Anda di halaman 1dari 7

Kilas Balik Kenangan

Tugas ini disusun untuk memenuhi Ujian Praktik Mata Pelajaran Bahasa
Indonesia

Disusun oleh:
Shaffa Audy Azahwa Prasetya
Kelas/No. Absen: XII IPA 4/29

SEKOLAH MENENGAH ATAS NEGERI 11 SURABAYA


JALAN PERUMNAS TANDES 1 MANUKAN KULON
SURABAYA
2024
Cahaya senja telah tenggelam dikaki barat. Gelap tak lama lagi akan
datang menyapa kehidupan. Lantunan ayat-ayat suci berkumandang menghiasi
jagat dirgantara. Bintang-bintang tumpah di langit. Bulan sabit dengan malu-malu
muncul dari balik selembar awan. Aku mematikan motor matic-ku lalu
memarkirkannya di depan rumah. Kulangkahkan kaki masuk ke dalam rumah
secara gontai. Terdengar suara bising penyiar berita yang dihiraukan oleh
pendengarnya. Mau tak mau tujuan utamaku menuju kamar harus disampingkan
terlebih dahulu.

"Pa, papah.. ayo pindah ke kamar saja, sudah malam," kataku sedikit
keras.

Sayup-sayup terdengar suara lenguhan, "Kok baru pulang nak, darimana


saja hingga larut begini?" katanya sambil menegakkan badan.

"Habis ngerjain tugas kelompok untuk ujian praktek minggu depan pa,"
kataku terdengar lemas.

"Kamu sudah makan belum? Wajahmu kelihatan letih sekali. Mamamu


tadi menyiapkan makanan kesukaanmu di meja, makanlah dulu sebelum ke
kamar," ucap papa.

Dengan sisa energi yang ada kujawab sambil berjalan menjauhinya,


"Tolong masukkan saja ke lemari es, besok pagi saja kumakan. Lalu.. papa cepat
ke kamar juga ya, malam pa."

Akhirnya sampai juga aku ke tempat yang kuidamkan seharian ini.


Hembusan angin yang berasal dari pendingin ruangan menusuk tubuhku dengan
tajam. Kulepaskan begitu saja beban berat dipunggung yang membuatku lelah.
Tak kupikirkan lagi badan yang lengket setelah seharian beraktivitas. Pandangan
mataku tak lepas dari sebuah benda persegi panjang empuk ditengah ruangan yang
kucapai dalam lima langkah saja. Bruk.. rasanya nyaman. Tak butuh waktu lama,
alam bawah sadarku pun mengambil alih setelahnya.


Sayup-sayup suara lantunan merdu membuka awal pagi yang cerah. Suara
pisau yang beradu dengan bahan masakan terdengar mengiringinya. Matahari
muncul perlahan dengan malu-malu dari balik awan. Perlahan aku membuka mata
yang terasa berat, yang pertama kulihat adalah warna putih dari warna langit-
langit kamarku. Kepalaku terasa pusing, pandanganku berputar-putar. Namun
perlahan semua kembali normal.

"Nduk, Audy.. ayo bangun. Ndang mandi trus turun ke bawah."

Terdengar suara seorang wanita paruh baya yang biasa kupanggil dengan
sebutan Mbah Ndut. Berperawakan sedang, badan berisi, dan memiliki satu tahi
lalat dibagian kanan hidungnya, itulah alasanku memanggilnya Mbah Ndut.

Kumunculkan sedikit kepalaku di pintu kamar yang terbuka sembari


menjawab, "Iya sudah bangun, mbah. 15 menit lagi aku turun."

Tak lama setelah itu, langkah kakiku yang terburu-buru menuruni tangga
membuat perhatian Mbah Ndut teralihkan padaku sejenak. Kemudian dengan raut
marah ia berkata, "Pelan-pelan dy, kebiasaan. Sudah dibilangi bolak-balik kalo
turun tangga itu mbok yo pelan-pelan."

"Iyaa, Mbah Ndut yang paling cerewet," ucapku cengengesan sambil


memeluk lengannya.

"Cepet duduk manis, ayo makan trus berangkat sekolah. Kamu hampir
telat lo ini," ucapnya yang tak bisa kubantah.

