Anda di halaman 1dari 7

Setapak Megatruh

Cahaya jingga menyala, sang surya sudah berhasil menyusup di sela-sela


genteng, membuat rumahku semakin terang ditambah dengan terangnya langit yang
masuk menerobos genteng kaca yang terpapar langsung di wajahku, menandakan hari
ini aku terlambat Subuh lagi. Semenjak kelas VII SMP aku semakin jarang ikut bapak
pergi jama'ah Subuh di masjid.

"Dor..dor..dor mas, mas Agus", "dor..dor mas, mas Agus!", "tangi gih.! Mpun siang
ikiloh, gek ndang subuh". (Bangun gih! Sudah siang iniloh, segera Subuh). Terdengar
suara seorang ibu membangunkan anaknya yang ternyata berhasil membuatku
terbangun sebentar lalu tidur lagi.

"Jare arep mondok kok yahmene lagi tangi, mondok iku kudu mandiriloh cung! Tangi
dewe, nyuci dewe, mangan dewe, yen koyo ngini terus yo gak bakal kerasan, olehmu
mondok ora ngarah suwe" (katanya mau mondok kok jam segini baru bangun, mondok
itu harus mandiri loh nak!, bangun tidur sendiri, nyuci sendiri, makan sendiri, kalo
begini terus ya tidak akan kerasan, mondokmu tidak akan bertahan lama). Tambahnya
semakin keras. Hari ini dua minggu pasca lebaran dan lusa aku harus pergi
meninggalkan rumah untuk berjuang sepihak demi masa depan yang cerah.

“Hiduplah... Indonesia... raya... “ , “tegaak grakk..!!”, jiwaku berdiri kokoh di


tengah lapangan namun pikiranku sudah tesungkur di atas meja. Entah kenapa hari itu
diriku lemah, letih, lesu tapi bukan anemia, hanya saja belum makan dari pagi. Hari ini
hari terakhir pelaksanaan MOS di sekolahku, setelah upacara selesai para siswa baru
digiring menuju kelas masing–masing, setiap rombongan dipimpin oleh 2 kakak OSIS.
Aku berada di baris paling belakang dengan rambut yang pitak kanan kiri akibat
keganasan guru BK kemarin. Sampai di kelas aku duduk menunggu pembinaan wali
kelas. Semua kegiatan telah terlaksana sesuai konsep sampai pada pengumuman
terakhir tentang pelaksanaan PTA besok, lalu pulang. Jalan pulangku masih sama
dengan kemarin, jauh, terik dan melewati sedikit banyak rumah warga. Maklumlah
baru 3 hari sekolah, 15 hari mondok, jadi belum tahu betul di mana jalan pintasnya.
Sepanjang jalan yang aku pikirkan hanya “aku ingin pulang”. Senja mulai tenggelam
rasa rindu akan emak, bapak, dan rumah semakin menggebu–gebu. Sayup-sayup
terdengar adzan Maghrib berkumandang dan aku segera turun ke lantai dasar untuk
ambil wudhu, sholat jama’ah lalu mengaji. Setelah semua kegiatan pondok selesai, aku
bergegas kembali ke kamar. Dengan sigapnya kuambil ponsel butut di laci.
Aku : “Assalamualaikum”

Emak : ”Waalaikumsalam”

Aku : “Maaak..”(Buuuk..) Dengan nada lirih aku menelvon sembari mengingat niatku
yang tak mungkin disetujui emak.
Emak : “Enggih, wonten nopo?” (iya, ada apa?)

Aku : “Kulo mboten kraos ” (Saya tidak kerasan)


Hening.

Aku : “Maaak”

Emak : “La sepundi? Benjing disambang bapak nggih” (Bagaimana? Besok dijenguk
bapak ya)

Aku : “Mboten, kulo badhe boyong mawon” (Tidak usah, Aku ingin pulang saja)

Emak : “Loh, loh, loh, La mangke sekolahe sepundi cung? Mboten eman kalih
bayare? La mangke nik mantuk nopo mboten lingsem kaleh tangg–tanggi?”
(Loh, loh, loh.. Nanti sekolahnya bagaimana nak? Tidak eman dengan
bayarnya? Apa nanti kalau pulang nggak malu sama tetangga?)

