Anda di halaman 1dari 7

SETITIK NODA DI KEINDAHAN

Cerpen Anisa Fitri Wulandari (170110201032)

Aku dibangunkan oleh cahaya yang menembus ruang kamarku. Terlintas


dipikiranku untuk tetap melanjutkan tidur tanpa melakukan kegiatan apapun.
Semua itu sirna ketika suara Ibu terdengar keras. Tanpa berpikir panjang aku
mulai membuka mataku. Kamar buru-buru kurapikan. Kamar mandi yang menjadi
tujuan utamaku. Aku melanjutkan dengan membantu ibu di dapur. Setelahnya aku
bersiap untuk kuliah. Perjalananku untuk sampai tak berlangsung lama. Aku
adalah seorang mahasiswi Universitas Jember, tepatnya Fakultas Ilmu Budaya.
Fakultasku ditumbuhi banyak pepohonan yang bisa menarik setiap mata. Udara
yang segar selalu menari-nari riang setiap harinya. Parkiran yang selalu rapi
nampak indah terlihat. Banyak sepeda yang sudah memenuhinya. Dengan mata
yang jeli mencari, aku menemukan sedikit ruang kosong untuk meletakkan
sepedaku. Akhirnya sepedaku ikut tersusun rapi bersama sepeda-sepeda lainnya.

Hijau yang menyejukkan mata mulai menarik perhatianku. Aku


dimanjakan dengan pohon-pohon yang rindang itu. Tanpa terburu-buru aku
menikmati perjalananku menuju ruang kelas. “Enek tugas tah?”, ujarku basa-basi
kepada teman yang duduk di sampingku. Aku tak mendengar suaranya, tapi
dengan gelengan kepalanya aku mengerti jawabannya. Sebuah benda mungil
sudah bisa merubah dunia. Tak banyak komunikasi yang terjadi hanya karena
sebuah gawai. Seperti memiliki dunia sendiri, komunikasi jarang terjadi. Tak
kupungkiri, ketika asik memainkan gawai aku juga sering lupa waktu. Tak
memperhatikan sekitar. Memiliki dunia sendiri. Bahkan tak sedikit orang berpikir
bahwa dunia maya cukup menyenangkan daripada dunia nyata. Kemajuan
teknologi ini berpengaruh terhadap interaksi sosial setiap harinya.

Tanpa menunggu lama, seorang dosen telah tiba. Awal kalimat yang
diucapkan ialah salam.
“Assalamualaikum saudara-saudara”, ujarnya penuh semangat.

“Waalaikumsalam pak” jawabku dan teman-teman dengan tidak kompak.

“Sudah pada sarapan belum?” tanya pak dosen dengan senyum ramahnya.

“belum pak” serentak teman-teman kompak menjawab pertanyaan yang satu ini.

Kemudian matakuliah berlangsung seperti biasanya. Ketika beliau menerangkan


tak semua mata tertuju padanya. Masih ada beberapa anak yang asik dengan
gawainya. Memang terasa jenuh jika kita harus selalu mendengarkan perkataan
orang lain. Dalam waktu seratus menit kami tak selalu mendengarkan materi apa
saja yang diucapkan. Tak jarang pula aku mencuri pandangan ke layar gawai.
Melihat postingan atau sekedar membalas pesan yang masuk. Waktu terus
berjalan, tak terasa bel sudah berbunyi. Tanda pelajaran telah usai.

Aku sengaja tak pulang ke rumah. Kakiku tiba-tiba melangkah menuju


kantin. Dengan semangatnya matahari bersinar tak seperti biasa. Udara yang
panas begitu terasa. Kuputuskan untuk membeli segelas minuman dingin agar bisa
membasahi tenggorokanku yang lumayan kering. Dari kejauhan ada tangan yang
melambai ke arahku. Tanpa sadar tanganku ikut melambai ke arah mereka. Aku
menghampirinya. Kusapa dengan lembut mereka semua. Lalu duduk bersama
mereka. Udara di kantin memang nikmat. Mata akan dimanjakan dengan
kehijauan pohon-pohon yang tumbuh di sana.

Ada yang kusayangkan. Di sini banyak tergeletak sampah di atas meja.


Kurangnya kesadaran mahasiswa membuat keindahan ini sedikit bernoda.
Makanan ringan atau gelas bekas minuman menghiasi setiap meja yang ada. Ada
pula piring makanan yang sengaja ditinggalkan, tetapi itu tak berlangsung lama
akan ada pegawai kantin yang membereskannya. Tersisa sampah-sampah itu
sendirian, tanpa piring. Pikiranku jauh melayang-layang. Andai setiap orang
memiliki kesadaran untuk menjaga kebersihan. Kubuang jauh-jauh pikiran itu.
Perbincangan dengan kawan-kawan kembali tercipta.

