Anda di halaman 1dari 14

Penyesalan di masa SMA-ku adalah—tidak memilih SMA itu sendiri.

Aku memilih bersekolah di sebuah


SMK yang menjamin setiap lulusannya bisa segera mendapatkan pekerjaan. Bersama tiga orang
temanku, Maya, Disha, dan Cantika, aku mengikuti PSB online. Kami diterima di pilihan jurusan pertama
masing-masing. Maya di Akuntansi, Aku, Disha, dan Cantika di Pariwisata.

"Kamu itu pemalu. Kenapa masuk Pariwisata?" kata ibuku yang selalu tak tanggung-tanggung saat
bicara. Aku menyesal karena mengabaikan perkataan ibu yang sudah lima belas tahun merawat, dan
memahami seluk beluk karakterku, sementara aku yang masih remaja melihat diriku sendiri tak ubahnya
hutan rimba yang membingungkan.

"Nanti kan diajari, Bu," jawabku tidak terima. Lagi-lagi ibu menyebutkan nama-nama teman atau
saudaraku sebagai kandidat yang cocok untuk menggantikan kursiku. Tapi toh nama-nama itu tidak
pernah tertarik menjajal sekolah itu. Aku yang sering menonton drama korea dengan tokoh utamanya
yang bekerja sebagai tour guide, merasa yakin, pekerjaan seperti itu tidak akan terlalu sulit untuk
dilakukan. Nanti kan diajari!

Ibuku geram. Tapi sudah terlambat. Aku memang tidak pernah mau membagi rencanaku, dan tahu-tahu
ibu sudah terkejut saja saat aku melakukannya. Mungkin ibu mengira aku memilih jurusan Administrasi,
atau segalanya yang ada di balik meja, sementara aku memilih jurusan yang kelak mengharuskanku
berada di depan rombongan orang-orang yang berwisata—ibu jelas tidak bisa membayangkannya.

Alasan lainku memilih sekolah yang sama dengan teman-teman sekampungku adalah, agar aku
mempunyai teman. Entah di mana logikaku waktu itu. Apakah jika berada di sekolah lain aku tidak akan
bisa punya teman? Faktanya, di jenjang sebelumnya aku memiliki segelintir teman. Bahkan sebuah Genk
bernama 3G. Entahlah, apa artinya. Mungkin nama jaringan. Dan para anggota Genk-nya memiliki
peraturan tertulis yang menyebut diri mereka sebagai menteri. Aurora - menteri luar negeri, Lily -
menteri sosial, Karina - menteri keuangan, dan aku, Rea, tidak tahu harus memilih yang mana karena
memang tidak ingin menjadi menteri—untuk itu mereka menobatkanku sebagai menteri pendidikan.
Ironis sekali. Menteri pendidikan itu memilih mengabaikan pendidikan itu sendiri dengan banyak
bermain di sekolahnya yang baru.

Disha dan Cantika adalah tameng sekaligus penghubungku dengan teman-teman baru. Sangat cocok
untukku yang tidak bisa mencari teman. Keberadaan Disha dan Cantika juga membuatku merasa seperti
di rumah sendiri. Lain dengan di SMP, di mana aku lebih banyak diam dan mengamati. Jangankan
memiliki banyak teman, ada orang-orang yang sering memintaku mengulang perkataan karena aku
berbicara terlalu pelan. Jika murid-murid pada umumnya dibully murid lain, aku dibully guru.

"Ini nih ...." kata guru kesenian itu. "Senyum termahal di dunia." Kemudian tawa ringan pecah di kelas
kami. Guru itu bahkan menyuruhku mengulangi lagu yang kunyanyikan sampai tiga kali karena mengaku
tidak bisa mendengar suaraku. Padahal saat latihan, aku membuat seisi rumah terganggu dengan suara
lantangku. Benar apa yang dikatakan ibu, aku pemalu.

"The Traveler is always leaving home.. " ada di catatan*


PKL.