Aku : “Maaak”. Tak terasa air matakupun terjatuh tanpa permisi, memberi isyarat
betapa sesaknya rasa yang tertahan ini.
Emak : “Yowis cung, sesok bapak muruki lan mamitke sampean nang pak kyai”.
(Yasudah nak, besok bapak jemput dan mengizinkanmu ke pak kyai)

Bagai tersengat korek api. Tak kusangka emak menyetujui kemauanku. Padahal,
selama ini aku selalu memberi alasan dan emakpun selalu menyanggah dan ini sudah
kesekian kalinya aku menelvon emak dengan pembahasan yang sama, namun baru kali
ini emak menyutujuinya dan besok bapak memboyongku dari pondok.

Mujur tak mujur, aku terlahir di masa tua bapak dan emak, dengan kakak
pertama terpaut usia 20 tahun dan dengan kakak ke dua terpaut usia 10 tahun.
Terkadang aku juga kasihan melihat emak dan bapak yang sudah tua tapi masih harus
mengurus anak yang berhadapan dengan kemodernan yang butuh banyak uang. Tapi
mau bagaimana lagi itu sudah kewajiban mereka. Selain boyong dari pondok aku juga
harus pindah sekolah karena perekonomian keluarga tidak cukup untuk membiayai
ongkos sekolahku. Dari SMA Negeri Tunas Bangsa aku pindah ke sekolah swasta SMA
Nurul Hikmah. Sekolah dengan satu gedung berisi 6 ruang kelas saja, bagai kucing yang
tersesat di kandang macan. Siswa di sekolah ini identik dengan kenakalan, baju keluar,
sepatu warna-warni, rambut panjang merupakan hal yang lazim, maklumlah namanya
juga sekolah swasta pinggiran. Namun, itu semua sudah aku bayangkan dari awal
setelah mendengar omongan-omongan dari banyak orang dan itu sudah menjadi
resiko buatku. Sebenarnya aku juga enggan bersekolah di sini, tetapi karena bapak
memaksa dan emak berdalih akan memindahkanku lagi jadi aku menyetujuinya.

Setahun sudah berlalu, sehabis sholat jamaah Isya aku berencana mengadu
kepada emak atas janjinya. Malang, belum sempat mengadu justru emak
mendahuluiku.

Emak : “Mpun setahun toh?, kraos kan berarti? enak toh dadi murid pinter dewe,
angsal ringking setunggal”, (Sudah setahun toh?, kerasan kan berarti? Enak
toh, jadi murid paling pinter, dapat ringking satu)
Sepertinya emak sedang berusaha mencari alasan untuk mengingkari janjinya. Seketika
bapak menoleh ke belakang dan menyahut lirih obrolan kami.

Bapak : “Bapak mpun boten merdamel cung, bapak boten kuat yen biayai sekolah
sing mbuk pingini kuwi, ujute sampeyan yo betah, nganti setahun malah. Wis
boten usah ngalih!”. (Bapak sudah tidak bekerja lagi nak, bapak tidak kuat
kalau membiayai sekolah yang kamu impikan itu, buktinya kamu ya betah,
sampai setahun pula. Sudah jangan pindah!)

Aku : “Tapi pak”. Aku mengelak.

Bapak : “Wes toh pertahakno! Kabeh sekolah iku pada, tergantung bocahe, yen
bocahe apik yo apik-apik wae, kadang pancen yen pingin sukses kudu dadi
kedelai ning antarane kerikil-kerikil. Deloken kae putrane pak Karim sekolahe
apa? Yo podo karo sampean ujute yo dadi guru, negeri malahan, gajine okeh,
opo yo sampean ndak kepingin? Wis toh lakoni wae disek alon-alon waton
kelakon!”. (Sudah bertahan saja dulu!, semua sekolah itu sama, tergantung
anaknya, kalau anaknya baik ya baik-baik saja, terkadang memang untuk
menjadi sukses harus jadi kedelai di antara kerikil-kerikil dulu. Lihat itu
anaknya pak Karim sekolahnya apa? Ya sama seperti kamu buktinya ya jadi
guru, negeri pula, gajinya banyak, apa ya kamu tidak ingin? Sudahlah
lakukan saja dulu, pelan-pelan asal terlaksana.!)

