Anda di halaman 1dari 9

TEMAN BARU

CERPEN

Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas akhir mata pelajaran Bahasa
Indonesia

oleh

Nama : FIKRI AULADI RACHMAT

NIS : 181910165

Kelas : XI- IPA 4

SMA NEGERI 1 CIANJUR

Jalan Pangeran Hidayatullah No. 62 Cianjur (0263) 261295

2017
TEMAN BARU
FIKRI AULADI RACHMAT
TEMAN BARU
Ini cerita kisah seorang anak kecil yang bisa dibilang berbeda
dengan anak lainnya, anak laki-laki yang riang aktif namun tak begitu
senang berteman dengan orang banyak. Ia adalah anak kedua dari
pasangan suami istri yang hidup dengan segala kesederhanaannya. Anak
yang narsis, begitu sering bercermin dirumahnya. Selalu ingin tahu urusan
dunia orang dewasa, bertanya ini itu kepada kakanya bahkan sudah tau
tentang percintaan. Ya itu aku, Zathir. Bocah yang umurnya hampir genap
6 tahun dan akan masuk sekolah pertamanya yaitu Taman Kanak-kanak.
Sedari umur tiga taun aku senang melihat para polisi memakai baju
seragam lengkap dengan persenjataannya, pertama melihat ketika aku
sedang bermain di sekolah kakaku dan melihat polisi sedang bertugas di
jalan memakai seragam lengkap.
“Bu itu apaan?” Aku bertanya sambil menarik-narik baju ibuku dan
terpukau melihat seragam pa polisi.
“Apa nak? Ohh itu, itu polisi tugasnya mengatur jalanan dan ketertiban
masyarakat.” Ibuku menjelaskan sambil tersenyum.
“Aku ingin bu, aku ingin seperti itu bu.” Aku menarik lagi baju ibuku
dengan ingus di hidungku.
“Iya nak, nanti kalau sudah besar kamu boleh jadi apapun yang kamu
mau.” Ibuku menjelaskan sambil mengelap ingus di hidungku.
“Bukan bu, aku hanya ingin memakai bajunya. Terlihat gagah dan keren.”
Menoleh ke arah polisi yang sedang bertugas.
Sejak saat itu aku sangat ingin memakai baju seragam polisi.
Ketika memasuki pendidikan TK,aku dimasukan ke sekolah yang
kebetulan dalam kesehariannya ada hari yang menggunakan baju
seragam polisi. Aku senang bukan main ketika tau mendapat seragam
tersebut. Dan tibalah ketika hari pertama sekolahku. Namun aku sedikit
kebingungan karena pada hari ini aku tidak memakai baju seragam polisi
yang ibuku ceritakan.
“loh kok pakai baju ini bu? Aku inginnya baju yang polisi itu loh bu.” Sambil
menjauhkan baju putih yang hendak dipakaikan kepadaku.
“Iya nak, hari ini pakai seragam ini dulu. Nanti hari kamis pakai baju itu.”
Ibu menjelaskan sambil mencoba memasangkan baju putihnya lagi
kepadaku.
“Engga mau bu, pokoknya aku mau pake baju itu. Kalau engga, aku
gamau sekolah.” Sambil sedikit merengek memaksa ingin memakai baju
seragam polisi.
Dan akhirnya ibupun memakaikan baju seragam polisi yang diinginkaku,
bagaimana lagi daripada aku tidak mau sekolah “hehe.” Dan akhirnya aku
berangkat dengan baju yang ku inginkan. Diperjalanan kakiku dinaikan ke
atas jok mobil dan mataku tidak lepas lepasnya terus memandang kaca
mobil yang memantulkan wajahku memakai baju seragam polisi. Ketika
sampai di sekolah, aku melihat anak anak lain memakai baju yang sama
yang tadi ibuku hendak pakaikan kepadaku. Bukannya malu aku malah
semakin menjadi jadi menyombongkan diri ketika ada ibu-ibu menyapaku
didepan pagar sekolah.
“Loh kok ini pakai baju seragam Polisi?” Ucap ibu tersebut sambil
tersenyum yang ternyata guru di sekolahku.
“Oh ibu.., ini anak saya tadi memaksa ingin memakai baju ini sampai
sampai tidak mau sekolah, tidak apakan bu?” Ayahku tersenyum sambil
merangkul pundakku dan sedikit memasang wajah malu.
“Ohiya tidak apa-apa pa. Sini sama ibu, ayah cuma bisa mengantar
sampai gerbang.” Ibu guru tersenyum sambil menyodorkan tangannya
kepadaku.
Akhirnya akupun menjalani hari pertamaku bersekolah di TK. Ketika
sampainya aku di kelas, aku melihat anak-anak lain memakai seragam
yang sama. Didalam hati aku berkata “untung aku tidak memakai baju itu,
kalau tidak aku terlihat bodoh memakai baju yang sama.” Itulah aku anak
yang berfikiran jauh dari anak-anak pada umumunya. Ketika dikelas aku
