Anda di halaman 1dari 3

Ucok

"Bermimpilah setinggi langit, jika engkau jatuh, engkau akan jatuh di antara bintang-bintang"
Begitulah sepetik kalimat Soekarno yang kubaca di salah satu buku perpustakaan SDN 4 Sidamanik,
langkah pertamaku menuntut ilmu. Kata orang, sekolah itu sudah berdiri semenjak Belanda angkat
kaki dari tanah ini.

“Bagaimana caranya jatuh di antara bintang bintang, bu?” tanyaku yang masih kecil
kebingungan. Guruku tertawa kecil dan mengacak acak rambutku. Lalu guruku menjelaskan arti
kiasan itu dengan sabar. Aku mendengarkan dengan seksama sambil mengangguk angguk.
Penjelasan itu masih kuingat sampai sekarang.

Hari itu matahari benar benar tidak bersahabat. Panas matahari menyusup ke kulitku dan
kulit Faustino yang kehitam hitaman. Aku dan Faustino sering sekali pulang sekolah berdua.
Rumah kami berdekatan. Kadang kami berboncengan naik sepeda abang Faustino, tapi hari ini
sepeda abang Faustino sedang rusak di bengkel.

"Bapakmu preman ya, kemaren aku sama abangku dipalak di pasar sama bapakmu" tanya
Faustino

"ah mana mungkin Bapakku preman” balasku sambil menjilat es loli yang dijual di depan
sekolah.

"Tapi aku yakin kali, cok. Udah jelas kali mukanya persis bapakmu" sanggah Faustino. Aku
mengedikkan bahuku, tidak peduli. Setelah itu, aku berpisah di persimpangan dengan Faustino.

Sebenarnya, aku tidak tahu pekerjaan bapak, mamak tak pernah berkata tentang pekerjaan
bapak. Yang aku tahu haanyalah bapak seelalu bisa mencukupi kebutuhan keluarganya. Lalu
sepulang kerja, bapak akan menyuruhku mengambil kayu bakar untuk mamak.

"Ucok cari dulu kayu bakar mau masak mamak" kalimat ini selalu terdengar setiap hari.

Kemudian seperti biasanya, Aku akan mencari kayu bakar sekitar satu kilometer dari rumah.
Kedengarannya jauh, tapi aku selalu senang, karena dalam perjalanan mencari kayu bakar, ada
perpustakaan kecil. Aku sering sekali mampir di perpustakaan untuk membaca buku. Aku sudah
membaca banyak sekali buku. Tapi buku yang paling kusuka adalah matematika. Pelajaran yang
kebanyakan dibenci teman temanku adalah pelajaran favoritku. Mamak dan Bapak sudah maklum
apabila terkadang aku terlambat pulang karena membaca buku di perpustakaan.

1990
Yang kulihat sepulang sekolah hanyalah beberapa tas besar yang kutebak isinya pakaian dan
beberapa dokumen penting. Mamak yang melihatku langsung menarikku. Bapak sudah siap
menggotong tas besar tadi. Kami sekeluarga melangkah menuju terminal dan pergi dengan bis.
Waktu itu, Mamak hanya bilang kalau kami akan ke Jakarta. (Belakangan aku tahu, kalau ternyata
kami kabur ke Jakarta karena keluarga kami terlilit hutang)

“Jakarta itu dimana mak?”

“Di Jawa”

“Terus kita tinggal dimana mak?”

“Di rumah Opung, nak”

“Rumah Opung bagus ya mak?”

“Iya bagus, di Jakarta” kata mamak menyudahi percakapan ku hari itu. Setelah itu aku
terlelap di pangkuan mamak.

Jakarta sungguh keras. Bapak harus banting tulang menghidupi kami sekeluarga. Bapak
menjadi kenek metromini, pendapatannya tak menentu. Maka mamak ikut bekerja. Kerjanya
mencuci pakaian orang atau membersihkan rumah orang. Itupun penghasilannya masih kurang.
Maka aku mengalah, kedua adikku bersekolah, sedangkan aku berhenti melanjutkan jenjang
selanjutnya. Uang kuliah sangat menguras uang, entah darimana aku bisa mendapatkannya.

Secercah harapan muncul ketika aku tahu ada lowongan pekerjaan untuk menjadi guru les
matematika. Kebetulan, matematika adalah pelajaran favoritku. Menggunakan pakaian serapih
mungkin, aku mendatangi lowongan tersebut.

"Permisi pak, apa benar disini ada lowongan guru les matematika?"

"Oh iya benar, Kalau boleh tanya, Pengalamannya apa aja ya mas?"

"Aduh, maaf, saya belum pernah bekerja”

"Yasudah, ditest dulu ya mas"

Serangkaian tes ku lewati dan aku diterima di tempat itu menjadi guru les yang dikontrak 1
tahun. Setelah mengumpulkan duit aku mencoba membantu orang tua ku dan pergi ke warnet untuk
mencari beasiswa untuk aku bersekolah, dan aku mendaftarkan diriku lalu mengikuti tes yang
sungguh panjang

Dimulai dari administrasi hingga tes tulis. Tak kusangka aku dapat lolos dan berkuliah di UI
universitas yang menjadi impian ku sejak kecil, saat masa kuliah aku mengikuti berbagai kejuaraan
matemtika di dunia seperti Spanyol, Belanda dan yang paling berkesan adalah Amerika, aku dapat
menginjakan kakiku di negri yang katanya Paman Sam itu. Semuanya itu dibiayai pemerintah.

Tiba-tiba aku mendapat kabar bapakku jatuh sakit karena paru patunya mengecil dan
menghitam, ya dia memang dia perokok keras. Apa daya aku hanya dapat menerima takdir.

"Nak, kalau bapak sudah tiada tolong penuhi amanat terakhir bapak ya, bayarkan hutang kita
yang ada di kampung"

"baih pak, aku akan berusaha."

Setelah sarjana aku mencari pekerjaan untuk membantu keluarga, aku diterima di salah satu
sekolah internasional di Jakarta yang notabennya terbaik di Indonesia, seperti orang biasa gaji
pertama diberikan kepada orang tua, tapi tidak gaji pertamaku ku belikan tiket ke kampung dan
membayar hutang hutang ayah ku kepada orang orang dikampung ku

Hatiku terasa lega, dan menurutku ayahku jadi tenang disana.

Biodata Penulis

Hosia Josindra Saragih, lebih suka dipanggil Hosi ketimbang Hosia. Lahir 2 Agustus 2002
di Tangerang bukan di Medan, tapi aku Batak sama seperti Ucok. Hobi ku bukan membaca buku,
maka aku tak mampu membuat cerpen yang sempurna di matamu.

Anda mungkin juga menyukai