Tugasku hanya membuat brosur wisat setiap hari. Dan karena travel kami tidak memiliki komputer, aku
harus menunggu sepatu-sepatu di depan lab. komputer hilang, baru bisa masuk, menggunakan lab itu
untuk membuat brosur. Tapi hari itu, masih tersisa sepasang sepatu murid di samping sepatu guru yang
hitam mengkilat.

"Apa masih ada ujian?" tanyaku dalam hati. Aku memutuskan menunggu di bangku panjang di luar
laboratorium. Pepohonan di depanku berayun ayun, tampak kering dan letih terpanggang terik
matahari, sementara di lapangan, sekelompok murid berambut cepak berbaris rapi, dan tampak lebih
kuat dari pepohonan tadi meski faktanya mereka sudah berada di tengah lapangan selama empat puluh
lima menit, sama sepertiku. Mereka adalah anak-anak Paskibra. Tak sedikit pun aku berniat menjajal
ekstrakurikuler itu. Semata-mata hanya karena tidak mau rambut panjangku diseragamkan dengan
anak-anak lain. Katanya, setiap anak Paskibra wajib memotong rambutnya tiga jari di bawah telinga.

Terdengar suara sepatu di dekatku. Aku melihat ke lab. Sepatu itu masih di sana. Lalu aku melihat ke
sebelah kanan. Mungkin aku mengalami disorientasi karena terlalu lama menunggu sampai tidak bisa
membedakan dari mana datangnya suara itu. Itu suara dari pantofel hitam berdebu yang beradu dengan
lantai batu koridor—tiga jari di bawah telinga tidak berlaku untuk murid laki-laki! Aku tersenyum
memikirkan betapa menggelikannya pemikiran itu. Dimlkjskbbhjdkdbv. .Ryan—aku tahu namanya dari
Cacha teman sekelasku yang ikut Paskibra juga. Melihatnya, membuatku membayangkan Cacha pasti
saat ini sedang bahagia, memandu turis luar negeri mengelilingi kebun apel. Sebuah kebahagiaan yang
ditutup dengan indah, tip berlimpah. Tapi lihatlah bagaimana Ryan melihatku! Dia seperti merasa
terganggu. Ada sesuatu yang ....

Aku memutuskan untuk berhenti tersenyum. Bodoh sekali. Jelas sekali kenapa harus aku yang ada di
travel sekolah, bukannya Cacha. Cacha pasti tau saatnya berhenti tersenyum saat akan melamun.

"Hey, kamu," panggil Pak Hans, guru TIK yang berdiri di ambang pintu. Aku beranjak menghampirinya.

"Mau pakai komputer, kan?" Pak Hans mempersilakanku masuk, sementara dia kembali duduk di kursi
guru, menghadapi seorang siswa yang sibuk dengan laptopnya. Karena sudah mengenalku—meskipun
tidak ingat namaku, Pak Hans membiarkanku menggunakan komputer manapun sampai jam tiga sore.

Tak lama kemudian, aku sudah tenggelam dalam tulisan dan gambar yang harus kusesuaikan dalam
layar. Aku tidak menyangka pekerjaan seperti ini bisa membuatku lupa waktu.

"Pak Hans bilang labnya mau dikunci." Suara itu menyentakkanku dari layar.

"Oh iya," jawabku pada murid laki-laki bernama Lingga itu—hampir semua orang tahu karena dia adalah
anggota aktif di ekstrakurikuler KIR (Karya Ilmiah Remaja). ---**kelasnya belum* Sementara aku
membereskan peralatanku, dia tidak beranjak dari posisinya. Dan sekarang aku tahu apa yang dilihatnya.
Layar di depanku.

"Kamu yang buat itu?" tanyanya.

Menurutmu, apa yang kulakukan selama dua jam di sini? Aku mengiyakan.

"Emm. Itu bagus."

Aku hanya tersenyum, sembari menyimpan file di komputer, lalu mematikan komputer itu sendiri.

"Apa kamu punya waktu besok?" tanya Lingga kemudian. Aku segera melihatnya untuk memastikan aku
tidak salah dengar.

"Aku harap kamu mau ngajarin aku buat yang seperti itu."