Seperti itulah aku mengawali pagi hari semenjak duduk di bangku sekolah
dasar. Jika kalian bertanya, mengapa bukan mama yang membangunkanku?
Jawabanku sederhana saja, karena dari kecil aku dirawat oleh Mbah Ndut maka
perlahan peran kecil yang biasanya dilakukan oleh mama-mama pada umumnya
tidak berlaku padaku. Aku, anak perempuan pertama di keluarga Prasetya, Shaffa
Audy Azahwa dibesarkan dalam keluarga yang katanya "cemara". Roda
kehidupanku pun berjalan seperti orang awam tanpa peran mama didalamnya, dan
aku mulai terbiasa oleh itu.
Datanglah hari yang penuh kejutan bagiku, hari itu tanggal 17 November
2016. Matahari berada tepat diatas kepala membuatku semakin ingin cepat sampai
rumah setelah seharian berkutik dengan tugas di sekolah. Langsung saja kuketuk
pintu berwarna cokelat tua didepanku. Nihil. Tak ada satu pun sautan atau
sambutan hangat yang biasa kudapatkan dari Mbah Ndut.

"Assalamualaikum, mbah. Aku pulang," kataku keras namun tetap


keheningan yang menjawab. Kucoba membuka pintu. Ceklek. Bingung rasanya
tapi tetap kulangkahkan kaki menuju kamar si mbah, tujuan utamaku. Setelah tiba
diambang pintu dengan riang ingin kuceritakan hal apa saja yang terjadi hari ini
padanya.

"Mbah Ndut, ayo pergi ke pasar sore nanti. Ayo belikan jajan untukku, aku
pengen beli arum ma.." Dalam sekejap aku mematung. Yang kulihat saat itu
sungguh diluar dugaan. Sontak kulepaskan tas dan lari menuju Mbah Ndut yang
tergeletak dengan mulut penuh busa.

"Mbah.. kenapa.. ayo bangun," hanya kalimat itu yang keluar dari mulutku
untuk beberapa saat. Berulang-ulang terucap, hingga perlahan pandangan mataku
buram terhalang air mata.

"Tolong mbahku.. tolong.. tolong!" pecah sudah tangisku. Terbirit-birit


aku pergi mencari bantuan. Beruntungnya ada seorang tetangga laki-laki
seumuran papa tengah berdiri di teras rumahnya.

"Om, tolong.. Mbahku.. cepat om," kataku parau sambil menarik


tangannya sepihak. Kulihat raut bingung terpancar jelas diwajahnya.

"Eh.. kenapa ini? Mbahmu kenapa?" ucapnya memasang wajah bingung.

Sampailah kami di kamar Mbah Ndut, "Ayo tolong mbahku om..


bangunkan mbah.." kataku memohon.

Dengan penglihatan buram, kulihat dia yang ikut panik mengeluarkan


handphone dan menekan nomor darurat. Perasaan panik, takut, sedih
menyelimutiku bersamaan. Aku yang pertama kali melihat Mbah Ndut dengan
kondisi seperti itu merasa panik. Aku takut jika terjadi suatu hal buruk pada Mbah
Ndut. Aku yang hanya bisa duduk diam meratapi kepergiannya ke rumah sakit
membuat perasaan sedih meremas hatiku. Ditengah perasaan campur aduk itu,
datanglah seorang wanita dengan setelan kantornya menghampiriku. Matanya
yang sembab dan penampilan berantakan bagaikan cermin bagi diriku saat ini.
Kemudian sebuah pelukan kudapatkan darinya, pelukan yang terasa hangat untuk
kali pertama.

"Audy, bagaimana bisa kondisi ibu bisa seperti itu?" tanyanya masih
mendekapku.

"Aku nggak tahu, Mbah sudah tidak sadarkan diri saat aku
menemukannya," jawabku pelan. Baru kusadari satu hal lalu sontak saja
kulontarkan pertanyaan.

"Bagaimana keadaan Mbah Ndut, ma? Baik-baik saja kan, aku kan sudah
berdoa agar Mbahku sehat selalu. Aku ingin bertemu Mbah sekarang. Dirumah
sakit mana? Ayo jawab, ma!" tekanku pada mama yang tak bisa kutebak raut
wajahnya.

"Sstt.. tenang dulu nak, ibu sekarang sedang ditangani oleh para dokter.
Mama juga belum tahu bagaimana keadaannya," jawabnya seraya
menenangkanku.

"Mbah dirawat di rumah sakit mana? Ayo kesana sekarang juga," kataku
sembari mengusap kasar air mata yang terus menerus keluar. Kemudian aku
beranjak berdiri dan kutarik tangan mama menuju pintu.

Baru selangkah aku berjalan, sudah terhempas kasar tanganku oleh mama,
"Kendalikan dirimu Shaffa Audy! Ibu sedang berada diruang ICU, percuma saja
kamu berada disana. Lebih baik kamu diam saja disini, dan perbanyaklah doamu
pada-Nya," bentaknya.