Kodok di sawah bersahutan dengan kerasnya, seolah menertawakanku yang tak


disetujui keinginannya. Segera kulipat sajadah dan bergegas menuju kamar.
“Prooook... “Aku terduduk di lantai yang masih beralas tanah, termenung meratapi
masa depanku yang perlahan-lahan menipis nan nampak suram, namun aku juga tidak
mau egois, aku tidak ingin jadi anak bandel. Di sisi lain aku juga tidak betah berlama-
lama di kandang macan. Ah.. Aku berperang dengan diriku sendiri, hingga tak terasa
dirikupun tersungkur di tanah hingga terlelap. Bapak adalah tipe ayah yang berbeda
dari ayah yang lain beliau tidak tegas, tidak pernah memarahiku apalagi memukulku.
Bapak itu Blilu Tau Pinter Durung Nglakoni, beliau tidak pandai dalam segi teori tetapi
beliau terampil mengerjakan sesuatu karena pengalamanya.

“Dudd-duudd..dudd-duudd, Gus, besok sebelum pulang kamu ke ruangan


saya!” sms dari bu Endang, menandakan ada sesuatu yang penting yang harus segera
dibahas. Seorang kepala sekolah yang terkenal tegas dan berwibawa, dari mulut ke
mulut saya mendengar jika beliau masih kerabat dekat dengan pendiri sekolah Al-
Hikmah. Hari ini jam terakhir adalah mata pelajaran Fisika, setelah tenaga terkuras
habis masih harus menghadap Kepala Sekolah. Aku segera menuju ruangan bu Endang,
langkahku terhenti saat mendengar suara

“Jebraakk!! Kau pikir bapak ibu guru mengajarmu gratis?!, kau pikir bapak ibu gurumu
nggak butuh makan?! Enak wae kamu tinggal bilang ndak punya uang, sekolahnya
mbah..” belum selesai bicara murid perempuan itu menyahut dengan nada yang sama
tinggi.
“Kalo saya punya uang saya juga tidak akan sudi sekolah di sini!”, hening sebentar lalu
anak itu keluar dari ruangan bu Endang.

“Saya tidak mau tahu besok panggil walimu ke sini!”. Percakapan sengit itu cukup
membuatku bergetar, keringat mulai turun tanpa aba-aba.

“Siapa itu di depan pintu?! Masuk! Apa mau minta sumbangan? Hah?!” ucap bu
Endang.

Seketika kakiku sangat berat untuk kuangkat, seraya hatiku meminta untuk mundur
saja, namun masih kalah dengan tekadku.

“Oh Agus, silahkan duduk! Selama kamu pindah sekolah di sini, sepeserpun kamu
belum membayar administrasi ya nak. Dari laporan bendahara sekolah tunggakan yang
wajib kamu bayar senilai Rp. 4.532.000”, sambil menyodorkan rincian tunggakan
administrasi. Sebegitu lanyahnya bu Endang membacakan administrasi yang belum
kulunasi, rasanya seperti disambar petir di siang bolong. Dan aku hanya bisa berkata
“Inggih bu, sendiko dawuh, akan segera kulo cicil” sebagai dalih dan tiket keluarku dari
ruangan bu Endang yang entah kenapa terasa pengap sekali saat itu.

“Apa kamu tidak dapat bantuan PKH nak?” tanya bu Endang yang menghentikan
langkah kakiku di depan pintu.

“Mboten bu” (Tidak bu) Jawabku melas dan segera kulanjutkan langkah untuk pulang.

Lusa akan ada UAS dan untuk bisa mengikutinya harus punya kartu tes, sedangkan
untuk mendapatkan kartu tes setidaknya harus mengangsur pembayaran daftar ulang.
Sungguh, persyaratan itu sangat berat bagiku mengingat untuk makan besok saja
belum tentu ada. Aku pulang dengan hati resah bercampur marah, entah mimpi apa
aku semalam. Sampai rumah kuadukan semua kepada emak.

“Mak kulo boten saget derek tes benjang,” (buk, saya tidak bisa ikut ujian besok)

“La kepriye?” (Terus bagaimana?)