Aku masih tidak percaya. Anak KIR sepintar dia memintaku mengajarinya membuat brosur?

"Besok?" Aku seperti punya jadwal yang begitu padat sehingga harus memikirkannya dulu sebelum
menjawab, padahal yang kulakukan setiap hari tak lebih dari mesbwrwdchersud.

'#@:@@2

Keesokan harinya, sekolahku mendapat pemandangan baru. Tak jauh dari lahan terbuka tempat pohon
mahoni tumbuh di bagian samping travel sekolah, ada sebuah ruang kosong yang juga terbuka. Di
sanalah aku dan Lingga duduk menghadap meja kayu yang tepianya sudah dimakan rayap*, kursi yang
kami duduki pun tak lebih baik dari itu—meja-kursi itu baru saja kami angkut dari gudang sekolah.
Bagian sandarannya patah. Salah satu diantaranya berukirkan kata "Shinta love Arga"

Lingga sesekali mengangguk saat aku menjelaskan bagaimana cara membuat brosur menggunakan
laptop.

"Itu semua ada di buku," tukasnya membuatku tersentak. Ya. Seharusnya kau hanya perlu duduk dan
membaca buku. Untuk apa repot-repot menyuruhku menjelaskannya?

"Maksudku ...," dia mulai menjelaskan, "Gimana cara kamu menemukan posisi yang pas buat naruh
gambar-gambar itu? Komposisi warnanya juga menarik. Tulisannya juga enak dibaca."

"Kalau itu," Aku menghela napas sejenak. "Kalau kamu mau buat yang sama, aku pakai font ini. Dan
warnanya, aku ngambil dari edvjvncni Dari sini, kamu bisa nemuin warna yang bagus buat digabungkan.
Nggak cuma warna-warna senada. Pakai warna yang kontras juga menarik. Tergantung kesan apa yang
mau kamu buat."
Aku yakin jawabanku cukup mengesankan juga baginya. Karena dia mengambil alih laptop dan mulai
bermain dengan warna-warna itu.

"Kalau begini?" tanyanya sesekali, disusul komentar dariku yang sudah seperti seorang ahli. Padahal aku
juga baru dua bulan ini mempelajarinya.

"Ceile... Pantesan travelnya tutup. Sekarang pindah ke sini orangnya!"

Aku dan Lingga bersamaan melihat Arissa, sama sepertiku dia juga di-PKL kan di sekolah. Semua orang
juga tahu siapa dia. Si trouble maker dari jurusan Penjualan—yang artinya kurang lebih aku juga
ditempatkan di Travel sekolah karena bermasalah, atau lebih tepatnya, agar tidak membuat masalah di
luar sekolah. Tidak seperti aku dan Lingga yang berambut hitam dan berpakaian rapi, Arissa dengan jelas
menantang pihak sekolah dengan rambutnya yang dicat pirang, seragam PKL * tidak rapi, dan sepatu
separuh putih. Lingga dan Arissa adalah dua orang yang sama-sama terkenal dari kubu yang berbeda,
sementara aku .... Rea, nyaris tidak pernah dianggap di mana pun berada. Bahkan hantu pun masih
ditakuti. Dan jujur saja aku sedikit tersanjung saat mendengar pujian Lingga kemarin atas pekerjaanku.
Dia membuatku merasa sedikit berguna.

Arissa melompat naik, mulai menyelidiki apa yang kami lakukan di sana.

"Dia minta diajarin buat brosur," jawabku. "Lagian sekarang udah jam pulang."

"Iya nih. Sialan emang di tempatku. Masa harus pulang jam enam. Males banget." Arissa bersandar di
dinding, sementara Lingga melanjutkan kegiatannya.

"Biasanya jam empat kan?"

"Stock opname," jawab Arissa sambil melempar pandangan ke pepohonan, lalu kembali melihat Lingga.
"Alasan aja kamu, Ngga. Minta diajarin segala. Padahal PDKT sama si Rea."

Aku tersentak, tidak habis pikir melihat Arissa.