“Beritamu sudah ?” tanya Fiqoh kepadaku


“Belum, aku masih banyak tugas. Tapi aku ada sedikit gambaran isu yang bisa
ditulis” jawabku dengan semangat.

“Apa?” gantian mbak Yuniar yang menanyaiku.

“Kalo bahas sampah gimana, mbak? Aku kadang risih liat ada sampah di sini.
Aku pengen tau apa sih respon dari dekanat mengenai ini? Juga kan kalo hari libur
sampah daun-daun kering itu sangat berserakan” jelasku.

“Kalau hari libur petugas kebersihan juga libur, jadi memang kotor banget. Kalo
sampah-sampah ini kan bisa dibersihkan sama orang yang akan menempati meja
itu.” Katanya menerangkan.

“Apa gaada yang bisa dilakukan ya mbak. Misal ketika libur hari sabtu dan
minggu petugas kebersihan tetep masuk tapi ada uang tambahan gitu. Kan banyak
mahasiswa yang melakukan kegiatan di kampus meski sedang hari libur.”
Tanyaku singkat.

“Kalo itusih gatau. Tapi, menurutku isu ini gaperlu ditulis.” Katanya.

Aku tak tahu seperti apa mukaku kala itu, yang jelas aku kecewa. Meski hanya
daun kering itu sangat bisa merusak pemandangan yang ada di sini. Kami
melanjutkan perbincangan dengan topik lain. Dengan tak semangat aku hanya bisa
mendengar apa yang mereka ungkapkan. Pikiranku jauh melayang meninggalkan
ragaku sendirian.

Kring kring kring....

Bel berbunyi, kuputuskan untuk masuk ke ruang kelas. Seperti biasanya


aku mendengarkan penjelasan materi yang disampaikan dosen sambil diselingi
membuka gawai. Akhirnya matakuliah hari ini sudah berakhir. Kakiku
mengajakku langsung ke tempat parkir. Sepedaku seolah memanggil hingga aku
langsung menuju ke arahnya. Sesampainya di sepeda, aku kebingungan dimana
aku meletakkan kunciku. Kucari keseluruh tasku tapi tak kunjung kutemukan.
Akhirnya aku memutuskan untuk melangkah ke belakang menuju salah satu
sekret yang ada di fakultasku. Kumainkan gawai dalam perjalanan menuju ke
sana. Kubuka pesan-pesan yang masuk. Ada yang sekedar kubaca, ada pula yang
kubaca lalu kubalas. Sesampainya di sana aku menanyakan apa ada yang melihat
kontakku.

“Gaenek, coba di golek i sek” ujarnya

“Ora enek ki” kataku sambil membuka kembali isi tasku. Setelah itu kuraba
kantong dicelanaku. Ternyata disana kontakku bersembunyi. Dengan sedikit
tertawa aku memandang teman-teman sambil mengangkat kunci sepeda motor
yang sedang kucari.

“Mangkane lain kali ki digolek sek” jelasnya

“Yowes, aku tak muleh sek” ungkapku dengan senang karena kontakku telah
ditemukan.

“Sek sek ojok balik sek. Enek seng ape tak obrolno” sekarang orang yang berbeda
yang mengeluarkan kata-kata. Dengan mukanya yang serius aku sedikit heran dan
penasaran apa yang akan dikatakan. Akhirnya kuputuskan untuk kembali duduk di
dalam sekret.

“Enek opotoh?” penasaran mulai tampak diwajahku.

“Enek renovasi lapangan karo panggung terbuka, jarene sih bakalan enek
renovasi sekret misan” kulihat mukanya cukup senang akan berita yang baru saja
ia sampaikan.

“Ealah yowis, syukur lek fakultase adewe dadi tambah apik mengarepe. Aku tak
balik sek soale wes dienteni. Sesok ae lek arepan ngobrol-ngobrol.” Kataku
sambil berdiri dan menyalami teman-teman. Tak lupa kuucapakan salam sebelum
meninggalkan sekret. Saat melintas ke lapangan dekat kantin memang benar ada
beberapa tukang yang siap merenovasi lapangan. Kulihat juga panggung terbuka
sudah mulai dicat. Mendengar kabar tadi aku cukup senang. Aku berharap
keindahan akan bertambah. Sesampainya di rumah aku melempar tubuhku ke
tempat tidur. Aku lelah hingga aku terlelap.

Aku terkejut dengan suara ponakanku yang berusaha membangunkanku.