Kuceritakan kembali perkataan bu Endang dan emak hanya bisa bilang “La terus
sepundi cung? Lah jarene sekolahe gratis kok yo iseh ono bayar semono akehe” (lalu
bagaimana? Katanya sekolah gratis kok masih bayar sebegitu banyaknya), kegelisahan
emak mengakhiri percakapan kita.

Aku menuju kamar untuk mencari jalan keluar, tak lama, aku teringat kalau aku
punya ayam ajaib di dalam lemari segera kuambil dan “krepyaakk!! Klinting.. klinting,”
ada uang biru dua lembar dan sisanya warna ungu, hijau dan kuning juga recehan.
Tanpa pikir panjang segera kubereskan dan kembali ke sekolah menemui bu Endang.
Beres, kartu tes telah berada di genggamanku. Dalam hal ini aku menjadikan bapak
sebagai pelaku utama, setahun terakhir ini bapak tidak lagi memerankan haknya
sebagai ayah yang mempunyai anak di jaman uang. Sempat terngiang di pikiranku
untuk berhenti sekolah saja namun itu bukan aku sekali. Kejadian ini telah mensuport
keyakinanku untuk mengambil part-time job, aku mulai melamar kesana kemari
sampai akhirnya bertemu dengan Pak Mun. Iya, seorang manusia berhati malaikat.
Selain guru PAI di sekolahku beliau juga masih saudaraku dari emak karena pernah
minum satu ASI yang sama, pak Mun mempunyai usaha pengetikan dan layout kitab
bahasa Arab. Aku bekerja di rumahnya yang megah berlantai dua tak ketinggalan
mobilnya. Selama ini beliau sangat baik padaku, terkadang tiada angin tiada hujan tiba-
tiba beliau memberiku uang jajan. Bahkan suatu ketika aku pernah ikut lomba
membuat cerpen dan diharuskan menggunakan laptop, karena tidak punya laptop aku
mencoba pinjam komputer pak Mun dan diperbolehkan. Berkat pak Mun juga aku
dapat membayar kekurangan administrasi sekolahku, jadi di kelas XII aku telah
membayar SPP sendiri tanpa membebani orang tua. Tak berhenti disitu pak Mun juga
yang memaksaku kuliah, aku harus giat belajar agar mendapat beasiswa kuliah gratis.
Dan Alhamdulillah, bisa kuliah dengan jalur undangan SNMPTN di salah satu
Universitas Negeri di Jawa Timur. Tetapi keinginanku tak selamanya berjalan mulus,
diam-diam bapak telah merencanakan sesuatu untuk masa depanku, pikiran bapak
berbalik, yang semula ingin aku menjadi pegawai kini bapak ingin aku menjadi pemuka
agama saja. Bapak ingin aku melanjutkan sekolah di madrasah sembari mondok.
Dengan berbagai cara aku berusaha mengambil hati bapak, tak terkecuali menjadikan
emak sebagai tameng. Namun kali ini berbeda, bapak begitu ngotot atas rencananya.

Bapak : "Arep dadi opo?" (mau jadi apa?)

Emak : "Mpun toh pak, putramu niku pinter, eman yen ora diteruske olehe sekolah,
opo toh yo sampeyan boten purun gadah putra pegawe?" (Sudahlah pak,
anakmu itu pintar, sayang kalau tidak meneruskan sekolah, apa kamu tidak
mau punya anak pegawai?)

Aku : "Sanjange jenengan pingin kulo dados kados mas Galih?" (katanya bapak ingin
aku jadi seperti mas Galih.?)

Bapak : "Mbesok yen aku wes lunga, sing macakno aku yasin karo tahlil sopo? Sing
ngajino aku sopo?" (Besok kalau aku sudah meninggal yang membacakan aku
yasin dan tahlil siapa? Yang mengajikan aku siapa?)

Emak : "Niku kan saget dipelajari sambi melaku pak?” (Itu kan bisa dipelajari sambil
jalan pak?)