"Sialan juga buat kamu," kata Lingga santai tanpa mengalihkan pandangan dari laptopnya.

Arissa terbahak mendengarnya. "Bisa ngomong kasar juga ternyata."

"Sebenernya aku bisa ngerjain ini. Tapi gimana ya?" Lingga sibuk dengan pemikirannya sendiri.

"Apanya yang gimana?" tanyaku.

"Aku mau buat presentasi dan aku butuh gambar menarik di setiap slide-nya."

"Ilustrasi?" sahutku sok tahu.

"Ya semacam itu. Aku butuh sesuatu yang unik dan enak dilihat."

"Tapi bukannya yang paling penting, apa yang mau kamu sampaiin?"
"Dan berharap aku yang menang lomba?" Lingga bertanya balik, sementara aku memikirkannya.

"Aspek pentingnya memang isi presentasi itu sendiri. Tapi, penilaiannya dari banyak sisi. Termasuk
visualnya sendiri."

"Wah. Bau-bau perpanjangan kontrak nih," sahut Arissa.

Lingga menatapnya kesal. "Apa sih kepentingan kamu di sini?"

"Sellow, Bro. Lanjutin aja. Aku cuma numpang sembunyi aja dari ngitungin jumlah barang," kata Arissa,
sementara tampangnya sendiri jelas-jelas seperti ingin menggilas Lingga saat itu juga.

Aku mulai merasa ada yang tidak beres di sini?

"Kalo gitu nggak usah ikut ngomong," Lingga mengalihkan pandangan pada laptopnya.

"Dih. Jahat banget sih kamu. Pantas jomblo!" Arissa ikut-ikutan mengalihkan pandangan, kali ini ke cicak
di sudut atas dinding.

Astaga cicak! Aku terlonjak dari dudukku, sementara Lingga sudah siap membalas kata-kata Arissa.
Mereka berdua heran, saat aku melompat turun ke tanah, mengambil jarak sejauh mungkin dari
binatang melata itu.

"Kenapa?" tanya Arissa heran, sementara Lingga segera mengobservasi keadaan di sekitarnya.
Tampaknya, cicak itu juga bergegas pergi saat aku mengacaukan ketenangannya.

"Kamu takut cicak?" tanya Lingga saat melihatku.

Aku mengangguk. Bahkan aku masih bergidik saat dia menyebut nama binatang itu. Lingga tersenyum
tidak habis pikir, lalu senyumannya kembali surut saat melihat Arissa.

"Apa?" tantang Arissa seperti biasa. Lingga menggelengkan kepala, mengabaikannya.

*****

Tidak tanggung-tanggung, Lingga mengajakku ke laboratoriumnya. Iya. Lingga punya laboratorium


sendiri di rumahnya.

"Kok kamu masuk SMK sih?" tanyaku heran, lalu melihat Lingga yang sibuk membereskan berkas-berkas
yang berserakan di mejanya.

"Itu ..., pengen cari suasana baru aja."

Aku masih tidak mengerti. Itu tidak menjelaskan apapun. Justru membuatku semakin bertanya-tanya.
"Dari kecil, aku punya temen-temen yang selalu ngikut ke mana aku pergi. SD barengan. SMP sama juga.
Gimana nggak, kita emang daftarnya barengan. Mereka baik sih. Pinter juga. Jadi nggak sulit buat
nentuin pilihan."

Aku mulai mengerti.

"Tapi, aku yang terlalu baik. Sampai nggak bisa ngomong nggak ke rencana mereka. Nggak bisa nentuin
pilihan. Sampai akhirnya, aku risih juga."

"Dan kamu mutusin masuk SMK."

"Ya." Lingga tertawa. "Mereka kaget banget, dan ngira aku bercanda waktu bilang mau ambil jurusan
Pembibitan."

Aku berusaha menahan tawaku. Tapi aku tersenyum, ingin mendengar lanjutan ceritanya.

"Astaga, Ga. Kamu mau jadi petani apa?! Mereka bilang."

"Trus?"

