Anda di halaman 1dari 4

Benang Merah

Oleh : Assyfa Sulistyani

Setiap manusia memiiki benang merah di jari kelingking mereka.

Tak kasat mata dan tak terasa.

Jika kamu mengikuti jalan takdir yang telah ditentukan, maka kamu akan menemui ujung
benang yang dihubungkan oleh benang merah yang sama.

Ujung itu adalah takdirmu, bisa membawamu ke kebahagiaan bahkan kehancuran.

***

Masih terekam jelas diingatanku dongeng yang sering Mama bacakan saat aku kecil
dulu. Aku masih berumur sepuluh tahun waktu itu memaksa Mama yang baru pulang dari
kantornya, hampir larut malam. Itu permintaan yang egois menurutku tapi aku tak tahu
mengapa Mama tetap mengabulkannya walaupun dia sudah lelah. Dongeng itu bercerita
tentang benang merah, yaitu benang yang mengikat dua insan dalam sebuah takdir . Takdir
untuk saling mencintai dan berbagi kebahagiaan sampai akhir. Aku yang masih tidak
mengerti saat itupun bertanya.

“Berarti Mama dan Papa juga terikat dengan benang merah ya?” ujarku.

Mama terdiam sejenak lau tersenyum, senyum yang dipaksakan menurutku. Ia


mengelus rambutku dengan sayang dan berkata, “Aletta masih kecil, kalau sudah besar nanti
Aletta pasti akan mengerti. Mama akan ceritakan semuanya, oke?” setelah berkata seperti itu
Mama langsung menyuruhku tidur.

Baru empat tahun setelah kejadian itu, banyak hal tidak menyenangkan terjadi. Mama
bilang, Mama dan Papa sudah tidak bisa hidup bersama lagi. Tinggal bersama Papa hanya
akan membuat Mama lebih menderita dan memperparah segalanya.

Papa bukanlah benang merah-nya.

Mama juga bilang, ada perasaan aneh seperti ada sesuatu yag salah. Mungkin sama
seperti saat aku tidak bisa pergi ke sekolah dengan alasan apapun. Aku pasti akan merasa
bahwa ini salah, aku tidak seharusnya ada di sini, seharusnya aku berada di sekolah. Sebagai
anak satu-satunya yang kulakukan hanyalah mengerti. Menurutku Mama adalah wanita yang
cerdas dan dia mengatakan bahwa diasalah memilih benang merahnya. Aku benar-benar
menyayangkan hal itu, karena orang secerdas Mama saja bisa salah, lalu bagaimana
denganku? Seharusnya mulai dari sekarang aku sudah boleh mengkhawatirkan diriku sendiri
bukan?
Tapi, Mama juga bilang… kalau Mama dan Papa tidak melakukan kesalahan ini,
maka aku tidak akan pernah ada. Dan katanya, jika semua orang bersikeras mengatakan
bahwa aku adalah kesalahan, maka Mama bilang aku adalah kesalahan terindahnya.

Lalu, karena aku lebih dekat dengan Mama daripada Papa, maka aku memilih untuk
ikut bersama Mama. Saat ini, aku dan Mama tinggal berdua di rumah warisan Kakek. Rumah
sederhana yang berada di pusat kota. Mama sering mengkhawatirkanku yang sendirian di
rumah karena Mama pulang bekerja larut malam. Sudah berulang kali aku mengatakan
bahwa aku baik-baik saja, tapi Mama tetap tidak percaya. Mama hanya takut aku kesepian,
aku tahu itu. Oleh karena itu, karena tahun ini adalah Ujian Nasional SMP, maka Mama
menganjurkanku untuk mengikuti bimbingan belajar. Hanya khusus unuk Matematika,
karena aku sangat payah dalam pelajaran itu. Mengikuti bimbingan belajar juga supaya aku
tidak sering sendirian di rumah, begitu kata Mama.