melihat beberapa anak menangis sambil mamanggil “mama…..mamaa..”
ada juga yang masih ngompol dicelana bahkan buang air besar dan ia
hanya menangis bukannya membersihkan kotorannya. Tapi ada pula
yang bermain main, ada sekelompok yang bernyanyi, ada juga yang diam
sepertiku.
“Aduh pusing, pengen cepet cepet pulaaang.” Dalam hatiku sedikit
menolak keadaan untuk tetap berada di dalam kelas.
Sepertinya hari pertama sekolahku aku tidak satupun memiliki
teman ataupun sedikit cerita untuk kubagikan kepada ayah ibu dan
kakaku. Sekolah terlihat membosankan dimataku, mungkin itu karena aku
hanya duduk di dekatan cermin dan tidak banyak melakukan sesuatu
ataupun karena mungkin baru hari pertama. Tapi setelah ku pikir, memang
mungkin aku tidak begitu suka mengenal banyak orang.
“Bagaimana nak hari pertama sekolahnya? Seru? Menyenangkan?”
Tanya ibuku sambil tersenyum berharap banyak cerita yang akan ku
sampaikan.
“Biasa saja bu bahkan menurutku membosankan, seperti biasa ibu
mengajarkanku di rumah. Bahkan lebih seru dirumah karena aku bisa
bebas tidur, makan cemilan, dan bulak balik toilet sepuas ku. Sedangkan
disana aku hanya duduk diam, melihat anak anak lain menangis
merengek minta pulang.” Jelasku sambil memainkan pesawat mainan
yang sering ku mainkan.
“Wah sepertinya seru ya, mungkin kamu belum terbiasa dengan
lingkungan barumu. Sehari dua hari mungkin kamu akan terasa aneh, tapi
nanti juga kamu terbiasa dengan sekolah. Mungkin kamu sudah mengenal
beberapa teman? Itu yang berbeada antara rumah dan sekolah.” Ibu
berbicara denganku sambil melemas pakaian seragam yang aku pakai.
“Teman? Tidak ada bu, bahkan aku sangat malas berteman
dengan anak anak cengeng di sekolah. Tapii… ada satu anak laki-laki
melihat ku ketika aku melihat dia dan memakai baju seragam polisi seperti
ku, aku tidak berkenalan dengannya.” Masih sibuk dengan mainan
pesawatku yang sambil melepas satu persatu pakaian dan menggati baju.
“Wah bagus itu, mungkin ia ingin berkenalan dengan mu. Esok
cobalah sedikit berkenalan! mungkin anaknya asyik diajak berteman.” Ibu
ku tersenyum sambil seperti memaksaku agar berkenalan.
Keesokan harinya aku kembali ke sekolah dengan harapan ibukuu,
aku memiliki sedikit teman di sekolah. Ya, aku kembali duduk ditempat
yang sama seperti kemarin aku duduk. Berdekatan dengan cermin,
diujung dekat pintu yang berhubungan dengan kelas lain. Aku melihatnya
lagi, ya dia yang kemarin ku lihat. Ketika aku tersenyum diapun
tersenyum, pribadinya seperti sama dengan ku. Karena dia hanya duduk
diam, bahakan mungkin ketika bosan aku melihatnya dan beberapa kali
kita berpapasan wajah dan saling melihat satu sama lain. Hari ini aku
mengenalinya tapi aku tidak berbincang dengannya, bahkan mungkin
ibupun mengenalinya. Sepulang sekolah, sesampainya di rumah. Ibu
langsung menanyakan hal tentang temanku yang kemarin ku ceritakan.
“Bagaimana nak? Sudah berkenalan dengan temanmu itu?” ibuku
bertanya dengan senyum harap aku sudah mengenalnya.
“Sudah bu, ibu mungkin mengenalinya tapi tak akan ku sebutkan
namanya.” Aku menjelaskan sambil tersenyum kepada ibuku.
“Oh bagus kalau begitu, tak perlu kamu sebutkan. Tapi kamu harus
akur dengannya kau harus tau perasaan sedih senang dengan temanmu
itu. Jangan sampai membuat sakit hatinya karena ia akan menjadi
temanmu setaun kedepan bahkan mungkin jika sekolah lanjutanmu sama
dengannya, kamu bisa berteman dengannya lagi.” Ibuku tersenyum
sambil sedikit serius.
Hari demi hari seminggu bahkan sudah sebulan aku berteman
dengan temanku itu. Bahkan kami sudah memiliki rasa empati satu sama
lain, layaknya seorang adik kaka. Ketika aku tertawa dia tertawa, ketika
aku merasakan bosan dia juga terlihat bosan, bahkan ketika aku
menangis karena menendang ujung meja di kelasku, aku melihat diapun
menangis tapi tidak tau menangis karena apa. Tapi ibuku selalu
mananyakan hal yang sama kepadaku ketika setelah seminggu aku