"Yaemang kenapa kalau jadi petani? Nggak ada petani kalian semua nggak bakal makan nasi aku bilang."

Akhirnya aku tertawa juga. "Pembibitan pilihan terakhirku," curhatku.

Lingga menoleh melihatku. "Karena nggak mau jadi petani juga?"

Aku mengangkat bahu. "Aku nggak ada pandangan pekerjaan di bidang itu. Maksudku, akunya aja yang
nggak ngelihat. Jadi, kamu terpaksa donk di PBT?" usutku lagi.

"Lumayan."

Bener-bener bertolak belakang denganku.

Sepuluh menit kemudian, aku duduk mendengarkan Lingga yang mempresentasikan hasil penelitiannya
sambil sesekali menunjukkan gambar-gambar pada berkas*nya. Dia berbicara lancar sekali. Padahal dari
segi penampilan, orang yang baru mengenal Lingga pasti mengira dia seorang yang pendiam, yang tak
mampu berbicara selama itu tanpa bantuan teks. Tapi nyatanya, dia melakukannya. Materinya sudah
dihafal di luar kepala. Mungkin karena lombanya sudah x lagi.

Aku juga terkesan dengan penelitian itu sendiri. Lingga telah membuat tanaman jenis baru hasil
persilangan x.

"Dari mana lo dapat ide ini?" tanyaku saat dia sudah duduk dan menghabiskan segelas air.

"X. Gue udah bahas di awal tadi."

"Oh iya."
"Tanaman X mengeluarkan senyawa yang dalam jangka panjang bisa memengaruhi kesehatan kita jika
diletakkan di sekitar qt. Aku memanfaatkan x pada tanaman y. Jadi dia bisa menghasilkan senyawa yang
bisa membantu kita mempertajam konsentrasi saat mengerjakan sesuatu. Tentunya jika diletakkan tidak
terlalu jauh dari kita."

"Apa kau sudah tahu efek sampingnya?"

Lingga mengangguk. "Sama sekali tidak adiktif. Jika iya mungkin aku tidak sesehat ini sekarang."

Aku menggeleng tidak habis fikir. "Percobaanmu ekstrim juga. Tapi bukannya tanaman sebelumnya
butuh waktu yang lama untuk bisa memengaruhi kesehatan kita?"

"Tanaman ini juga. Tapi kau tidak perlu berada di dekatnya dua puluh empat jam sehari. Dia akan
memengaruhi secara perlahan juga. Sama seperti halnya kau menumpuk MSG di dalam tubuhmu."
Lingga kemudian tertawa. "Ini butuh penelitian lanjutan. Tapi aku yakin tidak akan terlalu jauh hasilnya.
Lagipula, ini hanya penelitian bocah SMK. Siapa yang mengharapkan ini akan mendapat pengakuan
dunia?"

Sore itu, aku pulang dengan membawa setumpuk tugas baru.

"Sungguh aku akan membayar jasamu jika ini selesai," katanya.

"Kita nge-Rel aja," candaku.

"Aku udah menduga kau penyuka MSG" balasnya.

Nge-Rel adalah bahasa anak SMK kami untuk acara makan di warung bakso yang ada di dekat rel kereta
api.

*****

"Laptop?" ulang Tama, seseorang yang seharusnya menjadi saudara lelakiku. Ibu bilang, dulu sulit punya
anak, sehingga ibu sempat merawat anak tetangga. Dia adalah Tama, lelaki yang usianya dua tahun lebih
tua dariku. Tama berkulit cokelat, bermata hitam, rambutnya seharusnya juga hitam, tapi semenjak
kuliah dia mengecatnya menjadi separuh merah. Tingginya sama denganku, tapi badannya lebih gendut.
Dia satu-satunya orang yang bisa kupinjam laptopnya.

"Iya. Sebentar-sebentar aja, tapi tiap hari," kataku.

"Yaelah. Bawa aja. Tapi kalo aku ada tugas aku ambil."

"Makasih," jawabku riang.

"Kak Tama jelek deh," katanya sembari berlalu.


Aku tertawa. "Baru juga mau bilang!" protesku.

