Anda di halaman 1dari 4

Awan hitam tebal menggantung dilangit sore menemani guyuran hujan yang disertai kilatan

petir itu benar-benar mengubah suasana senja yang biasanya terasa hangat, sehangat pelukan
bunda menjadi sangat suram dan menyeramkan. Randi menggeliat dalam tidurnya di pangkuan
Aurel. Aurel tersenyum, lalu dengan spontan tangannya membelai rambut pria itu dengan perlahan.
Secara perlahan pula kelopak mata dengan bulu mata lentik itu terbuka. Randi terbangun, lalu
menguap.

“Ah, Rere.. maaf ya aku lagi-lagi tertidur disini” ucapnya sambil tersenyum.

Diraihnya jemari wanita yang sedari tadi membelai lembut kepalanya itu. Terdapat cincin
mungil yang indah tersemat pada jari manisnya. ‘ah.. gadis ini akan segera jadi miliknya’ pikir Randi.
Tapi senyumnya tiba-tiba memudar saat ia mengingat sesuatu

“Re, aku yakin kita sudah sering membicarakan hal ini. Benar kan? Kamu ingat kan, aku akan
berangkat besok lusa”

Seperti yang telah ia duga, awan hitam pun secara tiba-tiba menyelimuti wajah gadis cantik
di hadanpannya itu. Air matanya pun mulai tampak menggenangi mata yang teduh itu. Randi bangkit
dan kemudian menghapus air mata itu. Air mata itu sanggup membuat hatinya seperti tersayat
sembilu. Seakan tak rela jika gadis dihadapannya itu harus meneteskan air mata.

“ingat Re, aku pasti kembali hanya untuk kamu. Hanya untuk kamu. Ini untuk masa depan
kita kelak. Tunggu aku ya? Aku akan pastikan kalau aku hanya akan kembali untukmu.”

Rere hanya bisa mengangguk pasrah.

***

Langit itu masih saja berwarna kelabu, suram kelihatannya. Sisa-sisa hujan itu juga masih
nampak jelas terasa. Angin nakal berhembus menerbangkan anak rambut Aurel, tapi sang empunya
tak menghiraukannya. Ia selalu saja menjadi gadis pemurung jika ia mengingat kenangan tentang
Randi. Ia bahkan tetap saja tak bergeming meski udara terus saja menurun tajam. Ia hanya duduk di
beranda rumah sambil menatap kosong teh earl grey yang ada dihadapannya. Dialihkannya tatapan
Aurel ke segerombol mawar putih dihalamannya, daunnya penuh dengan titik-titik air hujan. Mawar
pemberian Randi 7 tahun yang lalu itu telah berkembang dengan indah. Aurel menghembuskan
nafas berat. Diraihnya cangkir teh itu, lalu diminumnya perlahan hingga menyisakan setengah dari
cangkir tersebut.

“sayang, apa kamu tidak kedinginan? Kamu sudah satu jam lebih disini, ayo masuk rere”
suara lembut sang bunda pun tak mampu mengusik gadis manis itu.

Bundanya menhela nafas berat, menatap putrinya semata wayangnya yang seolah-olah
kehilangan semangat hidup. Sudah 7 tahun randi pergi, dan selama itu pula putrinya berubah.
Dudlunya ia adalah gadis yang periang, tapi kini... ia benar-benar berubah. Ia seperti tak mengenal
putrinya itu.

Aurel mendengar suara bundanya itu, tapi ia tak berkeinginan untuk menjawabnya. Sudah
ratusan, atau bahkan ribuan kali ia mengabaikan bunda yang sangat menyayanginya itu. Ia tau, ia
sadar bahwa ia menyakiti bundanya. Ia tau, bundanya berharap ia akan kembali seperti dulu. Tapi
sayang, ia takkan berubah, rasa rindunya pada randi yang terasa menyesakkan dadanya tak pernah
bisa ia tahan.
Senyum tipis terukir di bibir aurel saat ia teringat pada sepucuk surat berwarna pink,
bergambar bintang. Ya, surat dari randi yang tiba-tiba muncul setelah 7 tahun lamanya ia menanti.
Surat yang kembali melambungkan harapannya. Ia tau, Bundanya lah yang berusaha mati-matian
mencari kabar randi. Demi mendapatkan kembali senyum dari putri tersayangnya.

Untuk rere, gadisku yang kucinta

Hal pertama yang bisa kuucapkan adalah maaf. Maaf sudah menghilang, maaf aku pergi, dan
tak pernah memberimu kabar selama 7 tahun ini. Aku tau, aku telah menyakitimu terlalu
dalam. Maafkan aku.

Aku tak tau, apakah aku masih pantas untuk mengatakan hal ini?

“aku merindukanmu, sangat merindukanmu hingga dadaku terasa sesak”

Aku menahannya selama ini re, aku pikir ini adalah hal yang terbaik untuk kita. Kamu tau..

Maafkan aku, bolehkah aku meminta?

“maukah kamu bersabar sebentar lagi? Menungguku sedikit lagi?” aku tau aku sudah
keterlaluan, tapi kali ini aku janji, hanya butuh waktu sedikit lagi aku akan kembali padamu.
Pendidikanku sudah berakhir, dan aku sudah mendapatkan izin untuk bisa membuka praktek
mandiri. Aku sudah berhasil menjadi seorang dokter seperti yang aku katakan dulu, agar aku
bisa merawat kamu yang kucintai. Kumohon.. bersabarlah sedikit lagi re.