Ada satu sore saat aku tengah menunggu bus di halte sepulang dari bimbingan belajar.
Saat itu kursi untuk menunggu di halte sudah terisi penuh. Dan aku beruntung karena
mendapat satu kursi kosong di sana. Letak tempat ku mengikuti bimbingan belajar dekat
dengan kawasan perkantoran dan pabrik, jadi kebanyakan dari orang yang menunggu di sana
adalah orang-orang yang pulang dari bekerja.

Meskipun ramai, tapi tidak ada yang saling berbicara di sini. Suara bising di sekitarku
berasal dari kendaraan yang berlalu lalang dan orang-orang yang sibuk dengan ponsel
mereka. Dari kejauhan kulihat dua orang lanjut usia yag saling bergandengan dengan
punggung yang sudah membungkuk berjalan pelan kearah halte. Dua insan lanjut usia itu
berjalan memunggungi matahari yang terbenam sehingga bayangan mereka memanjang ke
arahku. Itu adalah pemandangan yang paling memukau di sepanjang empat belas tahun
hidupku.

Aku langsung berdiri saat melihat Kakek itu kebingungan mencari kursi untuk duduk
dan mempersilakannya untuk duduk di kursi itu. Sang Kakek tersenyum kepadaku dan
mempersilakan Nenek untuk duduk di sana. Dia berdiri di samping Nenek melindunginya
dari sinar matahari yang menyorot ke arahnya. Karena kebetulan kursi yang kuberikan tadi
adalah kursi yang paling ujung.

“Terima kasih.” Ujarnya dengan suara yang parau.

Aku tersenyum dan mengangguk pelan, “Sama-sama.”

Aku terus memperhatikan keduanya, saat mereka bertatapan dengan sorot yang
hangat. Lalu saat keduanya melemparkan senyum seakan menggambarkan kalau mereka
berdua adalah orang yang paling berbahagia di sini. Aku yang melihatnya pun ikut
tersenyum, sampai kedua mataku tidak sengaja menangkap sesuatu yang janggal.

Benang merah.
Aku ingat tadi saat mereka bergandengan tidak ada apapun yang mengikat jari
kelingking keduanya. Sekarang aku melihat benang merah pada jari kelingking kiri Kakek
yang ujungnya terikat dengan jari kelingking kanan Nenek itu.

Apakah ini benang merah yang pernah diceritakan Mama?

Lalu aku mengalihkan pandanganku ke arah lain dan menatap kedua orang itu,
benang merahnya sudah tidak ada. Halusinasi, pikirku.

Saat sebuah bus berwarna hijau datang menghampiri halte, satu persatu orang di sana
pergi beranjak untuk masuk ke dalam bus. Termasuk Kakek dan Nenek tadi.

“Kamu tidak naik?” seorang wanita bertanya kepadaku. Mungkin pikirnya aku sedang
melamun tadi.

Dengan sopan aku menjawab, “Bus tujuanku belum datang, terima kasih sudah
bertanya.” Aku sedikit membungkukkan badan. Wanita itu tersenyum sambil
menganggukkan kepalanya lalu masuk ke dalam bus itu. Saat itu, mataku terarah pada jari
kelingkingnya yang disana terdapat benang merah yang terikat. Mengambang di udara dan
bergerak tenang. Panjang dan ujungnya tak nampak karena terhalang oleh jarak.

Aku terpana dalam diam.

Saat bus melaju meninggalkan halte, benang merah itupun menghilang.

Yang kutahu, sejak hari itu aku bisa melihat benang merah.

***

Tiba saatnya dimana hari pertamaku sebagai seorang siswa baru sekolah menengah
atas dimulai. Untuk hari yang spesial ini, Mama menyempatkan diri untuk mengantarku ke
sekolah. Ini adalah pertama kalinya setelah beberapa tahun terakhir Mama mengantarku ke
sekolah. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kalinya Mama mengantarku. Dikarenakan
pekerjaannya yang terlampau sibuk, Mama bahkan jarang memasak di rumah. Tapi khusus
hari ini, dia membawakanku bekal makanan. Ini tentunya hal yang sangat berarti bagiku. Aku
sudah bertekad kuat untuk belajar bersungguh-sungguh agar tidak mengecewakan Mama.