Seakan diciptakan tanpa tulang, tubuhku langsung ambruk beserta isakan


tangis yang semakin terdengar pilu. Kurasa bahwa mama akan memelukku sekali
lagi. Tanpa diperintah sontak saja tubuh ini menjauhinya. Tangan mama melayang
memeluk angin. Rasanya sesak sekali. Aku ingin pergi melihat mbah malam ini.
Aku ingin meceritakan kegiatanku hari ini padanya seperti biasanya. Aku ingin
melihat tanggapannya yang hanya tertawa ringan mendengar celotehanku atau
nasehatnya yang sampai bosan kumendengarnya. Aku ingin terus dirawat
olehnya. Perasaanku amat bahagia bisa bersamanya.

Kusandarkan tubuh ini pada dinding belakang. Kupeluk kedua lututku,


perlahan kepala ini menunduk bersembunyi dari kenyataan. Terdengar suara
langkah kaki menjauhiku. Sudah kuduga ini akan terjadi. Aku sendirian lagi,
untuk kedua kalinya. Ya Tuhan, tolong berikan hambamu ini kesempatan sekali
lagi untuk bertemu dengan orang yang paling kusayangi. Hamba mohonkan
dengan sepenuh hati, berharap engkau mengabulkan doa hambamu ini. Racauanku
dalam hati pada Yang Kuasa. Tak kusadari alam bawah sadarku mengambil alih
setelahnya.

Ngiingg, suara berdengung membangunkanku. Mataku terbuka sedikit


demi sedikit. Selembaran kain tebal yang menutupi tubuhku mulai diturunkan
oleh seseorang yang selalu kulihat setiap hari saat ini. Sebuah alat pengecek suhu
ditaruhnya diantara ketiakku. Tangannya yang cekatan memeras sebuah kain lalu
meletakkannya diatas keningku. Ah, ternyata aku demam. Kulihat ia segera
beranjak dari kasur. Langsung saja kutahan pergelangan tangannya. Ia adalah
mamaku.

"Ma.. dimana Mbah Ndut? Aku ingin bertemu dengannya," kulontarkan


pertanyaan dengan suara yang lemah.

"Gara-gara demam, kamu jadi berbicara melantur. Tunggu sebentar ya,


mama ambilkan makanan dan obatmu," jawabnya sembari keluar kamar.

Mataku menjelajah seluruh bagian kamar. Pandanganku terhenti pada


sebuah kertas putih yang tergantung di dinding. Terdapat lingkaran merah pada
salah satu angka. Hari ini, tanggal 21 November 2023 merupakan hari kematian
Mbah Ndut sejak 7 tahun yang lalu. Deg. Jantungku rasanya berhenti sejenak.
Pikiranku kembali ke masa lalu. Perasaan kehilangan seseorang yang kita sayang
nyatanya tak akan pernah pudar. Apalah daya kita apabila Yang Kuasa telah
bekehendak.
Kenyataan bahwa yang kurasakan semalam adalah mimpi mulai
melingkupiku. Mungkin ini adalah petunjuk bagiku untuk segera
mengunjunginya. Mbah Ndut ingin cucu perempuan kesayangannya ini datang.
Kuedarkan kembali pandangan mataku. Perlahan kutatap bingkai foto kecil diatas
nakas tepat didepanku. Ada dua orang perempuan yang terpaut jauh umurnya
sedang berbagi tawa di halaman depan rumah ini. Kedua sudut bibirku terangkat
kemudian. Teringat kenangan dulu bersama Mbah Ndut.

Lima menit kemudian, mama kembali dari dapur membawa semangkuk


bubur dan segelas air minum. Tak banyak bicara, tangannya mulai menyuapiku.
Satu suap, dua suap, hingga suapan kelima, raut wajahku menyaratkan penolakan.
Diturutilah permintaanku. Lalu ia meyodorkan 2 pil obat dan menyuruhku untuk
menelannya bersama air. Hubunganku dengan mama yang awalnya senggang
bagaikan bunga yang kering, kini telah bermekaran dengan baik. Semua itu terjadi
karena ada perasaan yang berhasil membangun kembali rasa sayang, nyaman, dan
senang berada didekat mama.

Kehilangan memang bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi ditinggal


pergi orang yang kita sayang. Tetapi kita diharuskan untuk belajar merelakan
tanpa terus menyalahkan keadaan. Kita dituntut untuk meneruskan hidup oleh
sang pencipta. Jujur memang menyakitkan mengingat semua memori bersama
orang yang kita sayang ketika ia pergi begitu saja. Masih teringat jelas
kebersamaan yang pernah kita rasakan. Tetapi disamping itu, akan ada hal baik
yang akan datang setelahnya. Sebab yang diatas pasti tahu sampai mana batas
kemampuan kita. Percayalah, seperti pelangi yang datang sehabis hujan,
kebahagiaan akan menampakkan dirinya setelah kesedihan.

Anda mungkin juga menyukai