dalam ruang percobaan Deni. Siang ini Deni, Sarah dan Andi
akan mencoba alat rancangan mereka yang terbaru. Menurut mereka, ini adalah alat rancangan
mereka yang paling hebat. Alat tersebut diberi nama mesin waktu. Tentu saja, dengan alat itu
kita bisa pergi menjelajah waktu.

“Oke, hampir selesai. Aku hanya harus mengencangkan baut-baut yang ada di dalam mesinnya.
Kalian berdua jangan tekan tombol merah besar itu. Kalian bisa lihat di buku panduan mesin
tersebut di meja sana. Pokoknya jangan tekan tombol merah itu. Karena itu akan sangat
berbahaya bagi kita” kata Deni.
“Baiklah,” jawab Sarah dan Andi bersamaan.

Deni pun masuk ke dalam mesin untuk mengencangkan baut-baut di dalamnya. Tidak lupa dia
membawa jam tangan pengatur waktunya untuk dicocokkan mesinnya dengan mesin waktu. Jam
itu memberi tahu di tahun berapa mereka berada. Karena sekarang tahun 2019, maka di jam
tangan tersebut tertera angka 2019.

Sarah dan Andi sedang membaca buku panduan mesin waktu sambil meminum soda kalengan.
Ketika minuman milik Andi sudah habis, dia pun melempar kalengnya ke sembarang arah, dan
ternyata kaleng tersebut mengenai tombol merah besar hingga membuat mesin tersebut
mengeluarkan bunyi sirine yang kencang.

“Andi, apa yang kau lakukan? Kau malah melempar kalengnya sembarangan. Inilah akibatnya!”
teriak Sarah panik.
“Maaf, aku tak sengaja!” kata Andi keras.

Mesin itu mengeluarkan asap putih dari dalam dan terdapat tulisan “Send to 2090” di atas
mesinnya. Itu artinya Deni dikirim oleh mesin waktu ke tahun 2090.

Deni pun tiba di tahun 2090. Dia agak panik saat mesin waktu mengeluarkan asap putih sampai
matanya tidak bisa melihat apa-apa, dan dia tiba di tahun 2090 ketika dia membuka mata.

“Gara-gara mereka aku terjebak di sini. Sekarang aku berada di tahun 2090” keluh Deni sambil
melihat jam tangan yang dibawanya.

Di sisi lain, Sarah dan Andi sibuk mencari jalan keluar agar Deni bisa kembali ke tahun 2019.
Dibulak-balik tiap halaman di buku panduan, dan akhirnya Sarah menemukannya. Di buku
panduan tersebut tercatat bahwa sang penjelajah waktu bisa kembali ke tahun asalnya dalam
waktu tiga puluh menit bila membawa jam tangan dan satu hari bila tidak membawa jam tangan.
Itu artinya Deni akan kembali setelah tiga puluh menit.

Deni melihat-lihat di sekitarnya banyak sekali tumpukan sampah. Lalu dia melihat rumahnya. Ia
terkejut melihat banyak sekali perbedaan dari rumahnya. Mulai dari halaman depannya yang
penuh sampah, pohon apel kesayangannya ditebang, dan selokan depan rumahya sangat kotor.
Deni tak suka melihat keadaan rumahnya sangat kumuh. Tidak hanya rumahnya, seluruh rumah
di sekitarnya pun sama nasibnya. Suhu bumi pun sangat tinggi dan tidak ada pepohonan sama
sekali. Deni mengahabiskan waktu berjalan-jalan kurang lebih 15 menit.

Deni melihat ada seseorang yang keluar dari rumahnya. Setelah ditelaah, itu adalah Deni sendiri.
Deni di tahun 2090. Tampak lebih tua dan rentan. Nampaknya Deni tua itu sedang merasa sedih.
Deni pun menghampiri Deni tua itu.
“Hei, sepertinya saya kenal anda” kata Deni tua sambil membetulkan kacamatanya.
“Aku Deni, Deni di tahun 2019” kata Deni sambil menjabat tangan.
“Oh syukurlah, bantuan sudah datang. Kau harus segera membantu kami dari tercemarnya bumi
oleh sampah ini. Kamu bisa lihat, seluruh pemukiman penuh sekali dengan sampah. Pepohonan
sudah ditebang. Bahkan sungai, selokan dan danau pun menjadi sangat kotor dan bau. Populasi
ikan-ikan di air pun sudah semakin berkurang, bahkan banyak juga yang sudah habis. Kini para
penduduk bumi akan pindah ke planet lain dan meninggalkan bumi sebagai rongsokan sampah.
Jadi aku mohon, ubahlah nasib bumi ini sebelum terlambat. Kau tidak mau kawasan rumahmu
seperti ini bukan?” kata Deni tua panjang lebar,
“Tentu saja aku tidak mau” ujar Deni.