Mungkin bapak baru menyadari akan usianya yang semakin senja atau mungkin
bapak terprovokasi dengan omongan tetangga atas biaya kuliah yang tak sedikit.
Sebenarnya rencana bapak tidak muluk-muluk, bapak hanya ingin aku sekolah di
madrasah agar aku menjadi pemuka agama. Bapak hanya takut jika aku keblinger,
keminter dan takut jika aku dadi kacang sing lali kulite. Perdebatan sengit malam itu
berhasil membuat bapak luluh, dengan berat hati bapak meleburkan rencananya.
Besok paginya bapak mengajakku duduk di teras dan bercengkrama. "Sampeyan iku
lagi ning tahapan sinom, akeh perkoro-perkoro anyar kang bakal mbuk adepi, mulo
sing ngati-ati.! ilmu iku gampang digoleki, tapi yen ngelmu iku kelakone kanthi laku.
Lan ojo lali sampeyen kudu tetep nerimo ing pandum, ojo gumunan, ojo getunan, ojo
kagetan, ojo aleman! wis kono nang budal !". Dalam filosofi jawa terdapat sebelas
tahapan dalam hidup ini diantaranya ada Sinom. Dan sekarang aku sedang berada di
tahapan Sinom, dimana aku akan bertemu dengan hal-hal baru. Setelah bapak
merestuiku akupun baru berani berangkat untuk mengembara, berjuang demi masa
depan dan membahagiakan semua orang yang sayang padaku selama ini. Semester
demi semester aku lakoni dengan tekun, ulet, dan penuh akan target.

Malam ini terasa sangat berbeda semua terasa memberikan isyarat buruk
padaku, bahkan suara jangkrik yang biasa menemani tidurku pun terdengar fals, entah
apa yang akan terjadi aku segera berdo'a dan tidur. Tiba-tiba "kriing..kringg..kriing-
kring" kakak perempuanku menelvon menyuruhku segera pulang dan kakak tidak
menjelaskan apa yang terjadi, waktu menunjukkan pukul 04.30, aku segera bergegas
mandi dan pergi menunggu bus untuk pulang. Semua kegiatan kuliah aku absen
bahkan sebenarnya hari ini ada mata kuliah yang wajib aku ikuti tapi aku tidak
menggubrisnya. Kalau kakak menyuruhku segera pulang biasanya emak lagi sakit,
terjatuh, atau saudara meninggal. Tapi kali ini terasa benar-benar berbeda. Di
sepanjang perjalanan hatiku gelisah sampai air mataku jatuh dengan sendirinya,
membayangkan jika emak pergi untuk selamanya. Sholawat dan alfatikhah tak pernah
berhenti terucap dari mulutku di sepanjang perjalanan, sampai tibalah aku di
pemberhentian bus, terlihat kakak iparku menuju ke arahku dan membawaku pulang.
Hatiku semakin getir lantaran kakak iparku tidak menjawab pertanyaanku hanya saja
dia mengatakan kalimat penenang. Sayup-sayup kudengar bacaan-bacaan kalimah
toyyibah semacam tahlil yang ternyata sumbernya dari rumahku. Disana ada banyak
orang dan hampir semuanya menatapku dengan belas kasihan. Kegundahan dan
kegelisahanku semakin memuncak, langkahku terasa berat tatapanku nanar. Kulihat
kakak pertama menatapku di pintu, kakak kedua di belakangnya dan di pikiranku
hanya penuh dengan emak. Dimana emak? dari tadi aku tidak melihatnya. Sampailah
aku di pintu, jiwaku serasa tak lagi bersamaku. Kakak kedua meraih tasku dan kakak
pertama merangkulku, menuntunku masuk. Dimana emak? Kakiku semakin lemas
jantungku semakin kencang berdetak ingin mencubit tubuhku untuk bangun tapi ini
bukan mimpi. Selangkah lagi aku maju dan mendengar tangisan khas yang hanya emak
pemiliknya, kulihat emak berjalan ke arahku dengan begitu lemasnya lalu emak
memelukku menumpahkan semua air matanya di pelukanku sembari berkata "awak
dewe wis digawe pincang cung uripe" (hidup kita telah dibuat pincang nak), air mataku
tak terbendung lagi, peristiwa yang tak pernah kuterka kehadirannya, yang selama ini
kupikir hanya akan terjadi di televisi hari ini benar-benar aku mengalaminya sendiri.
Orang yang selama ini hanya kupanggil ketika aku kehilangan arah, orang yang selalu
membanggakanku, orang yang selama ini tak terlalu kuartikan kehadirannya kini
benar-benar meninggalkanku untuk selamanya. Segera kuhampiri bapak yang telah
terbujur kaku. Sosok ayah yang tak pernah memberikan kasih sayang padaku secara
materi. Beliau hanya memberiku kasih sayang secara batin. Dulu sering sekali ketika
akan berangkat jama'ah Subuh di masjid pasti sendalku sudah tertata di depan pintu
dan ditata oleh bapak, kata emak sering sekali disaat bapak mendapat makanan di
acara hajatan tidak ada yang boleh makan kecuali aku.

