Anda di halaman 1dari 4

Panggil aku Imran

Fazar mulai menampakkan cahayanya. Titik sinar cerah yang menerangi awan-
awan gelap. Sinar yang mencerahkan harapan banyak orang untuk memulai kerja pagi ini.
Semua harapan-harapan dan kasih sayang yang ada di dunia. Tidak terkecuali di dalam keluarga
ku. Aku dengan perlahan membuka mata yang masih mengantuk. Sementara terdengar teriakan
ibu yang menyuruh ku untuk bangun. Aku berjalan sempoyongan, rasa-rasanya aku masih ingin
tidur lagi.

“Imran! Ayo cepat mandi dan sholat Subuh!” Teriak ibu

“Iya bu, sebentar…” Jawab ku.

“Ayolah cepat, kau udah harus bantu ayahmu, cari nafkah untuk keluarga kita.” Ucap ibunya
lagi, “Kau harus kerja supaya bisa memperbaiki keluarga kita ini. Bantu adik-adikmu ini agar
bisa makan.”

Aku masuk ke dalam kamar mandi, merenung sejenak lalu menanggalkan


pakaian satu per satu. “Byurrr!” air sumur yang dingin bagi menusuk tubuh ku yang kurus.
Dengan lembut ku usap seluruh tubuh ku. Membasuh semua kotoran yang menempel di kulit ku.
Setelah mandi dan sholat, aku langsung duduk di atas tikar bersama keluarga sambil menyantap
sepiring nasi dengan lauk tempe goreng sisa dari tadi malam yang di berikan oleh wak Sani
penjual gorengan di ujung jalan. Dengan penuh rasa syukur aku menyantap makanan yang
dihidangkan oleh ibu. Ayah yang tak pandai membaca dan menulis menatap wajah ku anak
tertua di keluarga ku dengan senyuman merekah di bibirnya.

“Hari ini kau ikut ayah ya, Ran…” Ujar ayah. “Kita cari lagi barang-barang bekas.”

“Iya yah…” Jawab ku pelan.

Mengais barang-barang bekas adalah pekerjaan ayah yang telah dilakoninya sejak masih kanak-
kanak. Ibunya meninggal ketika ia masih bayi. Ayahnya adalah penarik becak dan meninggal
karena radang paru-paru ketika ia berusia 10 tahun. Tak ada pilihan bagi ayah ku selain harus
bekerja untuk bisa bertahan hidup.

“Imran!Apa yang kau lamunkan nak?” tersentak aku ketika ayah memanggil ku. Tak terasa
hidup sepertinya tak berubah. Kemiskinan telah menjerat keluarga kami dari kakek hingga aku.
Kami harus berebut barang bekas mengejar waktu hanya untuk bisa makan hari ini.

“Imran cepat lah, hari sudah terang tak ada lagi nanti barang bekas yang dapat kita ambil.”
Begitulah hari-hari ku yang kuhabiskan untuk membantu ayah, ayah tak mungkin lagi harus
bekerja sendiri untuk bisa memenuhi makan keluarga kami.

T.M. Rezqy Pyranda (Siswa SMAN 4 Medan 91124802/08556250448) Page 1


Terpikir oleh ku tentang nasib ku kelak. Aku yang hanya tamat sekolah dasar rasanya tak mampu
membuat perubahan di keluarga. Hanya aku lebih beruntung, aku dapat membaca dan menulis.
Ah entah lah, biarlah hidup ini berjalan walau aku pun tak tahu kemana aku kelak.

Aku sudah ikut ayah mengumpulkan barang bekas sejak tiga tahun lalu. Sejak aku menamatkan
sekolah di Sekolah Dasar. Keinginan ku untuk melanjutkan sekolah sebenarnya cukup besar.
Ayah juga mendorong ku untuk masuk SMP. Namun melihat kesehatan ayah rasanya tak
mungkin membiarkannya mencari napkah sendiri.

Kami berjalan dari gang yang sempit sampai ke jalan raya yang begitu padat.
Mencari ke setiap rumah barang-barang bekas yang mungkin bisa dijual ke tukang loak. Satu
demi satu barang bekas mulai dikumpulkan, mulai dari alat-alat elektronik rusak, besi, botol,
plastic, kertas koran, majalah, mainan rusak semuanya ada. Biasanya sambil menyusun koran
atau majalah bekas itu, ku sempatkan untuk membacanya. Banyak sekali pengetahuan yang ku
dapatkan dari situ. Pelan-pelan, jika ada ilmu pengetahuan yang penting ku gunting tulisan itu
dan kukumpulkan. Terkadang ada juga kutemukan buku-buku pelajaran yang terbuang begitu
saja di tong sampah.

