Anda di halaman 1dari 4

“Sandykala”

“Ini tentang aku, yang belum bisa mengartikan sandykala itu sendiri, mengikhlaskan dan
menerima segala hal yang pernah terjadi pada diriku dimasa lalu. Menerjemahkan segala
rasa sakit dalam bentuk keindahan yang akan datang”
Sandykala:https://open.spotify.com/playlist/7dHCeFxedOjPNFVMMQJjzu?si=Pv0lX7b-
R9669k1baRwtdw&utm_source=copy-link
“Pecundang sepertimu tidak berhasil dikemudian hari!” Teriakan dan cacian kalimat itu
mengisi penuh dikepala ku dengan sangat jelas, seolah-olah mengitari dan memenuhi langit-
langit isi kepala ku dengan sangat jelas, menyuruhku untuk mati dan tak layak hidup
memberikan saraf-saraf otakku terdriktasi untuk melakukannya dengan cepat. Darah segar
dilenganku mengalir dengan sangat deras hingga menodai keramik putih bersih lantai
kamarku yang gelap dan pengap. Kutatap iba sayatan kecil dilengan kananku dengan puas.
“Andri cepat keluar, jangan malas-malasan dikamar terus, mau jadi anak seperti apa kamu!”
Suara lantang ibuku memanggil dari arah dapur yang sepertinya sedang mempersiapkan
sarapan untuk kami bertiga dirumah, aku adikku yang bernama vero dan ibuku. Ibuku yang
Bernama lasmi adalah seorang ibu rumah tangga, namun juga mengambil upah mencuci dan
terkadang menerima pesanan membuat tas anyaman. Vero Nasdala, adik lelakiku yang
berumur 14 tahun dan sekarang dia bersekolah di salah satu Sekolah menengah pertama
negeri yang terkenal dikotaku. Sementara ayahku? Beliau sangat jarang dirumah karena
pekerjaannya sebagai supir taxi yang harus pulang pergi dari daerah satu ke daerah lainnya.
Kuberdiri dengan posisi badan masih lunglai, darah-darah segar ini masih mengalir
ditanganku. Ku raih selembar tisu dan membersihkan darah yang mengalir dari sayatan-
sayatan kecil yang kubuat. Beberapa menit yang lalu seperti tak ada yang terjadi, aku tak
sadar denga apa yang terlewati dan kulalui, inilah yang biasanya kurasakan. Aku seperti
orang tidak waras yang terkadang bisa menangis sendiri dan tiba-tiba bisa biasa saja. Namun
saat itu semua akan datang, bayang-bayang tentang rasa sakit dari diriku dimasa lampau,
ketakutan, kekhawatiran dan rasa pedih yang begitu menyayat membuat merasa adalah
manusia paling menjijikan di dunia yang seakan syaraf-syaraf otakku seolah menyuruhku
untuk mengakhiri semua kegelapan malam yang aku rasakan itu. Selayaknya malam, orang-
orang berkata bahwa itu merupakan waktu paling dan tentram yang paling mereka nanti.
Namun tidak dengan aku, aku membenci malam itu hadir, membawa segala cerita-cerita yang
tak ingin aku ingat, cerita dan bagaimana peristiwa-peristiwa tragis itu hadir dihidupku, aku
juga membenci gelap. Aku benci dengan semua hal yang berhubungan dengan malam dan
gelap, mereka adalah rasa sakit yang tak ingin aku ingat, cerita dimana semua ini dimulai.
Masa kelam dimana aku adalah seorang korban pembullyan secara verbal maupun non
verbal, masa dimana aku enggan untuk sekolah, enggan untuk berteman dan bertemu orang-
orang itu. Sakit fisik, sakit hati dan lainnya dirasakan olehku, tak pernah terbayangkan olehku
bagaimana aku untuk melawan mereka yang sangat banyak itu. Pasrah dan menangis, hanya
itu yang bisa kulakukan, namun orang-orang itu tak pernah memperdulikan bagaimana sakit
dan tersiksa yang kurasakan. Jangan hujat aku kenapa tidak melawan, dengan jumlah
sebegitu banyak dalam angka perhitungkan ada 15 orang. Apa yang terjadi dengan diriku
sekarang bukan hanya berasal dari mereka, namun juga dari orang tersayang, terdekat dan
bahkan kupercaya. Maka pada kisah ini, menjadi sebuah makna belaka dengan hanya sebuah
angan-angan yang enggan aku ceritakan. Aku dan diriku terbiasa dengan rasa sakit yang ada.
Kulangkahkan kakiku menuju arah kamar mandi untuk segera berbenah, karena hari ini
adalah jadwalku untuk ke psikiater. Obat penenang ku juga sudah habis, juga banyak hal
yang aku pendam beberapa bulan ini. Ya, mungkin kalian agak kaget kenapa setelah
beberapa bulan aku baru konsultasi ke psikiater lagi, itu karena aku mencari uang dan
mengumpulkan uang untuk biaya pengobatan dan obatnya. Aku tak pernah seperspun
meminta kepada orang tuaku untuk membayarkan biaya pengobatan dan obatku, karena pada
dasarnya aku tak percaya dengan mereka dan tak pernah menganggap mereka adalah rumah
yang aku cari selama ini. Rumah-rumah yang kupunya juga sudah usang dan hancur
berkeping-keping beberapa bulan yang lalu. Beberapa waktu telah berlalu, akupun telah
menyelesaikan mandiku, aku bergegas untuk berpakain untuk segera pergi. Setelahnya ku
berpakaian, aku menuju arah dapur untu makan terlebih dahulu. Sampainya aku disana, ibuku
membuka percakapan dengan bertanya “Dri mau kemana kamu? Bukannya pagi ini kamu