"Besok aku ke sini lagi."

Yes, batinku.

*****

Lingga terpaku melihat slide gambar yang kubuat. Dia kemudian berkata, "Kenapa kamu masuk
Pariwisata?"

Aku terenyak memikirkannya. Tentu saja aku hanya ikut-ikutan. Tapi aku tidak mau Lingga yang baru
saja merasa kagum segera ilfil mendengar jawabanku. Bagaimanapun dia tidak suka orang yang hanya
suka ikut-ikutan.

Lingga menoleh melihatku atau memastikan aku benar-benar ada di sampingnya.

"Aku ... suka belajar bahasa." Aku tidak berbohong, meski kenyataannya aku tidak terlalu jago juga. "Di
Pariwisata diajarin bahasa Prancis, Jepang, sama Inggris. Itu aja sih."

"Oh ...." Lingga mengerti.

Jangan tanya kenapa aku tidak masuk SMA jurusan Bahasa.

Ixhbdjewqiwdjw

db

bjkhdkuwf

" *****

"Re ...." bunyi pesan itu.

Aku membalasnya. "Ada apa?"


"File ku hilang semua."

"Apa?" Aku tersentak. Masa iya semuanya? Aku segera menambahkan, "Kamu kan punya print out-
nya?" Aku juga punya. Tapi kan yang belum dikasih keterangan apa-apa.

Pesan kami berlanjut.

"Tapi besok aku harus presentasi di layar."

"Di email?"

"Nggak ada. Aku juga bingung gimana bisa."

"Trus. Kamu mau ngerjain ulang?"

Tidak ada balasan.

Aku jadi ikut cemas. Bagaimana bisa? Siapa yang tega melakukannya?

*****

"Maaf, Pak. Saya juga nggak nyangka akan seperti ini. Jelas-jelas ada yang nge-hack email saya,
laptopnya juga." Lingga terliha sedih. Mukanya terliha kusut seperti belum tidur. Atau mungkin tidak
bisa tidur.

Pak Ruslan, pembina KIR di depannya menghela napas panjang. "Nggak apa-apa. Kamu sudah
mengerjakannya dengan baik." Dia menepuk pundak Lingga. "Biar Sapta yang gantiin kamu."

Lingga mengangguk.

*****

Lingga tidak jadi ikut ke luar kota x. Dia menolak meski sudah ditawari ikut. Mungkin, rasanya akan
menyakitkan jika melihat tempat di mana kau seharusnya berada di sana, tapi kau tidak bisa di sana
sekarang. Jgjhfd.

"Sapta emang disiapin buat jadi cadangan. Kalau-kalau ada hal buruk yang terjadi kayak gini," jelas
Lingga.
Aku bisa merasakan kesedihannya. Tapi aku segera melarikan diri dari perasaan itu, mencoba
memikirkan hal lain. "Apa ada yang nggak suka sama kamu?"

"Sapta?"

"Dia nggak suka sama kamu?"

"Maksud aku, kamu fikir dia nggak suka sama aku atau berharap dia yang maju lomba ini?"

"Nggak juga. Bisa jadi orang selain Sapta juga?"

"Sapta sendiri nggak se-ambis itu. Justru mungkin aku yang ambis. Aku selalu punya musuh. Entah yang
terang-terangan atau nggak."

Aku paham mengingat kejadian waktu itu, saat Lingga dan Arissa bertengkar kecil.

"Tapi ...." Lingga seperti mendapat pencerahan. "Sebenernya penelitian ini sempat ditolak sama Pak
Ghani."

"Guru SAINS?"

Lingga mengangguk yakin. "Dan Pak Ghani deket banget sama Pak Ruslan. Dia juga sering ikut campur
urusan anak KIR. Padahal jelas-jelas namanya nggak ada di ekskul ini. Apa mungkin dia?"

Pak Ghani? Memang terkenal killer. Untung aku hanya perlu belajar SAINS setahun di kelas satu. Kelas
dua dan tiga, murid Pariwisata tidak akan berjumpa dengan SAINS ataupun IPS, hanya pelajaran
produktif yang jadi fokus utama.