Pernah pada suatu sore, ku temukan sebuah buku tentang jagat raya yang belum
pernah ku baca; “Matahari merupakan sebuah bintang, bintang adalah benda langit yang
memancarkan cahaya. Panas permukaannya mencapai 6000oC dan panas intinya 15.000 oC. Di
dalam matahari terdapat reaksi kimia yang menghasilkan energi, energy yang membantu kita
untu tetap hidup, cahaya…” aku terus membaca sampai akhirnya aku melihat matahari yang ada
diantara awan. Ayah menatap ku, senyumannya mengembang melihat ku.

Tak terasa panas terik sudah sampai di atas kepala, saatnya beristirahat makan
siang. Kami biasanya mencari tempat teduh pergi ke mesjid untuk sholat Djuhur, beristirahat
dan makan makanan yang di siapkan oleh ibu dari rumah.

“Apakah kau masih ingin sekolah Ran?” Tanya ayah, aku terdiam sesaat lalu ayah berkata lagi,
“Ayah tau kalau kau masih ingin sekolah, tapi apa daya kita. Ayah belum punya uang.”

“Tak apa-apa kok yah. Toh juga belajar tidak harus di sekolah. Dimana saja dan kapan saja kita
bisa belajar, lagi makan, lagi mau tidur, lagi mulung pun aku tetap bisa belajar. Sekolahpun tidak
akan ada aritnya jika kita main-main. Lebih baik kita seperti ini, Allah pasti punya jalan
tersendiri untuk kita.” Ucap ku.

“Ayah bangga punya anak yang seperti kamu nak…, kamu anak yang hebat. Kamu bisa
menerima keadaan, kamu anak yang bisa menyesuaikan diri dimana saja.” Kata ayah.

“Yang penting sekarang ini adalah aku tetap akan terus belajar, belajar dari mana saja asalnya.
Membaca berbagai buku dan berusaha mendapat kehidupan yang lebih baik di masa depan.
Setiap orang harus berusaha untuk menggapai impiannya kelak. Seperti kata Edison, ‘Sukses itu

T.M. Rezqy Pyranda (Siswa SMAN 4 Medan 91124802/08556250448) Page 2


terdiri dari 99% usaha dan hanya 1% yang berasal dari kepintaran kita’. Edison tidak sekolah, ia
dianggap bodoh oleh temannya, akan tetapi dia berusaha dan akhirnya di masa depan dia
menemukan bola lampu.” Ujar ku.

Ayah mengusap-usap kepala ku sambil memanjatkan doa kepada Allah agar


kelak aku menjadi orang yang berhasil baik di dunia maupun di akhirat. Omongan kami ini tak
diduga ternyata di dengar oleh seorang mahasiswa yang juga sedang beristirahat tak jauh dari
kami. Dia kagum melihat ku, dia merasa aku anak yang pintar dan punya bakat untuk menjadi
orang sukses jika aku di sekolahkan. Mahasiswa ini kemudian pergi mengikuti kemana saja aku
dan ayah pergi. Dia mengambil gambar ku dan ayah dari kamera digitalnya.

Hingga mahasiswa ini sampai pada TPA yang cukup besar. Dia terus
memperhatikan ku, dia melihat dengan seksama akan apa yang dilakukan oleh ku. Dilihatnya
aku duduk di atas tumpukan sampah setelah mengutip sebuah buku dan mulai membaca.
Mahasiswa ini lalu mengambil gambar ku. Ini pasti akan menjadi gambar yang luar biasa.
Malam menjelang, mahasiswa ini masih terus mengikuti ku dan ayah sampai ke rumah. Dia
mencatat alamat rumah ku lalu pulang ke tempatnya.

“Ipul! Ipul! Ipul!” Teriak mahasiswa tersebut ketika kembali, “Lihat ini aku punya gambar
bagus.”

“Siapa ini Wan?” Tanya Syaiful, kawan mahasiswa tersebut.

“Ini dia nih. Namanya Imran, jadi tadi aku tanpa sengaja dengerin omongan dia dengan ayahnya.
Dari cara bicaranya, anak ini jelas anak yang pintar. Dia tahu tentang Edison, dia rajin membaca,
tetapi sayangnya dia tidak punya uang untuk sekolah.” Ujar Iwan.