belum ad akelas ya setau ibu?” aku lupa, bahwasanya ibuku mengetahui jadwal-jadwal
kelasku. Namun bukan Andri Namanya kalo tidak punya 1001 alasan ala Zaskia gotik,
“Andri ada kelas tambahan sama ada tugas kelompok, Namanya juga mahasiswa semester 5
tugas itu banyak banget bu, jadi yaw wajar-wajar aja aja andri sering ada kelas tambahan atau
bahkan tugas-tugas kelompok yang ribetnya minta ampun” sambal kucomot roti bakar
dengan selai nanas yang telah dipersiapkan oleh ibuku. “Ya udah kalo gitu andri pergi dulu
yaaaa” ibuku membalas perkataanku “Hati-hati dijalan, pulang jangan terlalu malam” aku
tersenyum dengan sangat tulus “siap ibuku yang paling cantik”, walaupun terkadang
perkataan atau ucapan ibuku sangat menyakitkan, namun aku sangat menyayangi. Berbeda
dengan ayahku, sedikitpun aku tak pernah menggapnya sebagai sosok ayah, setelah apa yang
pernah dilakukannya padaku dan ibuku dimasa lampau, aku enggan memaafkannya, Wanita
simpanan ayah itu membuat sudut pandang ku tentangnya menjadi berbeda. Terlihat di sofa
ruang tamu, beliau duduk sembari menikmati secangkir kopi hangat pagi. Mataku enggan
menoleh kearah sana, seolah digerakan syaraf motoric akal sehat dan rasa sakitku, aku pun
tidak berniat pamit atau bahkan izin untuk pergi kepadanya. Kujejakan kaki ku sampai
kedepan rumah dan segera memasang sepatu dan beranjak pergi.
Tak berselang lama dalam perjalanan, sampailah aku ketempat praktiknya. Aku menuju
ke ruangan beliau karena akunjuga sudah mengatur jadwal, itu juga karena aku telah diteror
dr.syifa yang mengkhawatirkan keadaan ku dalam beberapa waktu yang lalu. “Hai andri,
silahkan duduk sudah lama kita sudah tidak berjumpa” ucapnya dengan memberikan senyum
yang membuatku sangat tentram melihatnya. “Halo dok” jawabku dengan memberikan
senyuman terbaikku untuk menutupi apa yang telah terjadi beberapa waktu yang lalu, aku
pun duduk dikursi yang berada didepan mejanya dr.syifa. Sepertinya beliau sudah tau dan
mengerti apa yang terjadi denganku “Hai andri, boleh ibu liat tanganmu? Apakah kamu
melukis bunga-bunga lagi disana dan memberikan hiasan Pelangi yang yang sering ibu
bilang?” tanyanya dengan sangat tenang. Aku menjulurkan tanganku kepada dr.syifa, beliau
menetaskan air mata, seakan bisa merasakan tiap kepedihan dari sayatan-sayatan yang aku
ciptakan. “Andri” Panggilnya dengan tersenyum “Andri tau, andri adalah orang terkuat yang
pernah ibu temui, ibu bisa merasakan segala malam dan kegelapan di isi-isi kepala andri,
mata andri memberikan ibu semua jawaban itu. Andri tau?andri adalah orang hebat yang
sampai hari ini masih bertahan, ibu tau ini semua berat. Tapi Andri, ayo sama-sama kita
sembuhkan ini ya? Ibu dan Tuhan akan ada selaku Bersama andri, dalam genggaman tangan,
kuatkan diri Andri, Andri harus bisa mengartikan semua yang terjadi, menerjemahkannya
dalam suatu hal yang disebut keindahan yang akan dating, senja tak selamanya akan pergi
meninggalkan Andri, malam juga tak selamanya memberikan kepedihan. Senja pergi
mempersiapkan hal yang paling terindah yang bahkan mungkin Andri tidak pernah tau
bagaimana keindahan itu akan menghampiri Andri. Mari Andri liat dan nikmati sandykala
sore ini dan seterusnya, temukan jawabannya. Tentang rasa sakit dan kepedihan yang Andri
rasakan, terjemahkan segala isyarat-isyarat yang ada. Andri pada akhirnya akan mengerti
bagaiman semua terjadi dan menemukan satu kata kunci untuk Andri dapat sembuh. Dengan
ini, mari sama-sama sekali lagi kita berjuang bersama untuk Andri”.
Ucapan dr.syifa sedari siang masih terlintas dikepala, kutatap lamat-lamat senja didepan
mataku, diatas rooftop Gedung berlantai 4 ini, aku menikmati dan membiarkan sedikit demi
sedikit rasa hangat yang aku rindukan, seakan memberikan pelukan yang sangat aku idamkan
dari setiap orang yang aku sayang. Aku menetaskan air mata dengan sangat deras, aku
menikmati dan membiarkan senja sore ini mendekapku dengan sangat hangat. Kubuka
perlahan mataku yang telah basah karena air mata, ku liat dari arah langit-langit senja, bayang
tentang semua yang terjadi dimasa lalu, tentang aku yang dibully, kemudian tidak dipercaya,
dihukum dengan sangat keras, ayahku yang berselingkuh, sahabat terbaikku pergi, rumah
yang paling naymanku telah pergi, ku artikan segala bayang-bayang itu dan kuresapi dengan
sangat dalam. Satu kata yang terlintas dikepala dan benakku “Ikhlas”.

“Hai, ini aku yang telah berhasil berdamai dengan malam dan berhasil menerjemahkan
Isyarat-isyarat sandykala”
Abang Ardhi Wiranto, seorang mahasiswa yang hobi menulis sejak SMP. Wiranto, begitu
panggilannya, bisa dihubungi melalui email abangwiranto499@gmail.com ataupun melalui
instagramnya @its_wira00

Anda mungkin juga menyukai