Ternyata hari sudah pagi. Astaga aku tertidur cukup lama. Tapi anehnya tak ada
sedikit mimpi yang mampir dalam tidurku. Seperti biasa di pagi hari aku
membantu ibu, lalu bersiap kuliah.

“arep nandi?” kata ibu yang tiba-tiba muncul di kamarku.

“arep nang kampus buk, wonten nopo to?” jawabku

“wong dino sabtu kok sek nang kampus wae? Enek jam pengganti ta?” tanya
ibuku

“loh iyo aku lali saiki dino sabtu, takiro jumat. Tapi rapopo buk, aku arep nyang
sekret soale enek seng kudu tak marekno” kataku menjelaskan

“yowis atia-ati, lek mari langsungo balik” kata ibu, kujawab dengan anggukan
lalu ibu perlahan meninggalkan kamarku.

“Ojo lali sarapan sek sak urunge budal” suara ibu terdengar sangat keras
ditelingaku.

Kuputuskan mengambil piring dan mulai menghabiskan makanan yang sudah


dibuat ibu dengan susah payah. Aku terkesan meski dalam keadaan sakit ibu
masih peduli denganku. Beliau masih sempat menyiapkan sarapan tanpa
menghiraukan sakit yang dialaminya. Aku mengajak diriku berbicara, kelak aku
akan menjadi seperti ibu.

Kupanaskan sepeda sebelum aku memakainya. Kuikat dengan kuat tali


sepatuku, serta kucium tangan kedua orang tuaku. Sepeda kusetir dengan pelan
tapi pasti. Kunikmati setiap jalan yang kulewati. Aku terhenti saaat lampu merah
telah menyala. Jalan raya dekat rumahku sudah diperbaiki. Aku senang
melihatnya tetapi karena sudah bagus banyak orang yang malah mengendarai
kendaraannya dengan sangat keras. Semoga tidak terjadi apa-apa kataku pada diri
sendiri.

Kulewati perjalanan dengan santai, kunikmati setiap pemandangan yang


singgah dimataku. Hingga aku sampai. Karena ini hari libur, sengaja kulewati
parkiran. Aku parkir di halaman belakang. Agar tak jauh kaki ini melangkah.
Sejauh ini yang terlihat hanya daun-daun kering yang jatuh tertiup angin. Memang
ini hari libur sehingga tak ada yang membersihkannya. Jujur ini mengganggu
pandanganku. Senyumku memudar. Kukunci setir sepedaku. Aku mampir
sebentar di payungan fakultasku. Di sana kudapati sampah-sampah makanan. Aku
hanya heran memandanginya. Mengapa kurang kesadaran manusia-manusia ini.
Padahal kita sudah mahasiswa. Tapi tak sedikit dari kita yang bisa peduli terhadap
lingkungan sekitar. Aku bertanya-tanya mengapa kepekaan seseorang terhadap
lingkungan lambat laun memudar? Mengapa hanya segelintir orang saja yang bisa
menjaga lingkungan? Sama seperti kemarin pertanyaanku ini aku tak tahu
jawabannya. Meski aku bukan orang yang cukup peduli dnegan lingkungan
sekitar. Tapi aku miris melihat ini. Aku harus memulainya. Jika aku sudah bisa
peduli baru aku bisa mengajak teman-teman lain. Kuambil sampah maknan itu
lalu kubuang ditempat sampah. Aku juga melihat isi tasku. Ada beberapa bungkus
permen disana. Ya ketika aku malas membuangnya aku menyimpannya di dalam
tas Lalu aku pasrah kemanapun langkah kaki akan membawaku. Belum sampai
sekret tiba-tiba kakiku terhenti. Mataku seketika menoleh ke arah lapangan yang
sudah diperbaiki. Kupandangi ia lama-lama. Ada yang kurang pikirku. Tapi aku
tak tau dimana letak kekurangannya.

Kutengok sekretku belum dibuka. Akhirnya aku duduk disalah satu


bangku kantin. Memang meski hari libur banyak mahasiswa yang masih ke sini.
Entah karena kepentingan organisasi, mengerjakan tugas, bertemu kawan-kawan,
atau sekedar menikmati layanan wi-fi. Kupandangi sekali lagi lapangan itu. Indah
tetapi ada yang kurang. Kuamati dengan betul. Akhirnya aku tahu. Bukan
lapangan itu ada kurangnya, tetapi di samping lapangan itu masih berantakan. Aku
bertanya pada diriku sendiri mengapa tak semua yang diperbaiki? Mengapa daun-
daun kering ini dibiarkan ketika hari libur? Mengapa jejeran sekret-sekret itu tak
sedap dipandang mata?. Ini hanya sekedar pertanyaan yang aku sendiri tak tahu
jawabannya.

Anda mungkin juga menyukai