berkenalan dengan temanku dan seterusnya sampai hari ini. Ujar ibuku, ia
mendapat kabar bahwa aku selalu duduk dan tersenyum didekatan cermin
dan tidak memiliki teman. Dan untuk kesekian kalinya ibu bertanya hal
yang sama kepadaku.
“Nak, apakah benar kamu sudah berkenalan dengan temanmu itu? Sebab
ibu mendapat kabar dari gurumu, bahwa kamu hanya duduk dan selalu
meratapi sebuah cermin.” Ibuku menanyakan itu sambil sedikit serius
namun tetap sewajarnya kepada anak kecil.
“Benar bu, bahkan kami memiliki kepribadian yang sama bu. Ibupun pasti
ketika melihatnya, ibu sangat mengenalinya.” Aku menjelaskan dengan
wajah anak kecil lucu yang menjelaskan sedikit serius.
“hah. Gimana? Ibu sangat mengenalinya? Memangnya temanmu itu siapa
sih? Lantas kenapa kamu selalu melihat cermin ketika sedang belajar
dikelas?” Ibu bertanya sambil tersenyum bingung kepadaku.
“Iya bu, aku hanya bisa melihatnya ketika aku melihat cermin. Seperti
yang aku lakukan di rumah, namun sedikit berbeda suasana.” Aku
menjelaskan lagi dengan sedikit senyuman menyeramkan mungkin jika
terlihat oleh orang lain ketika mendengar penjelasanku.
“Ibu semakin tidak mengerti, memangnya apa yang bisa kamu liat jika
kamu bercermin selain dirimu sendiri?” ibu bertanya lagi dengan rasa
sedikit penasaran
“yaaaaaa, itu teman ku.” Aku berteriak sambil tersenyum dan ibuku sedikit
kaget dan mengangkat sedikit bahunya.
“hah? Maksudmu temanmu itu adalah dirimu sendiri?” ibu bertanya lagi.
“iya buuuuu…” aku menjawab dengan sedikit wajah menjengkelkan.
“Nak, yang dimaksud teman adalah orang yang bisa berbincang
denganmu dan bisa bertukar pikiran layaknya kamu sama ibu, kamu pun
bisa bercerita apapun dengan nya. Bukan hanya dengan dirimu sendiri.”
Ibu menjelaskan dengan sedikit senyum.
“Tapi bu aku bisa melakukan hal itu dengan cermin, ia merasakan apa
yang aku rasakan, tak tertawa ketika aku menangis, ia sama sepertiku dan
banyak hal lagi.” Aku menjelaskan dengan wajah anak kecil yang polos.
“iya nak, tapi cobalah berteman dengan teman yang nyata. Dengan itu
kamu bisa berbincang dengannya dan sedikit betukar pikiran tentang hal
banyak.” Ibu menjelaskan dengan tidak mematahkan pendapat ku.
“Engga mau bu, mereka itu tak sama denganku, mereka gak bisa tau apa
yang aku rasain dan yang tau aku itu cuma diri aku sendiri bu, yang bisa
aku liat di cermin.” Aku tetap kuat dengan pendapatku.
“Iya itulah serunya berteman, dua orang yang berbeda namun bisa
menyatukan sebuah pikiran. Ayo cobalah nak!” Ibuku menjelaskan dengan
tetap tersenyum menghadapi anak ingusan yang dewasa terlalu dini.
Akhirnya akupun sudah bosan menjawab pertanyaan ibuku dan
mengangguk mengiyakan apa permintaannya. Tapi tak tau akan aku turuti
atau akan terus bergelut dengan cermin karena sudah terlalu asik bagiku
melakukannya. Ya pemikiranku tentang teman mungkin tak begitu luas,
mungkin memang sedari kecil temanku hanya ayah, ibu, kaka, dan cermin
di toiletku, selebihnya aku tidak mempunyai teman. Entah siapa yang
salah? Antara aku yang tidak memiliki teman sedari kecil, atau orang
orang yang terlalu sibuk mencari teman. Aku pernah menanyakan tentang
teman kepada kakaku, lalu ia menjawab.
“Ketika seumuranmu mungkin teman sangat dibutuhkan untuk bermain,
bercanda bersama bahkan menjaili teman yang lainnya, namun ketika
semakin dewasa teman satu persatu akan menghilang. Datang ketika
kamu sedang membutuhkannya, ya itulah teman. Makannya aku tidak
terlalu serius dalam berteman.”
Ya pemikiran kakaku, ku saring dengan matang mungkin itupun
salah satu alasan mengapa sampai hari ini aku tidak terlalu ingin
mengenal banyak teman. Untuk apa mengharapkan pertemanan yang
jelas-jelas sudah di vonis akan menghilang. Menurutmu apasih arti
pertemanan? Itu pemikiranku tentang teman sebelum aku mengenal yang
namanya Sahabat. Dan ketika aku mulai dewasa aku mulai mendapat
Sahabat Baru .
TAMAT

Anda mungkin juga menyukai