"Kenapa orangnya* nolak?"

"Dia bilang aku mesti bawain tema yang lebih masuk akal. Sementara penelitianku cuma punya data lab
terkait aktivitas otak sebagai hasilnya."

"Tapi itu kan juga hasil?"

"Itu yang aku nggak ngerti. Apa iya semua ini terdengar mengada-ngada? Siapapun bisa coba buktiin."

"Siapapun yang punya alatnya."

"Jadi cuma karena kamu nggak punya perahu buat ngelilingi dunia kamu nggak percaya bumi itu bulat?"

"Trus tanggapan Pak Ruslan waktu itu gimana?"

"Pak Ruslan minta aku mikirin ulang sebenernya. Tapi aku bilang nggak akan maju kalau nggak sama
penelitian ini." Lingga terduduk. "Apa Pak Ruslan terpaksa menyetujuinya waktu itu?" Dia lalu melihatku.
"Tapi, dia kelihatan baik-baik aja?"

"Dia selalu baik-baik aja," tukasku. "Pembina kamu itu orang yang tenang banget Lingga. Kamu lupa?"
Lingga terenyak memikirkannya. "Iya juga. Jadi menurut kamu ini skenario? Mereka sengaja buat aku
nyerah karena waktunya udah nggak memungkinkan lagi?"

"Kita jadi suudzon, Ngga. Gimana kalau cari tau yang ngeretas email kamu?"

"Kamu pikir siapa yang memulai semua ke-suudzon-an ini? Kamu lupa?" Dia hampir tertawa saat
mengatakannya. "Baru juga berapa menit."

Aku tersenyum masam. "Ingatan aku emang payah. Mungkin memori jangka pendekku eror. Kalau kamu
tanya gimana bau parfum-ku waktu masih SD, aku masih ingat."

Lingga tersentak. "Serius?"

"Serius!" kataku. "Jadi caranya gini. Aku harus nemuin parfum atau apapun itu yang baunya sama.
Dengan begitu aku bakal inget. Kalah nggak ada pemicunya ya aku nggak inget."

"Ya iyalah. Berarti kamu peka banget dong!"

"Karena kebiasaan aja."

xkdebicid

*****
Karena bukan aku pusat perhatiannya.

Aku menyukai musik. Tapi aku lagi-lagi, aku membuat kesalahan dengan mengikuti pilihan yang sama
dengan teman-temanku. Paskibra, organisasi paling dibanggakan di sekolah itu. Setiap kali mengikuti
lomba, ada saja piala yang anak-anak Paskibra bawa pulang ke Markasnya. Entah bergilir, atau piala
tetap. Alhasil, piala itu harus berdesak-desakan di atas lemari di dalam ruangan yang luasnya hanya
seperempat ruang kelas siswa.

Ruang Paskibra berada di sebelah ruang OSIS, dan ruang OSIS berada di dekat gazebo tempat anak-anak
musik biasa bernyanyi. Seringkali aku mencuri pandang ke arah mereka, berharap bisa memainkan gitar
juga, tapi yang kulakukan hanya mengetuk pintu markas tiga kali, hormat, lalu mengentakkan satu kaki
sekali saat memasuki ruangan itu. Aku malu, bahkan untuk menjadi diriku sendiri. Dan aku menyesal
untuk itu.

Sebagai gantinya, aku harus mengisi hari-hari dengan banyak latihan fisik yang tak membawaku ke
mana-mana selain, aku menjadi sangat sehat. Tetapi push-up, sit-up, dan back-up selalu membuat
anggota tubuhku ngilu setiap pagi selesai pengibaran. 2n. Begitu kata mereka. Adalah dua kali jumlah
hukuman untuk satu kesalahan dalam tim. Dalam acara besar untuk upacara misalnya, kami sampai
mencicil di waktu lain untuk melaksanakannya.

"Senin depan aku keluar," kata Disha. "Nggak bisa aku lihat orang-orang k

Anda mungkin juga menyukai