Sudah seminggu bapak pergi, kini bapak telah berada di tahap megatruh,
semua yang pernah berada di tahap mijil pasti akan merasakan tahap megatruh, aku
belum berani keluar rumah apalagi kembali kuliah. Rasanya tak ingin kuliah lagi, aku
sudah kehilangan tujuan. Dalam tahap Kinanthi ini kudapati ujian yang begitu besar,
motivator yang tak pernah berhenti memberi wejangan, yang selalu memberi motivasi
secara gratis kini telah tiada lagi, lalu buat apa aku kuliah? Tapi aku harus bangkit, aku
tidak boleh berlarut-larut dalam kesedihan, aku harus meneruskan impianku untuk
memberangkatkan haji orang tuaku. Kata emak sebelum pergi bapak mencariku,
karena tidak ada aku beliau hanya berpesan "Agus kudu tetep kuliah, nik perlu lembu
kae dol.en, gak popo gawe sangune Agus" (Agus harus tetap kuliah, jika perlu sapi itu
jual saja, tidak apa-apa buat uang saku Agus), begitulah nasib anak bungsu yang
tinggal menikmati masa tua orang tuanya. Bahkan membahagiakan bapaknya saja
tidak sempat. Aku harus kuat, aku adalah anak lanang anak yang selalu di banggakan
bapak. Lagian aku juga baru pincang belum lumpuh dan masih ada emak yang harus
kubahagiakan. Minggu depan ada UAS semester 6 aku harus bergegas kembali.
Selangkah lagi aku lulus dan akan mewujudkan impian-impianku satu persatu.

Kalender ponselku menunjukkan angka 17 menandakan jika 2 hari lagi aku


wisuda. Iya, 19 September 2018, emak datang bersama kedua kakak dan kakak iparku.
Aku sangat bahagia meskipun tak ada lagi bapak di samping emak. Tapi tak mengapa,
semua yang pernah hidup pasti akan merasakan mati. Aku bersyukur setelah wisuda
sudah mendapatkan tempat untuk mengajar yang kebetulan berada di desaku sendiri.
Aku mengabdi untuk negaraku selama bertahun-tahun. Banyak sekali keinginanku
yang mulai terwujud diantaranya mendirikan perpustakaan gratis, les gratis, bahkan
membuka pintu lebar-lebar bagi anak-anak dan orang tua yang buta aksara untuk
belajar di rumahku sampai bisa dan telah banyak yang merasa terbantu olehku. 3
tahun kemudian aku mendaftarkan diri sebagai CPNS dan alhamdulillah lolos. Berkat
itu juga aku mampu berangkat haji bersama emak, mobil, rumah berlantai dua semua
sudah kudapatkan, aku telah berada di tahap Dandhang Gula, tapi aku juga harus tahu,
dalam hidup ini ada tahap Gambuh dan untuk merasakan tahap Gambuh aku harus
melewati tahap Asmaradhana. Hingga akhirnya kumenikah di usia 25 tahun. Pada
suatu hari aku bermimpi bertemu bapak, bapak tersenyum memakai baju putih,
bercengkrama denganku perihal kesuksesanku. Aku akan selalu mengingat dan
mempraktikkan wejangan-wejangan bapak, bapak pernah bilang "Ojo kuminter
mundak keblinger, ojo cidra mundak cilaka!" (Jangan merasa paling pintar biar gak
salah arah, jangan berbuat curang biar gak celaka), aku juga selalu memberi tahu
kepada murid-muridku jika ingin sukses jadilah kedelai di antara kerikil. Setidaknya aku
telah sedikit membantu negara ini dalam menciptakan generasi-generasi yang rajin
membaca dan itu hadiah dariku seorang anak yang lahir dari swasta untuk negeri ini.

***

Anda mungkin juga menyukai