“Jadi, misimu adalah harus mengubah perilaku buruk manusia terhadap kerusakan bumi.
Dengan cara ini pula nasib masa depanmu tidak akan seperti ini” kata Deni tua.
“Aku akan melakukannya sebisa mungkin. Demi masa depan yang lebih baik” kata Deni. “Jam
tanganku sudah berbunyi, aku harus segera kembali ke tahun asalku”.
“Bagus, ingat misimu itu. Untukmu dan juga dirimu di masa depan ini” kata Deni tua sambil
menepuk pundak Deni muda.

Tiba-tiba Deni ditutupi asap putih lagi dan langsung menghilang di hadapan Deni tua. Deni pun
mendarat di dalam mesin waktunya lagi. Sarah dan Andi langsung membuka pintu mesinnya.

“Deni, syukurlah kau selamat. Duduklah dulu. Kau pasti gelisah saat dibawa ke tahun 2090”
kata Andi sambil menuntun Deni ke kursi.
“Perjalanan yang menyenangkan, sekaligus bermakna” seru Deni.

Deni pun menceritakan peristiwa yang dilihatnya di tahun 2090. Mulai dari nasib bumi yang
buruk hingga misi nya yang besar. Sarah dan Andi pun mengerti. Mereka juga ingin ikut dalam
misi besar ini.

“Mulailah dari hal kecil dulu, misalnya membuang sampah pada tempatnya” jelas Deni.
“Andi tadi mebuang kaleng ke sembarang tempat, kalengnya menekan tombol merahnya. Jadi
kau terbawa ke tahun 2090. Itulah akibatnya bila membuang sampah sembarangan. Membawa
malapetaka” kata Sarah sambil menepuk pundak Andi keras.
“Bila sudah tahu akibatnya, maka kita mulai dari sekarang. Jangan dibiarkan bumi ini
ditinggalkan sebagai rongsokan. Demi masa depan kita yang layak” seru Deni.
Sahabat Kelasku
Cerpen Karangan: Abdul Rahman
Kategori: Cerpen Perjuangan, Cerpen Remaja
Lolos moderasi pada: 17 November 2019

Siang itu mentari begitu terik bersinar, terasa berada di atas bara api. Tapi semangatku untuk
berada di kelas yang indah ini tak pernah surut untuk mengikuti pelajaran hari ini. Tepat 09.45
bel sekolah berbunyi “Jam istirahat telah tiba, isilah dengan kegiatan yang positif”. Aku pun
beranjak menuju kantin di belakang kelasku untuk mengisi perutku yang sejak tadi pagi sudah
bersuara untuk minta diisi.

“Nia, kita ke kantin sekarang yuk, laper nih” ucapku pada Nia sahabatku
“Ayo, Na! sudah laper juga nih” sahut Nia.

Kami berdua bergegas menuju kantin di belakang kelasku. Kantin sekolahku hanyalah kantin
yang sederhana, terdiri dari bangunan kecil yang berdinding kayu dan beratap seng tanpa ada
warna cat yang menghias dindingnya. Makanan yang disajikan juga relatif sederhana hanya
beruba sop ayam, goreng tempe, goring singkong, teh manis dan cemilan lainnya. Lumayan
untuk mengisi perut kami yang lagi kosong.

Tepat pukul 10.00 bel sekolah kembali berbunyi “Waktu Istirahat telah berakhir, anda
dipersilahkan memasuki ruang kelas masing-masing, selamat mengikuti pelajaran selanjutnya”.
Mata pelajaran Matematika yang aku sukai akan dimulai. Aku duduk berdua dengan Nia
sahabatku mulai menyiapkan diri untuk mengikuti pelajaran matematika yang diajar oleh Ibu
Anugrah, S.Pd. Beliau guru yang cantik, penampilan beliau begitu elegan setiap masuk kelas
kami, dengan wajah yang selalu ceria di depan kami, hingga kami tidak pernah merasa bahwa
pelajaran matematika adalah momok yang menakutkan.

Ibu guru Anugrah adalah sosok yang sangat menginspirasi kami dalam belajar, beliau selalu
memberikan motivasi buat kami untuk terus semangat mengejar mimpi-mimpi kami.

Tak terasa 3 jam sudah ibu Anugrah mengajar matematika di kelasku, tak ada kata bosan atau
mengantuk ketika beliau mengajar. Beliau mengajar kami dengan berbagai model pembelajaran
yang membuat kami selalu tertarik dengan semua kegiatan beliau di kelas.

Kelasku XI MIPA 2 berisi siswa-siswi yang luar biasa, kami bangga menjadi bagian kelas ini.
Kami tidak merasa kami sendiri dalam kelas, semua kami lakukan bersama. Menjaga kelas kami
agar tetap bersih, tetap nyaman buat kami belajar. Ruang kelas kami indah untuk kami tempati
setiap saat, karena buat kami kelas kami adalah kamar kedua kami.
Ketua kelas kami, Muhammad Aditya merupakan sosok yang luar biasa menjaga komitmen
kami untuk menjadi kelas yang hebat, kelas yang luar biasa. Dia selalu memberikan dorongan
bagi kami untuk terus menjaga kebersihan kelas, merawat taman agar tetap asri dan indah.