“Wah bagus nih kayaknya Wan. Besok kita diskusikan di perkumpulan, mungkin kita bisa bantu
dia.” Ujar Syaiful.

“Bukan begitu aja Pul, bapakmu kan punya sekolah bagus. Bagaimana jika kita masukin aja ke
sekolah bapakmu itu?” Tanya Iwan pada Syaiful, “Gimana Pul?”

“Waduh, kayaknya berat ni Wan. Soalnya masuk ke sekolah itu punya standard. Anak ini perlu
mengikutin tes-tes yang berat agar bisa bersekolah disekolah bapakku secara gratis. Dia harus
betul-betul berprestasi.” Jawab Syaiful pada Iwan.

“Tenang aja lah kau Pul. Aku yakin si Imran ini bisa masuk ke sekolah bapakmu itu. Yah kalau
tak masuk ke sekolah biasa aja.” Ujar Syaiful.

Pada keesokan paginya, Syaiful dan Iwan bertemu dengan teman-teman mereka
lainnya di dalam Perkumpulan Mahasiswa Peduli Pendidikan Anak Bangsa. Mereka membahas
tentang masalah yang dihadapi oleh Imran. Iwan menyampaikan pendapatnya kalau Imran
adalah orang yang cocok untuk mereka bantu. Semua anggota perkumpulan tersebut telah setuju

T.M. Rezqy Pyranda (Siswa SMAN 4 Medan 91124802/08556250448) Page 3


untuk membantu Iwan agar mendapatkan haknya sebagai seorang pelajar. Syaiful juga telah
membicarakan hal ini kepada ayahnya, ayahnya tidak merasa keberatan jika Imran masuk ke
sekolah miliknya, asalkan Imran bisa lulus tes.

Pagi-pagi sekali Iwan dan teman-temannya datang ke rumah ku. Mereka berkata
pada ayah, jika mereka ingin menyekolahkan ku. Awalnya ayah merasa keberatan, akan tetapi
setelah dibujuk oleh Iwan dan teman-temannya, ayah akhirnya menyetujuinya. Kemudian setiap
hari mereka memberikan les khusus mata pelajaran kepada ku. Mereka mengajak ku ke
perpustakaan pusat untuk mencari refrensi ilmu. Setiap hari aku membaca, membaca , dan
membaca, tiada hari tanpa membaca. Semua kliping-kliping yang ku buat disusun secara
sistematis dan dibaca oleh mereka. Hingga sampailah dia pada hari dimana tes masuk ke sekolah
dilakukan. Tes pertama yang ku jalani adalah tes fisik, aku harus lari keliling lapangan sepak
bola sebanyak lima kali dan aku menjalani pemeriksaan bebas narkoba. Kemudian aku juga
mengikuti tes mental, kemampuan kepribadian diuji untuk dapat menyelsaikan masalah yang
terjadi di dalam kehidupan manusia. Dan yang terkhir tes intelektual, dalam tes ini aku
mengerjakan berbagai soal-soal sebanyak 100 soal per mata pelajaran.

Di hari pengumuman kelulusan, aku merasa gugup. Aku berusaha meyakinkan


diri ku kalau aku bisa masuk ke sekolah tersebut. Aku diberikan selembar surat. Aku dan
keluarga membuka surat itu dirumah. Ibu, adik-adik, ayah semua menatap ke arah ku. Aku
membaca surat itu, Aku tiba-tiba menangis.

“Tidak apa-apa kalau kau tidak lulus nak.” Ucap ayah.

“Tidak ayah, aku lulus masuk ke sekolah itu.” Ujar ku, “Aku lulus yah!”

“Apa???” Ayah memeluk ku dengan erat sambil bersyukur pada Tuhan Yang Maha Esa atas
rezky yang diberikannya.

Tiga puluh tahun sudah hal itu terjadi. Kini aku kecil telah menjadi dewasa. Aku
menjadi seorang ahli fisika dan astronomi yang terkenal di seluruh dunia. Aku menjadi ketua
badan anatariksa dunia yang membuat nama Indonesia harum dimana-mana. Suatu saat seorang
waratwan bertanya kepada ku, “Apahal yang membuat aku bisa sukses seperti ini?” Aku
menjawab, “Banyak-banyaklah membaca,niscaya engkau akan menjadi manusia yang sukses.”
Tamat

T.M. Rezqy Pyranda (Siswa SMAN 4 Medan 91124802/08556250448) Page 4

Anda mungkin juga menyukai