Aku mencintaimu

Lagi-lagi ia hanya mampu menghela nafas berat. Sudah 7 bulan berlalu saat surat itu tiba,
dan ia masih menunggu randi yang tak kunjung kembali.

‘sampai kapan ia harus menunggu?’ sudah tak terhitung berapa kali pertanyaan itu muncul
dan menghantui pikirannya. Pertanyaan yang tak pernah bisa ia jawab. Pertanyaan sederhana yang
selalu sukses membuat hatinya terasa seperti diremas, membuat dadanya semakin sesak. Tak sadar,
setitik air mata kembali jatuh dari kelopak matanya. Rere tak berusaha menghapus air mata itu,
berharap dengan keluarnya airmata akan sedikit mengurangi beban dihatinya. Hujan kembali turun,
bahkan lebih deras daripada hujan yang tadi, seolah-olah langit bisa merasakan perasaaan gundah
gadis ini. Ia meremas keras ujung bajunya, kemudian menghapus air mata yang tadi membasahi
pipinya. Rere mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk. Memandangi jalanan yang terlihat
buram akibat derasnya hujan. Matanya menyipit melihat seseorang membuka gerbang rumahnya
dan berjalan pelan memasuki halamannya.

‘siapa?’
Rere berusaha keras melihat dan mengenali sosok yang tengah melenggang santai di
halaman rumahnya. tiba-tiba tangannya bergerak menyentuh dadanya. Jantungnya berdetak
kencang, sangat kencang. Kakinya juga tiba-tiba melangkah kearah sosok itu. Berjalan, semakin lama
semakin cepat. Ia berlari menembus hujan lebat itu. Ia memang tak mengenali sosok tersebut, tapi
hatinya berkata bahwa sosok itulah yang ia tunggu selama ini, yang begitu ia rindukan sampai
dadanya terasa sesak.

Saat rere tiba dihadapan pria itu. Ia melihat pria itu dengan teliti dan tajam. Pria itu
berkacamata, rambutnya rapi, badan tegapnya tertutup kemeja biru tua yang lengannya tergulung
sampai siku. Dasinya tak lagi rapi, dengan jas putih khas seorang dokter yang ia bawa disalah satu
lengannya. Pria itu juga tengah menatap rere dengan lembut. Tangan rere secara otomatis
menyentuh wajah itu. Air mata rere tiba-tiba saja mengalir turun. Tangan besar pria itu langsung
merengkuh rere di pelukannya. Pelukan hangat yang sangat rere rindukan, yang selama ini hanya
bisa ia rasakan dalam memorinya bersama randi.

“aku pulang” ucap randi saat ia melepaskan pelukannya.

Tangan randi menangkup wajah rere. Dilihatnya wajah gadis yang selama ini ia tinggalkan,
yang selama ini begitu ia rindukan, yang selama ini ia cintai dengan segenap jiwa dan raganya
melebihi apapun di dunia ini. Ia berusaha menghapus air mata rere. meskipun itu percuma,
mengingat air mata rere telah melebur bersama derasnya hujan yang turun.

“aku merindukanmu ran. Sangat...”

“aku juga sangat merindukanmu re, melebihi kamu merindukanku. Maafkan aku, sudah
membuatmu menunggu, sudah menyakitimu” ujar randi. Sekali lagi ia merengkuh tubuh rapuh gadis
miliknya itu kedalam pelukannya. Rere semakin terisak didada randi. Dikecupnya ringan kening rere.
Entah berapa lama tetap berpelukan erat, mereka hanya mencoba melepaskan perasaan rindu
selama ini yang begitu membuncah didalam dada masing-masing. Saat perasaan rindu itu mulai
reda, mereka melepaskan pelukan masing-masing, dengan senyum hangat dari wajah keduanya.

Digenggamnya tangan mungil rere.

“ijinkan aku sekali lagi memintamu re.” Permintaan yang disambut anggukan dan senyuman
hangat dari rere, yang membuat randi ikut tersenyum senang.

“aku mencintaimu, begitu mencintaimu lebih dari apapun. Ijinkan aku untuk tetap
mencintaimu hari ini, besok, dan seterusnya di sisa hidupku ini re. Ijinkan aku untuk menjadi ayah
dari anak-anak yang akan kau kandung. Ijinkan aku untuk membahagiakanmu, serta selalu
bersamamu melewati suka duka hidup ini. Ijinkan aku merubah namamu menjadi satu dengan
namaku” rere begitu bahagia, semburat merah menghiasi wajah putih rere saat ia mendengar
lamaran yang di ucapkan randi untuk kedua kalinya itu.

Ditangkupnya wajah tampan randi, ditempelkannya dahi rere ke dahi randi, kemudian ia
mengangguk.

“tentu saja. Aku sangat bahagia mendengarnya.” Randi tersenyum. Diraihnya jemari rere,
dan dipakaikannya cincin berlian mungil di jari manis rere, mengingat cincin lamaran yang lama
sudah rere pindah tempatkan dilehernya, menjadi sebuah liontin. Diciumnya lembut bibir gadis yang
akan segera dimilikinya itu dengan penuh cinta.
Yah, kisah cinta yang penuh dengan penderitaan karena sebuah penantian panjang ini
berakhir bahagia. Sebuah kisah cinta yang bisa dibilang abadi, karena begitu tegar meskipun dirinya
rapuh untuk menghadapi kerasnya hidup, seperti setangkai edelweis sang bunga abadi.

Anda mungkin juga menyukai