Momentum terindah kami pada saat kegaitan di sekolah kami, yaitu lomba menghias kelas pada
perayaan 17 Agustus 2017. Tanpa mengenal lelah kami mempersiapkan kelas kami untuk
menjadi kelas yang terbaik. Semua potensi kelas kami kerahkan untuk menyiapkan kelas, semua
siswa secara sukarela bekerja untuk menyiapkan semuanya, seperti mengecat dinding kelas
dengan motif batu bata, mengambar peta Indonesia pada diding bagian belakang, membuat
mading kelas tentang Kutai kartanegara. Hampir setiap sore setelah pulang sekolah kami
kembali ke sekolah untuk menyiapkan taman dan kelas kami.

Hingga pada saat pengumuman lomba dilaksanakan setelah upacara bendera tiba waktu yang
kami nanti. Karena lomba menghias kelas adalah lomba yang paling bergengsi pada kegiatan
tersebut. Dengan perasaan was-was kami menanti pengumuman. Setelah pengumuman berbagai
lomba yang diadakan seperti olah raga tradisional tidak begitu kami dengarkan karena kelas
kami tidak masuk pada setiap kategori lomba kecuali juara 4 lomba tarik tambang.

Kemudian suara guru mengumumkan hasil lomba menghias kelas dengan berbagai predikat.
“Kelas sebagai predikat paling bersih jatuh pada kelas X Mipa 1” kata bu Miela
Kami tesentak kaget mendengar pengumuman itu, kenapa bukan kelas kami? kami kecewa
“kok, bukan kelas kita ya yang paling bersih” kata Tika dan Yuni bersamaan
“Kelas sebagai predikat taman paling indah jatuh pada kelas X Mipa 3” kata bu Miela
Kami semakin kaget dan sangat kecewa mendengar hasil ini. Kami semua tertunduk kecewa
karena dari usaha yang kami lakukan sepertinya sia-sia, uang jajan yang kami sisihkan untuk
membeli semua kelengkapan kelas, waktu kami terbuang percuma karena hamper setiap hari
harus ke sekolah.

Tak terasa aku meneteskan air mata…


Ingin rasanya teriak dan protes keras dengan hasil yang diumumkan,
“apa kelebihan kelas mereka? bersih darimana? sampah masih bertebaran, taman hanya sebegitu
saja, haruskah mereka yang menang” gumamku dalam hati
Nia sahabatku yang melihat perubahan pada mataku datang memelukku seraya mengusap
kepalaku sambil berujar “Sabar Na, mungkin bukan rejeki kita untuk juara saat ini, ini pelajaran
berharga buat kita terus berbenah agar lebih baik lagi”.
“Tapi aku kecewa, Nia” sentakku.
“Kita banting tulang demi kelas yang kita idamkan untuk menjadi juara, ketika orang lain pulang
dan bermain di rumah, kita di sekolah hingga senja setiap hari… tapi apa hasilnya? Nia!! Apa?
Lihat tawa mereka, lihat senyum gembira mereka”.
Tanpa henti Nia menghiburku agar aku sabar dengan yang kami hadapi ini, aku tidak berani
menatap wajah-wajah kecewa teman sekelasku.
“apa yang ada dalam pikiran mereka saat ini, tentu mereka sangat kecewa” ujarku dalam hati.

Namun sesaat aku terpana, terdiam tanpa kata ketika di ujung suara pada pengeras suara aku
mendengar sayup nama kelasku disebut… “XI Mipa 2”.
Teman sekelasku semua berteriak “Alhamdulilllah kelas kita juara 1, kita juara 1”.
Nia memelukku dengan erat sambil teriak “Nana… kelas kita juara 1, kelas kita juara 1”.
Aku tersadarkan dalam rasa kecewaku, ternyata impian kami tercapai, kami juara 1…

Langsung bersujud di hadapan Ilahi Rabbi mengucap syukur pada-Nya.


“Tuhan.. terima kasih atas nikmatmu, Kau wujudkan mimpi kami, Kau tunaikan usaha kami,
segala puji bagi-Mu ya Allah” ucap dalam sujud syukurku.

Ternyata yang diumumkan sebelumnya hanya predikat terbatas bagi setiap kelas, dan kelas kami
yang yang terbaik. Tidak ada yang sia-sia dari semua usaha kami, tidak ada yang terbuang dari
semua pengorbanan kami.

“Teman sekelasku memang siswa-siswi yang luar biasa” begitu kata wali kelas kami setiap
masuk untuk memberi kami motivasi.
Wali kelas kami selalu mendorong kami untuk selalu lebih kreatif, lebih tekun dalam belaja,
lebih bertanggung jawab dan selalu disiplin.

Aku bangga dengan kelasku, bangga dengan seluruh teman dan sahabat di kelasku. Kami punya
slogan dalam “Berjuang bersama, maju bersama, juara bersama”. Slogan itu terpatri dalam jiwa
kami anggota kelas XI Mipa 2, kami bangga dengan kebersamaan kami, kami bangga ada di
kelas ini.

“Terima kasih Sahabatku semua, bersama kita meraih mimpi”

Tamat

Anda mungkin juga menyukai