“Sudah siap untuk hari pertamamu?” Tanya Mamaku setelah sampai di depan pintu gerbang
sekolah.

Aku tersenyum lebar dan menjawab, “Sudah. Aku pasti akan punya banyak teman di
sini ,Ma.” Ujarku percaya diri.

Mama tersenyum menanggapinya, “Baiklah kalau begitu, belajar yang rajin ingat.
Nanti sepulang sekolah panaskan makanan yang ada di kulkas mengerti? Mama tidak
melarang kamu untuk berteman dengan laki-laki, tapi Aletta tetap tidak boleh pacaran,oke?
Itu tidak ada gunanya. Jaga diri baik-baik ya,Mama ke kantor dulu.” Setelah aku mengiyakan
perintahnya, Mama pun langsung pergi meninggalkanku.
Aku selalu senang bila Mama memperhatikanku seperti itu, meskipun dalam bentuk
omelan panjang yang biasanya bagi beberapa orang rasanya sangat membosankan, tapi
bagiku tidak.

Saat sedang berkeliling untuk mencari kelasku, aku berhenti di depan mading sekolah.
Mataku terpaku pada sebuah kalimat.

Fate is something unknown.

Yah, aku juga punya pendapat yang sama. Hidup memang berisi banyak pilihan dan
pilihan apapun yang kita ambil akan membawa kita pada muara yang sama, yaitu takdir. Aku
masih ingat perkataan Guruku beberapa tahun lalu, bahwa ujian adalah tentang memilih opsi
yang benar dalam pilihan ganda. Hidup juga, tentang memilih opsi yang benar. Jadi memang
benar juga bahwa hidup ini merupakan sebuah ujian yang mempunai banyak opsi.

Sedang asik dengan pikiranku, aku sampai tidak menyadari bahwa ada sekelompok
anak laki-laki berlari ke arahku. Salah satu dari mereka menyenggol lenganku dan membuat
keseimbangan tubuhku goyah. Aku pun berakhir dengan jatuh terjerembab ke belakang.

“Kau tidak apa-apa? Maafkan aku ya, aku sedang terburu-buru.” Anak laki-laki yang
menyenggolku tadi membantuku naik. Ia juga murid baru sama sepertiku karena masih
memakai seragam SMP. Aku belum sempat melihat wajahnya, saat aku ingin mengucapkan
terima kasih, ia langsung berlalu pergi menyusul teman-temannya yang lain.

Mataku terpaku pada jari kelingkingnya. Ada benang merah di sana. Tapi yang
membuatku sangat terkejut , benang merahnya terhubung dengan jari kelingkingku. Berulang
kali aku memastikan bahwa penglihatanku tidak salah. Aku bergantian melihat jari
kelingkingku dan ke arahnya. Yah, ini tidak salah lagi.

Aku menemukan benang merah-ku.

Tapi semakin lama benang merah akan perlahan menghilang. Aku bisa melihat
benang merah pada diri seseorang hanya jika aku berkomunikasi dengannya. Tapi tak akan
bertahan lama.

Hingga aku melihat tanda pengenalnya yang jatuh di dekat kakiku, mungkin ini
terjatuh saat dia menabrakku tadi. Aku mengambilnya dan menemukan sebuah nama tertera
di sana.

Razendra Arlana.

Aku yang masih dalam keadaan terkejut bahkan tidak mendengar bunyi bel masuk
yang menggema di penjuru sekolah. Otakku masih dipenuhi oleh banyak pertanyaan.

Mengapa aku menemukannya secepat ini? Apa yang harus kulakukan sekarang?

Tomorrow is something new.

***TAMAT***

Anda mungkin juga menyukai