Tubuhku masih tergolek diatas kasur empuk dengan mata terpejam seakan tak
ingin mengakhiri sisa-sisa malam yang perlahan habis. Ingatanku dengan segar
mem-flash back kejadian menakjubkan di malam ini namun kurasakan dengan
pasti sinar matahari telah mengintip, memaksa menerobos masuk melalui celah-
celah jendela seakan ingin mengingatkan kalau hari tak lagi malam. Dengkuran
halus terdengar dari orang yang rebah di sampingku.
Seulas senyum tersungging di bibirku. Masih dengan mata terpejam, kugerakan
tangan dan dengan lembut jari-jari halusku mulai menelusuri lekukan wajah di
sampingku. Aku mengenal lekukan wajah dan mengenal setiap bagian dari
tubuhnya dengan baik dan bahkan sangat baik. Aku mengenali semua yang
merupakan bagian dari dirinya seperti aku mengenali diriku.
Tadi malam, di tempat itu, ketika rembulan dengan malu-malu menampakan diri,
ketika gemintang berkelip tajam tanpa terhalang mendung, ketika malam
semakin pekat, ketika suara jangkrik dan binatang lainnya bersahutan jauh di
luar sana, ketika angin berhembus lirih, ketika tembok dan seluruh isi di kamar
itu diam membisu, aku dan dia terhanyut, larut dalam kerinduan yang makin
berkarat.
Kerinduan akan keindahan yang selama ini selalu kami inginkan, kerinduan akan
saat-saat seperti itu, yang ternyata terjadi bahkan setelah bertahun-tahun
perpisahan. Tak ada suara, tak ada kata-kata. Kebisuan kami menambah
bisunya ruangan itu. Hanya desahan nafas yang memburu, bertarung dengan
gelapnya malam yang kian pekat.
Ia mampu mengubah rasa jijik, risih, terganggu, atau rasa perih hati menjadi
sebuah keinginan dan harapan untuk terus bisa merasakan damainya malam ini
di malam-malam lainnya. Betapa keinginan itu terus membara, betapa keinginan
itu tak pernah padam meski tahun-tahun telah aku lewati dengan berbagai
dinamika kehidupan.
“Pagi…,” sapanya dengan suara serak yang langsung mendapat jawaban dari
seberang.
“Ya, Papa baru bangun. Seminar kemarin sangat menguras energi sehingga
terasa melelahkan,” ujarnya.
“Apa? Hp Papa mati? O…ya, tadi malam sengaja dimatikan supaya tidak
mengganggu istirahat Papa. Papa terlalu capek hingga tertidur lelap dan tidak
tahu lagi apa yang terjadi hingga Mama membangunkanku.” kulihat keningnya
berkerut mendengar ocehan dari ujung sana.
“Ya…ya, Papa usahakan segera pulang. Mungkin sore atau malam ini akan tiba
dirumah. Okay, baik-baik dirumah ya, byebye, mmuach…,” katanya yang dengan
segera mengakhiri pembicaraan tersebut dengan meletakkan kembali telpon
genggam itu pada tempat semula. Tanpa berkata apa-apa ia menarik selimut
yang sedang kupakai dan kemudian membenamkan tubuhnya ke dalam selimut
tersebut.
“Aku tak ingin pagi ini berakhir. Aku tak ingin lagi melewati malam-malam
tanpamu. Aku ingin… aku ingin selalu merasakan indahnya tadi malam,” ucapku
tersendat.
“Kita tak ingin saat indah ini berakhir. Kita tak ingin mengakhiri malam,
mengakhiri pagi dan mengakhiri segalanya. Dulu pun kita tak ingin mengakhiri
kebersamaan kita meski kemudian semuanya berakhir,”
“Berjanjilah bahwa akan selalu ada hari lain, malam lain, dan kita akan selalu
saling memiliki,”
“Aku tak menyangka kita akan bertemu lagi setelah bertahun-tahun perpisahan
yang menyakitkan itu. Dan di sinilah kita sekarang, di sebuah tempat yang dulu
selalu kita idam-idamkan. Apakah aku bermimpi?” desisnya.
“Tidak, kau tidak bermimpi, kita tidak sedang bermimpi. Kita sedang berusaha
mewujudkan impian dan harapan kita dan aku yakin kita akan bisa
melakukannya bersama-sama seperti apa yang kita inginkan dulu,” ujarku penuh
semangat.
Ia terdiam. “Aku tahu kau terluka. Aku pun begitu. Kita sama-sama terluka.
Hanya saja aku tidak bisa mencucurkan dan bersimbah air mata sepertimu…”
katanya tercekat, “Aku tak pernah berhenti mencintaimu. Tapi ingatlah, kita
masing-masing telah mempunyai keluarga dan tidak bisa meninggalkan mereka,”
lanjutnya kemudian.
“Kapan seminarnya berakhir, Ma? Cepat pulang ya, Nia kangen…,” rengek suara
dalam telpon genggamku. Aku tertegun. Mataku menatap tajam, membelah
matahari yang kian memerah.